Bayu merasakan kepanikan merayap di dadanya. Ia harus menghentikan ini sebelum Bara benar-benar percaya pada nenek gila ini.
Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, Bara berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada kebingungan, keterkejutan, dan sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat Bayu semakin cemas. “Jawaban itu…” Bara bergumam, suaranya hampir tak terdengar. Ia menatap si nenek lama, seolah mencari kebohongan di matanya. Si nenek tersenyum penuh kemenangan. “Sekarang kau percaya, Mas?” Bayu buru-buru memotong, “Pak Bara, ini bisa saja trik! Dia bisa saja mendengar kalimat itu dari seseorang!” Bara menoleh padanya, tatapannya tajam. “Dari siapa?” Bayu terdiam. Sial. Ia terlalu gegabah. Si nenek terkekeh. “Bayu, kau selalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Kenapa? Apa kau takut sesuatu?” Bayu menggertakkan giginya. “Saya hanya tidak ingiHening sejenak di ujung telepon.Lalu suara itu tertawa pelan. “Kau sedang dalam masalah besar, ya?”Bayu tidak punya waktu untuk bercanda. “Kau bisa atau tidak?”Suara di seberang menghela napas. “Mengubah hasil tes DNA bukan perkara mudah, apalagi kalau tes dilakukan di rumah sakit besar.”Bayu mengepalkan tangan. “Aku tahu. Tapi aku tidak punya pilihan lain.”Ada jeda beberapa detik sebelum suara itu menjawab, “Siapa yang akan dites?”Bayu menggigit bibir. “Aku dan… satu orang lagi.”“Aku butuh nama.”Bayu ragu sejenak sebelum akhirnya berbisik, “Bara Danendra.”Suara di telepon langsung berubah serius. “Bara Danendra? Pengusaha itu?”Bayu tidak menjawab.Lalu suara di seberang kembali berbicara, lebih pelan dari sebelumnya. “Kau benar-benar bermain dengan api.”“Aku tahu,” Bayu menutup mata, “tapi aku tidak punya pilihan.”Suara itu terdiam sejenak, lalu akhirnya
Bayu menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih gemetar saat ia memasukkan ponsel ke dalam saku. Ia harus kembali ke meja sebelum Bara curiga. Ketika ia melangkah masuk ke dalam kafe, Bara sudah bersandar di kursi dengan tangan terlipat di dada. Matanya menyipit, menatap Bayu dengan tatapan yang sulit dibaca. “Lama sekali teleponnya.” Bayu memaksakan senyum. “Maaf, Pak Bara. Ada urusan mendadak.” Bara tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya lebih lama sebelum akhirnya mengalihkan perhatian ke ponselnya. Si nenek, yang sedari tadi duduk dengan senyum penuh arti, menyesap tehnya sebelum berkata, “Hasil tesnya pasti sudah keluar.” Bayu merasakan dadanya mencelos. “Baiklah,” Bara bangkit dari kursinya. “Ayo kita lihat hasilnya.” --- Mereka kembali ke
Setelah meninggalkan ruangan, Bara berjalan dengan langkah cepat, ekspresinya sulit ditebak. Bayu mengikuti di belakangnya, berusaha tetap tenang meski pikirannya penuh dengan kemungkinan buruk.Begitu mereka sampai di parkiran, Bara tiba-tiba berhenti dan menoleh."Bayu," panggilnya.Bayu hampir tersentak, tapi segera mengendalikan diri. “Iya, Pak Bara?”Bara menatapnya lama. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuat Bayu merasakan hawa tekanan yang tak kasat mata.“Kau percaya dengan hasil tes tadi?” tanya Bara tiba-tiba.Bayu menelan ludah, berpikir cepat. “Tentu saja. Hasil tes DNA itu kan bukti ilmiah, Pak.”Bara mengangguk pelan, tapi ekspresinya tetap tidak berubah. “Lalu, menurutmu… nenek itu benar-benar Liyana?”Pertanyaan itu membuat Bayu merasa dadanya sesak. Kenapa Bara masih mempertanyakan ini?Dengan hati-hati, Bayu menjawab, “Kalau Pak Bara masih ragu, bukankah ada tes DNA beriku
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bayu duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Pesan misterius itu masih memenuhi pikirannya.Siapa orang itu? Bagaimana dia tahu?Bayu menggenggam ujung selimut, menahan napas. Jika benar ada yang mengetahui penyamarannya, maka keberadaannya di rumah Bara bisa terancam. Lebih dari itu, keselamatan kedua orangtuanya juga menjadi taruhan.Ponselnya bergetar lagi. Bayu menelan ludah sebelum meraihnya. Satu pesan masuk."Jangan buat aku menunggu, Liyana."Bayu mengerang pelan. Jantungnya berdegup semakin kencang. Tidak ada lagi keraguan. Orang ini tahu siapa dirinya.Bayu beranjak dari tempat tidur, meraih jaket yang tergantung di belakang pintu. Ia harus menemui orang itu. Tidak peduli seberapa berbahayanya, ia harus memastikan penyamarannya tetap aman.Saat membuka pintu, langkahnya terhenti. Di luar kamar, ia mendengar langkah kaki. Bayu menahan napas, mendengarkan dengan saksama
Bayu dan Ryven berjalan beriringan menuju motor mereka, udara malam terasa semakin menusuk. Langkah Bayu terasa berat, pikirannya masih dipenuhi bayangan foto itu — bukti nyata bahwa penyamarannya nyaris terbongkar. Siapa yang mengawasinya selama ini? Bagaimana orang itu bisa mendapatkan foto Liyana? Begitu sampai di dekat motornya, Bayu bersandar di sadel, mencoba menenangkan diri. Ryven berdiri di sampingnya, melipat tangan di dada. “Sekarang apa?” tanya Ryven pelan. Bayu menghela napas panjang, matanya menatap kegelapan. “Aku harus mencari tahu siapa yang mengirim pesan itu.” “Sendirian?” Ryven mengerutkan dahi. “Kau gila? Ini jelas perangkap.” Bayu menatap Ryven, matanya penuh tekad. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Ini tentang identitasku. Tentang Bara.” Ia mengepalkan tangan. “Aku tidak bisa membiarkan siapa pun tahu bahwa aku Liyana.” Ryven menatap Bayu lama, lalu menghela napas berat. “Baiklah. Tapi aku akan tetap membantumu.” Bayu tersenyum tipis. “Terima kasih.” Mereka n
Bayu menelan ludah, matanya menatap tajam sosok yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Dalam redupnya cahaya senter, wajah itu tampak samar, namun suara dingin yang keluar dari mulutnya terasa begitu jelas, menggema di ruangan tua yang lembap dan berdebu.“Permainan apa yang kau maksud?” suara Bayu bergetar, berusaha terdengar tegar meskipun hatinya berdegup kencang.Sosok itu tertawa pelan, langkahnya mendekat hingga Bayu bisa merasakan hembusan napasnya. “Permainan kebenaran, Liyana. Kau sudah terlalu lama bersembunyi di balik identitas palsumu.”Bayu mengepalkan tangan, rahangnya mengatup kuat. “Apa maumu?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Sosok itu diam sejenak, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia memencet beberapa tombol sebelum menunjukkan layar ponselnya ke Bayu. Sebuah video diputar — gambar yang terpampang membuat Bayu membeku.Di layar itu terlihat dirinya — atau lebih tepatnya, dirinya dalam balutan identitas Bayu — tengah berbicara dengan Ryven di warung ke
Keesokan harinya, Bayu terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa berat karena kurang tidur, tapi pikirannya sudah berputar sejak fajar menyingsing. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang tergeletak di sampingnya. Tidak ada pesan baru.Bayu meremas ujung selimut, mencoba meredakan kegelisahan yang merayap di dadanya. Ia harus menemui orang itu malam ini. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus ia lakukan.Setelah mandi dan berganti pakaian, Bayu keluar dari kamar. Lorong rumah masih sepi. Ia berjalan menuju dapur untuk membuat kopi, namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok Bara sudah duduk di ruang makan, menatap secangkir kopi yang mulai dingin di hadapannya.“Pagi, Pak Bara,” sapa Bayu pelan.Bara menoleh sekilas, lalu mengangguk kecil. “Pagi.”Bayu menahan napas. Wajah Bara tampak lelah, dengan lingkaran hitam samar di bawah matanya. Mungkin pria itu juga tidak tidur nyenyak semalam.Bayu berjalan ke dapur, membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri, lalu d
Bayu duduk diam di tepi ranjang, menatap kosong ke arah lantai. Udara malam terasa begitu berat, seakan menindih dadanya. Pikirannya penuh dengan bayangan masa lalu, ancaman Gustur, serta permintaan pria misterius tadi.Ia meremas ujung selimut. Bagaimana kalau ini jebakan? Bagaimana kalau pria itu sebenarnya anak buah Gustur?Bayu menggeleng pelan. Tidak. Kalau pria itu benar-benar bekerja untuk Gustur, ia tak mungkin memberikan foto-foto itu. Tapi…Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Bayu tersentak, buru-buru menyeka wajahnya dan mencoba menenangkan napasnya.“Masuk,” ujarnya.Pintu terbuka perlahan, dan Bara masuk dengan ekspresi serius. “Kau belum tidur?”Bayu menggeleng. “Belum ngantuk, Pak.”Bara menatapnya lekat. “Aku juga nggak bisa tidur.” Ia berjalan mendekat dan duduk di kursi dekat jendela. “Bayu… ada yang ingin kutanyakan padamu.”Jantung Bayu berdegup kencang. Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap
Malam Masih Terus Bergulir – Perjalanan Menuju KebenaranMobil yang dikendarai Bara melaju pelan di jalanan berbatu yang mengarah ke luar area perkebunan. Lampu sorot depannya menembus kabut tipis, membelah malam yang semakin pekat. Tangan Bara menggenggam erat setir, tatapannya lurus ke depan. Ia belum sepenuhnya yakin arah ini akan membawanya pada jawaban, tapi nalurinya bicara lain.Bayu.Ia tidak pernah menyangka akan memikirkan seseorang sedalam ini, secepat ini. Bayu bukan hanya asisten. Bukan sekadar bawahan yang datang membawa data kejahatan. Ada sesuatu yang lebih rumit… dan lebih personal. Sesuatu yang mengikat mereka tanpa bisa dijelaskan dengan logika.Sementara itu, di dalam mobil tua yang Larissa kendarai, Bayu menatap layar ponsel yang terus menampilkan titik merah. Truk itu bergerak pelan, menyusuri jalan kecil yang sepertinya menuju daerah terpencil di luar desa.“Mereka berhenti,” kata Larissa pelan. Ia memiringkan layar ke arah Bayu. “Sekitar satu kilometer lagi.”B
Masih Malam Itu, di Kamar Sri SatmikaBayu menggigil pelan di balik tirai. Napasnya tercekik di tenggorokan saat mendengar suara langkah kaki Sri Satmika mendekat ke arah meja rias, hanya beberapa langkah dari tempatnya bersembunyi. Gelas diletakkan di atas meja, dan suara derit kursi berbunyi pelan. Wanita tua itu duduk.Suara desahannya terdengar lirih, seperti sedang berbicara pada diri sendiri."Kenapa kau belum juga menyerah, Liyana..." katanya pelan. "Kalau saja kau tahu siapa aku sebenarnya."Bayu mencengkeram kain tirai lebih erat. Jantungnya terasa mau meledak. Apakah dia sedang berbicara pada seseorang? Atau hanya monolog biasa? Tapi yang jelas, nama itu—namanya—diucapkan dengan sangat sadar.Beberapa menit berlalu. Suara napas wanita tua itu melambat, menandakan ia mulai terlelap. Bayu tak bisa tinggal lebih lama. Ia perlu keluar.Perlahan, ia mengintip dari balik tirai. Sri Satmika telah bersandar di kursi, mata tertutup, napas tenang.Bayu melangkah ringan, nyaris tanpa s
---Masih dini hari, kamar utama terasa sesakBayu menutup pintu kamar perlahan, meninggalkan Bara yang masih berdiri membelakangi jendela. Langit di luar belum sepenuhnya terang, namun cahaya samar mulai menyusup di antara tirai. Bayu berjalan pelan menuju koridor, dadanya terasa seperti dipenuhi duri. Setiap langkah menjauh dari kamar Bara adalah langkah menuju keputusasaan yang harus ia telan sendiri.Ia tidak tidur malam itu.Di kamarnya yang gelap, Bayu duduk di lantai, menatap kosong ke arah dinding. Di meja kecil, tersimpan ponsel dengan satu pesan draf yang belum pernah ia kirim:"Pak, saya ini sebenarnya—"Ia menghapusnya. Lagi.Tangannya gemetar. Ia ingin jujur. Ingin melepaskan semuanya. Tapi wajah kedua orangtuanya selalu muncul di benaknya. Ibunya yang lembut, ayahnya yang keras tapi hangat. Mereka bukan hanya sandaran hidup—mereka adalah alasan kenapa ia harus bertahan menyamar sejauh ini.Bayu menarik napas panjang. “Aku harus temukan mereka... sebelum semuanya hancur.”
Tepi Sungai, Masih Dini Hari.Bara berdiri mematung. Kata-kata sang nenek menggantung di udara, menusuk relung pikirannya seperti jarum-jarum halus."Aku mungkin bukan Liyana yang kau kenal, Mas... tapi aku adalah Liyana yang tersisa."Apa maksudnya? Kalimat itu tak memberi kejelasan, justru menyesakkan.“Liyana yang tersisa?” Bara mengulang pelan, setengah tak percaya. “Ibu bicara seperti seseorang yang... menyerah.”Sang nenek melangkah mendekat. Bayu langsung bergerak, berdiri setengah di depan Bara—refleks pelindung yang tak bisa ia kendalikan.Namun Bara mengangkat tangan, menghentikan Bayu tanpa berkata apa-apa.“Aku tidak menyerah, Mas Bara,” ucap si nenek tenang. “Aku hanya… menyadari, bahwa kadang cinta tak harus dikenali lewat wajah yang sama.”Bara menahan napas.Bayu, di sisi lain, nyaris kehilangan kendali.Berhenti. Jangan bujuk dia lagi dengan puisi-puisi palsu itu.“Kalau begitu…” Bara berkata perlahan, “katakan padaku satu hal. Apa yang kau ingat tentang pernikahan ki
Tepi Sungai, Masih Dini Hari.Bara berdiri mematung. Kata-kata sang nenek menggantung di udara, menusuk relung pikirannya seperti jarum-jarum halus."Aku mungkin bukan Liyana yang kau kenal, Mas... tapi aku adalah Liyana yang tersisa."Apa maksudnya? Kalimat itu tak memberi kejelasan, justru menyesakkan.“Liyana yang tersisa?” Bara mengulang pelan, setengah tak percaya. “Ibu bicara seperti seseorang yang... menyerah.”Sang nenek melangkah mendekat. Bayu langsung bergerak, berdiri setengah di depan Bara—refleks pelindung yang tak bisa ia kendalikan.Namun Bara mengangkat tangan, menghentikan Bayu tanpa berkata apa-apa.“Aku tidak menyerah, Mas Bara,” ucap si nenek tenang. “Aku hanya… menyadari, bahwa kadang cinta tak harus dikenali lewat wajah yang sama.”Bara menahan napas.Bayu, di sisi lain, nyaris kehilangan kendali.Berhenti. Jangan bujuk dia lagi dengan puisi-puisi palsu itu.“Kalau begitu…” Bara berkata perlahan, “katakan padaku satu hal. Apa yang kau ingat tentang pernikahan ki
---Dini HariDi Dalam MobilMeski jam menunjukkan lewat tengah malam, Bara sudah duduk di kursi kemudi, mobil terparkir jauh dari vila utama. Ia menyalakan tablet kecil yang terkoneksi ke server pengawasan perkebunan. Jemarinya cepat, tajam, seperti pikirannya malam ini.Ia membuka rekaman CCTV di sekitar kamar tamu, ruang makan, halaman belakang. Matanya menyipit saat menemukan potongan waktu ketika “nenek Liyana” berdiri sendirian di dapur, seperti sedang berbicara... tapi tak ada siapa-siapa di sekitarnya.Bara menekan pause.“Ngomong dengan siapa dia?”Lalu ia mempercepat. Ada satu bagian aneh—nenek itu masuk ke gudang kecil di belakang rumah, tempat penyimpanan alat-alat tua. Ia keluar dua jam kemudian... membawa sesuatu dalam tas plastik hitam.“Kenapa harus diam-diam? Apa yang dia sembunyikan?”Bara menuliskan waktu kejadian itu. Niatnya sudah bulat. Pagi nanti, sebelum siapa pun bangun, ia akan ke g
---Di Taman Belakang, Pukul 04.27 PagiEmbun masih menetes di ujung daun saat Bara melangkah cepat ke luar rumah. Kepalanya dipenuhi spekulasi: kenapa nenek Liyana bisa lolos? Siapa yang membantunya? Atau… apakah dia tak selemah yang ia kira?Senter di tangannya menyapu tiap sudut taman, menyusuri jalur kerikil, menyusup ke balik semak bunga lavender.Dan di sanalah dia melihatnya.Nenek itu.Duduk di bangku kayu tua yang menghadap ke arah bukit. Rambutnya tergerai kusut, gaunnya sedikit kotor, tapi wajahnya... damai. Terlalu damai untuk seseorang yang katanya tak bisa bangun dari tempat tidur.“Nek!” seru Bara, langkahnya mempercepat. “Apa yang sedang Anda lakukan di sini?”Wanita itu menoleh perlahan, lalu tersenyum.“Aku hanya… mencari angin segar, Mas.”Mas. Bukan “Nak”.Bara menelan ludah. Ia duduk di sebelahnya, masih menjaga jarak. “Kenapa Anda pergi diam-diam? Pelayan pan
Di Rumah Utama Bara menuangkan teh hangat ke dalam cangkir porselen, mengaturnya di atas nampan dengan tenang yang pura-pura. Di hadapannya, si “nenek Liyana” duduk di kursi malas, berselimut kain hangat, tatapannya penuh kasih. “Mas Bara,” panggil si nenek, lembut. “Kamu makin mirip ayahmu. Tapi lebih lembut. Lebih tulus.” Bara tersenyum tipis. “Saya cuma berusaha jadi orang baik, Bu—eh, maksud saya… kamu.” Ia masih kikuk, menyebut perempuan tua ini sebagai istrinya. Tapi sejak “Liyana” datang dalam wujud tua dan renta, semua orang di rumah menjadi lebih tenang. Seolah misteri itu telah selesai. Tapi tidak dengan Bara. Dalam diam, ia mempelajari gerak-gerik perempuan tua itu. Ia tidak bodoh. Namun, ia juga kelelahan mencari Liyana yang entah ke mana. Jadi mungkin, menerima kenyataan semu lebih baik daripada terus dihantui kehilangan. “Aku ingat pelukanmu, Mas. Dingin. Tapi selalu membuatku hangat,” ujar si nenek tiba-tiba. Bara menegang. Pelukan itu… hanya satu orang yang ta
---Bara menatap nenek Liyana dari balik meja makan. Cahaya sore yang menembus jendela membuat keriput di wajah perempuan tua itu tampak lembut, hampir hangat. Ia sedang menuangkan teh ke dalam cangkirnya sendiri, lalu ke cangkir Bara dengan tangan yang sedikit bergetar.“Aku tahu Mas Bara suka teh yang agak pahit,” katanya, tersenyum pelan. “Masih ingat dulu kita sering minum teh di teras belakang? Kau selalu komplain kalau tehnya kebanyakan gula.”Bara terdiam, tak langsung menjawab. Ia memandang teh di cangkir, lalu meneguknya perlahan. “Iya. Aku ingat.”Nenek Liyana tertawa kecil, suaranya terdengar rapuh, tapi ada kehangatan yang aneh di dalamnya. “Kau terlalu jujur waktu itu. Tapi aku suka… aku suka Mas Bara yang jujur.”Bayu yang berdiri tak jauh di sudut ruangan hanya bisa menahan napas. Adegan itu membuat perutnya mual—bukan karena rasa jijik, tapi karena perasaan bercampur yang meletup tanpa permisi. Di satu sisi, ia lega k