Bayu duduk diam di tepi ranjang, menatap kosong ke arah lantai. Udara malam terasa begitu berat, seakan menindih dadanya. Pikirannya penuh dengan bayangan masa lalu, ancaman Gustur, serta permintaan pria misterius tadi.Ia meremas ujung selimut. Bagaimana kalau ini jebakan? Bagaimana kalau pria itu sebenarnya anak buah Gustur?Bayu menggeleng pelan. Tidak. Kalau pria itu benar-benar bekerja untuk Gustur, ia tak mungkin memberikan foto-foto itu. Tapi…Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Bayu tersentak, buru-buru menyeka wajahnya dan mencoba menenangkan napasnya.“Masuk,” ujarnya.Pintu terbuka perlahan, dan Bara masuk dengan ekspresi serius. “Kau belum tidur?”Bayu menggeleng. “Belum ngantuk, Pak.”Bara menatapnya lekat. “Aku juga nggak bisa tidur.” Ia berjalan mendekat dan duduk di kursi dekat jendela. “Bayu… ada yang ingin kutanyakan padamu.”Jantung Bayu berdegup kencang. Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap
Bayu berdiri mematung di tengah jalan, napasnya masih tersengal setelah adegan menegangkan barusan. Angin malam yang dingin menusuk tulang, tapi pikirannya jauh lebih berkecamuk dibandingkan udara yang menusuk kulitnya. Bara mungkin sudah pergi, tapi bahaya belum benar-benar lenyap.Ia melirik ponsel di saku jaketnya, tangan gemetar saat meraihnya. Sebuah pesan baru masuk dari nomor tak dikenal — nomor yang sebelumnya mengancamnya.“Kau membuat gerakan yang berani. Tapi ingat, satu langkah salah, semua berakhir.”Bayu meremas ponselnya, rahangnya mengeras. Siapa pun orang ini, dia mengawasi. Dan itu berarti waktu Bayu semakin menipis.Ia menyalakan motor lagi, melaju kencang kembali ke rumah Bara. Jantungnya terus berdetak tak menentu, pikirannya berkelindan antara rahasia yang ia sembunyikan dan ancaman yang kini mengintainya.Saat tiba di rumah, suasana sudah sunyi. Lampu ruang tengah masih menyala, tapi tak ada tanda-tanda Bara di mana
Malam itu, Bayu hampir tidak tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang diselimuti embun. Pikiran tentang tes DNA yang akan keluar besok membuatnya gelisah. Ancaman dari pria misterius di gudang menambah beban yang menghimpit dadanya.Aku harus melindungi Bara. Bagaimanapun caranya.Bayu meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Ryven. Namun, jari-jarinya berhenti di atas layar. Tidak… Ryven tidak boleh terlibat. Ini urusannya sendiri. Ia menutup layar ponsel, lalu beranjak keluar kamar.Rumah terasa begitu sunyi di tengah malam. Bayu berjalan pelan menuju ruang kerja Bara. Pintu kayu itu sedikit terbuka, dan ia mendorongnya perlahan. Cahaya temaram dari lampu meja membuat ruangan terasa hangat, tapi hawa tegang di hatinya tidak berkurang.Matanya langsung tertuju pada laci di sudut meja — tempat Bara menyimpan dokumen-dokumen penting. Bayu menelan ludah, lalu berjalan mendekat. Dengan tangan gemetar, ia menarik laci itu perlahan. Koson
Bayu tertegun. Peluh dingin mengalir di pelipisnya. “Apa maksud Bapak?” Bara mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan. “Siapa kamu sebenarnya?” Bayu membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Bara tahu? Tidak… tidak mungkin. “Saya Bayu, Pak,” jawabnya dengan suara bergetar. Bara tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Benarkah?” Ia menatap Bayu lekat-lekat, lalu berbisik, “Atau kamu… Liyana?” Dunia seakan berhenti berputar. Bayu terpaku di tempat, darahnya berdesir dingin. Mata Bara menatapnya tajam, menunggu reaksi. Bayu mencoba menyangkal, tapi bibirnya terasa kaku. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Jika Bara benar-benar tahu, maka segalanya sudah berakhir. “Bapak… kenapa bicara seperti itu?” suaranya terdengar serak. Bara tidak menjawab. Ia hanya menatap Bayu dalam diam, seolah menunggu lawannya membuat kesalahan. Detik demi detik berlalu, terasa
Bayu duduk memeluk lutut di lantai kamar yang dingin. Nafasnya bergetar, dada terasa sesak, dan pikiran berkecamuk. Suara langkah Bara yang menjauh terdengar begitu menyakitkan. Ia ingin mengejar, ingin memohon agar Bara mendengarkannya, tapi tubuhnya terasa berat.Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa diam saja.Bayu menghapus air mata yang menggenang di pipinya. Ia merogoh ponsel dari saku, menatap layar yang buram karena tangannya gemetar. Jarinya mengetik pesan cepat untuk Ryven.“Aku butuh bantuanmu. Cari tahu siapa yang memanipulasi hasil tes DNA itu.”Pesan terkirim. Bayu menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Matanya terpaku pada bayangan dirinya di kaca jendela kamar. Wajah pucat itu terasa asing. Mata sembab dan bibir yang gemetar membuatnya terlihat begitu lemah.Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan. Bayu buru-buru mengangkatnya. “Ryven?”“Aku sudah menduga kau akan bilang begitu.” Suara Ry
Bayu berlari menyusul Bara, napasnya tersengal. Jantungnya berpacu bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tapi juga karena ketakutan yang menyesakkan dada. “Pak Bara!” serunya, tapi pria itu terus berjalan tanpa menoleh. Langkah Bayu terhenti di depan pintu rumah yang sudah terbuka lebar. Ia menatap punggung Bara yang berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegang, seolah menahan amarah yang siap meledak kapan saja. “Pak Bara…” suara Bayu melemah, tapi Bara tiba-tiba berbalik, membuat Bayu terkejut. “Kau tahu sesuatu, kan?” Suara Bara terdengar parau, matanya menyala. “Tentang nenek itu. Tentang hasil tes. Apa yang kau sembunyikan dariku?” Bayu menggigit bibir. “Saya… saya tidak tahu apa yang Bapak maksud.” “Jangan bohong!” Bara membanting meja di depannya, membuat Bayu tersentak. “Sejak awal kau selalu mencurigakan! Kenapa kau begitu peduli dengan hasil tes itu? Siapa kau sebenarnya, Bayu?”
Langkah mereka semakin cepat, menyelinap dalam bayang-bayang malam yang kian pekat. Bayu merasakan detak jantungnya menghentak di dadanya, seakan memberinya peringatan. Setiap langkah terasa berat, bukan karena kelelahan, melainkan karena beban keputusan yang harus ia hadapi.Di persimpangan jalan yang remang, Ryven tiba-tiba menarik lengannya, membuat Bayu nyaris kehilangan keseimbangan.“Tunggu,” bisik Ryven, matanya menyipit ke arah sudut jalan. “Ada yang mengawasi.”Bayu menahan napas, otaknya langsung bekerja cepat. Pandangannya mengikuti arah tatapan Ryven—dan benar saja. Di kejauhan, di balik tembok tua yang hampir tertutup bayangan, ada seseorang berdiri. Siluetnya samar, tapi jelas orang itu memperhatikan mereka.“Siapa dia?” bisik Bayu, tangannya refleks meraba sesuatu di sakunya—bukan senjata, tapi sekadar memastikan dirinya siap menghadapi apa pun.Ryven tak langsung menjawab. Ia merogoh ponselnya, berpura-pura mengecek sesuatu, lalu berbisik pelan, “Jangan bereaksi berleb
Bayu menarik napas dalam-dalam, matanya menyipit saat menatap layar ponsel. Ia menggigit bibirnya, jemarinya sedikit gemetar. Pesan itu seperti pisau bermata dua. Jika ia menemui orang itu, bisa saja ini jebakan. Tapi jika tidak, nyawanya dan orang-orang yang ia lindungi bisa berada dalam bahaya.Dengan hati-hati, ia mengetik balasan.“Aku akan datang.”Setelah mengirim pesan itu, Bayu merasakan debar jantungnya semakin kencang. Ia harus mempersiapkan diri. Tidak ada jaminan bahwa pertemuan ini akan berjalan aman. Ia tidak tahu siapa yang mengiriminya pesan, tapi satu hal pasti—orang itu mengetahui identitasnya.Bayu berdiri, berjalan menuju jendela dan mengintip ke luar. Jalanan tampak lengang, hanya lampu jalan yang redup menerangi trotoar. Dalam keheningan itu, ia merasa ada sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan.Ia menoleh ke belakang, memastikan pintu kamar terkunci. Bara masih di atas, mungkin sudah terlelap. Ia tidak bisa membiarkan siapapun, terutama Bara, mengetahui p
Malam ituBayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu.Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi.Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya.Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati.Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu.Tok. Tok.Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka.Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya.Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut.“Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar.Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.”Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini soal pekerjaan, besok pa
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in
--- Keesokan Paginya – Di Rumah Perkebunan Bayu baru saja turun dari kamar, matanya sayu karena tak tidur semalaman. Kepalanya penuh tanda tanya. Setelah kejadian semalam di bangunan kosong, ia merasa ada yang mengikutinya... tapi tak ada siapa pun saat ia menoleh. Namun yang membuatnya lebih bingung lagi adalah... Bara. Sejak pagi, pria itu berubah dingin. Tidak menyapa. Tidak menatap. Bahkan saat mereka duduk di meja makan, suasana seolah membeku. Bayu duduk perlahan, lalu memberanikan diri membuka percakapan. "Pak, tadi pagi saya sudah rapikan berkas-berkas yang Bapak minta kemarin..." Bara tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke luar jendela. Bayu menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, sesibuk apa pun, Bara akan setidaknya menanggapi... walau dengan nada tegas. "Pak?" panggil Bayu lagi, lebih pelan. Masih tak ada respons. Akhirnya Bara bangkit dari duduknya, mengambil jaket yang disamp
---Sore menjelang malam, ruang makan utama Vila DanendraBayu datang membawa nampan berisi teh dan kudapan. Ia sudah membulatkan tekad—malam ini, ia ingin bicara pada Bara. Setidaknya, ia akan minta waktu untuk menjelaskan... meskipun belum semuanya. Tapi sejak tadi, Bara tak tampak di kamarnya.Saat Bayu menuruni tangga dan berbelok ke ruang makan, ia melihat Bara duduk sendiri. Wajahnya dingin, tatapannya kosong menatap cangkir yang bahkan belum disentuh.Bayu melangkah mendekat, mencoba bersikap seperti biasa.“Pak, saya buatkan teh. Katanya Bapak belum makan sejak siang.”Bara hanya mengangguk singkat. Tak melihat ke arah Bayu. Tak menjawab dengan kata.Bayu mengerutkan dahi. Ia meletakkan nampan di meja dan duduk perlahan di seberang Bara.“Bapak... marah sama saya?”Diam. Suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya.“Kalau saya ada salah, tolong bilang. Jangan diam begini, Pak. Saya jadi bingung...” ucap Bayu, pelan namun jelas.Baru kali ini, Bara mengangkat kepala. Ta
---Di Ruang Pribadi Gustur DanendraLampu gantung bergoyang pelan di langit-langit. Di balik kaca jendela besar, kabut mulai turun menyelimuti malam. Gustur duduk di kursinya yang empuk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama sabar yang mengancam. Di depannya, Sapphire berdiri dengan angkuh, kedua tangan bersedekap."Jadi, apa rencanamu berikutnya?" tanya Sapphire tanpa basa-basi.Gustur menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Bara sedang goyah. Hatinya rapuh. Kita hanya perlu sedikit dorongan terakhir supaya dia benar-benar melupakan Liyana."Sapphire menyipitkan mata. "Kau yakin? Dia bahkan belum melirikku. Dan sekarang ada nenek-nenekan itu yang sok mendekat. Menyebalkan."Gustur terkekeh pelan. “Justru itu bagus. Biarkan Sri Satmika membuat Bayu sibuk. Biarkan dia terganggu dan kehilangan fokus. Kita manfaatkan celah itu.”Sapphire masih tampak ragu. “Kau bilang kau bisa atur semuanya. Tapi sejauh ini, Bara justru makin dekat sama asistennya itu. Aku tahu dia bukan orang
---Malam Hari – Ruang Makan Utama Keluarga DanendraSuasana makan malam itu terasa mencekam, meski tak ada satupun suara keras terdengar. Yang ada hanyalah dentingan sendok dan garpu, sesekali batuk kecil, dan… sindiran-sindiran halus yang menusuk lebih tajam dari belati.Sri Satmika duduk dengan anggun di ujung meja, mengenakan kebaya hitam berbordir emas. Tatapannya tajam seperti biasa, kali ini mengarah ke perempuan muda yang duduk tak jauh darinya—Sapphire.“Kamu pakai lipstik warna itu lagi?” Sri Satmika membuka suara, nadanya tenang, tapi menyimpan serangan. “Ah, sepertinya itu warna yang dulu pernah dipakai ibumu saat datang melamar cucu saya, ya? Sayang, ditolak.”Sapphire menegang, namun berusaha tersenyum. “Warna ini cocok untuk acara formal, Nek.”“Kalau sekadar cocok, banyak hal juga terlihat cocok. Tapi tidak semuanya bisa diterima,” balas Sri Satmika tanpa menoleh.Bayu yang duduk tak jauh dari Bara nyaris tersedak sup-nya. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan senyum ke