Langkah kedua pemuda itu begitu mantab, jalanan setapak yang dilewati cukup terjal. Tetapi semua itu tidak membuat semangat keduanya luntur.“Ajiseka, apakah manusia-manusia itu tidak melihat keberadaan dirimu? Kenapa mereka seolah tidak melihatnya?” tanya Calingkolo manakala berpapasan dengan manusia.“Tidak kakang, aku menghendaki agar tidak terlihat oleh mereka,” jawab Ajiseka. Calingkolo mengangguk paham, langkah mereka terhenti manakala sebuah keributan terjadi tidak jauh dari tempatnya. “Apa yang mereka ributkan,” gumam pelan Calingkolo. Ajiseka sendiri tidak merespon ucapan kakak seperguruannya, ia lebih serius memperhatikan keributan yang terjadi, dirinya mencium aroma penindasan yang dilakukan oleh sekelompok orang kepada seorang lelaki Tua.“Kakang Calingkolo. Sepertinya aku harus membantu kakek itu,” ujar Ajiseka kepada Calingkolo.“Lakukanlah Ajiseka, bukankah itu tujuanmu berguru di padepokan Kahuripan? Aku akan menontonmu, tenang saja,” jawab Calingkolo. Pemuda itu ter
Ajiseka sendiri mulai bertarung dengan keempat orang yang tersisa. Ya! Empat orang yang ragu untuk menyerang lawannya. Fokus mereka terganggu oleh keberadaan satu orang yang memilih duduk dan linglung.Hal itu memudahkan Ajiseka untuk melakukan perlawanan fisik, beberapa pukulan telak mendarat. Setidaknya titik organ lawan cedera karenanya, formasi yang semula mampu membuat Ajiseka terkungkung kini tidak lagi berguna.“Siapa Kau anak muda!” ucap salah satu dari kelima orang yang mengeroyok Ajiseka.“Aku? Rasanya kalian tidak perlu tau siapa aku, berhentilah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, terlebih orang itu sudah sepuh,” jawab Ajiseka. Ia melangkah maju mendekati lelaki yang juga bergerak mundur menjaga jarak dengannya.“Kau akan menyesal anak muda!” ucap lelaki itu.Ia menghunus senjata yang sejak tadi tidak ia gunakan. Seketika Kilauan terpancar dari benda panjang di tangannya, ya! Sebuah pedang digenggam erat oleh lelaki itu. Namun, Ajiseka hanya tersenyum dengan pol
Pertarungan dua lawan satu masih terjadi, Ajiseka tersenyum senang manakala ucapan Kumbolo di terima oleh nalarnya. Ia melesat dengan rangkaian serangan yang mengarah pada titik vital tubuh lawannya. Tidak sulit melakukannya, karena memang lawan Ajiseka masih terpengaruh oleh tatapan Ajiseka.Setelah berhasil melumpuhkan salah satunya, lagi-lagi Ajiseka berhadapan dengan orang yang sama, si pemilik pedang. Namun, sebelum terjadi duel, orang tua yang hendak di tolong, mendekati Ajiseka. Dia memberikan benda panjang yang dibebat dengan kain kepada Ajiseka.“Gunakan ini Ngger!” ucap lelaki sepuh kepada Ajiseka. Dia mengulurkan benda itu sembari membuka kain pembebatnya.Seketika, aura putih muncul dari benda yang kini tidak lagi terbungkus. Sebilah pedang yang ukurannya sama dengan pedang milik lawan Ajiseka.“Pedang ini yang mereka inginkan, maka gunakanlah untuk melawannya.” Ucap lelaki tua itu sembari memberikan pedangnya kepada Ajiseka.Ajiseka menerima pedang pemberian lelaki sepuh
Hening, hanya debu sisa hempasan tubuh Ajiseka saja yang masih beterbangan. Bahkan, tubuh Ajiseka tidak terlihat dari pandangan lawannya. Seringai tipis tercetak jelas di bibir lelaki itu, tetapi ia tidak puas jika belum melihat langsung keadaan musuhnya.Maka, dengan langkah jumawa lelaki itu menghampiri tempat dimana Ajiseka terhempas. Tetapi, langkahnya terhenti manakala di dalam cekungan tanah mulai ada keganjilan. Sungguh peristiwa yang mustahil, pasalnya jelas-jelas tanah di sekitar tempat itu sangat kering. Tetapi ia melihat cekungan tanah dimana Ajiseka berada malah menyerupai sebuah sumur yang lembab lagi basah.“Digdaya macam apa ini.” Ucap datar lelaki itu.Menyadari ada yang aneh dengan lawannya, lelaki itu kembali melesakkan energi dari tangannya.Dhar!Dhar!Dua ledakan menghantam tanah di sekitar lubang. Akibatnya dalam sekejap cekungan tertimbun dan menjadi gundukan tanah. Senyumnya kembali mengembang manakala tidak ada pergerakan yang mencurigakan dari reruntuhan itu.
Perlahan wujud Calingkolo memudar, menjadi asap tipis dan menyeruak masuk ke dalam raga Ajiseka. Sebuah tindakan yang membahayakan jika si pemilik raga tidak mampu menampungnya, sebab yang dilakukan Calingkolo adalah meminjamkan kekuatannya kepada Ajiseka. Digdaya yang dia kuasai dari padepokan Balung Wojo, Calingkolo memiliki kekebalan dan mampu menahan hantaman berat.“Jangan ragu untuk menyerang, Ajiseka ... Anggaplah ini pertarungan hidup dan mati. Ingatlah! Misi kita masih panjang, dan perlu Kau tau. Aku tidak kuat terlalu lama berada diragamu.”Calingkolo berucap setelah seluruhnya merasuk ditubuh adik seperguruannya, Ajiseka merasa dadanya sedikit sesak manakala raganya di rasuki oleh Calingkolo. Dua kekuatan bersatu dalam satu wadah, tidak ada pengambilan alih raga seperti halnya manusia yang dirasuki makhluk astral. Ajiseka masih mengontrol dirinya sendiri secara utuh, tanpa ada pengaruh dari Calingkolo.Bagh! Satu pukulan telak meluncur deras menghantam dada. Namun, Ajiseka
“Kau!” lelaki itu tiba-tiba naik darah. Ia tersinggung dengan tingkah Ajiseka yang dianggap telah meremehkan dirinya. Tangannya terkepal dan meninju wajah Ajiseka menggunakan kekuatan penuh. Sayangnya Ajiseka menghindarinya dengan mudah.“Sabar, Ki? Bukankah Aki meminta bekal? Saya adanya ini saja, jika tidak berkenan jangan seperti itu, Ki?” Ajiseka memajukan tangan agar lelaki itu berhenti mencoba memukul dirinya. Tetapi tindakan lelaki itu malah semakin menjadi-jadi. Alhasil Ajiseka mundur dan menjaga jarak agar terhindar dari serangan serampangan lelaki setengah baya itu.“Tindakanmu menghina Sekte Kembang kenongo, Wahai anak muda! Sudah menjadi keharusan setiap pendatang memberikan upeti kepada kami, tetapi apa yang Kau lakukan sungguh keterlaluan!” ucap lelaki itu sembari menarik pedangnya.Ajiseka memundurkan tubuhnya manakala lelaki paruh baya itu mulai menyerang dirinya. Terlebih serangan yang dilakukan cukup membuat Ajiseka khawatir, baik sabetan dan tusukannya begitu cepat
Bagh!Brugh!Pukulan telak menghantam tubuh Ajiseka, akibatnya ia terpelanting dan meluncur bebas ke tanah. Saking kerasnya memberikan debu berhamburan, sungguh sesuatu yang tidak terduga. Rupanya seseorang juga membuntuti pergerakan Ajiseka saat dirinya tengah menguntit salah satu anggota sekte. “Kau terlalu lancang Wahai anak muda!” Ucap lelaki tua berjanggut panjang kepada Ajiseka.Dhar!Dengan satu kibasan tangan lelaki itu melontarkan serangan kedua, pergerakannya begitu cepat dan tepat. Terlebih energi yang digunakan bukanlah energi tingkat rendah. Hal itu mengakibatkan tubuh Ajiseka terpental jauh, dan lagi-lagi ia harus terhempas.Blar! Serangan kembali terjadi. Kali ini menghantam pepohonan yang tidak jauh dari lokasi terhempasnya tubuh Ajiseka, gelap malam menjadi terang karena kobaran api membakar ranting dan dedaunan kering. Lelaki tua itu benar-benar memburu Ajiseka, pasalnya dalam sekejap ia sudah berada tak jauh dari posisi buruannya.Menyadari bahaya mengancam diriny
Teriakan Kumbolo mengingatkan perihal Mustika bening dan Wadah samar yang berada di sebuah cangkang. Maka dengan keteguhan hatinya Ajiseka meminta agar digdayanya dapat digunakan. Lagi-lagi tubuh Ajiseka menghangat, ia merasakan sesuatu menjalari seluruh sarafnya. Tetapi ada yang aneh dengan perubahan itu, pasalnya ia merasakan hawa hangat dan dingin di waktu yang bersamaan. Namun, hal lain juga ia rasakan, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya setelah dua suhu ditubuhnya kembali normal. Bahkan, pedang pusaka kembali hadir ditangan Ajiseka dengan aura yang sedikit berbeda. Dengan perubahan itu Ajiseka melesat pergi meninggalkan tetua sekte yang terus menerus menggempur dirinya. Bukan untuk melarikan diri, tetapi menghindari kerumunan warga yang setiap saat melintas. Bahkan, aksi kejar-kejaran terjadi hingga keluar dari wilayah pemukiman. Merasa lokasi sudah aman, Ajiseka menghentikan langkahnya. Ia menghunus pedang dan bersiap melanjutkan pertarungan yang tertunda. Semilir an