Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya.
"Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu.
"Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!"
"Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!"
"Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata.
"Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa."
"Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi."
"Dia temanku."
"Nesa mau ke toilet."
Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yang ada di hadapannya sosok itu tertawa puas melihat Vanessa hancur. Vanessa berteriak melempar cermin sampai hancur, ia mengedarkan pandangan mengelilingi kamar mandi dengan emosi yang meluap-luap tidak terkendali. "Keluar lo, jangan ketawa, gue gak takut, keluar!" Vanessa kembali berteriak lantas tertawa, akhirnya menangis. Pecahan kaca berserakan di lantai.
"VANESA!" Mamanya berteriak melihat Vanessa hampir mengiris nadinya sendiri. Vanessa berontak saat Papanya coba menarik tubuhnya keluar dari kamar mandi. Vanessa tertawa mengerikan lantas teriak. Suara gaduh dari kamar Vanesa menarik perhatian beberapa orang. Suster masuk membantu menahan Vanesa yang terus berontak, ia ingin lari.
"Kita ikat saja dulu di ranjang, nanti saya coba panggil bantuan." kata suster yang mulai kewalahan tenaga Vanessa seakan berlipat, ia masih kesetanan terus berteriak ingin lari keluar.
"Nesa kamu kenapa? Nesa berenti nak!" Vanessa terkikik tertawa menertawakan Mamanya.
"Buang merah, jangan ganggu aku!" Vanessa kembali terkikik meja dan kursi yang ada di belakangnya bergerak, lampu hidup, mati sendiri. Sekalipun kaki dan tangannya diikat di atas ranjang ia terus bergerak. Dibantu seorang perawat laki-laki yang memberi Vanessa air putih dalam gelas. Lalu air itu ia basuhkan pada wajah Vanessa. Mamanya menyipit melihat itu. 'masih ada jaman sekarang pengobatan air putih' cibirnya dalam hati.
Vanessa tenang. Sekalipun ia masih bingung pandangannya masih berkeliling ruangan. "Mama kenapa Nesa diikat?"
"Gak papa sayang, kamu istirahat yah!" tutur sang mama lembut sambil membelai rambutnya.
"Kita kan mau pulang Ma?"
"Kata dokter kamu harus dirawat lagi, belum pulih. Jadi, Nesa di sini dulu, Mama sama Papa nanti kesini tiap hari."
Vanessa mengangguk.
"Yaudah sekarang Nesa istirahat ya!" Angguk Vanessa lagi masih dengan tatapan kosong serta ikatan tangan dan kakinya.
Federica:
"Vanesa." Federica terus memanggil Vanessa yang terus berjalan menjauh. Sebuah rumah bergaya Eropa kuno. Federica ada di dalamnya, temboknya sudah berwarna kusam ada beberapa yang sudah terkelupas menyisakan bata berwarna merah. Gelap, hanya remang-remang cahaya dari luar. Aroma lembab amis bercampur wangi.
"Vanessa lo dimana? Ini rumah siapa?" Federica terus melihat punggung Vanessa yang akhirnya menghilang dibalik lekukan tembok.
"Nesa." Panggilnya lebih keras, sampai pada belokan tadi seseorang berdiri di sudut gelap, rambutnya sebahu masih memakai seragam.
"Nesa? Nes." Federica memanggil sosok asing yang ada di sudut.
Sosok asing itu dengan cepat mendekat lantas menegakan kepalanya, mata bulat berwarna hitam pekat dengan kulit pipi putih bias abu-abu.
"Pergi!" katanya di hadapan wajah Federica. Federica berteriak, berlari balik arah tapi tidak kunjung menemukan pintu. Raganya di atas ranjang masih tertahan sosok gelap yang melayang di atas tubuhnya, Federica sulit untuk bernafas, sosok gelap itu melayang semakin mendekat. Federica membuka matanya lebar-lebar bersamaan dengan itu pintu tertutup dengan begitu kerasnya. Disela napasnya yang masih memburu. "Siapa itu? Bii?" Federica turun dari ranjangnya membuka pintu kamarnya.
Hening.
Teng!
Suara lonceng jam dinding tengah malam berbunyi sekaligus kembali mengagetkan. Ia melihat ke lantai bawah rumah ini masih sepi, lalu siapa tadi yang membanting pintu? Bunyi lonceng kembali menggema dua kali. Federica kembali ke kamarnya, lampu kamarnya hidup, ia tidak merasa menyalakan lampu tadi? Federica duduk di tepian tempat tidur masih melamun, saat asisten rumah tangganya tiba-tiba berdiri di depan pintu.
"Bibi! Bikin kaget aja," ucapnya kesal.
"Maaf Non, bibi mau minum liat kamar non pintunya ke buka makanya bibi ke sini?"
"Mau bibi ambilin minum Non?" Tanpa menunggu jawaban Federica wanita yang sudah tidak lagi muda itu berlalu dan kembali dengan segelas air ditangannya.
Saat ia hendak pergi Federica menahan tangannya.
"Bibi tidur sini aja! di sofa gak papa?"
"Gak papa Non, bibi ambil bantal dulu."
"Pintu sudah dikunci semua bii?"
"Udah Non."
"Ya udah bibi cepet ya ambil bantalnya!"
Wajah Federica masih pucat, saat asisten rumah tangganya keluar ia sendiri heran Nonanya seperti orang bingung?
Vanesa:
Kamar rawat yang harusnya sepi dipakai untuk istirahat, di sini kedua orang tua Vanessa malah berdebat yang tiada habis. Vanessa memang sedang tidak ada di kamarnya jadi lah orang tuanya puas menilai diri sendiri yang paling benar.
"Kamu masih belum berubah, gak mau ngerti aku?"
"Sebatas apa aku harus ngerti? harus ngerti tiap kali kamu selingkuh? Sampai kapan Mas, kamu ga pernah berubah ko."
"Selingkuh lagi, selingkuh lagi. Itu terus yang jadi masalah aku nggak selingkuh."
"Terus apa? temen deket, mantan pacar, temen kantor dan sebagainya. Sayang aku memang gak pernah dapet bukti, biar kamu gak bisa bohong lagi. Kamu mau aku terus di rumah? alasan kamu biar bebas di luar sana. Aku sibuk kerja Mas bukan selingkuh."
Perdebatan kedua orang tua Vanessa masih saja terjadi ini masih di rumah sakit. Yang seharusnya mereka saling mendukung untuk kesembuhan anaknya, keduanya malah berdebat ego masing-masing. Tanpa mereka sadari putri semata wayangnya mendengarkan dari balik pintu kamar.
"Aku nyuru kamu di rumah buat anak kita, kasian dia!"
"Aku udah ngajuin perceraian kita, Vanessa ikut aku ke Singapura titik."
"Apa? Cerai? Vanessa sakit dan kamu masih ribut cerai sama Singapura?"
Mama Vanessa tajam melihat suaminya, komentar barusan melukai harga dirinya apa cuma hal sebatas nafsu yang jadi pikiran.
"Aku yang rawat Vanessa, di sana banyak psikiater yang bagus."
Papa Vanessa sudah kehilangan kata ia memijat pelipisnya, perdebatan yang tidak akan pernah selesai.
Dari balik pintu Vanessa menangis membekap mulutnya sendiri agar suaranya tidak terdengar. Ia berlari menjauh dari kamarnya, kenyataan yang sulit dicerna.
Ia tidak gila!
Ada hal yang tidak bisa dihindari. Kenapa tidak belajar menerima?
Menerima? Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa Vanessa menerimanya. Ia hanya bocah kemarin sore yang dipaksa paham, dunia yang seperti monster raksasa yang siap menelannya hidup-hidup. Ketika semua terasa berat puing kenangan yang makin lama makin rusak. Untuk apa ada pernikahan yang katanya diikat dengan suci tapi saling menyakiti, ia membawa retakan demi retakan hingga Vanessa tidak bisa lagi bersuara. Ia memilih menjadi gelap.
Vanessa berdiri di pinggiran pembatas lantai atas. Air matanya mengalir semua seakan gelap tidak ada satupun titik cahaya untuk melihat dunia. Gadis itu di ujung kegelapan, dan ia memilihnya melepaskan beban yang tidak bisa ditanggung. Tubuhnya melayang dari atas lantai enam rumah sakit melewati kamar yang memberi nyawa sekaligus gelap.
Disela napasnya air matanya menetes.
Tubuhnya terhempas keras ke aspal jalanan. Lalu, kepalanya yang hampir hancur mengalirkan darah mengisi sela hitamnya aspal.
Teriakan demi teriakan saling bersahutan seketika jasad Vanessa dikelilingi orang yang ingin melihat dari dekat. Para petugas medis mencoba membubarkan orang yang semakin banyak berkerumun. Naas, tidak sedikit yang malah merekam kejadian itu, sosial media langsung dipenuhi berita tentang, "Bunuh Diri."
"Ada yang bunuh diri loncat dari atap." Obrolan orang terus saja terdengar oleh Mamah Vanesa ada yang bunuh diri, tapi ia tidak menghiraukan terus berjalan menuju kasir menyelesaikan administrasi kepulangan anaknya. Dari ujung lorong para perawat berlari dengan ranjang yang ditiduri seseorang tertutup kain putih, tangannya sedikit terlihat dari balik kain putih. Rasa sesak dan hampa begitu saja terasa, seakan ada sebuah belati menghujam tepat di jantung.
"Bu itu Vanessa, dia loncat dari lantai atas." Entah siapa yang mengatakan kalimat itu ia sudah kehilangan rasa ia terus melihat tangan putih itu keluar dari tempatnya makin menjauh darinya.
"Vanessa gak mungkin." Penyesalan tidak akan pernah datang dari awal, seperti apapun mama Vanessa menyesal dan ingin memperbaiki semuanya, Vanesa sudah pergi melepaskan semua beban yang ada di pundak gadis remaja yang belum tau apa itu, kehidupan.
Mamanya terus meraung memeluk jasad Vanessa di atas pembaringannya yang terakhir. "Nesa maafin mama sayang, bangun! Nesa mama sayang Vanesa." Bagaimanapun jeritan pilu memenuhi ruang jenazah, raganya sudah kaku.
Qiana:Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tida
Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan."Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!""Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu.""Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas k
Suara ketukan pintu menyita pandangan semua siswa, mereka melihat arah yang sama, pintu yang tadi diketuk. Sedangkan di depan papan tulis guru sedang menulis."Siang pak maaf mengganggu jam pelajaran." Izin seorang guru perempuan yang masih terlihat muda."Tidak apa-apa bu, silahkan ada perlu apa?"Guru perempuan berseragam batik tadi maju beberapa langkah. "Yang namanya Pelita?" panggilnya."Saya Bu, Hadir." Pelita mengangkat tangannya."Ikut Ibu ke Kantor!"Pelita melihat Qiana dan yang lainnya, ia tidak merasa punya salah sampai harus dipanggil ke kantor. Pelita bangun mengikuti arah langkah gurunya, sedangkan siswa yang lain kembali belajar.Menyusuri lorong sepi sampai pada ujung. Keluar dari area sekolah masuk ke area kantor. Mereka terus berjalan. Masuk ruang kepala sekolah."Pelita ya?" Pelita mengangguk."Duduk!" Di depannya ada dua orang Polisi, dua guru dan Pak Kepala Sekolah."Pelit
Hal yang tidak pernah Qiana bayangkan apa lagi ingin ia lakukan, berdiri di sini. Pagi-pagi saat jam Sekolah sedang sibuk, kakinya ingin sekali mundur, tapi ia harus menghentikan semua ini. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah semakin dekat pada pintu kelas Dewa."Eh…. Ada adik kelas, cari siapa?" Benar saja pilihannya untuk datang ke kelas Dewa adalah salah, baru saja wajahnya terlihat di depan pintu sudah ada yang menggodanya."Jangan bilang mau cari Dewa?" seketika kelas kembali berisik dengan suara sorakan. Ia yang duduk di paling pojok cuma melihat Qiana, yang mulai mati kutu di hadapan teman-temannya. Akhirnya ia berdiri menjadi tontonan satu kelas, seorang Dewa yang biasanya paling anti bila ada yang mencari kini dengan suka rela ia mendekat."Ikut!"Andai saja suara itu tidak segera Qiana dengar mungkin ia akan memilih balik arah, melupakan semua niatnya pagi tadi. Dewa membawanya ke arah belakang Sekolah."Kenapa?" tanpa basa-bas
Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil
Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana."Apa?" tanya Dewa kemudian."Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan."Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?""Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Empat orang siswa putih abu-abu berkumpul di kelas yang sudah lama tidak digunakan. Meja, kursi yang terbuat dari kayu sudah rusak berbaris di pojokan ditata tidak rapi. Bau ruangan lembab bercampur debu ada genangan air di lantai dari atap yang bocor, menimbulkan bau amis. Di luar siang hari tapi di sini cahaya seolah enggan masuk."Lo, yakin main disini?" tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan memutari ruangan. "Ko gue worried ya?""Gak mungkin juga kita main di kelas?" tutur Qiana. Menarik meja usang yang penuh dengan coretan tidak jelas, bahkan pinggiran mejanya sudah patah juga terdapat jejak rayap."Gimana Cara mainnya Qin?" tanya Vanessa, melihat Qiana meletakan satu lembar kertas juga uang logam di atasnya."Ikutin gue! Tapi, jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti?"Semua mengangguk, mengerti.Qiana, Pelita, Vanessa, Federica. Meletakan masing-masing telunjuk mereka di atas koin lama seratus rupiah ter
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana."Apa?" tanya Dewa kemudian."Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan."Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?""Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil
Hal yang tidak pernah Qiana bayangkan apa lagi ingin ia lakukan, berdiri di sini. Pagi-pagi saat jam Sekolah sedang sibuk, kakinya ingin sekali mundur, tapi ia harus menghentikan semua ini. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah semakin dekat pada pintu kelas Dewa."Eh…. Ada adik kelas, cari siapa?" Benar saja pilihannya untuk datang ke kelas Dewa adalah salah, baru saja wajahnya terlihat di depan pintu sudah ada yang menggodanya."Jangan bilang mau cari Dewa?" seketika kelas kembali berisik dengan suara sorakan. Ia yang duduk di paling pojok cuma melihat Qiana, yang mulai mati kutu di hadapan teman-temannya. Akhirnya ia berdiri menjadi tontonan satu kelas, seorang Dewa yang biasanya paling anti bila ada yang mencari kini dengan suka rela ia mendekat."Ikut!"Andai saja suara itu tidak segera Qiana dengar mungkin ia akan memilih balik arah, melupakan semua niatnya pagi tadi. Dewa membawanya ke arah belakang Sekolah."Kenapa?" tanpa basa-bas
Suara ketukan pintu menyita pandangan semua siswa, mereka melihat arah yang sama, pintu yang tadi diketuk. Sedangkan di depan papan tulis guru sedang menulis."Siang pak maaf mengganggu jam pelajaran." Izin seorang guru perempuan yang masih terlihat muda."Tidak apa-apa bu, silahkan ada perlu apa?"Guru perempuan berseragam batik tadi maju beberapa langkah. "Yang namanya Pelita?" panggilnya."Saya Bu, Hadir." Pelita mengangkat tangannya."Ikut Ibu ke Kantor!"Pelita melihat Qiana dan yang lainnya, ia tidak merasa punya salah sampai harus dipanggil ke kantor. Pelita bangun mengikuti arah langkah gurunya, sedangkan siswa yang lain kembali belajar.Menyusuri lorong sepi sampai pada ujung. Keluar dari area sekolah masuk ke area kantor. Mereka terus berjalan. Masuk ruang kepala sekolah."Pelita ya?" Pelita mengangguk."Duduk!" Di depannya ada dua orang Polisi, dua guru dan Pak Kepala Sekolah."Pelit
Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan."Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!""Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu.""Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas k
Qiana:Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tida
Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya."Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu."Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!""Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!""Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata."Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa.""Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi.""Dia temanku.""Nesa mau ke toilet."Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yan
Bunyi gorden jendela ditarik membuat cahaya matahari masuk kesela kamar rawat Vanessa. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu, Mama cape Vanessa!""Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa! Sayang." Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir.***"Papa dateng sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat