Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Bayu (Liyana) bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.Bara menarik tangannya pelan, ekspresinya sulit ditebak. Mata elangnya menelusuri wajah nenek itu, seolah mencari kepastian."Apa yang nenek maksud sebenarnya?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi mengandung ketegasan yang tak bisa diabaikan.Nenek itu justru tertawa kecil. "Ah, Mas… Apa harus kuingatkan lagi tentang malam itu?"Bayu (Liyana) mengepalkan tangannya di balik selimut. Ini buruk. Sangat buruk. Mana mungkin Bara melakukan itu dengan nenek lampir ini.Tidak mungkin! Dia tahu bahwa nenek itu hanya seorang pembohong.Dia harus cepat-cepat membongkar semuanya atau—jika perlu— segera menemukan bukti sebelum semuanya terlambat.Bara dengan cepat menarik tangannya, ekspresi jijik dan jengah bercampur jadi satu di wajahnya."Apa?!" katanya dengan nada setengah tertawa. "Mana mungkin aku melakukan semua itu? Nenek i
Laksmi merasakan bulu kuduknya meremang. Dia menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap suara lain di antara keheningan yang tiba-tiba terasa begitu mencekam.Dani juga tampak waspada, matanya menyipit ke arah pintu belakang yang kini sedikit terbuka. Angin malam menyusup masuk, menggoyangkan tirai lusuh yang tergantung di jendela."Ini rencanamu?" Dani bertanya pelan, tapi nada suaranya tajam.Laksmi mendengus. "Harusnya aku yang bertanya begitu."Mereka saling menatap, sama-sama curiga. Tapi siapa pun yang ada di luar sana, bukan bagian dari rencana mereka.Laksmi merogoh sesuatu dari balik mantelnya—sebuah pistol kecil dengan peredam suara. Ia menggenggamnya erat, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.Dani, sementara itu, melangkah perlahan ke arah pintu, tangannya sudah meraih belati kecil yang terselip di pinggangnya.Hening.Lalu—Braaak!Pintu belakang terbuka lebih lebar, dan sesosok pria bertubuh tegap menerobos masuk. Wajahnya tertutup separuh oleh masker hitam, mat
Udara malam menusuk kulit saat Laksmi menerobos keluar dari bangunan tua itu. Napasnya berat, tetapi langkahnya tetap gesit. Dia tahu Dani dan anak buahnya tidak akan membiarkannya kabur begitu saja.Benar saja—Dor! Dor!Peluru menghantam tembok di dekatnya, memercikkan serpihan beton. Laksmi tidak berhenti. Dia berlari melintasi gang sempit, menyeberang jalan, lalu masuk ke gang kecil lain yang lebih gelap.Langkah kaki terdengar di belakangnya. Mereka mengejar.Laksmi menggertakkan giginya. Dia harus mencari cara untuk menghilang sebelum mereka mengepungnya.Di depan, sebuah pasar malam kecil masih beroperasi. Lampu-lampu neon berkedip, suara pedagang bercampur dengan musik jalanan. Tanpa ragu, Laksmi menyelinap masuk, melebur di antara kerumunan.Dia menurunkan tudung mantelnya, lalu mengambil syal dari salah satu kios dan melilitkannya ke kepalanya dengan cepat. Sekarang dia terlihat seperti warga biasa.
Bara menoleh perlahan, matanya menyipit penuh selidik. "Apa maksudmu?"Nenek itu terkekeh, suara seraknya terdengar menggelitik. "Maksudku, istrimu... Liyana, dia ada di dekatmu."Bayu—atau lebih tepatnya, Liyana—merasa jantungnya hampir lompat dari tempatnya. Tangannya yang tersembunyi di balik saku mencengkeram kain celana itu erat. Sial. Dia tahu?Bara menatap nenek itu tajam, tapi alih-alih tegang, bibirnya justru berkedut seolah ingin tertawa. "Nenek, aku tak punya waktu untuk lelucon murahan.""Tapi ini bukan lelucon," nenek itu menyeringai. "Istri yang kau cari adalah ... aku."Hening.Bayu nyaris tersedak ludahnya sendiri. Bara menatap si nenek dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—antara geram, bingung, dan nyaris tertawa."Kau? Liyana?" Bara mengulang dengan nada geli.Si nenek mengangguk anggun, seolah benar-benar percaya dengan ucapannya sendiri. "Tentu saja. Sudah berapa kali aku harus katakan! Bahw
Bara mengerjapkan mata, mencoba mencerna kata-kata nenek itu. "Apa maksudmu?"Si nenek tersenyum semakin lebar, langkahnya maju mendekati Bara. "Mas Bara, aku istrimu. Benar-benar istrimu."Bayu hampir menjatuhkan gelas dari tangannya. Tangannya buru-buru meraih kain lap untuk mengeringkan sisa air di jemarinya, tapi tubuhnya sedikit gemetar. Sial, nenek ini makin gila atau justru makin berbahaya?Bara, yang biasanya sulit dibuat kehilangan kesabaran, kini tampak benar-benar frustrasi. Ia menghela napas panjang, lalu menatap si nenek dengan tatapan setengah ingin tertawa, setengah ingin meneriakinya."Nek..." Bara berusaha tetap tenang. "Aku tidak tahu siapa yang menyuruhmu melakukan ini, tapi yang jelas—""Mas Bara," si nenek memotong dengan suara lebih lembut. "Lihat aku baik-baik. Aku ini Liyana. Istrimu."Bara mengatupkan rahangnya, otaknya mencoba memahami situasi ini. Nenek ini jelas tidak waras... atau dia tahu sesuatu yan
Bara menatap cincin itu tanpa berkedip. Napasnya tertahan di tenggorokan. Itu… cincinnya.Bukan cincin pernikahan yang ia simpan di laci, tetapi cincin kecil dengan ukiran di dalamnya. Cincin yang dulu ia berikan diam-diam pada Liyana, jauh sebelum mereka menikah. Cincin yang hanya mereka berdua yang tahu.Darah Bayu seperti berhenti mengalir. SIAL. Ini tidak masuk akal!Bara menegakkan tubuhnya, matanya menatap si nenek lebih tajam. "Dari mana kau mendapatkan ini?"Si nenek hanya tersenyum, menggulirkan cincin itu di antara jari-jarinya. "Kau sendiri yang memberikannya padaku, Mas."Bara terdiam. Ini sudah melewati batas kebetulan.Bayu harus berpikir cepat. Ini bisa berbahaya. Sangat berbahaya."Saya pikir cincin itu ada di laci meja Pak Bara," Bayu akhirnya buka suara, mencoba menetralkan situasi. "Mungkin nenek ini mengambilnya?"Si nenek menoleh ke arah Bayu, senyumnya melebar. "Kau gugup, Nak?"Ba
Bayu meremas sudut meja tanpa sadar. Apa lagi yang mau dia tunjukkan?!Bara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap si nenek dengan ekspresi waspada. "Baik, tunjukkan."Si nenek mengangguk, lalu perlahan merogoh sesuatu dari balik selendangnya. Bayu menahan napas, merasa deja vu setelah kejadian cincin kemarin.Tapi kali ini, yang dikeluarkan nenek itu bukanlah cincin.Melainkan… sebuah surat.Bayu langsung merasa darahnya membeku.Bara menyipitkan mata, tangannya terulur mengambil surat itu. Kertasnya sudah agak menguning, tapi lipatannya masih rapi. Seolah seseorang telah menyimpannya dengan sangat hati-hati.Bara membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca.Bayu menahan diri agar tidak gemetar di tempat. Sial. Dari mana dia dapat itu?!Mata Bara membelalak. Sorot matanya berubah, dari penuh kewaspadaan menjadi keterkejutan.Ia membaca ulang tulisan di surat itu, seolah tidak percaya. "Ini…"
Bayu merasakan kepanikan merayap di dadanya. Ia harus menghentikan ini sebelum Bara benar-benar percaya pada nenek gila ini. Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, Bara berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada kebingungan, keterkejutan, dan sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat Bayu semakin cemas. “Jawaban itu…” Bara bergumam, suaranya hampir tak terdengar. Ia menatap si nenek lama, seolah mencari kebohongan di matanya. Si nenek tersenyum penuh kemenangan. “Sekarang kau percaya, Mas?” Bayu buru-buru memotong, “Pak Bara, ini bisa saja trik! Dia bisa saja mendengar kalimat itu dari seseorang!” Bara menoleh padanya, tatapannya tajam. “Dari siapa?” Bayu terdiam. Sial. Ia terlalu gegabah. Si nenek terkekeh. “Bayu, kau selalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Kenapa? Apa kau takut sesuatu?” Bayu menggertakkan giginya. “Saya hanya tidak ingi
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in
--- Keesokan Paginya – Di Rumah Perkebunan Bayu baru saja turun dari kamar, matanya sayu karena tak tidur semalaman. Kepalanya penuh tanda tanya. Setelah kejadian semalam di bangunan kosong, ia merasa ada yang mengikutinya... tapi tak ada siapa pun saat ia menoleh. Namun yang membuatnya lebih bingung lagi adalah... Bara. Sejak pagi, pria itu berubah dingin. Tidak menyapa. Tidak menatap. Bahkan saat mereka duduk di meja makan, suasana seolah membeku. Bayu duduk perlahan, lalu memberanikan diri membuka percakapan. "Pak, tadi pagi saya sudah rapikan berkas-berkas yang Bapak minta kemarin..." Bara tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke luar jendela. Bayu menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, sesibuk apa pun, Bara akan setidaknya menanggapi... walau dengan nada tegas. "Pak?" panggil Bayu lagi, lebih pelan. Masih tak ada respons. Akhirnya Bara bangkit dari duduknya, mengambil jaket yang disamp
---Sore menjelang malam, ruang makan utama Vila DanendraBayu datang membawa nampan berisi teh dan kudapan. Ia sudah membulatkan tekad—malam ini, ia ingin bicara pada Bara. Setidaknya, ia akan minta waktu untuk menjelaskan... meskipun belum semuanya. Tapi sejak tadi, Bara tak tampak di kamarnya.Saat Bayu menuruni tangga dan berbelok ke ruang makan, ia melihat Bara duduk sendiri. Wajahnya dingin, tatapannya kosong menatap cangkir yang bahkan belum disentuh.Bayu melangkah mendekat, mencoba bersikap seperti biasa.“Pak, saya buatkan teh. Katanya Bapak belum makan sejak siang.”Bara hanya mengangguk singkat. Tak melihat ke arah Bayu. Tak menjawab dengan kata.Bayu mengerutkan dahi. Ia meletakkan nampan di meja dan duduk perlahan di seberang Bara.“Bapak... marah sama saya?”Diam. Suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya.“Kalau saya ada salah, tolong bilang. Jangan diam begini, Pak. Saya jadi bingung...” ucap Bayu, pelan namun jelas.Baru kali ini, Bara mengangkat kepala. Ta
---Di Ruang Pribadi Gustur DanendraLampu gantung bergoyang pelan di langit-langit. Di balik kaca jendela besar, kabut mulai turun menyelimuti malam. Gustur duduk di kursinya yang empuk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama sabar yang mengancam. Di depannya, Sapphire berdiri dengan angkuh, kedua tangan bersedekap."Jadi, apa rencanamu berikutnya?" tanya Sapphire tanpa basa-basi.Gustur menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Bara sedang goyah. Hatinya rapuh. Kita hanya perlu sedikit dorongan terakhir supaya dia benar-benar melupakan Liyana."Sapphire menyipitkan mata. "Kau yakin? Dia bahkan belum melirikku. Dan sekarang ada nenek-nenekan itu yang sok mendekat. Menyebalkan."Gustur terkekeh pelan. “Justru itu bagus. Biarkan Sri Satmika membuat Bayu sibuk. Biarkan dia terganggu dan kehilangan fokus. Kita manfaatkan celah itu.”Sapphire masih tampak ragu. “Kau bilang kau bisa atur semuanya. Tapi sejauh ini, Bara justru makin dekat sama asistennya itu. Aku tahu dia bukan orang
---Malam Hari – Ruang Makan Utama Keluarga DanendraSuasana makan malam itu terasa mencekam, meski tak ada satupun suara keras terdengar. Yang ada hanyalah dentingan sendok dan garpu, sesekali batuk kecil, dan… sindiran-sindiran halus yang menusuk lebih tajam dari belati.Sri Satmika duduk dengan anggun di ujung meja, mengenakan kebaya hitam berbordir emas. Tatapannya tajam seperti biasa, kali ini mengarah ke perempuan muda yang duduk tak jauh darinya—Sapphire.“Kamu pakai lipstik warna itu lagi?” Sri Satmika membuka suara, nadanya tenang, tapi menyimpan serangan. “Ah, sepertinya itu warna yang dulu pernah dipakai ibumu saat datang melamar cucu saya, ya? Sayang, ditolak.”Sapphire menegang, namun berusaha tersenyum. “Warna ini cocok untuk acara formal, Nek.”“Kalau sekadar cocok, banyak hal juga terlihat cocok. Tapi tidak semuanya bisa diterima,” balas Sri Satmika tanpa menoleh.Bayu yang duduk tak jauh dari Bara nyaris tersedak sup-nya. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan senyum ke
---Bayu berdiri di balik dinding lorong, diam-diam memperhatikan percakapan antara Sapphire dan Sri Satmika. Wajahnya kaku, namun matanya menyorot tajam. Sudah beberapa hari ini ia merasa ada yang tidak beres. Terlalu banyak hal yang saling bertabrakan, dan ia tak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus bergetar dalam dadanya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa mendengar nenek Sri Satmika mengejek Sapphire dengan nada tinggi namun seolah bersahabat.“Tumben kamu datang lagi, Nak Sapphire. Masih belum menyerah juga setelah lamaran keluargamu ditolak mentah-mentah oleh keluarga Danendra?” ucap Sri Satmika sembari tersenyum tipis.Sapphire yang biasanya tenang, tampak menahan emosi. Ia membalas dengan suara lembut tapi tak kalah tajam, “Saya tidak pernah menyerah, Nek. Orangtuaku datang dengan niat baik, hanya saja waktu itu Bara belum siap. Tapi semua bisa berubah.”“Heh. Waktu bisa berubah, tapi cinta? Tidak selalu,” balas Sri Satmika. “Kau pikir dengan sering datang dan membawa makana