TrikSosok sepuh tiba-tiba muncul, ia tidak langsung menyerang Ajiseka dengan digdayanya. Namun, tatapannya begitu tajam. Ia mendekati Ajiseka, memangkas jarak dan menelisik sosok muda yang belum terkalahkan oleh dua bawahannya.Tidak urung tatapan keduanya bersirobok, seketika aura panas terpancar dari tatapan lelaki sepuh. Tetapi Ajiseka mengindahkan hal itu, dirinya sadar ada yang aneh dengan sorot tajam lawannya. Namun, selama sanggup menahan tatapannya ia tidak akan mundur. Sebab Ajiseka sendiri sejatinya memiliki digdaya yang hampir mirip dengan yang di lakukan oleh lelaki sepuh itu.“Tidak kusangka, aku menemukan pemuda yang memiliki bakat luar biasa. Ikutlah denganku, Wahai anak muda, lupakan perseteruan ini. Bergabunglah dengan padepokan Lowo Ireng, maka kau akan mendapatkan kesenangan hidup,” ucap lelaki sepuh itu.“Sudah jelas yang saya lihat, Ki. Tidak ada gunanya linuwih jika digunakan untuk keburukan,” jawab Ajiseka tanpa memalingkan tatapannya.“Keburukan seperti apa ya
Akibat ledakan yang sering terjadi, lokasi pertarungan menjadi kacau balau. Ajiseka terpaksa menjauh, masuk ke dalam hutan guna menghindari kerusakan dan korban jika ada yang kebetulan melintas. Pasalnya mereka berada di pinggiran hutan, artinya sewaktu-waktu akan ada yang melintas.Bersamaan dengan itu, dua orang bawahan lelaki tua juga mengikuti pergerakan Ajiseka. Mereka khawatir jika tetua padepokan kerepotan menghadapi pemuda asing yang saat ini masih berkelebat semakin jauh meninggalkan pinggiran hutan. Bukan tanpa sebab kekhawatiran itu muncul, pasalnya sudah ratusan jurus dikeluarkan, tetapi belum juga mampu melumpuhkan lawannya.Dhar!Dhar!Dua ledakan menghentikan laju Ajiseka. Pasalnya pohon sebesar paha orang dewasa tumbang seketika saat terkena hantaman energi dari lelaki sepuh yang mengejarnya.“Berhenti bertele-tele, Wahai anak muda! Selesaikan disini atau seluruh sekte Kembang Kenongo akan mengejarmu sampai ke ujung dunia!” teriak lelaki sepuh itu.Mendengar itu Ajisek
Tubuh tua itu meluncur deras, menghantam tanah kering dan menciptakan cekungan dalam. Bahkan, debu dan kerikil berhamburan akibat hempasan tubuh tuanya. Lalu darah mengalir dan merembes membasahi tanah kering dimana lelaki tua itu meringkuk.Ajiseka kembali menancapkan pedangnya, menjadikan senjata pusaka sebagai tumpuan tubuhnya yang bergetar akibat penyesalan diri. Pasalnya, ia telah melanggar janjinya kepada sang ayah. Janji tidak sembarang melukai apalagi membunuh.Ia terpekur, tenggelam dalam rasa yang menurutnya bersalah. Menunduk takzim sebagai rasa hormat kepada tubuh tua yang baru saja ia selesaikan kehidupannya. Tetapi tanpa diduga oleh Ajiseka, mata lelaki tua mengerjap dan jari jemarinya bergerak pelan.“Kehidupan kedua baru saja kumulai, wahai anak muda! Hua ha ha ha” lelaki itu tertawa sumbang, ia berdiri gagah walaupun tubuhnya masih tetap bersimbah darah.Hal itu membuat Ajiseka tercengang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah energi padat meluncur deras ke arah
Seonggok potongan kepala di turunkan secara perlahan, lalu disandingkan dengan potongan tubuhnya. Tidak lama kemudian matanya membuka lebar, perlahan tapi pasti tubuh yang terpisah dengan kepalanya itu merapat dan kembali menyatu. Ia tersenyum manakala seluruh organ tubuhnya telah tersambung sempurna. Tetapi tidak dipungkiri, tubuhnya terasa lemah akibat energi yang terkuras habis. Ia ambruk dan membutuhkan istirahat untuk memulihkan kondisi. Bahkan, untuk kembali ke markas padepokan Lowo Ireng dirinya harus ditandu. Disisi lain, setelah wakil pimpinan mengalami cedera luar biasa, padepokan Kembang Kenongo berencana memburu pelaku. Sayangnya pimpinan utama baru saja sampai di padepokan, sehingga niat para tetua harus tertunda untuk sementara waktu. Raut murka tercetak jelas di wajah sang pimpinan manakala mendapat laporan perihal kekisruhan bawahannya. “Kalian semua! Siapa pun yang mengenali wajah pelaku, aku tugaskan untuk menjadi telik sandi! Kekalahan Ki Brojolewo adalah pukulan
Padepokan Kembang Kenongo dan padepokan Lowo Ireng akhirnya bersatu, mereka menyiapkan ratusan obor untuk penerangan sekaligus berfungsi sebagai pagar, pasalnya alat penerangan itu ditancapkan melingkari bangunan yang akan di gunakan. Kali ini acara sakral disiapkan secara hati-hati, pasalnya jika salah satu syarat tidak ada biasanya akan terjadi kericuhan. Bahkan, untuk mengantisipasi kesalahan, dua pimpinan berbeda padepokan tidak segan meneliti kembali pekerjaan yang dilakukan bawahannya.Sementara, Matahari sudah mulai condong ke Barat, menandakan jika sebentar lagi Sandikala tiba. Bersamaan dengan itu, persiapan telah selesai dikerjakan. Bahkan, sesajian sudah berada di titik yang di tentukan.Warga yang mengetahui hal itu segera mengabarkan kepada warga lainnya agar malam ini tidak keluar rumah. Bahkan, tidak sedikit warga yang bersiap menginap di rumah sanak saudaranya. Pasalnya, setiap ada kegiatan aneh , pasti ada saja yang menjadi korbannya.Langit menguning dihiasi semburat
Mencekam, satu-satunya kata yang pantas untuk menggambarkan situasi di dalam aula padepokan. Sosok Sariti tiba-tiba melayang dan menyambar salah satu lelaki yang duduk di tengah-tengah kumpulan anggota sekte. Hal itu membuat sebagian anggota yang duduk di dekatnya hampir berteriak histeris.Brugh!Sariti melempar begitu saja lelaki yang kini meringkuk di atas altar, tubuhnya menggigil manakala Sariti mengendusnya.“Siapa pun dia!” Ucap tegas Sariti sembari menunjuk ke arah lelaki yang meringkuk tak berdaya.“Habisi! Aku tidak sudi tempat ini dikotori dengan penyusup atau penghianat!” ujar Sariti setelah beberapa saat mengendus tubuh lelaki di depannya.Semua orang tercengang, terlebih saat tatapan sosok yang mereka agungkan itu masih menelisik seisi ruangan. Seolah mencari siapa-siapa yang akan dijadikan tumbal berikutnya. Sedangkan di atas altar sendiri salah satu anggota sudah berada di sebelah lelaki yang meringkuk ketakutan, di tangannya sudah tergenggam senjata untuk melaksanakan
Cukup lama Ajiseka menemani dua sahabatnya, Rimpang dan Condro Kumolo. Beruntung keberadaan padepokan tertutup dan tidak bisa di lihat oleh pihak luar. Jika saja terlihat oleh manusia, sudah pasti Ajiseka akan ditertawakan oleh orang-orang.Pasalnya, wujud Rimpang di alam manusia adalah seekor Kera, dan Musang merupakan wujud asli Condro Kumolo. Sedangkan mereka bertiga berteman selayaknya manusia biasa, malahan terkadang mereka bergurau seperti teman sepermainan. Tentu sangat janggal dan tidak bisa di nalar oleh manusia.Hari berlalu, tetapi kedua murid Ki Balung Wojo masih tampak ragu. Pasalnya, untuk pertama kalinya Ajiseka mengikuti kompetisi, begitu juga dengan Calingkolo. Namun, mereka selalu di yakinkan oleh gurunya, bahwa kompetisi itu sangat berarti untuk padepokan juga pesertanya.“Misi kalian sebelumnya adalah ujian sekaligus latihan yang sesungguhnya. Ingat! Walaupun kalian berada di lingkup pertandingan, tetapi lawan yang dihadapi sama persis dengan pengalaman semasa menj
Terhempasnya Rengas, artinya kekalahan untuknya, maka babak berikutnya pun di mulai. Jual beli pukulan dan adu kekuatan terjadi begitu cepat, sehingga babak demi babak dapat terselesaikan dengan cepat.“Calingkolo!”Setelah satu nama di sebut akhirnya pewarta memanggil Calingkolo. Keduanya langsung menuju arena pertarungan, tidak lama kemudian adu kekuatan terjadi, pergerakan Calingkolo dan lawannya sama-sama cepat. Bahkan, adu kekuatan keduanya sudah berada di tingkatan yang lumayan tinggi.Sehingga, setiap terjadinya benturan selalu saja menimbulkan kerusakan di sekitar mereka. Hal itu membuat arena di perluas oleh penyelenggara, tentu tujuannya agar pertandingan memiliki ruang gerak yang lebih luas. Mengingat peserta sudah mulai melakukan gerakan dan tingkat tenaga dalam yang digunakan berada level menengah.Blar!Blar!Baru saja arena pertandingan di perluas, dua energi kembali berbenturan cukup keras, lagi-lagi mengakibatkan kerusakan yang cukup berat. Tanah yang semula rata, kin
Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny
Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.
Senja jingga terlewati, temaram pun mengantar sang malam mencapai puncak kelam. Di sebuah bangunan kuno di atas Puncak Punden, beberapa orang tengah khusyuk memanjatkan doa untuk leluhur yang disemayamkan di lokasi itu. Punden Kepaten, nama yang terlontar dari mulut Danuseka akibat beberapa kali menjadi tempat terjadinya kebengisan manusia yang bersekutu dengan siluman, juga arwah penasaran.Orang-orang itu tidak lain, Ajiseka berikut kedua orang tuanya, Projo dan beberapa orang yang memiliki pengaruh di wilayah Punden. Kecuali Dadungkolo, lurah Wono wingit yang membelot dan memilih bersekutu dengan siluman ular yang bernama Dewi Sengkolo.Obor-obor di tancapkan untuk sarana penerangan, lalu setelah selesai memanjatkan doa rombongan mereka bertolak ke wilayah selatan. Melewati desa Wono Kahuripan yang di pimpin oleh lurah Janudoro, penghujung desa terlewati. Namun, perjalanan belumlah selesai.Ajiseka dan rombongan berjalan menuju hamparan hutan sisi Selatan Punden, tempat dimana poho
Seluruh warga Wono Wingit menghentikan aktivitas manakala terjadi gemuruh di angkasa, hal itu di sebabkan oleh pertarungan Ajiseka yang melintasi wilayah tepi Utara. Tidak hanya suara gemuruh yang menyebabkan kekhawatiran, pasalnya sesekali Ajiseka turun saat pemuda titisan iblis mendaratkan tubuhnya di pepohonan. Akibatnya kerusakan terjadi di area itu.Letak wilayah desa yang kebetulan berada di Utara punden, jelas terkena imbasnya. Beruntung pertarungan itu hanya melintas di pinggiran desa dan menghancurkan pepohonan yang ada. Melihat kekacauan yang terjadi, warga yang kebetulan hendak meladang memilih kembali ke desa.Sementara itu, Ajiseka terus menggempur pemuda titisan iblis hingga ke lautan. Beruntung pelarian musuhnya melewati jalur udara dan tidak lagi mendaratkan diri di wilayah perkampungan. Pada akhirnya laut Utara menjadi titik akhir pelarian, pertarungan sengit kembali terjadiLaut yang semula tenang kini dihiasi dengan deburan silih berganti, kebetulan keduanya memilik
Alam yang temaram memanas. Senyatanya Danuseka tidak selemah seperti dugaan Ajeng Ratri, setiap digdaya yang dikeluarkan mampu di halau begitu mudah oleh Danuseka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat alam ilusi buatan Ajeng Ratri itu hancur lebur, sayangnya setelah kehancuran itu terjadi Ajeng Ratri juga turut menghilang.Dan ketika Danuseka kembali ke alam nyata ia baru tersadar jika dirinya tengah di pecundangi oleh Sariti. Dirinya sengaja di giring ke alam ilusi agar wanita jelmaan itu terbebas dari incarannya. Danuseka yakin Sariti sudah pergi jauh meninggalkan wilayah Punden, lelaki itu lantas kembali berbaur dengan tiga rekannya.“Bagaimana, kang?” tanya Danuseka kepada Janudoro.“Sementara kekuatan mayat hidup itu berkurang banyak, Ki? Namun, kita harus mewaspadai jika nantinya mereka bangkit lagi,” jawab Janudoro.“Dimana Ki Sawung dan Ki Dirgodono, saya tidak melihat keberadaan mereka, Kang?”“Tenaga mereka terkuras habis dan sedang melakukan pemulihan, beruntung ada ba
Pertarungan terjadi di tiga tempat, Ajiseka masih dengan pemuda siluman titisan iblis. Janudoro, Ki Sawung dan Dirgodono meneruskan pertarungannya dengan mayat hidup. Di bantu oleh para siluman termasuk pimpinannya yang menyusupi raga mayat hidup, akibatnya sebagian makhluk itu saling serang dengan rekannya.Sedangkan Danuseka baru saja mengejar Sariti yang terbang kesana-kemari, ya! Pertarungan mereka lebih banyak terjadi di udara. Di pohon-pohon dan sesekali turun ke daratan. Tidak masuk akal memang, bahkan jika yang melawan Sariti bukanlah praktisi supranatural niscaya hanya akan menjadi mainan wanita jelmaan itu.Seperti halnya saat ini, Danuseka mengeluarkan digdayanya secara bersamaan. Pasalnya, pergerakan yang dilakukan Sariti sungguh gesit. Bahkan, cenderung menggunakan tipu muslihat yang sangat mengganggu konsentrasi Danuseka.“Danuseka... Sepertinya aku tidak perlu sungkan lagi terhadap leluhurmu, baiklah... Jika itu yang ada pikiranmu, maka kau tidak salah sedikit pun... Ak
Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas
Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul