Sapphire berjalan menuju Bara dengan langkah yang cepat dan marah. "Bara, aku tidak bisa percaya bahwa kamu melakukan ini kepada aku!" teriak Sapphire dengan nada yang marah.Bara memandang Sapphire dengan mata yang tenang. "Sapphire, aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin menikah dengan kamu. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan," kata Bara dengan nada yang santai.Sapphire memandang Bara dengan mata yang berapi. "Kamu tidak bisa melakukan ini kepada aku! Aku sudah memberikan segalanya untuk kamu, dan kamu tidak bisa membalasnya dengan cara yang sama?" teriak Sapphire dengan nada yang marah.Bara memandang Sapphire dengan mata yang lembut. "Sapphire, aku tidak bisa memaksakan diri untuk mencintai kamu. Aku hanya bisa mencintai orang yang aku cintai, dan itu bukan kamu," kata Bara dengan nada yang santai.Sapphire memandang Bara dengan mata yang terkejut dan marah. Dia tidak bisa percaya bahwa Bara bisa mengucapkan kata-kata yang begitu pedas
Setelah mereka berempat berbicara dan berbagi perasaan, mereka memutuskan untuk melanjutkan hari mereka dengan melakukan sesuatu yang menyenangkan. Bayu menyarankan mereka untuk pergi ke taman dan menikmati udara segar.Sapphire, yang sebelumnya terlihat sedih, sekarang tersenyum dan setuju dengan saran Bayu. "Ya, aku ingin pergi ke taman!" kata Sapphire dengan nada yang ceria.Bara dan Nenek Liyana juga setuju dan mereka berempat berangkat ke taman. Di taman, mereka berjalan-jalan, menikmati udara segar, dan berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan.Saat mereka berjalan, Bara tiba-tiba berhenti dan memandang Sapphire dengan mata yang serius. "Sapphire, aku ingin bertanya sesuatu kepada kamu," kata Bara dengan nada yang serius.Sapphire memandang Bara dengan mata yang penasaran. "Apa itu, Bara?" tanya Sapphire dengan nada yang santai.Bara mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Sapphire, apakah kamu mau menjadi teman baikku?" tanya Bara dengan nada yang serius.Sapphire me
Ketika Bayu dan Nenek Liyana sedang berbicara di ruang tengah, terlihat lelaki tampan itu baru pulang dan Bara langsung memasuki kamar, dia langsung menuju ke tempat tidur dan melemparkan dirinya ke atas kasur. Nenek Liyana mengikutinya dan masuk ke dalam kamar, namun Bara memohon untuk kali ini dia ingin tidur sendiri. Nenek Liyana menyetujui dan membiarkan Bara sendirian. Sekarang nenek Liyana mencoba agar menjadi sosok yang lemah lembut serta penurut dan tidak tantrum lagi agar Bara semakin percaya bahwa dia adalah Liyana istrinya. Ia pun membuatkan Bara sendirian untuk menenangkan diri.Namun, ketika Bayu masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaiannya, dia melihat Bara sedang tertidur dan mengigau. Bara menyebut nama Liyana dan rindu padanya. Bayu melihat itu merasa sedih dan khawatir. Dia mendekati Bara dan merasakan suhu tubuhnya. Ternyata Bara demam dan sedang sakit."Aku akan mengompresmu, Bara," kata Bayu pelan-pelan.Bayu mengambil handuk kecil dan merendamnya dalam air din
Bayu merasa bahagia dan sedih pada saat yang sama. Dia bahagia karena Bara akhirnya mengenali dirinya dan mengungkapkan perasaannya walaupun dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Tapi dia juga sedih karena dia tahu bahwa dia harus menyembunyikan identitasnya sebagai Liyana untuk melindungi Bara dari bahaya.Bara terus menatap Bayu dengan mata yang lembut dan penuh harapan. "Liyana, aku rindu kamu," kata Bara lagi dengan suara yang lembut.Bayu tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia merasa bahwa dia harus memberitahu Bara tentang identitasnya yang sebenarnya. Tapi dia juga tahu bahwa dia harus berhati-hati agar tidak membahayakan Bara."Aku... aku juga rindu kamu, Bara," kata Bayu dengan suara yang lembut dan tidak pasti.Bara menatap Bayu dengan mata yang lembut dan penuh harapan. "Liyana, apa yang terjadi dengan kamu?" tanya Bara dengan suara yang lembut.Bayu merasa sedih dan khawatir. Dia tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan Bara karena dia terlalu takut untuk sekarang. Dia
Bara memutuskan untuk tidak membangunkan Bayu, dan dia membiarkan Bayu terus tidur. Dia sendiri berusaha untuk mengingat kembali apa yang terjadi waktu semalam, dan dia berharap bahwa dia bisa mengingat sesuatu yang penting.Sementara itu, Bayu masih tertidur, tidak sadar bahwa Bara sudah terbangun dan memandangnya dengan lembut. Bayu masih memeluk Bara dengan lembut, dan dia masih memiliki senyum lembut di wajahnya.Bara memandang Bayu dengan lebih teliti, dan dia merasa bahwa dia merasa pernah bertemu Bayu sebelumnya dengan waktu yang cukup lama. Dia ingin mengingat, namun entah bagaimana ia bisa lupa. Tetapi dia ingin membuat Bayu merasa aman tanpa tersakiti. Bara tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu, tapi dia tahu bahwa dia merasa memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Bayu.Tanpa mempedulikan lagi, Bara memutuskan untuk bangun dari tempat tidur dan melakukan beberapa kegiatan untuk membuat dirinya menjadi lebih nyaman. Dia berjalan ke dapur untuk membuat sarapan, dan dia j
Bara memandang Bayu dengan kebingungan dan penasaran. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," kata Bara dengan suara yang sedikit ragu.Bayu memandang Bara dengan mata yang penuh ketenangan. "Aku akan selalu ada di sampingmu, Bara. Apa pun yang terjadi, aku akan membantumu," kata Bayu dengan suara yang lembut.Bara tersenyum dan memandang Bayu dengan mata yang penuh rasa harapan. "Terima kasih, Bayu. Aku sangat beruntung memiliki kamu sebagai asisten sekaligus teman," kata Bara dengan suara yang lembut.Tiba-tiba, telepon di meja kerja Bara berdering lagi. Bara mengangkat telepon dan menjawab. "Halo?""Aku sudah mengirimkan alamat dan waktu pertemuan ke kamu melalui SMS. Tolong jangan lupa untuk datang," suara di seberang telepon mengatakan sebelum menutup telepon.Bara memandang Bayu dengan kebingungan dan penasaran. "Aku harus pergi ke pertemuan itu," kata Bara dengan suara yang sedikit ragu.Bayu memandang Bara dengan rasa cemas. "Aku akan pergi bersamamu, Bara. Aku tidak ingi
Bayu mencoba untuk mengendalikan perasaannya dan memutuskan untuk bergabung dengan tamu-tamu lain yang sedang menari. Dia berharap bahwa dengan bergabung dengan kerumunan, dia bisa melupakan perasaan cemburunya.Namun, saat dia menari, matanya selalu kembali ke Bara dan Sapphire yang masih dansa bersama. Bayu bisa melihat bahwa Bara terlihat tidak nyaman, tapi Sapphire tampaknya sangat menikmati momen itu.Bayu merasa sedikit lega melihat bahwa Bara tidak terlalu menikmati dansa itu, tapi dia masih merasa cemburu karena Sapphire terlihat sangat dekat dengan Bara.Saat lagu dansa berakhir, Bara dan Sapphire berpisah dan Sapphire memandang Bayu dengan senyum yang seakan mengejek. "Hai, Bayu! Kamu tidak ingin dansa bersama aku?" tanya Sapphire dengan nada yang sedikit menggoda.Bayu merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan Sapphire, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Aku... aku tidak tahu, Sapphire. Aku tidak terlalu pandai menari," jawab Bayu dengan nada yang sedikit ragu.Sapphire
Baru hanya bisa pura-pura tersenyum. Padahal saat di bar tadi, Sapphire tiba-tiba berbicara dengan nada yang sedikit keras. "Kamu juga tahu, Bayu, aku sudah tahu siapa kamu sebenarnya," kata Sapphire dengan mata yang sedikit mencorong.Bayu memandang Sapphire dengan mata yang sedikit terkejut. "Apa yang kamu maksud, Sapphire?" tanya Bayu dengan nada yang santai, tapi sedikit ragu.Sapphire tersenyum dengan nada yang sedikit menakutkan. "Apa kamu lupa? Aku tahu kamu adalah Liyana, Bayu. Aku tahu kamu telah menyamar sebagai Bayu untuk mengawasi aku dan Bara," kata Sapphire dengan nada yang sedikit keras.Bayu memandang Sapphire dengan mata yang sedikit tajam. Dia tidak menyangka bahwa Sapphire yang sudah tahu akan tentang identitasnya yang sebenarnya. Menggunakan itu sebagai ancaman bagi dirinya.Sapphire melanjutkan, "Aku ingin memberitahu kamu, Liyana, bahwa aku tidak ingin kamu ikut campur dalam hidupku dan Bara. Jika kamu tidak mau aku ikut campur dalam hidupmu, maka kamu harus dia
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in
--- Keesokan Paginya – Di Rumah Perkebunan Bayu baru saja turun dari kamar, matanya sayu karena tak tidur semalaman. Kepalanya penuh tanda tanya. Setelah kejadian semalam di bangunan kosong, ia merasa ada yang mengikutinya... tapi tak ada siapa pun saat ia menoleh. Namun yang membuatnya lebih bingung lagi adalah... Bara. Sejak pagi, pria itu berubah dingin. Tidak menyapa. Tidak menatap. Bahkan saat mereka duduk di meja makan, suasana seolah membeku. Bayu duduk perlahan, lalu memberanikan diri membuka percakapan. "Pak, tadi pagi saya sudah rapikan berkas-berkas yang Bapak minta kemarin..." Bara tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke luar jendela. Bayu menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, sesibuk apa pun, Bara akan setidaknya menanggapi... walau dengan nada tegas. "Pak?" panggil Bayu lagi, lebih pelan. Masih tak ada respons. Akhirnya Bara bangkit dari duduknya, mengambil jaket yang disamp
---Sore menjelang malam, ruang makan utama Vila DanendraBayu datang membawa nampan berisi teh dan kudapan. Ia sudah membulatkan tekad—malam ini, ia ingin bicara pada Bara. Setidaknya, ia akan minta waktu untuk menjelaskan... meskipun belum semuanya. Tapi sejak tadi, Bara tak tampak di kamarnya.Saat Bayu menuruni tangga dan berbelok ke ruang makan, ia melihat Bara duduk sendiri. Wajahnya dingin, tatapannya kosong menatap cangkir yang bahkan belum disentuh.Bayu melangkah mendekat, mencoba bersikap seperti biasa.“Pak, saya buatkan teh. Katanya Bapak belum makan sejak siang.”Bara hanya mengangguk singkat. Tak melihat ke arah Bayu. Tak menjawab dengan kata.Bayu mengerutkan dahi. Ia meletakkan nampan di meja dan duduk perlahan di seberang Bara.“Bapak... marah sama saya?”Diam. Suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya.“Kalau saya ada salah, tolong bilang. Jangan diam begini, Pak. Saya jadi bingung...” ucap Bayu, pelan namun jelas.Baru kali ini, Bara mengangkat kepala. Ta
---Di Ruang Pribadi Gustur DanendraLampu gantung bergoyang pelan di langit-langit. Di balik kaca jendela besar, kabut mulai turun menyelimuti malam. Gustur duduk di kursinya yang empuk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama sabar yang mengancam. Di depannya, Sapphire berdiri dengan angkuh, kedua tangan bersedekap."Jadi, apa rencanamu berikutnya?" tanya Sapphire tanpa basa-basi.Gustur menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Bara sedang goyah. Hatinya rapuh. Kita hanya perlu sedikit dorongan terakhir supaya dia benar-benar melupakan Liyana."Sapphire menyipitkan mata. "Kau yakin? Dia bahkan belum melirikku. Dan sekarang ada nenek-nenekan itu yang sok mendekat. Menyebalkan."Gustur terkekeh pelan. “Justru itu bagus. Biarkan Sri Satmika membuat Bayu sibuk. Biarkan dia terganggu dan kehilangan fokus. Kita manfaatkan celah itu.”Sapphire masih tampak ragu. “Kau bilang kau bisa atur semuanya. Tapi sejauh ini, Bara justru makin dekat sama asistennya itu. Aku tahu dia bukan orang
---Malam Hari – Ruang Makan Utama Keluarga DanendraSuasana makan malam itu terasa mencekam, meski tak ada satupun suara keras terdengar. Yang ada hanyalah dentingan sendok dan garpu, sesekali batuk kecil, dan… sindiran-sindiran halus yang menusuk lebih tajam dari belati.Sri Satmika duduk dengan anggun di ujung meja, mengenakan kebaya hitam berbordir emas. Tatapannya tajam seperti biasa, kali ini mengarah ke perempuan muda yang duduk tak jauh darinya—Sapphire.“Kamu pakai lipstik warna itu lagi?” Sri Satmika membuka suara, nadanya tenang, tapi menyimpan serangan. “Ah, sepertinya itu warna yang dulu pernah dipakai ibumu saat datang melamar cucu saya, ya? Sayang, ditolak.”Sapphire menegang, namun berusaha tersenyum. “Warna ini cocok untuk acara formal, Nek.”“Kalau sekadar cocok, banyak hal juga terlihat cocok. Tapi tidak semuanya bisa diterima,” balas Sri Satmika tanpa menoleh.Bayu yang duduk tak jauh dari Bara nyaris tersedak sup-nya. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan senyum ke
---Bayu berdiri di balik dinding lorong, diam-diam memperhatikan percakapan antara Sapphire dan Sri Satmika. Wajahnya kaku, namun matanya menyorot tajam. Sudah beberapa hari ini ia merasa ada yang tidak beres. Terlalu banyak hal yang saling bertabrakan, dan ia tak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus bergetar dalam dadanya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa mendengar nenek Sri Satmika mengejek Sapphire dengan nada tinggi namun seolah bersahabat.“Tumben kamu datang lagi, Nak Sapphire. Masih belum menyerah juga setelah lamaran keluargamu ditolak mentah-mentah oleh keluarga Danendra?” ucap Sri Satmika sembari tersenyum tipis.Sapphire yang biasanya tenang, tampak menahan emosi. Ia membalas dengan suara lembut tapi tak kalah tajam, “Saya tidak pernah menyerah, Nek. Orangtuaku datang dengan niat baik, hanya saja waktu itu Bara belum siap. Tapi semua bisa berubah.”“Heh. Waktu bisa berubah, tapi cinta? Tidak selalu,” balas Sri Satmika. “Kau pikir dengan sering datang dan membawa makana
---Siang yang Tenang Tapi TegangMatahari siang menyinari halaman rumah perkebunan dengan damai, tapi suasana di dalam rumah jauh dari ketenangan.Di ruang tengah, Sri Satmika sedang duduk di kursi rotan sambil merajut, pandangannya sesekali menatap tangga menuju lantai atas. Bayu, yang baru saja membersihkan taman belakang, masuk membawa nampan teh. Ia hendak meletakkannya di meja saat suara langkah heels terdengar menuruni tangga.Sapphire muncul, anggun seperti biasa, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Senyum kecil terpahat di wajahnya saat ia melihat Bayu dan Nenek Sri Satmika.“Wah, wangi tehnya sampai ke atas. Terima kasih, Bayu,” ucap Sapphire sambil mengambil cangkir.Bayu mengangguk sopan. “Sama-sama, Nona.”Namun, dari sudut mata, ia menangkap perubahan halus pada raut wajah Sri Satmika. Rajutannya terhenti. Tatapannya dingin, menusuk ke arah Sapphire seperti ingin menyingkirkan bayangan itu dari rumah ini.Sapphire tampaknya tak menyadari atau pura-pura tidak me