Empat orang siswa putih abu-abu berkumpul di kelas yang sudah lama tidak digunakan. Meja, kursi yang terbuat dari kayu sudah rusak berbaris di pojokan ditata tidak rapi. Bau ruangan lembab bercampur debu ada genangan air di lantai dari atap yang bocor, menimbulkan bau amis. Di luar siang hari tapi di sini cahaya seolah enggan masuk.
"Lo, yakin main disini?" tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan memutari ruangan. "Ko gue worried ya?"
"Gak mungkin juga kita main di kelas?" tutur Qiana. Menarik meja usang yang penuh dengan coretan tidak jelas, bahkan pinggiran mejanya sudah patah juga terdapat jejak rayap.
"Gimana Cara mainnya Qin?" tanya Vanessa, melihat Qiana meletakan satu lembar kertas juga uang logam di atasnya.
"Ikutin gue! Tapi, jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti?"
Semua mengangguk, mengerti.
Qiana, Pelita, Vanessa, Federica. Meletakan masing-masing telunjuk mereka di atas koin lama seratus rupiah tertera tahun pembuatannya pada tahun 1978 silam. Qiana sendiri mendapatkan uang logam itu dari orang yang memperkenalkan permainan memanggil roh ini. Dulu ia sempat berpikir ini hanya akal-akalan Suri temannya. Ternyata saat Suri tidak ada dan roh dipanggil, nyatanya uang logam itu memang bergerak di bawah telunjuknya. Awalnya terasa aneh, namun kini sudah terbiasa, Qiana mainkan bersama temannya.
Suri adalah anak seorang pendatang yang kebetulan menyewa rumah di samping Qiana dulu. Ia datang ke kota ini untuk berobat, katanya Suri mengidap penyakit yang belum ditemukan penyebabnya. Ia bisa sewaktu-waktu meraung kesakitan yang tidak jelas asal sakitnya dari mana. Kebetulan di kampung Qiana ada orang pintar. Dulu berbulan-bulan Suri di sana sampai akhirnya ia sembuh lalu kembali ke kampung halamannya. Persahabatan mereka pun sampai disitu, lagi pula Qiana pun meneruskan pendidikan di kota besar menjadi anak kos.
Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.
Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.
Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar.
Mereka memulai permainan. Satu kali mantra diucapkan Qiana bertanya.
"Jailangkung apa kamu sudah hadir?" Tidak ada pergerakan koin masih di tempat kosong, yang artinya roh belum hadir.
Mantra kembali mereka ucapkan untuk memanggil.
"Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar."
"Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar."
"Jailangkung jailangse di sini ada pesta kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar." Qiana kembali bertanya, "Jailangkung apa kamu sudah hadir?" Koin itu bergeser dari lingkaran kosong menuju lingkaran yang berisi kata.
"Ya."
Napas keempatnya seakan terhenti. Jantung mereka berpacu. Pelita, Vanessa, Federica bersamaan menoleh melihat Qiana. Seakan bertanya apakah ini sungguhan?
Suasana seketika sunyi.
Qiana sangat mengerti apa yang ada di kepala mereka sama dengan pertanyaannya dulu pada Suri. Qiana memejamkan matanya sesaat, ikuti permainan!
"Siapa nama kamu? " tanya Qiana lagi.
Koin itu kembali bergerak di bawah telunjuknya menuju huruf-huruf yang tertera di kertas satu persatu sampai membentuk sebuah nama "Bunga" Koin itu belum selesai ia terus bergerak menuju huruf, m.
"Bunga merah," ulang Qian. "Kenapa kamu mati?"
Uang logam itu kembali berputar menunjuk satu demi satu huruf. "Bakar!"
Qiana makin heran baru kali ini ia memanggil roh yang jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaan yang ditanyakan. "Kamu mati karena terbakar? Ada kebakaran?"
"Stop! Lo kalo nanya yang bermanfaat kenapa sih! Bunga siapa yang juara kelas? Di kelas gue?" Federica dengan gaya centilnya bertanya.
Koin itu kembali berputar mencari huruf, sampai membentuk nama. "Federica."
Federica tersenyum bangga, melihat semua temannya, ia memang pintar juga cantik. "Bunga. Dewa punya cewek gak?" Ia kembali bertanya makin penasaran dengan permainan juga merasa semakin menarik, jika kita bisa mengetahui segala hal dengan permainan roh ini.
"Tidak," kata itu kembali membuat Federica melebarkan senyuman antusias.
Federica bersorak dalam hati laki-laki yang ditaksir sejak lama ternyata memang tidak memiliki kekasih, tapi kenapa laki-laki begitu dingin pada perempuan? "Bunga. Dewa suka cewek kaya apa sih?" tanyanya lagi.
Koin itu kembali bergerak. "Yang baik."
"Gantian gue yang nanya Fee." Pelita unjuk suara dibanding pertanyaan soal laki-laki lebih baik pertanyaan yang berfaedah.
"Rese deh lo... Gue belum selesai nanya, pengen tau tentang Dewa lebih banyak." Federica mulai emosi pada Pelita, derajatnya lebih tinggi dari Pelita tidak sepantasnya parasit digrupnya ini menyela pertanyaan pentingnya soal Dewa.
"Bunga. Dimana ibu aku sekarang? " Pelita tidak gentar dengan perkataan Federica. Ia harus mencari tahu di mana ibunya berada dengan cara apa pun.
Uang koin itu kembali berputar mencari satu demi satu huruf sampai membentuk kata.
"WC."
Pelita dan Qiana saling beradu pandang. Ibu dari Pelita sudah lama pergi ke kota lain bekerja menjadi asisten rumah tangga dan beberapa bulan ini tidak ada kabar dari beliau. Pelita sudah mencoba mencari ke tempat ibunya bekerja tapi kata pemilik rumah ibunya sudah lama berhenti.
"Woyyyyy.... Lagi pada ngapain lo? Wah…. Pada main apa lo semua? Alah... Bohong, ini tangan lo kan yang gerak?" Tunjuknya pada wajah Qiana
Empat anak laki-laki masuk mengagetkan Qiana dan yang lainnya. Dengan suara berisik serta memukul-mukul meja keempatnya tidak percaya dan terus saja berisik.
"Loh, semua bisa pada diem gak sih!" geram Qiana tapi tidak di hiraukan yang lain, para anak Laki-laki itu semakin banyak yang datang melihat kelas yang tadinya sunyi seketika jadi gaduh.
Koin di tangan Qiana berputar, terus saja berputar melingkar koin itu tidak mau berhenti ke tempatnya, Qiana kebingungan apa yang harus ia lakukan siswa lain terus saja berdatangan mengelilingi mereka sampai harus menarik meja untuk berdiri melihat Qiana dan yang lainnya.
"Bunga kamu marah? " Qiana bertanya ditengah suara gaduh siswa lain yang terus saja berkata tidak percaya.
"Ya."
Koin kembali berputar. Semakin kencang Federica dan Vanessa mulai panik mereka ingin melepaskan jarinya dari koin. Tapi ingat apa yang dikatakan Qiana sebelum permainan dimulai tidak ada yang boleh melepaskan jarinya, kecuali koin sudah masuk pada tempat yang kosong.
Koin terus berputar Qian mulai bingung apa yang harus dilakukan sedangkan siswa semakin banyak berdatangan tidak menutup kemungkinan guru juga akan datang.
"Bunga sekarang kamu pulang yah!"
"Tidak!" Koin kembali berputar.
"Nanti ada guru, kamu pulangi dulu!"
"tidak!"
Qiana kembali terdiam roh itu menolak untuk pulang telunjuknya mulai lelah terus berputar.
"Nanti kita main lagi! Sekarang kamu pulang dulu!"
Koin itu berhenti lalu bergeser.
"Ya."
Saat koin sudah kembali pada tempatnya barulah Qiana lega, permainan usai. Sekalipun masih ramai di sana. Ada kelegaan dimata Qiana. Ia melihat tajam seisi kelas dibalas tawa para anak laki-laki yang mengganggu permainannya. Semuanya bubar meninggalkan kelas berjalan ke arah pintu.
Qiana paling belakang tiba-tiba saja angin berhembus kencang, mengibarkan rambutnya dan membuat bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. Qian sedikit menoleh pada sudut ruangan, di situ berdiri siswi lain yang asing untuk Qiana. Rambutnya sebahu dengan poni menutupi mata, ia sedikit menunduk jadi Qiana tidak begitu jelas melihat wajahnya ada yang aneh ia seakan tidak, berjiwa. Qian kembali berjalan meninggalkan sosok asing yang ia lihat 'mungkin anak kelas lain' ujarnya dalam hati.
"Qin mana kertas tadi sama koinnya?" pinta Federica.
"Buat apa Vee?" Qiana tetap memberikan pada Federica.
"Nggak cuma pengen nyimpen. Sore balik bareng gue?"
"Gak usah."
"Oke deh, gue duluan ya!" Federica melambaikan tangan.
Qiana adalah anak yang ceria, cantik, dan mudah bergaul kesehariannya sama seperti anak lain, hanya saja. Ia memiliki garis keturunan yang dapat merasakan pergerakan supranatural. Ia pun percaya bahwa ada makhluk dari dimensi lain. Kita cukup menghargai keberadaan mereka itu saja. Qiana anak sulung dari dua bersaudara, ayah dan ibunya adalah guru sedangkan adiknya Sila masih di kelas tujuh. Hidupnya berubah setelah permainan memanggil roh di sekolah, tidurnya tak lagi nyenyak mimpi terus diganggu oleh anak sekolah berseragam putih abu-abu rambut sebahu tertunduk murung. Dari samping pinggangnya ada dau tangan berkuku hitam dan panjang merayap lalu anak itu mengangkat wajah, membuka mulut lebar dengan mata yang berwarna hitam pekat.Qian terbangun dari tidur dengan bunyi alarm yang mengagetkan, napasnya berat keringat mengucur dari semua sisi dahi."Mimpi lagi!" Hampir setiap hari mimpi yang sama terus muncul dan ia pasti akan terbangun saat alarmnya berbunyi. Seakan itu
Bell pulang sekolah baru saja berbunyi semua siswa berhambur keluar dari pintu kelas, begitu juga Qiana dan yang lainnya mereka sedang tertawa kadang menoyor kepala lantas saling berpamitan. Dari kelasnya ke parkiran melewati barisan kelas dua belas dan toilet barulah ruang Laboratorium. Dari ujung ruang Lap sudah terlihat parkiran, di sana ada seseorang bersandar di kap mobilnya, yang Qian tau itu Dewa cowok pelit suara yang tadi ia tabrak di depan toilet.Sepertinya Qiana salah lihat. Dewa seakan sedang melihatnya sekarang, masih dengan mata datarnya. Tentu saja Fee yang dilihat. Qiana menepis pemikiran sendiri ia terus melangkah melewati Dewa yang sudah disapa Federica dengan semangat, setelah itu sudah tidak ada lagi suara yang ia dengar."Qin, ngelamun loh? Jadi ke kosan gak?" Pelita bertanya."Iya jadi, Vanessa mana?" Ia mencari Vanessa yang sudah tidak ada."Mm.. Tuh kan kebanyakan mikir, tadi dia pamit udah dijemput ama nyokapnya.""
Adzan magrib baru saja selesai berkumandang ketika Qiana sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya masih melayang, hari ini banyak yang aneh. Kompor tadi, ia yakin kompor itu belum mati, juga saat di toilet sekolah. Qian masih masuk dalam pikiran saat sosok Pelita lewat di belakang ia bisa melihat dari ekor matanya. Pelita lewat tapi aneh? Kenapa hanya diam saja Qiana makin menegaskan pandangan melihat Pelita dari belakang punggungnya, 'apa dia marah? Tidak ditemani kedepan tadi' katanya dalam hati melihat Pelita menghilang ke arah dapur.Tidak berapa lama setelah Pelita menghilang ke arah dapur, dari arah pintu. Pelita mengucapkan salam, ia baru saja datang."Ta, lo dari mana?" Tanya Qiana terbelalak seraya menggeser duduknya agar lebih tegas melihat. Heran, kalau Pelita baru saja datang lalu yang tadi siapa? "Ta. Barusan lo lewat, di belakang gue, pake baju yang sama." Qiana bertanya lagi untuk memastikan.Sedangkan Pelita masih tidak percaya apa
Pagi ini Qiana merasa tidak enak pada Federica, semalam ia rasanya seakan selingkuh dengan cowoknya. Ahh... Tapi tidak, semalam ngobrol saja tidak, saat tehnya habis Qiana langsung masuk dan tertidur pulas sampai pagi. Sekalipun pagi ini rasa ada yang tidak enak. "Gue balik dulu sekarang! Pulang sekolah nanti sini lagi, Lo istirahat ya!" Vanessa mengangguk, tadi ia sempat bertanya kenapa ia ada di rumah sakit. Qiana hanya bilang pingsan, karena sakit dan perban di tangannya karena tergores. Bukan bermaksud berbohong tapi biarlah nanti setelah ia benar-benar pulih baru Qiana akan jujur."Gue juga balik ya, nyokap lo bentar lagi dateng." Pamit Federica. Vanessa kembali mengangguk sekalipun ada getir dimatanya.Qiana dan Federica keluar dari kamar Vanessa. Keduanya berjalan di lorong rumah sakit yang mulai aktif melayani. Dewa berjalan santai di belakang Qiana tangannya terselip dalam saku seragam yang belum berganti dari kemarin, wajahnya basah sehabis dicuci tadi.
Bunyi gorden jendela ditarik membuat cahaya matahari masuk kesela kamar rawat Vanessa. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu, Mama cape Vanessa!""Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa! Sayang." Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir.***"Papa dateng sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat
Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya."Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu."Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!""Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!""Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata."Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa.""Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi.""Dia temanku.""Nesa mau ke toilet."Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yan
Qiana:Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tida
Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan."Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!""Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu.""Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas k
Federica :Satu kunci terbuka, yang di maksud bunga merah adalah api. 'bunga api' pagi ini Qiana bersemangat berangkat sekolah ia mencari Federica. "Fee, Fee. Tunggu Fee!" Qiana tidak peduli bagaimana ia harus mengejar Federica. "Sorry. Gak sengaja." Teriaknya meminta maaf pada siswa lain."Ati-ati dong." buku orang lain berjatuhan."Maaf." Ulang Qiana lagi, ia masih terus berlari di koridor kelas."Fee," napasnya masih terpacu berdiri di depan Federica. "Gue tau arti bunga merah." Federica berlalu begitu saja. Sesaat Qiana bingung, mungkin Federica belum mengerti maksudnya. Qiana kembali mendekati Federica yang masih terus berjalan tidak menghiraukan dirinya, sahabatnya ini bersikap seakan ia tidak terlihat."Fee, Dewa. Aaarrrggg." Qiana jatuh didorong Feederica."Munafik lo jadi temen. Lo juga suka kan sama dia? Makanya Lo selalu ngelarang gue buat nanya tentang dia!?" teriak Federica sampai jadi perhatian semua siswa yang ada
Hari sudah gelap. Alunan musik instrumen menemani keduanya di dalam mobil waktunya Qiana diantar pulang, di pahanya tumpukan album yang ia bawa dari studio. Qiana tertarik dengan hasil bidikan Dewa yang berkaitan dengan alam dan sosial. Foto hitam putih pinggiran kota jadi daya tarik tersendiri keindahan yang bisa dihasilkan dari momen yang Dewa ambil. Sederhana saja. Induk ayam bersama empat anaknya yang sedang berebut cacing. "Dari foto ini gue bisa liat apa yang ingin disampaikan si fotografer," ujar Qiana."Apa?" tanya Dewa kemudian."Waktu terus berjalan, jangan peduli. Karena mereka hanya lewat, dan pergi. Betulkan? Keliatan dari cara ngambil gambar. Di sini ayam sama anak-anak lagi makan di belakangnya orang jalan yang pasti berganti setiap detik. Tapi si ayam terus makan."Dewa senyum sebagai jawaban, sedangkan pandangannya tetap lurus melihat jalanan."Minggu ini ada acara? Kalau nggak ada, mau ikut?""Mau ngambil gambar lagi, ikut," semangat Q
Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil
Hal yang tidak pernah Qiana bayangkan apa lagi ingin ia lakukan, berdiri di sini. Pagi-pagi saat jam Sekolah sedang sibuk, kakinya ingin sekali mundur, tapi ia harus menghentikan semua ini. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah semakin dekat pada pintu kelas Dewa."Eh…. Ada adik kelas, cari siapa?" Benar saja pilihannya untuk datang ke kelas Dewa adalah salah, baru saja wajahnya terlihat di depan pintu sudah ada yang menggodanya."Jangan bilang mau cari Dewa?" seketika kelas kembali berisik dengan suara sorakan. Ia yang duduk di paling pojok cuma melihat Qiana, yang mulai mati kutu di hadapan teman-temannya. Akhirnya ia berdiri menjadi tontonan satu kelas, seorang Dewa yang biasanya paling anti bila ada yang mencari kini dengan suka rela ia mendekat."Ikut!"Andai saja suara itu tidak segera Qiana dengar mungkin ia akan memilih balik arah, melupakan semua niatnya pagi tadi. Dewa membawanya ke arah belakang Sekolah."Kenapa?" tanpa basa-bas
Suara ketukan pintu menyita pandangan semua siswa, mereka melihat arah yang sama, pintu yang tadi diketuk. Sedangkan di depan papan tulis guru sedang menulis."Siang pak maaf mengganggu jam pelajaran." Izin seorang guru perempuan yang masih terlihat muda."Tidak apa-apa bu, silahkan ada perlu apa?"Guru perempuan berseragam batik tadi maju beberapa langkah. "Yang namanya Pelita?" panggilnya."Saya Bu, Hadir." Pelita mengangkat tangannya."Ikut Ibu ke Kantor!"Pelita melihat Qiana dan yang lainnya, ia tidak merasa punya salah sampai harus dipanggil ke kantor. Pelita bangun mengikuti arah langkah gurunya, sedangkan siswa yang lain kembali belajar.Menyusuri lorong sepi sampai pada ujung. Keluar dari area sekolah masuk ke area kantor. Mereka terus berjalan. Masuk ruang kepala sekolah."Pelita ya?" Pelita mengangguk."Duduk!" Di depannya ada dua orang Polisi, dua guru dan Pak Kepala Sekolah."Pelit
Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan."Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!""Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu.""Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas k
Qiana:Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tida
Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya."Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu."Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!""Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!""Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata."Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa.""Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi.""Dia temanku.""Nesa mau ke toilet."Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yan
Bunyi gorden jendela ditarik membuat cahaya matahari masuk kesela kamar rawat Vanessa. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu, Mama cape Vanessa!""Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa! Sayang." Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir.***"Papa dateng sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat