Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.
Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil membungkuk, sampai matanya melihat sepasang sepatu di hadapannya, arah kakinya menghadap padanya. Saat wajahnya menengadah, mata itu lagi yang dilihat.
Buku yang Dewa sembunyikan di belakang punggungnya menarik perhatian Qiana. "Itu buku yang gue cari, pinjam!" Qiana mengambil paksa tapi Dewa tidak mau kalah ia meninggikan buku itu, jadilah Qiana harus berjinjit-jinjit kecil untuk menggapainya.
Tinggi Qiana saja hanya sedadanya.
Buku informasi itu harus didapatkan, jadilah dengan sekuat tenaga Qiana menginjak sepatu Dewa. Ia memang tidak meringis tapi itu cukup membuat hilang pertahanan. Buku Qiana dapatkan.
Ia duduk di lorong langsung membuka bukunya. Dewa ikut duduk di lantai, dihadapan Qiana kaki panjangnya tertekuk satu.
Hening.
Qiana terus mencari halaman demi halaman dengan serius kepalanya terus menunduk. Deretan nama ia cari satu-persatu dari kelas sepuluh. Kalau begini caranya kapan ia bisa menemukan Ayudia. Qiana ingin protes saat Dewa kembali mengambil bukunya, tapi melihat Dewa membuka halaman buku, akhirnya Qiana hanya diam. Beberapa saat Dewa kembali mengembalikan buku dengan halaman yang sudah terbuka.
Di situ ada siswi berseragam SMP
Nama: Ayudia
Alamat: xxxxx
Dan tulisan lainnya tentang pesan dan kesan selama masa orientasi. Ini adalah catatan pertama kali Ayudia masuk Sekolah menengah atas. Qiana menulis sesuatu di telapak tangannya.
"Orang tuanya sudah pindah!" seakan tahu Qiana sedang mencatat alamat rumah Ayudia, Dewa bersuara menghentikan tulisan Qiana. Mereka saling melihat.
"Pindah kemana?"
"Surabaya."
Qiana tidak bisa berkata, hanya ada kecewa dari matanya, mana bisa anak SMA seperti ia terbang ke Surabaya. Ia menutup bukunya.
"Kenapa deketin Fee?" begitu saja pertanyaan itu terlontar, sesekali Qiana memang harus memukul mulutnya yang kadang terlalu blak-blakan.
"Penasaran." Dewa mengeluarkan pemantik api dari saku seragamnya memutar-mutar di tangan. "Ini dikasih Fee. Korek api yang sama, yang Ayu ingin gue punya. Gantian?"
"Mm.. gantian apa?" harusnya Dewa tidak perlu melihat matanya sekarang itu berefek tidak baik bagi jantung seorang jomblo.
"Sejak kapan bisa liat hantu?" tanyanya.
"Oohh.... Itu, mulai sadar dari kelas tujuh sering denger suara aneh, tapi orang lain nggak denger, lebih sering sekarang. lo percaya gue bisa liat hantu?" Keduanya hanya saling melihat dalam hening yang teduh.
Pelita :
"Kemana aja? Istirahat ngilang, gue makan sendirian."
"Abis perang."
Pelita tertawa remeh. "Perang sama apa?"
"Sama hati." Qiana menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Ia harus menata hati setelah sedekat itu dengan Dewa apa lagi setelah melihat senyum kecil cowok itu, Tiba-tiba saja pipi Qiana memanas. Bagaimana bisa nanti pulang Sekolah bersamanya. Katanya ada yang mau ditunjukan Dewa.
"Fee," sapa Pelita.
Qiana menegakan kepalanya begitu Pelita memanggil Federica tatapan mereka saling beradu, Federica lebih dulu mengalihkan wajah.
"Fee caranya gak gini. Kita bisa ngomong baik-baik! nggak diem-dieman gini!"
"Lo bisa ngomong gitu karena gak ngerasain apa yang gue rasa, gue kaya orang sakit jiwa tau gak. Gue gak mau mati!"
"Jangan ngomong gitu dong Fee." Pelita memeluk Federica dari samping pundaknya.
"Kenapa juga harus ngomong mati."
"Gue lagi nyari tau, kenapa roh itu ganggu kita. Semoga sebelum lo pindah masalahnya selesai."
Persahabatan bukan diukur dari seberapa lamanya bersama, tapi. Bisa tidaknya saling menghargai. Mereka bertiga hanya saling terdiam dalam pikirannya masing-masing.
Qiana;
Studio foto. Qiana baru saja keluar dari mobil Dewa. Untuk apa ia dibawa ke sini? Pertanyaan itu yang ada di kapalnya, tapi. Ia tetap mengikuti langkah kaki Dewa masuk. Baru saja pintu dibuka satu orang sudah menyambutnya.
"Hari ini cuma delapan sesi, gue balik duluan."
"Oke, thanks." Dewa membawa beberapa lembar kertas yang tadi ia terima. Qiana masih terus menyimak apa yang dilakukan Dewa tanpa bertanya dan terus mengikuti arah langkahnya menaiki anak tangga. Di tangga ia masih mendapat beberapa sapaan dan senyuman dari wanita dewasa.
"Tunggu sebentar nggak lama!" barulah Dewa bersuara. Ruangan ini luas bernuansa putih hitam dengan lampu-lampu menyala terang, mengarah pada satu spot.
"Duduk di situ!" Dewa menunjuk sofa hitam panjang yang tidak jauh dari ia. Dewa kembali melanjutkan kegiatannya membuka tas ransel yang ia bawa.
Qiana terus melihat bagaimana Dewa piawai membongkar kamera dan lensa-lensanya, mencoba mengambil gambar lalu kembali membongkarnya saat dirasa kurang pas.
Saat tadi baru datang Qiana sudah ingin bertanya untuk apa ia dibawa ke sini? Sekarang. Melihat apa yang Dewa bawa dan apa yang ia lakukan mengarahkan kamera. Qiana tau Dewa adalah fotografer.
Fotografer anak SMA. Qiana cukup takjub.
Dulu saat pertama kali Dewa datang dengan seragam SMA serta kamera yang tergantung di lehernya para model tertawa kecil meremehkan Dewa. Tidak percaya dengan kemampuannya membidik. Sekarang melihat seragam SMA dan kepiawaian Dewa dalam membidik model patut diseganti.
Sedangkan untuk kaum hawa melihat Dewa dalam visual SMA membidik kamera sesekali memutar lensanya jadi ruang imajinasi tersendiri. Tidak sedikit model yang mengganggunya lantas meminta nomor telepon, tapi yah. Selalu diabaikan. Untuk Dewa mengarahkan lensa pada sasarannya adalah dunia kebebasannya sendiri.
Sesaat. Dewa kembali mengangkat kameranya kembali memotret. Kearahnya.
Qiana menepikan pikiran konyolnya itu. Tidak mungkin.
Model berikutnya sudah masuk kembali, satu orang mengarahkan gerakan model. Ia laki-laki tapi memiliki jari-jari yang lentik menurut Qiana. Jef, tadi Dewa memanggilnya. Ia tinggi besar Kulitnya gelap dengan kutek merah di jari-jarinya. Qiana tersenyum saat lensa Dewa membidik.
"Bep yang ini modelnya!" katanya pada Dewa sambil tangannya sedikit menarik dagu model. Dewa menggendikan bahu kameranya kembali ia putar lalu membidik sang model yang kembali Post.
"Diakah penggantinya?" tanya Jef laki-laki yang lentik menurut Qiana itu.
"Mungkin." Dewa kembali membidik model saat Jef bertanya.
"Untuk minggu ini selesai, lo bisa libur, royalti udah gue kirim," ujarnya lagi, menyelesaikan sesi pemotretan.
Dewa sudah selesai dengan pemotretan, sekarang ia kembali membereskan kameranya. Satu demi satu lensa kamera ia bongkar kembali.
"Lo kerja disini?" Qiana mendekat melihat Dewa yang masih membersihkan kameranya dengan tisu.
"Sampingan."
"Ohh... ngomong-ngomong apa yang mau lo tunjukin?" tanya Qiana lagi.
Dewa menarik laci mejanya. Memberikan sebuah album pada Qiana, tanpa menunggu Qiana langsung membukanya. Album Ayudia.
"Toilet dimana ya?" tanya Qiana. Dewa menjawab dengan geseran kepala ke arah kanannya.
Qiana membuka pintu toilet mencari saklar lampu saat bersamaan tangan lain ikut menghidupkannya juga. Teriakan kaget Qiana sudah cukup menghentikan gerakan Dewa dengan kameranya.
"Kenap?" tidak ada jawaban.
"Qiana." Satu detik saja tidak ada jawaban tangan Dewa sudah mau membuka pintu.
"Nggak papa Wa." jawab Qiana akhirnya menghentikan gerakan Dewa.
"Saklar di kiri," kata Dewa yang masih diambang pintu.
"Iya udah ko," Tidak ingin berlama-lama di sini. Qiana keluar dan untuk yang kedua kalinya ia kaget saat melihat Dewa. Berdiri di depan pintu seakan menunggunya keluar.
"Kayaknya gue harus ke dokter jantung!"
Dewa berjalan mendekati Qiana, berhenti di hadapan, menutup pintu toilet dari depan. Bahu mereka hampir bersentuhan. Untuk Qiana dibanding tadi melihat penampakan gerakan Dewa kali ini lebih membuatnya tegang, bagaimana tidak sangking dekatnya mereka. Qiana bisa mencium bau parfum Dewa.
"Kenapa tadi?" tanyanya. Qiana masih diam.
"Mm... Ada kecoa." Untuk mengalihkan perhatian Dewa darinya Qiana mencari pelarian. "Kamera masih berantakan!" Dewa melihat kameranya barulah ia meninggalkan. Qiana harus benar-benar ke Dokter jantung sepertinya ada yang tidak beres dengan jantungnya.
Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana."Apa?" tanya Dewa kemudian."Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan."Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?""Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Empat orang siswa putih abu-abu berkumpul di kelas yang sudah lama tidak digunakan. Meja, kursi yang terbuat dari kayu sudah rusak berbaris di pojokan ditata tidak rapi. Bau ruangan lembab bercampur debu ada genangan air di lantai dari atap yang bocor, menimbulkan bau amis. Di luar siang hari tapi di sini cahaya seolah enggan masuk."Lo, yakin main disini?" tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan memutari ruangan. "Ko gue worried ya?""Gak mungkin juga kita main di kelas?" tutur Qiana. Menarik meja usang yang penuh dengan coretan tidak jelas, bahkan pinggiran mejanya sudah patah juga terdapat jejak rayap."Gimana Cara mainnya Qin?" tanya Vanessa, melihat Qiana meletakan satu lembar kertas juga uang logam di atasnya."Ikutin gue! Tapi, jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti?"Semua mengangguk, mengerti.Qiana, Pelita, Vanessa, Federica. Meletakan masing-masing telunjuk mereka di atas koin lama seratus rupiah ter
Qiana adalah anak yang ceria, cantik, dan mudah bergaul kesehariannya sama seperti anak lain, hanya saja. Ia memiliki garis keturunan yang dapat merasakan pergerakan supranatural. Ia pun percaya bahwa ada makhluk dari dimensi lain. Kita cukup menghargai keberadaan mereka itu saja. Qiana anak sulung dari dua bersaudara, ayah dan ibunya adalah guru sedangkan adiknya Sila masih di kelas tujuh. Hidupnya berubah setelah permainan memanggil roh di sekolah, tidurnya tak lagi nyenyak mimpi terus diganggu oleh anak sekolah berseragam putih abu-abu rambut sebahu tertunduk murung. Dari samping pinggangnya ada dau tangan berkuku hitam dan panjang merayap lalu anak itu mengangkat wajah, membuka mulut lebar dengan mata yang berwarna hitam pekat.Qian terbangun dari tidur dengan bunyi alarm yang mengagetkan, napasnya berat keringat mengucur dari semua sisi dahi."Mimpi lagi!" Hampir setiap hari mimpi yang sama terus muncul dan ia pasti akan terbangun saat alarmnya berbunyi. Seakan itu
Bell pulang sekolah baru saja berbunyi semua siswa berhambur keluar dari pintu kelas, begitu juga Qiana dan yang lainnya mereka sedang tertawa kadang menoyor kepala lantas saling berpamitan. Dari kelasnya ke parkiran melewati barisan kelas dua belas dan toilet barulah ruang Laboratorium. Dari ujung ruang Lap sudah terlihat parkiran, di sana ada seseorang bersandar di kap mobilnya, yang Qian tau itu Dewa cowok pelit suara yang tadi ia tabrak di depan toilet.Sepertinya Qiana salah lihat. Dewa seakan sedang melihatnya sekarang, masih dengan mata datarnya. Tentu saja Fee yang dilihat. Qiana menepis pemikiran sendiri ia terus melangkah melewati Dewa yang sudah disapa Federica dengan semangat, setelah itu sudah tidak ada lagi suara yang ia dengar."Qin, ngelamun loh? Jadi ke kosan gak?" Pelita bertanya."Iya jadi, Vanessa mana?" Ia mencari Vanessa yang sudah tidak ada."Mm.. Tuh kan kebanyakan mikir, tadi dia pamit udah dijemput ama nyokapnya.""
Adzan magrib baru saja selesai berkumandang ketika Qiana sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya masih melayang, hari ini banyak yang aneh. Kompor tadi, ia yakin kompor itu belum mati, juga saat di toilet sekolah. Qian masih masuk dalam pikiran saat sosok Pelita lewat di belakang ia bisa melihat dari ekor matanya. Pelita lewat tapi aneh? Kenapa hanya diam saja Qiana makin menegaskan pandangan melihat Pelita dari belakang punggungnya, 'apa dia marah? Tidak ditemani kedepan tadi' katanya dalam hati melihat Pelita menghilang ke arah dapur.Tidak berapa lama setelah Pelita menghilang ke arah dapur, dari arah pintu. Pelita mengucapkan salam, ia baru saja datang."Ta, lo dari mana?" Tanya Qiana terbelalak seraya menggeser duduknya agar lebih tegas melihat. Heran, kalau Pelita baru saja datang lalu yang tadi siapa? "Ta. Barusan lo lewat, di belakang gue, pake baju yang sama." Qiana bertanya lagi untuk memastikan.Sedangkan Pelita masih tidak percaya apa
Pagi ini Qiana merasa tidak enak pada Federica, semalam ia rasanya seakan selingkuh dengan cowoknya. Ahh... Tapi tidak, semalam ngobrol saja tidak, saat tehnya habis Qiana langsung masuk dan tertidur pulas sampai pagi. Sekalipun pagi ini rasa ada yang tidak enak. "Gue balik dulu sekarang! Pulang sekolah nanti sini lagi, Lo istirahat ya!" Vanessa mengangguk, tadi ia sempat bertanya kenapa ia ada di rumah sakit. Qiana hanya bilang pingsan, karena sakit dan perban di tangannya karena tergores. Bukan bermaksud berbohong tapi biarlah nanti setelah ia benar-benar pulih baru Qiana akan jujur."Gue juga balik ya, nyokap lo bentar lagi dateng." Pamit Federica. Vanessa kembali mengangguk sekalipun ada getir dimatanya.Qiana dan Federica keluar dari kamar Vanessa. Keduanya berjalan di lorong rumah sakit yang mulai aktif melayani. Dewa berjalan santai di belakang Qiana tangannya terselip dalam saku seragam yang belum berganti dari kemarin, wajahnya basah sehabis dicuci tadi.
Bunyi gorden jendela ditarik membuat cahaya matahari masuk kesela kamar rawat Vanessa. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu, Mama cape Vanessa!""Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa! Sayang." Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir.***"Papa dateng sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana."Apa?" tanya Dewa kemudian."Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan."Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?""Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil
Hal yang tidak pernah Qiana bayangkan apa lagi ingin ia lakukan, berdiri di sini. Pagi-pagi saat jam Sekolah sedang sibuk, kakinya ingin sekali mundur, tapi ia harus menghentikan semua ini. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah semakin dekat pada pintu kelas Dewa."Eh…. Ada adik kelas, cari siapa?" Benar saja pilihannya untuk datang ke kelas Dewa adalah salah, baru saja wajahnya terlihat di depan pintu sudah ada yang menggodanya."Jangan bilang mau cari Dewa?" seketika kelas kembali berisik dengan suara sorakan. Ia yang duduk di paling pojok cuma melihat Qiana, yang mulai mati kutu di hadapan teman-temannya. Akhirnya ia berdiri menjadi tontonan satu kelas, seorang Dewa yang biasanya paling anti bila ada yang mencari kini dengan suka rela ia mendekat."Ikut!"Andai saja suara itu tidak segera Qiana dengar mungkin ia akan memilih balik arah, melupakan semua niatnya pagi tadi. Dewa membawanya ke arah belakang Sekolah."Kenapa?" tanpa basa-bas
Suara ketukan pintu menyita pandangan semua siswa, mereka melihat arah yang sama, pintu yang tadi diketuk. Sedangkan di depan papan tulis guru sedang menulis."Siang pak maaf mengganggu jam pelajaran." Izin seorang guru perempuan yang masih terlihat muda."Tidak apa-apa bu, silahkan ada perlu apa?"Guru perempuan berseragam batik tadi maju beberapa langkah. "Yang namanya Pelita?" panggilnya."Saya Bu, Hadir." Pelita mengangkat tangannya."Ikut Ibu ke Kantor!"Pelita melihat Qiana dan yang lainnya, ia tidak merasa punya salah sampai harus dipanggil ke kantor. Pelita bangun mengikuti arah langkah gurunya, sedangkan siswa yang lain kembali belajar.Menyusuri lorong sepi sampai pada ujung. Keluar dari area sekolah masuk ke area kantor. Mereka terus berjalan. Masuk ruang kepala sekolah."Pelita ya?" Pelita mengangguk."Duduk!" Di depannya ada dua orang Polisi, dua guru dan Pak Kepala Sekolah."Pelit
Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan."Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!""Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu.""Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas k
Qiana:Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tida
Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya."Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu."Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!""Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!""Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata."Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa.""Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi.""Dia temanku.""Nesa mau ke toilet."Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yan
Bunyi gorden jendela ditarik membuat cahaya matahari masuk kesela kamar rawat Vanessa. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu, Mama cape Vanessa!""Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa! Sayang." Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir.***"Papa dateng sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat