Haryo Wicaksono, Ayah dari gadis yang tengah berbincang dengan Ajiseka, ia berjalan menghampiri keberadaan Ajiseka dengan anaknya. Menatap sesaat anak gadisnya lalu berpindah menelisik ke arah Ajiseka. Namun, Salindri malah tersenyum kepada Ayahnya.“Romo, pemuda ini yang saya ceritakan,” ucap Salindri kepada ayahnya yang masih menatap curiga kepada Ajiseka, tetapi setelah putrinya berucap tatapannya langsung berubah drastis.“Iya kah? Jika seperti itu, baiknya Nak Mas, singgah barang sebentar di gubuk saya, mari.” Ajak lelaki setengah baya itu.Ajiseka mengangguk, lalu mengikuti langkah lelaki yang menawari dirinya singgah. Sesekali dirinya mencuri pandang gadis yang mengingatkan dirinya kepada sosok wanita di padepokan Kahuripan. Pasalnya raut wajah gadis itu mirip dengan Galuh, murid Dewi Panguripan.“Tampaknya Nak Mas tidak berasal dari wilayah ini, saya Haryo Wicaksono dan ini Salindri, anak gadis saya,” ujar Haryo kepada Ajiseka setelah merek sampai di kediaman lelaki itu.“Saya
Seulas senyum menghiasi raut keriput lelaki tua yang berdiri menghadang langkah dua murid dari padepokan Balung Wojo. Bahkan, saat Ajiseka meminta izin melintas, lelaki itu malah menyeringai. Terlebih kepada Calingkolo, hal itu dikarenakan pemuda itu berasal dari bangsa siluman.“Sekali lagi izinkan kami melintas, Wahai siluman!” ucap tegas Ajiseka manakala sosok lelaki tua itu tidak mau menyingkir.Bukan tanpa sebab Ajiseka berkata tegas, pasalnya ia paham betul niatan sosok yang sejatinya berwujud buaya berkepala manusia yang sedang menjelma menjadi lelaki tua. Jelas ia menginginkan sesuatu dari Ajiseka yang memang saat melakukan perjalanan tidak menutup aura manusianya. Tetapi tatapan sosok siluman itu tidak tertuju kepada Ajiseka, melainkan ke arah Calingkolo. Tetapi setelah Ajiseka menyebut dirinya siluman, lelaki tua itu mengalihkan pandangannya. Tatapannya tajam dan berkilat kepada Ajiseka, begitu juga sebaliknya. Ya, sorot mata yang sama-sama berniat mengintimidasi satu sama
Air bergolak dan gelembung-gelembung mulai muncul seiring bergeraknya anggota tubuh sang siluman. Bahkan, pusaran yang semula menyembul di permukaan Kedung berganti menyebar di kedalaman air. Selayaknya angin puting beliung, pusaran itu bergerak memutar dengan daya putar yang luar biasa.Ajiseka yang semula berdiri tenang mulai menerima efeknya, tubuhnya seperti terdesak benda yang memiliki bobot luar biasa berat. Tetapi anehnya, arus putaran tidak membuat dirinya terpental. Namun, malah berusaha menyedot raga Ajiseka agar masuk ke dalam lingkaran pusaran air yang semakin menyebar luas.“Kau menyerahkan dirimu sendiri wahai anak manusia ... Energimu begitu besar, dan aku menyukai itu mue he he he,” kelakar sang siluman. Dirinya begitu yakin raga mangsanya akan tersedot dan masuk di dalam lingkaran digdaya yang ia kerahkan.Tentu dirinya begitu yakin jika pemuda yang saat ini terombang-ambing akan tersedot oleh pusaran air ciptaannya. Bahkan, dirinya memaklumi jika proses itu memakan w
Penyesalan Siluman buaya buntung yang bernama Surodono tidak berarti sama sekali, energi mustika bening seluruhnya sudah menjalar di tubuh Ajiseka. Akibatnya seluruh kekuatan yang dimiliki oleh Surodono perlahan melemah. Bahkan, wujud kepalanya berangsur memudar.Ya! Siluman buaya itu kalah sebelum melawan, pasrah dalam diam dan perlahan dari tubuh besarnya keluar gelembung-gelembung kecil. Sebuah proses yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Leburnya kekuasaan terhadap istana kecil dan juga dirinya.Bahkan, Surodono masih sempat melihat jiwa-jiwa yang ia tahan berhamburan keluar dari tempat penahanannya. Lalu, lambat laut tubuhnya menyusut dan berubah menjadi gelembung kecil, lesap sudah sosok buaya raksasa yang ratusan tahun berdiri di tengah Kedung. Mencari tumbal dengan dalih sesaji dan menjadikan orang asing sebagai mangsa yang sah menurut dirinya.Seonggok benda mirip permata tergolek di dasar sungai, Mustika buaya, barang yang paling berharga milik Surodono itu tidak t
“Ingat, Ajiseka. Baiknya kau berhati-hati,” Calingkolo mengingatkan Ajiseka. Pasalnya ia melihat gelagat tidak beres dari adik seperguruannya.“Jujur aku penasaran dengan sekte itu, Kang. Bahkan, Padepokan tempat Romoku menimba ilmu pun, di hancurkan oleh anggota sekte itu. Sekalipun kejadian itu sudah puluhan tahun berlalu, tetapi aku yakin ada yang tidak beres hingga saat ini,” ujar Ajiseka.“Ya, itu sudah pasti. Seperti yang dikatakan oleh Ki Haryo Wicaksono, kau harus berhati-hati,” jawab Calingkolo.“Ya! Aku tau, Kakang. Bahkan, saat ini ada sepasang mata yang mengintai kita, Kang. Tetapi biarkan saja, aku ingin tau apa yang akan dia lakukan kepada kita,”“Biarkan pengintai itu menjadi urusanku, bawa dia menjauh dari sarangnya.”Ajiseka tersenyum tipis menanggapi ucapan kakak seperguruannya. Lagi-lagi dirinya menatap simbol dan mengeja aksara yang tertera di pilar itu. ‘PADEPOKAN LOWO IRENG’ nama padepokan yang berbeda, tetapi memiliki simbol yang sama.Langkah Ajiseka semakin me
“Ajiseka! Berhati-hatilah, banyak dedemit yang turut menyerangmu! Maaf, untuk saat ini aku tidak bisa membantu dirimu, waspadalah!” teriak Calingkolo kepada Ajiseka.Baru sekali ini Calingkolo menghindari pertarungan Adik seperguruannya, dirinya tau betul jika memaksakan diri tetap berada di tempat. Oleh sebab itu ia memilih secepatnya menghindari lokasi pertarungan. Tidak main-main, Calingkolo meninggalkan Ajiseka sejauh mungkin, pasalnya ia tidak ingin aura silumannya terendus oleh lelaki kurus yang menatapnya.Sementara itu, usai mendengar ucapan kakak seperguruannya, Ajiseka langsung memasang kewaspadaan tinggi. Bahkan, lelaki kurus yang hanya berdiam diri tidak luput dari pengamatan netranya. Seketika ia menduga jika kepergian Calingkolo berasal dari Lelaki itu.Serangan demi serangan terus terlontar, tetapi sejauh ini Ajiseka masih mampu mengimbanginya. Tidak dipungkiri, tenaga dalam dari kedua lelaki yang menyerangnya memiliki tingkatan yang tinggi. Bahkan, kemungkinan hal seru
TrikSosok sepuh tiba-tiba muncul, ia tidak langsung menyerang Ajiseka dengan digdayanya. Namun, tatapannya begitu tajam. Ia mendekati Ajiseka, memangkas jarak dan menelisik sosok muda yang belum terkalahkan oleh dua bawahannya.Tidak urung tatapan keduanya bersirobok, seketika aura panas terpancar dari tatapan lelaki sepuh. Tetapi Ajiseka mengindahkan hal itu, dirinya sadar ada yang aneh dengan sorot tajam lawannya. Namun, selama sanggup menahan tatapannya ia tidak akan mundur. Sebab Ajiseka sendiri sejatinya memiliki digdaya yang hampir mirip dengan yang di lakukan oleh lelaki sepuh itu.“Tidak kusangka, aku menemukan pemuda yang memiliki bakat luar biasa. Ikutlah denganku, Wahai anak muda, lupakan perseteruan ini. Bergabunglah dengan padepokan Lowo Ireng, maka kau akan mendapatkan kesenangan hidup,” ucap lelaki sepuh itu.“Sudah jelas yang saya lihat, Ki. Tidak ada gunanya linuwih jika digunakan untuk keburukan,” jawab Ajiseka tanpa memalingkan tatapannya.“Keburukan seperti apa ya
Akibat ledakan yang sering terjadi, lokasi pertarungan menjadi kacau balau. Ajiseka terpaksa menjauh, masuk ke dalam hutan guna menghindari kerusakan dan korban jika ada yang kebetulan melintas. Pasalnya mereka berada di pinggiran hutan, artinya sewaktu-waktu akan ada yang melintas.Bersamaan dengan itu, dua orang bawahan lelaki tua juga mengikuti pergerakan Ajiseka. Mereka khawatir jika tetua padepokan kerepotan menghadapi pemuda asing yang saat ini masih berkelebat semakin jauh meninggalkan pinggiran hutan. Bukan tanpa sebab kekhawatiran itu muncul, pasalnya sudah ratusan jurus dikeluarkan, tetapi belum juga mampu melumpuhkan lawannya.Dhar!Dhar!Dua ledakan menghentikan laju Ajiseka. Pasalnya pohon sebesar paha orang dewasa tumbang seketika saat terkena hantaman energi dari lelaki sepuh yang mengejarnya.“Berhenti bertele-tele, Wahai anak muda! Selesaikan disini atau seluruh sekte Kembang Kenongo akan mengejarmu sampai ke ujung dunia!” teriak lelaki sepuh itu.Mendengar itu Ajisek