Bara memandang ke arah "nenek Liyana" dengan mata yang sedikit terheran-heran. Dia tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. "Nenek Liyana" yang seharusnya berusia lanjut, sekarang berperilaku seperti seorang wanita muda yang sedang jatuh cinta.Bara mulai merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan "nenek Liyana" ini. Dia mulai merasa bahwa "nenek Liyana" ini mungkin bukanlah Liyana yang sebenarnya.Tiba-tiba, Bara teringat akan sesuatu. Dia teringat akan cara "nenek Liyana" memasak, yang mirip dengan cara Liyana memasak. Dia juga teringat akan cara "nenek Liyana" berbicara, yang mirip dengan cara Liyana berbicara. Kini ia bingung.Bara memandang ke arah "nenek Liyana" dengan mata yang penuh dengan keraguan. "Siapa kamu, sebenarnya?" tanya Bara dengan nada yang santai."Nenek Liyana" tersenyum dan memandang ke arah Bara dengan mata yang sangat tajam. "Aku adalah istrimu Liyana, tentu saja," kata "nenek Liyana" dengan nada yang lembut dan menggoda.Tapi, Bara tidak percaya
Liyana (Bayu) memandang ke arah Ryven dan tersenyum lembut. Dia merasa sedikit lega karena Ryven tidak meminta dia untuk membuat keputusan sekarang. Namun, dia juga merasa sedikit bingung karena Ryven tampaknya memiliki perasaan yang lebih dalam terhadapnya."Baiklah, Ryven," kata Liyana (Bayu) dengan nada yang lembut. "Aku akan memikirkan tentang hal itu."Ryven tersenyum dan memandang ke arah Liyana (Bayu) dengan mata yang sangat tulus dan serius. "Aku senang kamu mau memikirkannya, Bayu," kata Ryven dengan nada yang santai. "Aku akan menunggu jawabanmu."Liyana (Bayu) merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons perasaan Ryven, dan dia juga tidak ingin menyakiti perasaan Bara cintanya. Namun, dia juga tidak ingin membiarkan Ryven memiliki harapan yang salah tentang perasaannya."Aku harus pergi sekarang, Ryven," kata Liyana (Bayu) dengan nada yang lembut. "Aku memiliki beberapa hal yang harus aku lakukan.""Mau pulang sekarang?" tanya Ryv
Bara memandang ke arah Bayu dengan lebih teliti, mencoba untuk mengingat dari mana dia mengenal wajah itu. Namun, dia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Dia hanya tahu bahwa dia telah melihat wajah itu sebelumnya, tetapi dia tidak tahu kapan dan di mana."Bayu, kamu... kamu sebenarnya dari kota mana? Apa asli orang sini? Saya lupa," tanya Bara dengan nada yang sedikit penasaran.Bayu terkejut dengan pertanyaan Bara dan berusaha untuk tidak menunjukkan ketegangannya. "Aku dari ... dari kota lain, Pak Bara," jawab Bayu dengan nada yang santai.Bara memandang ke arah Bayu dengan ekspresi yang masih penasaran, tetapi dia tidak bertanya lagi. Dia hanya mengangguk dan kembali kepada pekerjaannya.Bayu merasa lega karena Bara tidak bertanya lebih lanjut tentang latar belakangnya. Dia tahu bahwa dia harus berhati-hati agar tidak mengungkapkan identitasnya yang sebenarnya.Saat Bayu kembali kepada pekerjaannya, dia tidak bisa tidak memikirkan tentang reaksi Bara tadi. Dia merasa bahwa Bara
Gustur menelan ludah. Tangannya mengepal di bawah meja, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ruangan itu terasa semakin sempit, seakan dindingnya bergerak mendekat."Laksmi, kamu tidak mengerti situasinya," katanya dengan suara rendah, hampir berbisik. "Semua ini... tidak semudah yang kamu kira."Laksmi menyipitkan mata. "Tidak semudah yang saya kira?" Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menusuk. "Saya sudah mempertaruhkan segalanya untuk Anda, Pak Gustur. Saya kehilangan pekerjaan, reputasi, teman, keluarga bahkan hampir kehilangan akal sehat karena ini!"Gustur mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku tidak bisa memberimu bagianmu sekarang," katanya akhirnya. "Keadaan berubah. Ada... ada seseorang yang mulai mencium bau busuk dari semua ini."Laksmi mengerutkan dahi. "Seseorang?"Gustur mengangguk pelan. "Dani. Dia mulai bertanya-tanya soal hilangnya Liyana."Laksmi terdiam sejenak. Nama itu membuat bulu kuduknya meremang. Dani bukan orang yang mudah ditipu."Jadi, apa ren
Saat Bayu beranjak ke tempat tidurnya, Bara tetap duduk di kursinya, memperhatikannya dengan ekor mata. Wajah Bayu terlihat pucat, keringat masih membasahi pelipisnya meski suhu ruangan cukup sejuk."Kamu yakin nggak mau minum obat dulu?" tanya Bara, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Bayu menggeleng pelan sambil merebahkan diri. "Aku sudah minum tadi. Aku cuma butuh istirahat, Pak."Bara menghela napas. Ia tahu Bayu tipe orang yang nggak mau merepotkan orang lain, tapi melihatnya seperti ini tetap saja membuatnya merasa sedikit khawatir. Ia berdiri, berjalan menuju lemari kecil di sudut kamar, lalu mengambil sebotol air mineral."Kalau butuh apa-apa, bangunkan aku," katanya sambil meletakkan botol itu di meja samping ranjang Bayu.Bayu tersenyum tipis, matanya mulai mengantuk. "Terima kasih, Pak Bara."Bara hanya mengangguk sebelum kembali ke tempatnya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas Bayu yang sedikit berat. Bara bersandar, menatap langit-langit.
Liyana (Bayu) berhasil menghindari kunjungan ke dokter untuk sementara, tetapi ia tahu Bara bukan tipe orang yang mudah dibodohi dua kali. Dengan tubuh yang masih lemas, ia harus mencari cara agar tidak menimbulkan kecurigaan lagi.Saat ia sedang merenung, pintu kamar terbuka. Bara masuk sambil membawa sekantong makanan dan dua gelas kopi. Aroma roti panggang dan telur menguar, membuat perut Liyana yang belum terisi sejak kemarin langsung berontak."Saya beli bubur buat kamu," ujar Bara sambil meletakkan kantong makanan di meja. "Makan dulu sebelum aku berubah pikiran dan tetap nyeret kamu ke dokter."Liyana (Bayu) memaksakan senyum. "Makasih, Pak Bara."Ia berusaha mengambil bungkus bubur itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Bara sempat melirik, tapi tidak berkomentar. Mungkin mengira Bayu (Liyana) masih lemah akibat demam.Namun, begitu Bayu (Liyana) membuka bungkus bubur dan meniup sendoknya, ada sesuatu yang membuatnya terkejut.Buburnya... TANPA kecap manis.Ia menoleh pada Ba
---Beberapa jam berlalu. Liyana tertidur cukup lama setelah Bara pergi, dan saat ia terbangun, tubuhnya terasa jauh lebih baik. Panasnya sudah benar-benar turun, dan kepalanya tidak lagi seberat tadi pagi.Ia duduk di tempat tidur, mengusap wajahnya, lalu melirik jam dinding. Sudah hampir pukul empat sore. Bara belum kembali.Rasa penasaran mulai menjalar di pikirannya.Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan pelan ke jendela. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bagian depan rumah tempat mereka tinggal sementara. Tidak ada mobil Bara di sana.Kemana dia pergi?Liyana menggigit bibirnya. Ia tahu seharusnya ia tidak terlalu peduli. Tetapi semakin lama ia berpikir, semakin ia merasa ingin tahu.Apa mungkin ini ada hubungannya dengan penyelidikan yang sedang ia lakukan?Atau…Pikiran lain muncul di kepalanya.Jangan-jangan… Bara diam-diam mulai curiga padanya?Tidak. Tidak mungkin. Kalau Bara curiga, ia pasti sudah menunjukkan tanda-tandanya sejak tadi.Liyana menggelengkan kepala, me
Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Bayu (Liyana) bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.Bara menarik tangannya pelan, ekspresinya sulit ditebak. Mata elangnya menelusuri wajah nenek itu, seolah mencari kepastian."Apa yang nenek maksud sebenarnya?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi mengandung ketegasan yang tak bisa diabaikan.Nenek itu justru tertawa kecil. "Ah, Mas… Apa harus kuingatkan lagi tentang malam itu?"Bayu (Liyana) mengepalkan tangannya di balik selimut. Ini buruk. Sangat buruk. Mana mungkin Bara melakukan itu dengan nenek lampir ini.Tidak mungkin! Dia tahu bahwa nenek itu hanya seorang pembohong.Dia harus cepat-cepat membongkar semuanya atau—jika perlu— segera menemukan bukti sebelum semuanya terlambat.Bara dengan cepat menarik tangannya, ekspresi jijik dan jengah bercampur jadi satu di wajahnya."Apa?!" katanya dengan nada setengah tertawa. "Mana mungkin aku melakukan semua itu? Nenek i
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in
--- Keesokan Paginya – Di Rumah Perkebunan Bayu baru saja turun dari kamar, matanya sayu karena tak tidur semalaman. Kepalanya penuh tanda tanya. Setelah kejadian semalam di bangunan kosong, ia merasa ada yang mengikutinya... tapi tak ada siapa pun saat ia menoleh. Namun yang membuatnya lebih bingung lagi adalah... Bara. Sejak pagi, pria itu berubah dingin. Tidak menyapa. Tidak menatap. Bahkan saat mereka duduk di meja makan, suasana seolah membeku. Bayu duduk perlahan, lalu memberanikan diri membuka percakapan. "Pak, tadi pagi saya sudah rapikan berkas-berkas yang Bapak minta kemarin..." Bara tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke luar jendela. Bayu menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, sesibuk apa pun, Bara akan setidaknya menanggapi... walau dengan nada tegas. "Pak?" panggil Bayu lagi, lebih pelan. Masih tak ada respons. Akhirnya Bara bangkit dari duduknya, mengambil jaket yang disamp
---Sore menjelang malam, ruang makan utama Vila DanendraBayu datang membawa nampan berisi teh dan kudapan. Ia sudah membulatkan tekad—malam ini, ia ingin bicara pada Bara. Setidaknya, ia akan minta waktu untuk menjelaskan... meskipun belum semuanya. Tapi sejak tadi, Bara tak tampak di kamarnya.Saat Bayu menuruni tangga dan berbelok ke ruang makan, ia melihat Bara duduk sendiri. Wajahnya dingin, tatapannya kosong menatap cangkir yang bahkan belum disentuh.Bayu melangkah mendekat, mencoba bersikap seperti biasa.“Pak, saya buatkan teh. Katanya Bapak belum makan sejak siang.”Bara hanya mengangguk singkat. Tak melihat ke arah Bayu. Tak menjawab dengan kata.Bayu mengerutkan dahi. Ia meletakkan nampan di meja dan duduk perlahan di seberang Bara.“Bapak... marah sama saya?”Diam. Suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya.“Kalau saya ada salah, tolong bilang. Jangan diam begini, Pak. Saya jadi bingung...” ucap Bayu, pelan namun jelas.Baru kali ini, Bara mengangkat kepala. Ta
---Di Ruang Pribadi Gustur DanendraLampu gantung bergoyang pelan di langit-langit. Di balik kaca jendela besar, kabut mulai turun menyelimuti malam. Gustur duduk di kursinya yang empuk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama sabar yang mengancam. Di depannya, Sapphire berdiri dengan angkuh, kedua tangan bersedekap."Jadi, apa rencanamu berikutnya?" tanya Sapphire tanpa basa-basi.Gustur menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Bara sedang goyah. Hatinya rapuh. Kita hanya perlu sedikit dorongan terakhir supaya dia benar-benar melupakan Liyana."Sapphire menyipitkan mata. "Kau yakin? Dia bahkan belum melirikku. Dan sekarang ada nenek-nenekan itu yang sok mendekat. Menyebalkan."Gustur terkekeh pelan. “Justru itu bagus. Biarkan Sri Satmika membuat Bayu sibuk. Biarkan dia terganggu dan kehilangan fokus. Kita manfaatkan celah itu.”Sapphire masih tampak ragu. “Kau bilang kau bisa atur semuanya. Tapi sejauh ini, Bara justru makin dekat sama asistennya itu. Aku tahu dia bukan orang
---Malam Hari – Ruang Makan Utama Keluarga DanendraSuasana makan malam itu terasa mencekam, meski tak ada satupun suara keras terdengar. Yang ada hanyalah dentingan sendok dan garpu, sesekali batuk kecil, dan… sindiran-sindiran halus yang menusuk lebih tajam dari belati.Sri Satmika duduk dengan anggun di ujung meja, mengenakan kebaya hitam berbordir emas. Tatapannya tajam seperti biasa, kali ini mengarah ke perempuan muda yang duduk tak jauh darinya—Sapphire.“Kamu pakai lipstik warna itu lagi?” Sri Satmika membuka suara, nadanya tenang, tapi menyimpan serangan. “Ah, sepertinya itu warna yang dulu pernah dipakai ibumu saat datang melamar cucu saya, ya? Sayang, ditolak.”Sapphire menegang, namun berusaha tersenyum. “Warna ini cocok untuk acara formal, Nek.”“Kalau sekadar cocok, banyak hal juga terlihat cocok. Tapi tidak semuanya bisa diterima,” balas Sri Satmika tanpa menoleh.Bayu yang duduk tak jauh dari Bara nyaris tersedak sup-nya. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan senyum ke
---Bayu berdiri di balik dinding lorong, diam-diam memperhatikan percakapan antara Sapphire dan Sri Satmika. Wajahnya kaku, namun matanya menyorot tajam. Sudah beberapa hari ini ia merasa ada yang tidak beres. Terlalu banyak hal yang saling bertabrakan, dan ia tak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus bergetar dalam dadanya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa mendengar nenek Sri Satmika mengejek Sapphire dengan nada tinggi namun seolah bersahabat.“Tumben kamu datang lagi, Nak Sapphire. Masih belum menyerah juga setelah lamaran keluargamu ditolak mentah-mentah oleh keluarga Danendra?” ucap Sri Satmika sembari tersenyum tipis.Sapphire yang biasanya tenang, tampak menahan emosi. Ia membalas dengan suara lembut tapi tak kalah tajam, “Saya tidak pernah menyerah, Nek. Orangtuaku datang dengan niat baik, hanya saja waktu itu Bara belum siap. Tapi semua bisa berubah.”“Heh. Waktu bisa berubah, tapi cinta? Tidak selalu,” balas Sri Satmika. “Kau pikir dengan sering datang dan membawa makana