Qiana:
Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.
Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tidak berjiwa. Tapi, ini Vanessa sahabatnya.
Qiana mengikuti semua proses sampai pada Vanessa dimakamkan, dari kejauhan ia seakan melihat sosok Vanessa dengan orang lain, Qian ingin lebih mendekat menajamkan pandangan. Namun, pergelangan tangannya ditarik seseorang.
"Mau kemana? Belum selesai."
Saat Qiana kembali melihat sosok yang mirip Vanessa. Sosok itu pun telah menghilang entah kemana.BQiana menepis pergelangan tangan yang tadi ditahan Dewa. Federica dan Pelita mendekat lantas mereka saling berpelukan, Federica kembali menangis.
"Gue masih telponan sama dia Qin, semalem." Ia kembali menangis dalam pelukan Qiana.
"Gue tau, sekarang dia udah tenang, kita doakan dia bahagia sekarang." Mereka kembali menangis.
Di sisi makam Vanessa. Mamanya masih terus meraung memeluk kubur yang tertutup berbagai warna bunga, penyesalan masih terus menghukum. Hukuman paling kejam dalam kehidupan adalah "Penyesalan."
Proses pemakaman sudah selesai para kerabat Vanesa Satu-persatu pergi tinggal lah Mama dan Papanya, serta sahabat dekatnya.
"Nesa Mama minta maaf, Nesa ... Nesa." Suara Mamanya terus meringkih dalam tangis, waktu tidak bisa diputar ulang, sudah banyak yang mengingatkan untuk tidak berlarut menangisi kepergian Vanessa. Tapi, bagaimana tidak, apa yang ia pikir untuk kebaikan anaknya ternyata tidak sejalan dengan kenyataan.
Qiana :
"Ngapain kita ke sini?" Qiana mengikuti Federica masuk ruang UKS, Federica duduk di salah satu ranjang, setelah ia memastikan tidak ada orang di ruangan ini.
"Gue pengen nunjukin sesuatu!" Federica menarik rok panjangnya sampai ke lutut. Dari pergelangan kaki sampai betis terdapat banyak warna biru seperti lebam tapi hampir menyerupai bentuk tangan.
"Kaki lo kenapa Fee? Dewa KDRT?" tanya Qiana sengit sarat dengan emosi yang meluap, matanya sampai membesar.
"Qin..." panggil melas Federica, ini bukan waktunya bercanda.
"Gue serius! Bilang kalo Dewa kasar!" Qiana tidak kalah serius.
"Bukan Dewa Qiana." Federica menunduk, ia menangis.
"Terus siapa Fee?"
Federica menggelengkan kepala. "Gue juga gak tau, sesudah Vanessa meninggal kaya ada yang ngikutin mulu, tiap malem gue nggak bisa tidur, kepala gue sakit. Sekalinya gue tidur mimpi serem banget, sampe gue sendiri gak bisa bedain. Mana mimpi mana nyata. Gue nggak mau mati Qin." Tangisan Federica pecah dalam pelukan Qiana.
"Loh ko, ngomongin mati sih, Fee?"
Federica masih menangis. Qiana masih bingung belum menemukan garis merah masalah. Ia mengangkat wajah Federica sedikit kasar membersihkan air mata di wajahnya. "Kenapa lo ngomong mati? Cerita Vee, gue gak ngerti?"
Federica mulai mengatur napasnya, memposisikan tubuhnya agar lebih nyaman. "Inget permainan Jelangkung?" Qiana mengangguk. "Gue sama Vanessa sempet main lagi setelah pulang sekolah beberapa kali."
"Terus? Ada masalah pas lo main jalangkungnya, apa yang lo tanya sama jalangkungnya?"
"Semua sama kaya yang lo ajarin, gue cuma nanya masalah Dewa. Dia suka apa, jalan ke mana, makanan apa? Itu aja."
"Yang lainnya? Vanessa nanya apa?"
"Nggak ada, cuma gue yang nanya. Gue takut Qin." Federica kembali menangis.
"Harusnya nggak ada masalah Fee."
"Dia juga gak nolak gue suruh pulang," tutur Federica lagi.
Mengundang pertanyaan Qiana. "Dia? Siapa maksudnya?" tanya Qiana penasaran.
"Bunga. roh yang gue panggil."
Barulah Qiana heran kenapa roh yang sama yang datang saat dipanggil. "Bunga. Bunga. Roh yang kita panggil pertama kali." Qiana kali ini menekan pertanyaan melihat Federica dengan aneh. Sejauh ia bermain permainan itu tidak pernah ada yang terpanggil dua kali, apa lagi berkali-kali. "Lo nyebutin nama dia?" Qiana makin serius bertanya.
"Nggak Qin, cuma pas gue tanya namanya pasti Bunga, gue takut Qin. Gue takut mati, sebelum Vanessa mati, dia pernah cerita dia diganggu setan," Federica mulai hilang kendali ia bercerita sambil menangis.
"Sekarang setan itu terus ganggu gue Qin. Tolongin gue. Gue ga mau mati."
"Fee, denger nggak ada setan yang bisa bunuh manusia!"
"Vanessa mati Qiana dia mati dan sekarang gue terus diteror, lo liat gue, karena permainan sialan itu gue kaya gini sekarang."
"Fee. Lo harus sadar Fee. Vanessa mati bukan karena setan. Dia mati bunuh diri Fee, dia bunuh diri." Air mata Qiana akhirnya tumpah mengingat sahabatnya yang telah tiada. Saat Vanessa butuh orang untuk bicara tidak ada siapapun disisinya. Setan lah yang menjadi pembisik untuk menyesatkan jiwa manusia. "Lo harus inget manusia diciptakan paling sempurna, dia punya otak dan akal untuk berpikir." Qiana semakin menajamkan suaranya untuk mengingatkan Federica.
"Gue takut Qin." Tangis Federica kembali pecah dalam pelukan Qiana. Setelah kematian Vanessa hidupnya hancur tidak ada rasa nyaman saat ia sendiri, tidurnya selalu dibayangi sosok yang mengerikan.
"Ssstttt!! udah jangan nangis lagi kita cari jalan keluarnya, kalo memang lo diganggu roh bunga, kita cari tau apa yang salah apa yang dia mau dari kita? Pulang sekolah gue coba panggil dia lagi."
"Gue takut Qiana." Tangan Federica meremas kuat tangan Qiana. Dari kamar yang masih tertutup tirai tiba-tiba saja bunyi barang jatuh, keduanya refleks menoleh ke sumber suara. Rasanya di sini tidak ada siapapun kecuali mereka.
"Siapa itu?" Tanya Qiana satu langkah kakinya mendekat. Tangannya ingin membuka tirai.
"Qin. Kita keluar!" Federica ketakutan wajahnya pucat kulit tangannya berkeringat. Melihat ketakutan Federica, Qiana akhirnya mengikuti berjalan ke arah pintu.
"Paling angin. Lo jadi pulang cepet? Mau gue anter pulang?" Suara Qiana mengalihkan ketakutan Federica keduanya menghilang di balik pintu UKS.
***
Malam harinya Qiana, Federica, Pelita datang ke Sekolah mengendap-endap lewat pintu samping pelan-pelan Qiana membuka pintu kelas. "Gelap Qin." Qiana menghidupkan senter lantas meletakan di atas kursi, sekilas sepasang kaki pucat, abu-abu melayang terkena cahaya senter. Saat senter kembali Qiana tegaskan kaki itu sudah menghilang, sepertinya ia salah lihat.
Ketiganya berdiri mengelilingi meja yang sama. "Kita kurang satu orang?"
"Satu orang gak usah ikut!" Pelita mengangguk ia hanya melihat.
Permainan kembali berlangsung dengan cahaya seadanya. "siapa nama kamu?"
Koin itu bergerak. "Anisa."
Qiana kembali bertanya. "Kapan kamu mati?"
"1988."
Qiana kembali bertanya. "Kenapa kamu mati?"
"Gantung diri."
Federica menggelengkan kepal ini bukan Bunga. Qiana mengerti ia kembali berkata.
"Kamu pulang ya!"
"iya." Koin itu bergeser ke tempat yang kosong tandanya roh itu sudah pergi. Angin berhembus dingin.
Qiana melanjutkan permainan, ia kembali memanggil. "Nama kamu siapa?"
"V." Federica menatap Qiana getir, koin itu kembali bergerak "A." Federica membekap mulutnya. "N." Ia menangis tanpa suara apa ini Vanessa? Sahabatnya, ia ada di sini ikut berkumpul, atau ikut dalam permainan. Air mata Federica kembali menetes.
Koin itu kembali menyusun huruf.
"A"
"V"
"E"
"L"
"A"
"VANAVELA." Nama yang terbentuk. Ada kelegaan dalam hati Qiana bukan Vanessa yang terpanggil.
"Kenapa kamu mati?"
"Jatuh dari tangga," katanya.
Qiana kembali bertanya. "Kapan?"
"Kemarin."
Bukan Bunga? Qiana kembali menyuruhnya pulang!
Untuk sesaat mereka melepaskan ketegangan permainan berhenti sejenak. Tengkuk Qiana begitu berat seakan ada beban di sana, ia beberapa kali mengusapnya serta bulu halus tengkuknya juga ikut berdiri. Senter yang tadi di atas meja terjatuh begitu saja. Qiana dan yang lainnya saling melihat merasa tidak ada yang menyenggolnya, dengan getaran tangan Federica dan Qiana perlahan membungkuk meraih senter itu, perlahan senter diraih lalu tanpa sengaja senter itu mengarah pada ujung lorong dimana makhluk dengan mulut terbuka lebar juga matanya yang hitam legam merangkak mendekati mereka. Federica berteriak diikuti Qiana.
Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan."Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!""Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu.""Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas k
Suara ketukan pintu menyita pandangan semua siswa, mereka melihat arah yang sama, pintu yang tadi diketuk. Sedangkan di depan papan tulis guru sedang menulis."Siang pak maaf mengganggu jam pelajaran." Izin seorang guru perempuan yang masih terlihat muda."Tidak apa-apa bu, silahkan ada perlu apa?"Guru perempuan berseragam batik tadi maju beberapa langkah. "Yang namanya Pelita?" panggilnya."Saya Bu, Hadir." Pelita mengangkat tangannya."Ikut Ibu ke Kantor!"Pelita melihat Qiana dan yang lainnya, ia tidak merasa punya salah sampai harus dipanggil ke kantor. Pelita bangun mengikuti arah langkah gurunya, sedangkan siswa yang lain kembali belajar.Menyusuri lorong sepi sampai pada ujung. Keluar dari area sekolah masuk ke area kantor. Mereka terus berjalan. Masuk ruang kepala sekolah."Pelita ya?" Pelita mengangguk."Duduk!" Di depannya ada dua orang Polisi, dua guru dan Pak Kepala Sekolah."Pelit
Hal yang tidak pernah Qiana bayangkan apa lagi ingin ia lakukan, berdiri di sini. Pagi-pagi saat jam Sekolah sedang sibuk, kakinya ingin sekali mundur, tapi ia harus menghentikan semua ini. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah semakin dekat pada pintu kelas Dewa."Eh…. Ada adik kelas, cari siapa?" Benar saja pilihannya untuk datang ke kelas Dewa adalah salah, baru saja wajahnya terlihat di depan pintu sudah ada yang menggodanya."Jangan bilang mau cari Dewa?" seketika kelas kembali berisik dengan suara sorakan. Ia yang duduk di paling pojok cuma melihat Qiana, yang mulai mati kutu di hadapan teman-temannya. Akhirnya ia berdiri menjadi tontonan satu kelas, seorang Dewa yang biasanya paling anti bila ada yang mencari kini dengan suka rela ia mendekat."Ikut!"Andai saja suara itu tidak segera Qiana dengar mungkin ia akan memilih balik arah, melupakan semua niatnya pagi tadi. Dewa membawanya ke arah belakang Sekolah."Kenapa?" tanpa basa-bas
Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil
Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana."Apa?" tanya Dewa kemudian."Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan."Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?""Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Empat orang siswa putih abu-abu berkumpul di kelas yang sudah lama tidak digunakan. Meja, kursi yang terbuat dari kayu sudah rusak berbaris di pojokan ditata tidak rapi. Bau ruangan lembab bercampur debu ada genangan air di lantai dari atap yang bocor, menimbulkan bau amis. Di luar siang hari tapi di sini cahaya seolah enggan masuk."Lo, yakin main disini?" tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan memutari ruangan. "Ko gue worried ya?""Gak mungkin juga kita main di kelas?" tutur Qiana. Menarik meja usang yang penuh dengan coretan tidak jelas, bahkan pinggiran mejanya sudah patah juga terdapat jejak rayap."Gimana Cara mainnya Qin?" tanya Vanessa, melihat Qiana meletakan satu lembar kertas juga uang logam di atasnya."Ikutin gue! Tapi, jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti?"Semua mengangguk, mengerti.Qiana, Pelita, Vanessa, Federica. Meletakan masing-masing telunjuk mereka di atas koin lama seratus rupiah ter
Qiana adalah anak yang ceria, cantik, dan mudah bergaul kesehariannya sama seperti anak lain, hanya saja. Ia memiliki garis keturunan yang dapat merasakan pergerakan supranatural. Ia pun percaya bahwa ada makhluk dari dimensi lain. Kita cukup menghargai keberadaan mereka itu saja. Qiana anak sulung dari dua bersaudara, ayah dan ibunya adalah guru sedangkan adiknya Sila masih di kelas tujuh. Hidupnya berubah setelah permainan memanggil roh di sekolah, tidurnya tak lagi nyenyak mimpi terus diganggu oleh anak sekolah berseragam putih abu-abu rambut sebahu tertunduk murung. Dari samping pinggangnya ada dau tangan berkuku hitam dan panjang merayap lalu anak itu mengangkat wajah, membuka mulut lebar dengan mata yang berwarna hitam pekat.Qian terbangun dari tidur dengan bunyi alarm yang mengagetkan, napasnya berat keringat mengucur dari semua sisi dahi."Mimpi lagi!" Hampir setiap hari mimpi yang sama terus muncul dan ia pasti akan terbangun saat alarmnya berbunyi. Seakan itu
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana."Apa?" tanya Dewa kemudian."Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan."Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?""Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil
Hal yang tidak pernah Qiana bayangkan apa lagi ingin ia lakukan, berdiri di sini. Pagi-pagi saat jam Sekolah sedang sibuk, kakinya ingin sekali mundur, tapi ia harus menghentikan semua ini. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah semakin dekat pada pintu kelas Dewa."Eh…. Ada adik kelas, cari siapa?" Benar saja pilihannya untuk datang ke kelas Dewa adalah salah, baru saja wajahnya terlihat di depan pintu sudah ada yang menggodanya."Jangan bilang mau cari Dewa?" seketika kelas kembali berisik dengan suara sorakan. Ia yang duduk di paling pojok cuma melihat Qiana, yang mulai mati kutu di hadapan teman-temannya. Akhirnya ia berdiri menjadi tontonan satu kelas, seorang Dewa yang biasanya paling anti bila ada yang mencari kini dengan suka rela ia mendekat."Ikut!"Andai saja suara itu tidak segera Qiana dengar mungkin ia akan memilih balik arah, melupakan semua niatnya pagi tadi. Dewa membawanya ke arah belakang Sekolah."Kenapa?" tanpa basa-bas
Suara ketukan pintu menyita pandangan semua siswa, mereka melihat arah yang sama, pintu yang tadi diketuk. Sedangkan di depan papan tulis guru sedang menulis."Siang pak maaf mengganggu jam pelajaran." Izin seorang guru perempuan yang masih terlihat muda."Tidak apa-apa bu, silahkan ada perlu apa?"Guru perempuan berseragam batik tadi maju beberapa langkah. "Yang namanya Pelita?" panggilnya."Saya Bu, Hadir." Pelita mengangkat tangannya."Ikut Ibu ke Kantor!"Pelita melihat Qiana dan yang lainnya, ia tidak merasa punya salah sampai harus dipanggil ke kantor. Pelita bangun mengikuti arah langkah gurunya, sedangkan siswa yang lain kembali belajar.Menyusuri lorong sepi sampai pada ujung. Keluar dari area sekolah masuk ke area kantor. Mereka terus berjalan. Masuk ruang kepala sekolah."Pelita ya?" Pelita mengangguk."Duduk!" Di depannya ada dua orang Polisi, dua guru dan Pak Kepala Sekolah."Pelit
Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan."Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!""Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu.""Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas k
Qiana:Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tida
Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya."Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu."Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!""Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!""Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata."Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa.""Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi.""Dia temanku.""Nesa mau ke toilet."Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yan
Bunyi gorden jendela ditarik membuat cahaya matahari masuk kesela kamar rawat Vanessa. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu, Mama cape Vanessa!""Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa! Sayang." Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir.***"Papa dateng sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat