“Raja Tirtadunya.” Setelah berucap Kumbolo langsung lesap. Begitu juga dengan si pemuda, ia kembali tersadar.Kehadiran raja Tirta Dunya membuat pemuda itu enggan berhadapan dengan Ajiseka. Jika saja ia tau sejak awal, tentu dirinya tidak akan pernah berniat menguji putra angkat Dewi Panguripan. Namun, hal itu sungguh percuma, pasalnya belum lama tersadar dirinya sudah dihadapkan dengan serangan tajam dari Ajiseka, akibatnya ia harus mati-matian menghindarinya.Dhar!Dhar!Dua bola energi melesat ke arah Ajiseka, juga pemuda yang melawannya, rupanya ada sosok lain yang memperhatikan perkelahian kedua pemuda itu.Tekanan dari dua bola energi yang menyeruak terasa begitu kuat, sehingga membuat Ajiseka dan pemuda itu sama-sama terpental berjauhan.“Cukup Calingkolo!” sosok sepuh dan bersahaja tiba-tiba muncul di tengah keduanya. Ki Balung Wojo, guru dari semua murid di padepokan Kahuripan yang berada di jalurnya.“Diakah orangnya Ki?” ucap pemuda berkepala Babi itu. Ki Balung Wojo pun me
Langkah kedua pemuda itu begitu mantab, jalanan setapak yang dilewati cukup terjal. Tetapi semua itu tidak membuat semangat keduanya luntur.“Ajiseka, apakah manusia-manusia itu tidak melihat keberadaan dirimu? Kenapa mereka seolah tidak melihatnya?” tanya Calingkolo manakala berpapasan dengan manusia.“Tidak kakang, aku menghendaki agar tidak terlihat oleh mereka,” jawab Ajiseka. Calingkolo mengangguk paham, langkah mereka terhenti manakala sebuah keributan terjadi tidak jauh dari tempatnya. “Apa yang mereka ributkan,” gumam pelan Calingkolo. Ajiseka sendiri tidak merespon ucapan kakak seperguruannya, ia lebih serius memperhatikan keributan yang terjadi, dirinya mencium aroma penindasan yang dilakukan oleh sekelompok orang kepada seorang lelaki Tua.“Kakang Calingkolo. Sepertinya aku harus membantu kakek itu,” ujar Ajiseka kepada Calingkolo.“Lakukanlah Ajiseka, bukankah itu tujuanmu berguru di padepokan Kahuripan? Aku akan menontonmu, tenang saja,” jawab Calingkolo. Pemuda itu ter
Ajiseka sendiri mulai bertarung dengan keempat orang yang tersisa. Ya! Empat orang yang ragu untuk menyerang lawannya. Fokus mereka terganggu oleh keberadaan satu orang yang memilih duduk dan linglung.Hal itu memudahkan Ajiseka untuk melakukan perlawanan fisik, beberapa pukulan telak mendarat. Setidaknya titik organ lawan cedera karenanya, formasi yang semula mampu membuat Ajiseka terkungkung kini tidak lagi berguna.“Siapa Kau anak muda!” ucap salah satu dari kelima orang yang mengeroyok Ajiseka.“Aku? Rasanya kalian tidak perlu tau siapa aku, berhentilah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, terlebih orang itu sudah sepuh,” jawab Ajiseka. Ia melangkah maju mendekati lelaki yang juga bergerak mundur menjaga jarak dengannya.“Kau akan menyesal anak muda!” ucap lelaki itu.Ia menghunus senjata yang sejak tadi tidak ia gunakan. Seketika Kilauan terpancar dari benda panjang di tangannya, ya! Sebuah pedang digenggam erat oleh lelaki itu. Namun, Ajiseka hanya tersenyum dengan pol
Pertarungan dua lawan satu masih terjadi, Ajiseka tersenyum senang manakala ucapan Kumbolo di terima oleh nalarnya. Ia melesat dengan rangkaian serangan yang mengarah pada titik vital tubuh lawannya. Tidak sulit melakukannya, karena memang lawan Ajiseka masih terpengaruh oleh tatapan Ajiseka.Setelah berhasil melumpuhkan salah satunya, lagi-lagi Ajiseka berhadapan dengan orang yang sama, si pemilik pedang. Namun, sebelum terjadi duel, orang tua yang hendak di tolong, mendekati Ajiseka. Dia memberikan benda panjang yang dibebat dengan kain kepada Ajiseka.“Gunakan ini Ngger!” ucap lelaki sepuh kepada Ajiseka. Dia mengulurkan benda itu sembari membuka kain pembebatnya.Seketika, aura putih muncul dari benda yang kini tidak lagi terbungkus. Sebilah pedang yang ukurannya sama dengan pedang milik lawan Ajiseka.“Pedang ini yang mereka inginkan, maka gunakanlah untuk melawannya.” Ucap lelaki tua itu sembari memberikan pedangnya kepada Ajiseka.Ajiseka menerima pedang pemberian lelaki sepuh
Hening, hanya debu sisa hempasan tubuh Ajiseka saja yang masih beterbangan. Bahkan, tubuh Ajiseka tidak terlihat dari pandangan lawannya. Seringai tipis tercetak jelas di bibir lelaki itu, tetapi ia tidak puas jika belum melihat langsung keadaan musuhnya.Maka, dengan langkah jumawa lelaki itu menghampiri tempat dimana Ajiseka terhempas. Tetapi, langkahnya terhenti manakala di dalam cekungan tanah mulai ada keganjilan. Sungguh peristiwa yang mustahil, pasalnya jelas-jelas tanah di sekitar tempat itu sangat kering. Tetapi ia melihat cekungan tanah dimana Ajiseka berada malah menyerupai sebuah sumur yang lembab lagi basah.“Digdaya macam apa ini.” Ucap datar lelaki itu.Menyadari ada yang aneh dengan lawannya, lelaki itu kembali melesakkan energi dari tangannya.Dhar!Dhar!Dua ledakan menghantam tanah di sekitar lubang. Akibatnya dalam sekejap cekungan tertimbun dan menjadi gundukan tanah. Senyumnya kembali mengembang manakala tidak ada pergerakan yang mencurigakan dari reruntuhan itu.
Perlahan wujud Calingkolo memudar, menjadi asap tipis dan menyeruak masuk ke dalam raga Ajiseka. Sebuah tindakan yang membahayakan jika si pemilik raga tidak mampu menampungnya, sebab yang dilakukan Calingkolo adalah meminjamkan kekuatannya kepada Ajiseka. Digdaya yang dia kuasai dari padepokan Balung Wojo, Calingkolo memiliki kekebalan dan mampu menahan hantaman berat.“Jangan ragu untuk menyerang, Ajiseka ... Anggaplah ini pertarungan hidup dan mati. Ingatlah! Misi kita masih panjang, dan perlu Kau tau. Aku tidak kuat terlalu lama berada diragamu.”Calingkolo berucap setelah seluruhnya merasuk ditubuh adik seperguruannya, Ajiseka merasa dadanya sedikit sesak manakala raganya di rasuki oleh Calingkolo. Dua kekuatan bersatu dalam satu wadah, tidak ada pengambilan alih raga seperti halnya manusia yang dirasuki makhluk astral. Ajiseka masih mengontrol dirinya sendiri secara utuh, tanpa ada pengaruh dari Calingkolo.Bagh! Satu pukulan telak meluncur deras menghantam dada. Namun, Ajiseka
“Kau!” lelaki itu tiba-tiba naik darah. Ia tersinggung dengan tingkah Ajiseka yang dianggap telah meremehkan dirinya. Tangannya terkepal dan meninju wajah Ajiseka menggunakan kekuatan penuh. Sayangnya Ajiseka menghindarinya dengan mudah.“Sabar, Ki? Bukankah Aki meminta bekal? Saya adanya ini saja, jika tidak berkenan jangan seperti itu, Ki?” Ajiseka memajukan tangan agar lelaki itu berhenti mencoba memukul dirinya. Tetapi tindakan lelaki itu malah semakin menjadi-jadi. Alhasil Ajiseka mundur dan menjaga jarak agar terhindar dari serangan serampangan lelaki setengah baya itu.“Tindakanmu menghina Sekte Kembang kenongo, Wahai anak muda! Sudah menjadi keharusan setiap pendatang memberikan upeti kepada kami, tetapi apa yang Kau lakukan sungguh keterlaluan!” ucap lelaki itu sembari menarik pedangnya.Ajiseka memundurkan tubuhnya manakala lelaki paruh baya itu mulai menyerang dirinya. Terlebih serangan yang dilakukan cukup membuat Ajiseka khawatir, baik sabetan dan tusukannya begitu cepat
Bagh!Brugh!Pukulan telak menghantam tubuh Ajiseka, akibatnya ia terpelanting dan meluncur bebas ke tanah. Saking kerasnya memberikan debu berhamburan, sungguh sesuatu yang tidak terduga. Rupanya seseorang juga membuntuti pergerakan Ajiseka saat dirinya tengah menguntit salah satu anggota sekte. “Kau terlalu lancang Wahai anak muda!” Ucap lelaki tua berjanggut panjang kepada Ajiseka.Dhar!Dengan satu kibasan tangan lelaki itu melontarkan serangan kedua, pergerakannya begitu cepat dan tepat. Terlebih energi yang digunakan bukanlah energi tingkat rendah. Hal itu mengakibatkan tubuh Ajiseka terpental jauh, dan lagi-lagi ia harus terhempas.Blar! Serangan kembali terjadi. Kali ini menghantam pepohonan yang tidak jauh dari lokasi terhempasnya tubuh Ajiseka, gelap malam menjadi terang karena kobaran api membakar ranting dan dedaunan kering. Lelaki tua itu benar-benar memburu Ajiseka, pasalnya dalam sekejap ia sudah berada tak jauh dari posisi buruannya.Menyadari bahaya mengancam diriny
Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny
Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.
Senja jingga terlewati, temaram pun mengantar sang malam mencapai puncak kelam. Di sebuah bangunan kuno di atas Puncak Punden, beberapa orang tengah khusyuk memanjatkan doa untuk leluhur yang disemayamkan di lokasi itu. Punden Kepaten, nama yang terlontar dari mulut Danuseka akibat beberapa kali menjadi tempat terjadinya kebengisan manusia yang bersekutu dengan siluman, juga arwah penasaran.Orang-orang itu tidak lain, Ajiseka berikut kedua orang tuanya, Projo dan beberapa orang yang memiliki pengaruh di wilayah Punden. Kecuali Dadungkolo, lurah Wono wingit yang membelot dan memilih bersekutu dengan siluman ular yang bernama Dewi Sengkolo.Obor-obor di tancapkan untuk sarana penerangan, lalu setelah selesai memanjatkan doa rombongan mereka bertolak ke wilayah selatan. Melewati desa Wono Kahuripan yang di pimpin oleh lurah Janudoro, penghujung desa terlewati. Namun, perjalanan belumlah selesai.Ajiseka dan rombongan berjalan menuju hamparan hutan sisi Selatan Punden, tempat dimana poho
Seluruh warga Wono Wingit menghentikan aktivitas manakala terjadi gemuruh di angkasa, hal itu di sebabkan oleh pertarungan Ajiseka yang melintasi wilayah tepi Utara. Tidak hanya suara gemuruh yang menyebabkan kekhawatiran, pasalnya sesekali Ajiseka turun saat pemuda titisan iblis mendaratkan tubuhnya di pepohonan. Akibatnya kerusakan terjadi di area itu.Letak wilayah desa yang kebetulan berada di Utara punden, jelas terkena imbasnya. Beruntung pertarungan itu hanya melintas di pinggiran desa dan menghancurkan pepohonan yang ada. Melihat kekacauan yang terjadi, warga yang kebetulan hendak meladang memilih kembali ke desa.Sementara itu, Ajiseka terus menggempur pemuda titisan iblis hingga ke lautan. Beruntung pelarian musuhnya melewati jalur udara dan tidak lagi mendaratkan diri di wilayah perkampungan. Pada akhirnya laut Utara menjadi titik akhir pelarian, pertarungan sengit kembali terjadiLaut yang semula tenang kini dihiasi dengan deburan silih berganti, kebetulan keduanya memilik
Alam yang temaram memanas. Senyatanya Danuseka tidak selemah seperti dugaan Ajeng Ratri, setiap digdaya yang dikeluarkan mampu di halau begitu mudah oleh Danuseka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat alam ilusi buatan Ajeng Ratri itu hancur lebur, sayangnya setelah kehancuran itu terjadi Ajeng Ratri juga turut menghilang.Dan ketika Danuseka kembali ke alam nyata ia baru tersadar jika dirinya tengah di pecundangi oleh Sariti. Dirinya sengaja di giring ke alam ilusi agar wanita jelmaan itu terbebas dari incarannya. Danuseka yakin Sariti sudah pergi jauh meninggalkan wilayah Punden, lelaki itu lantas kembali berbaur dengan tiga rekannya.“Bagaimana, kang?” tanya Danuseka kepada Janudoro.“Sementara kekuatan mayat hidup itu berkurang banyak, Ki? Namun, kita harus mewaspadai jika nantinya mereka bangkit lagi,” jawab Janudoro.“Dimana Ki Sawung dan Ki Dirgodono, saya tidak melihat keberadaan mereka, Kang?”“Tenaga mereka terkuras habis dan sedang melakukan pemulihan, beruntung ada ba
Pertarungan terjadi di tiga tempat, Ajiseka masih dengan pemuda siluman titisan iblis. Janudoro, Ki Sawung dan Dirgodono meneruskan pertarungannya dengan mayat hidup. Di bantu oleh para siluman termasuk pimpinannya yang menyusupi raga mayat hidup, akibatnya sebagian makhluk itu saling serang dengan rekannya.Sedangkan Danuseka baru saja mengejar Sariti yang terbang kesana-kemari, ya! Pertarungan mereka lebih banyak terjadi di udara. Di pohon-pohon dan sesekali turun ke daratan. Tidak masuk akal memang, bahkan jika yang melawan Sariti bukanlah praktisi supranatural niscaya hanya akan menjadi mainan wanita jelmaan itu.Seperti halnya saat ini, Danuseka mengeluarkan digdayanya secara bersamaan. Pasalnya, pergerakan yang dilakukan Sariti sungguh gesit. Bahkan, cenderung menggunakan tipu muslihat yang sangat mengganggu konsentrasi Danuseka.“Danuseka... Sepertinya aku tidak perlu sungkan lagi terhadap leluhurmu, baiklah... Jika itu yang ada pikiranmu, maka kau tidak salah sedikit pun... Ak
Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas
Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul