“Cukup anak muda! Aku tidak butuh penawaran darimu, pantang bagi seorang pimpinan padepokan menjatuhkan harga diri dengan cara menyerah dan tunduk. Terlebih pertarungan hidup dan mati belum terjadi, dan kau telah berlaku jumawa di depanku,” ujar Roro Palupi dengan sorot mata yang begitu tajam.“Jika seperti itu, maka saya tidak perlu mengampunimu, Nyai!”Selesai berucap Ajiseka bergerak maju secara zig-zag dan sesekali menghilang dari pandangan, wajar jika Roro Palupi kesulitan mendeteksi pergerakan Ajiseka. Terlebih lagi kekuatan yang dimiliki olehnya berada di ranah biasa, sulit dan tidak mampu menandingi kecepatan seorang Ajiseka. Tetapi anehnya Roro Palupi sama sekali tidak mudah dikalahkan.Bahkan, hingga tengah malam pertarungan Ajiseka dan Roro Palupi belum juga berakhir. Kejadian yang tidak wajar, sebab dengan kekuatan yang jauh berada di bawah Ajiseka, seharusnya wanita itu sudah berkalang tanah. Tetapi nyatanya ia mampu bertahan walaupun keadaan tubuhnya sudah memprihatinkan
Wanita jelmaan itu benar-benar mengembalikan Sukma Adhinata, walaupun ia berdalih dan seolah dia yang meminta untuk mengembalikan sukmanya. Nyatanya Adhinata telah sadar seutuhnya. Sariti juga menunggui pertarungan Roro Palupi dengan tiga orang sekaligus, sebab kesadaran AdhinataLagi-lagi Sariti membiarkan Roro Palupi. Tindakannya tidak luput dari tujuan utamanya yang ia simpan rapat terhadap seluruh sekte dan padepokan yang bernaung di bawah kendalinya. Ya! Sejatinya Sariti hanya mementingkan dirinya sendiri, dan keberadaan orang-orang yang mempercayai dirinya hanyalah alat penunjang misinya saja.Tidak heran jika wanita jelmaan itu membiarkan Roro Palupi, pasalnya keberadaan pimpinan padepokan Lowo Ireng itu sudah tidak lagi memiliki pengikut. Dan menurut pemikiran Sariti satu-satunya fungsi Roro Palupi hanya menjadi wadah sarana pemuas nafsunya saja. Itupun harus ada pasangan yang tepat seperti Sumokolo, sedangkan lelaki itu pun kini sudah mati di tangan Ajiseka.Seiring pertarung
Riak air danau bergejolak, menandakan bergeliatnya kehidupan makhluk air yang menghuninya. Sedangkan sosok wanita yang berdiri di pinggiran tebing mulai menunjukkan pergerakan yang tidak semestinya. Ia melompat tanpa ragu dari ketinggian, seketika itu juga sosok Sariti keluar dari raga Roro Palupi.Byuur!Air danau yang dingin bergolak manakala tubuh lemah Roro Palupi tercebur. Pada saat yang sama kesadarannya sudah mulai pulih seutuhnya. Ketakutan merajai diri, dan dengan sisa tenaga ia berusaha mempertahankan kehidupannya dari ancaman tenggelam.Sayang tenaganya tidak cukup untuk berenang, tetapi Roro Palupi tidak kehabisan akal. Ia membalik tubuh agar wajahnya menengadah ke angkasa, dan membiarkan mengambang di atas permukaan air. Bersamaan dengan itu dan tanpa ia sadari, tepat di bawahnya beberapa sosok mengikuti pergerakan tubuhnya.Sosok itu tidak lain siluman danau tepi barat, makhluk yang terkenal bengis dan gemar memangsa manusia. Dengan tabiatnya yang seperti itu tidak mungk
Pertarungan tidak terelakkan, tetapi sebelumnya Ajiseka terlebih dahulu membebaskan Sukma yang tertahan di dalam istana Dewi Sengkolo. Rupanya tidak sedikit korban yang sudah di ambil olehnya, dan Sukma itu adalah hasil tumbal dari orang-orang yang bersekutu dengannya. Tidak heran jika desa Wono wingit pimpinan Dadungkolo lebih maju dari desa lainnya seperti Wono wetan dan wilayah tepi selatan.Rupanya Dewi Sengkolo cukup kuat, berbeda dengan siluman yang pernah di habisi oleh Ajiseka. Hal itu di akibatkan banyaknya energi kehidupan manusia yang di serap olehnya. Bahkan, bisa dibilang kekuatan Dewi Sengkolo lebih kuat dari Duripati. Tetapi sekuat-kuatnya siluman wilayah Punden, tetap saja tidak mampu menghadapi digdaya Ajiseka dan ayahnya.Nyatanya, Dewi Sengkolo kembali ke wujud aslinya. Dia juga tidak memiliki kekuatan siluman seperti sebelumnya, ya! Binatang melata itu benar-benar berada di titik terendahnya sebagai siluman. Namun, bisa saja suatu saat kekuatannya kembali jika ada
Bangunan megah nan indah, selayaknya keraton yang di hiasi oleh berbagai macam pernak-pernik. Bahkan, di aula keraton sendiri terdapat beberapa bangunan kecil yang di dalamnya terdapat beberapa aksara Jawa. Ajiseka sendiri butuh waktu untuk mengeja tulisan itu, setelah semua terbaca, barulah pemuda itu paham, sebab nama-nama itu semuanya pernah ia dengar dari doa yang dilantunkan oleh ayahnya.“Rupanya ini tempat leluhurku.” Gumam pelan Ajiseka sembari menghampiri satu persatu bangunan dan mengelusnya.“Ya, tempat yang bersih dan tidak terjamah selain anak turunku, Ajiseka... Kedatanganmu kesini bukan semata-mata untuk menyambangi leluhur saja, tetapi ada hal yang lebih dari itu.” ujar seseorang yang tidak terlihat keberadaannya.Bahkan, Ajiseka merasa suara yang terdengar terasa sangat dekat dengan dirinya. Namun, Ajiseka tidak menunjukkan kebingungannya. Ia malah memejamkan matanya agar lebih fokus dan dapat mencerna ucapan yang mungkin akan terlontar lagi.“Sepanjang perjalananmu,
Langkah demi langkah terlewati, dan semuanya berbeda waktu. Ajiseka melihat perjalanan kehidupan seseorang dari masih kecil hingga terbentuknya sebuah keraton yang bernama Setyaloka hanya dengan se-perjalanan saja. Bahkan, sosok dua lelembut yang membersamai dirinya dan mensupport digdayanya tidak luput dari masa lalu leluhurnya.Ya! Kumbolo alias Raja Tirta Dunya pemilik mustika bening yang memiliki elemen air. Ia merupakan lelembut kuno yang berteman dengan pemilik keraton Setyaloka, begitu juga dengan roh Nogoweling, lagi-lagi ia juga termasuk lelembut kuno yang bersemayam di salah satu gunung berapi. Tugasnya adalah menjaga tatanan kehidupan para lelembut.Begitu cepat Ajiseka melintasi perjalanan waktu di masa lalu. Bahkan, inti-inti proses ilmu yang dipelajari ia lihat semua, termasuk bertemunya leluhur Ajiseka dengan Nogoweling dan Kumbolo. Rupanya apa yang diperoleh Ajiseka tidaklah mudah seperti dirinya yang hanya menerima warisnya.“Cukup untuk hari ini, setidaknya kau harus
Langit cerah dan di atas sana bertakhta sang rembulan yang memendar merah kelam, malam temaram dan tidak ada hembusan angin. Membuat kumpulan orang-orang yang berada di dalam bangunan tua itu berkeringat kepanasan. Sedangkan di tengah-tengah altar, seorang pemuda tengah meregang nyawa sia-sia.Ya! Energi kehidupannya telah habis terserap oleh sosok bergaun merah yang berdiri mengambang. Sariti, wanita jelmaan itu menunjukkan wujud aslinya di depan banyaknya praktisi supranatural aliran hitam. Jalur yang sangat tepat untuk membantunya meningkatkan tingkatan energi gelapnya.Sedangkan dua pemuda lainnya telah meregang nyawa terlebih dahulu, artinya ritual sesat itu berjalan lancar tanpa halangan. Mengingat bangunan yang cukup membuat orang biasa bergidik ngeri, lokasinya pun sangat terpencil. Bahkan, sehari-hari setelah senja berlalu tidak satu pun orang berani melintas di sekitarnya.Ratusan obor masih menyala berjejer membentuk pagar yang mengelilingi bangunan tua. Suasana semakin men
Haryo Wicaksono dan Danuseka berdiskusi di pendopo padepokan. Keduanya membahas perihal penculikan dan pengambilan harta benda dengan cara yang tidak wajar. Pasalnya menurut Galuh yang memeriksa dan menanyai keluarga korban mengatakan jika keadaan rumahnya tidak mengalami kerusakan.Bahkan, rata-rata yang di temui Galuh mengatakan hal yang serupa. Danuseka yang mendengarkan dengan seksama pun mengambil kesimpulan bahwa pelaku menggunakan ilmu sirep. Ilmu yang memungkinkan mangsanya akan terlelap.“Sebaiknya di ikuti saja kemana perginya sosok penculik itu, jangan langsung meringkusnya karena hanya akan membuat mereka semakin waspada terhadap lingkungan. Biarkan dan ikuti, dengan begitu akan mudah menemukan tempat persembunyiannya,” ujar Danuseka kepada Haryo Wicaksono.“Ya, sebaiknya memang seperti itu, tetapi saya yakin mereka memiliki linuwih yang sifatnya tidak masuk akal. Bahkan, saya mengira di tempat ini hanya Galuh yang memahami hal itu,”“Jangan khawatir perihal itu, Kang? Say