Tidak ada kata terucap, dan seolah tak ingin ada kehidupan lagi untuk lawannya, lelaki tua itu menarik paksa tubuh Ajiseka. Lalu melemparkan ke arah tebing. Melihat adik seperguruannya dalam bahaya, Calingkolo kembali beraksi. Ia melesat cepat dan merasuk ke dalam raga Ajiseka sebelum tubuhnya menghantam tembok tebing.Tindakan yang sangat tepat dilakukan oleh Calingkolo, sedikit saja telat kemungkinan tubuh Ajiseka akan mengalami cedera. Pasalnya kekuatan yang digunakan tetua sekte untuk melempar Ajiseka bukanlah hempasan tenaga dalam biasa. Bisa saja pemuda itu akan terkubur lebih dalam seperti saat melawan musuh sebelumnya.“Kau tidak akan lolos!” suara lelaki tua itu menggema di udara, tidak lama kemudian ia muncul di depan Ajiseka.“Bodoh! Cepat gunakan pedang pusaka itu!” teriak Kumbolo. Kali ini Ajiseka menuruti ucapan makhluk yang bersemayam di alam bawah sadarnya. Bersamaan dengan itu Calingkolo juga menyalurkan energinya, setidaknya kekuatan Ajiseka hampir setara dengan tet
Kekacauan akibat ulah Ajiseka senyatanya menyelamatkan nasib seorang gadis yang seharusnya menjadi pelampiasan nafsu binatang wakil pimpinan sekte Kembang kenongo dan juga tetua lainnya. Salindri namanya, anak mantan Kamituwo di wilayah itu. Ia melihat semua yang terjadi, sebab saat itu dirinya berada tidak jauh dari lokasi terjadinya awal keributan dan juga mengikuti arah pertempuran Ajiseka melawan wakil pimpinan Kembang kenongo.Salindri sendiri merupakan murid sekaligus anak pimpinan padepokan yang bernama Galuh Kencono. Tempat yang di bangun diam-diam sekitar empat belas tahun lalu. Sayang, prinsip ajarannya berseberangan dengan sekte Kembang kenongo.Saat ini Salindri sudah berada di padepokan, bercengkerama dengan sang Ayah dan menceritakan perihal kalahnya wakil pimpinan Sekte Kembang kenongo. “Romo, tampaknya saya harus menyingkir dari pusat keramaian, kejadian itu membuat saya merasa tidak tenang,” adu Salindri kepada Ayahnya.“Baiklah, tidak menjadi masalah, Nak. Keselama
Teriakan Calingkolo menghentikan pergerakan babi yang hendak menyerang Ajiseka untuk kedua kalinya. Sungguh wujud binatang yang tidak lazim, ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari ukuran babi hutan pada umumnya. Bahkan, bentuk kepalanya juga sangat berbeda, pasalnya, pipi binatang itu di tumbuhi banyak benjolan yang menyerupai tanduk.“Ya! Benar! Lawanmu adalah aku, wahai celeng tua!” sentak Calingkolo manakala binatang itu melangkah pelan mendekatinya. Dengusan kasar binatang itu terdengar semakin keras, begitu juga dengan langkah yang bertambah cepat. Tetapi babi hutan itu tidak langsung menyeruduk seperti halnya yang dilakukan kepada Ajiseka. Ia berdiri tegap dengan moncong yang mendongak ke atas.“Lancang sekali kau anak muda, sepertinya dirimu tidak berasal dari wilayah ini! Tetapi aku mencium adanya digdaya besar. Pergilah! Bukankah dirimu memiliki Kekuasaan sendiri? He?” ucap babi hutan itu.“ Seandainya kau tidak menyerang adik seperguruanku, tentu diriku tidak akan berbicara
Haryo Wicaksono, Ayah dari gadis yang tengah berbincang dengan Ajiseka, ia berjalan menghampiri keberadaan Ajiseka dengan anaknya. Menatap sesaat anak gadisnya lalu berpindah menelisik ke arah Ajiseka. Namun, Salindri malah tersenyum kepada Ayahnya.“Romo, pemuda ini yang saya ceritakan,” ucap Salindri kepada ayahnya yang masih menatap curiga kepada Ajiseka, tetapi setelah putrinya berucap tatapannya langsung berubah drastis.“Iya kah? Jika seperti itu, baiknya Nak Mas, singgah barang sebentar di gubuk saya, mari.” Ajak lelaki setengah baya itu.Ajiseka mengangguk, lalu mengikuti langkah lelaki yang menawari dirinya singgah. Sesekali dirinya mencuri pandang gadis yang mengingatkan dirinya kepada sosok wanita di padepokan Kahuripan. Pasalnya raut wajah gadis itu mirip dengan Galuh, murid Dewi Panguripan.“Tampaknya Nak Mas tidak berasal dari wilayah ini, saya Haryo Wicaksono dan ini Salindri, anak gadis saya,” ujar Haryo kepada Ajiseka setelah merek sampai di kediaman lelaki itu.“Saya
Seulas senyum menghiasi raut keriput lelaki tua yang berdiri menghadang langkah dua murid dari padepokan Balung Wojo. Bahkan, saat Ajiseka meminta izin melintas, lelaki itu malah menyeringai. Terlebih kepada Calingkolo, hal itu dikarenakan pemuda itu berasal dari bangsa siluman.“Sekali lagi izinkan kami melintas, Wahai siluman!” ucap tegas Ajiseka manakala sosok lelaki tua itu tidak mau menyingkir.Bukan tanpa sebab Ajiseka berkata tegas, pasalnya ia paham betul niatan sosok yang sejatinya berwujud buaya berkepala manusia yang sedang menjelma menjadi lelaki tua. Jelas ia menginginkan sesuatu dari Ajiseka yang memang saat melakukan perjalanan tidak menutup aura manusianya. Tetapi tatapan sosok siluman itu tidak tertuju kepada Ajiseka, melainkan ke arah Calingkolo. Tetapi setelah Ajiseka menyebut dirinya siluman, lelaki tua itu mengalihkan pandangannya. Tatapannya tajam dan berkilat kepada Ajiseka, begitu juga sebaliknya. Ya, sorot mata yang sama-sama berniat mengintimidasi satu sama
Air bergolak dan gelembung-gelembung mulai muncul seiring bergeraknya anggota tubuh sang siluman. Bahkan, pusaran yang semula menyembul di permukaan Kedung berganti menyebar di kedalaman air. Selayaknya angin puting beliung, pusaran itu bergerak memutar dengan daya putar yang luar biasa.Ajiseka yang semula berdiri tenang mulai menerima efeknya, tubuhnya seperti terdesak benda yang memiliki bobot luar biasa berat. Tetapi anehnya, arus putaran tidak membuat dirinya terpental. Namun, malah berusaha menyedot raga Ajiseka agar masuk ke dalam lingkaran pusaran air yang semakin menyebar luas.“Kau menyerahkan dirimu sendiri wahai anak manusia ... Energimu begitu besar, dan aku menyukai itu mue he he he,” kelakar sang siluman. Dirinya begitu yakin raga mangsanya akan tersedot dan masuk di dalam lingkaran digdaya yang ia kerahkan.Tentu dirinya begitu yakin jika pemuda yang saat ini terombang-ambing akan tersedot oleh pusaran air ciptaannya. Bahkan, dirinya memaklumi jika proses itu memakan w
Penyesalan Siluman buaya buntung yang bernama Surodono tidak berarti sama sekali, energi mustika bening seluruhnya sudah menjalar di tubuh Ajiseka. Akibatnya seluruh kekuatan yang dimiliki oleh Surodono perlahan melemah. Bahkan, wujud kepalanya berangsur memudar.Ya! Siluman buaya itu kalah sebelum melawan, pasrah dalam diam dan perlahan dari tubuh besarnya keluar gelembung-gelembung kecil. Sebuah proses yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Leburnya kekuasaan terhadap istana kecil dan juga dirinya.Bahkan, Surodono masih sempat melihat jiwa-jiwa yang ia tahan berhamburan keluar dari tempat penahanannya. Lalu, lambat laut tubuhnya menyusut dan berubah menjadi gelembung kecil, lesap sudah sosok buaya raksasa yang ratusan tahun berdiri di tengah Kedung. Mencari tumbal dengan dalih sesaji dan menjadikan orang asing sebagai mangsa yang sah menurut dirinya.Seonggok benda mirip permata tergolek di dasar sungai, Mustika buaya, barang yang paling berharga milik Surodono itu tidak t
“Ingat, Ajiseka. Baiknya kau berhati-hati,” Calingkolo mengingatkan Ajiseka. Pasalnya ia melihat gelagat tidak beres dari adik seperguruannya.“Jujur aku penasaran dengan sekte itu, Kang. Bahkan, Padepokan tempat Romoku menimba ilmu pun, di hancurkan oleh anggota sekte itu. Sekalipun kejadian itu sudah puluhan tahun berlalu, tetapi aku yakin ada yang tidak beres hingga saat ini,” ujar Ajiseka.“Ya, itu sudah pasti. Seperti yang dikatakan oleh Ki Haryo Wicaksono, kau harus berhati-hati,” jawab Calingkolo.“Ya! Aku tau, Kakang. Bahkan, saat ini ada sepasang mata yang mengintai kita, Kang. Tetapi biarkan saja, aku ingin tau apa yang akan dia lakukan kepada kita,”“Biarkan pengintai itu menjadi urusanku, bawa dia menjauh dari sarangnya.”Ajiseka tersenyum tipis menanggapi ucapan kakak seperguruannya. Lagi-lagi dirinya menatap simbol dan mengeja aksara yang tertera di pilar itu. ‘PADEPOKAN LOWO IRENG’ nama padepokan yang berbeda, tetapi memiliki simbol yang sama.Langkah Ajiseka semakin me
Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny
Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.
Senja jingga terlewati, temaram pun mengantar sang malam mencapai puncak kelam. Di sebuah bangunan kuno di atas Puncak Punden, beberapa orang tengah khusyuk memanjatkan doa untuk leluhur yang disemayamkan di lokasi itu. Punden Kepaten, nama yang terlontar dari mulut Danuseka akibat beberapa kali menjadi tempat terjadinya kebengisan manusia yang bersekutu dengan siluman, juga arwah penasaran.Orang-orang itu tidak lain, Ajiseka berikut kedua orang tuanya, Projo dan beberapa orang yang memiliki pengaruh di wilayah Punden. Kecuali Dadungkolo, lurah Wono wingit yang membelot dan memilih bersekutu dengan siluman ular yang bernama Dewi Sengkolo.Obor-obor di tancapkan untuk sarana penerangan, lalu setelah selesai memanjatkan doa rombongan mereka bertolak ke wilayah selatan. Melewati desa Wono Kahuripan yang di pimpin oleh lurah Janudoro, penghujung desa terlewati. Namun, perjalanan belumlah selesai.Ajiseka dan rombongan berjalan menuju hamparan hutan sisi Selatan Punden, tempat dimana poho
Seluruh warga Wono Wingit menghentikan aktivitas manakala terjadi gemuruh di angkasa, hal itu di sebabkan oleh pertarungan Ajiseka yang melintasi wilayah tepi Utara. Tidak hanya suara gemuruh yang menyebabkan kekhawatiran, pasalnya sesekali Ajiseka turun saat pemuda titisan iblis mendaratkan tubuhnya di pepohonan. Akibatnya kerusakan terjadi di area itu.Letak wilayah desa yang kebetulan berada di Utara punden, jelas terkena imbasnya. Beruntung pertarungan itu hanya melintas di pinggiran desa dan menghancurkan pepohonan yang ada. Melihat kekacauan yang terjadi, warga yang kebetulan hendak meladang memilih kembali ke desa.Sementara itu, Ajiseka terus menggempur pemuda titisan iblis hingga ke lautan. Beruntung pelarian musuhnya melewati jalur udara dan tidak lagi mendaratkan diri di wilayah perkampungan. Pada akhirnya laut Utara menjadi titik akhir pelarian, pertarungan sengit kembali terjadiLaut yang semula tenang kini dihiasi dengan deburan silih berganti, kebetulan keduanya memilik
Alam yang temaram memanas. Senyatanya Danuseka tidak selemah seperti dugaan Ajeng Ratri, setiap digdaya yang dikeluarkan mampu di halau begitu mudah oleh Danuseka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat alam ilusi buatan Ajeng Ratri itu hancur lebur, sayangnya setelah kehancuran itu terjadi Ajeng Ratri juga turut menghilang.Dan ketika Danuseka kembali ke alam nyata ia baru tersadar jika dirinya tengah di pecundangi oleh Sariti. Dirinya sengaja di giring ke alam ilusi agar wanita jelmaan itu terbebas dari incarannya. Danuseka yakin Sariti sudah pergi jauh meninggalkan wilayah Punden, lelaki itu lantas kembali berbaur dengan tiga rekannya.“Bagaimana, kang?” tanya Danuseka kepada Janudoro.“Sementara kekuatan mayat hidup itu berkurang banyak, Ki? Namun, kita harus mewaspadai jika nantinya mereka bangkit lagi,” jawab Janudoro.“Dimana Ki Sawung dan Ki Dirgodono, saya tidak melihat keberadaan mereka, Kang?”“Tenaga mereka terkuras habis dan sedang melakukan pemulihan, beruntung ada ba
Pertarungan terjadi di tiga tempat, Ajiseka masih dengan pemuda siluman titisan iblis. Janudoro, Ki Sawung dan Dirgodono meneruskan pertarungannya dengan mayat hidup. Di bantu oleh para siluman termasuk pimpinannya yang menyusupi raga mayat hidup, akibatnya sebagian makhluk itu saling serang dengan rekannya.Sedangkan Danuseka baru saja mengejar Sariti yang terbang kesana-kemari, ya! Pertarungan mereka lebih banyak terjadi di udara. Di pohon-pohon dan sesekali turun ke daratan. Tidak masuk akal memang, bahkan jika yang melawan Sariti bukanlah praktisi supranatural niscaya hanya akan menjadi mainan wanita jelmaan itu.Seperti halnya saat ini, Danuseka mengeluarkan digdayanya secara bersamaan. Pasalnya, pergerakan yang dilakukan Sariti sungguh gesit. Bahkan, cenderung menggunakan tipu muslihat yang sangat mengganggu konsentrasi Danuseka.“Danuseka... Sepertinya aku tidak perlu sungkan lagi terhadap leluhurmu, baiklah... Jika itu yang ada pikiranmu, maka kau tidak salah sedikit pun... Ak
Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas
Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul