Gerimis hujan mengiringi terbitnya matahari pagi ini. Karmila sedang menikmati minuman hangat, ketika ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Wanita berbulu mata lentik ini mencoba mengingat sesuatu. Kapan terakhir kali dia memberi nomor kontak kepada seseorang.Namun, tak ada orang baru yang diberinya, kecuali ibu Tanto. Sedangkan kini, dia telah terhubung dengan nomor kontak wanita tersebut. Wanita ini masih sibuk berpikir saat nomor tersebut menghubungi untuk yang kedua kalinya."Kok, ndak diangkat, Nduk?" tanya Bu Rahmat yang muncul dari arah depan."Khawatir orang iseng, Bu," jawab Karmila lalu tersenyum tipis."Ya udah, biarin aja. Entar kalo penting, pasti kirim pesan," ujar Bu Rahmat sambil menepuk bahu sang putri pelan.Wanita setengah umur ini pun lalu mulai sibuk menghidupkan kompor. Bu Rahmat akan memasak untuk sarapan pagi ini. Karmila segera melangkah ke arah freezer lalu mengambil beberapa bungkus bahan makanan dari sana. Kemudian, dia mulai m
Wanita tua ini seketika menangis terisak-isak mengetahui siapa yang datang bertamu. Pak Rahmat menarik memegang tangan wanita tersebut dan menciumnya, lalu diikuti oleh Bu Rahmat dan yang lain."Mbakyu, apa kabarmu?" tanya Pak Rahmat sembari mengusap air mata."Alhamdulillah sehat. Kok tau rumahku? Lah ini yang cantik dan ganteng ini siapa?" Wanita tua ini yang tak lain, Bu Darmo--kakak Pak Rahmat--sembari mengelus bahu pasutri muda di hadapannya."Bude, masak lupa sama aku, Karmila? Ini suamiku, Bang Nadio," jawab Karmila sembari memegang tangan Bude Darmo."Saya Nadio, Bude," ucap si pria jangkung seraya mendekat lalu merangkul bahu wanita yang terlihat pendek di sampingnya.Akhirnya semua anggota keluarga yang lama terpisah ini masuk dan duduk di ruang tamu. Mereka bercengkerama saling menanyakan kabar masing-masing dan mengingat nostalgia saat masih bersama dulu. Akhirnya diketahui jika Bude Darmo sudah 15 tahun tinggal di kota ini. Pakde Darmo terpaksa pindah kerja. Bude Darmo da
Karmila agak kurang sehat pagi ini. Dia meminta suaminya untuk mengantarkan ke rumah sakit. Andai tak terpapar virus jahat ini, dia lebih suka berobat ke dokter umum saja. Ada dua dokter buka praktik tak jauh dari rumahnya. Kulitnya yang kuning langsat terlihat pucat dengan wajah merona memerah. Nadio sedang mematut depan cermin saat terdengar benda jatuh dari dalam toilet. Seketika pria ini gegas lari ke toilet."Sayang, buka pintunya! Sayaang?"Nadio mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tak terbuka juga. Saat tubuh pria ini sudah bersiap mendobraknya, tiba-tiba pintu terbuka. Karmila keluar dengan langkah sempoyongan. Kemudian, dia ambruk dalam pelukan sang suami. Nadio segera membopong tubuh Karmila ke atas ranjang. Baru kemudian, pria tersebut menelepon pihak rumah sakit agar bisa mengirim tim medis ke rumah. Kondisi Karmila tampak tak berdaya di atas ranjang dengan sesekali memegang kepala. "Sayang, tadi jatuh?" tanya Nadio sembari menatap mesra.Karmila seketika mengangguk sem
Pukul 09.00 pagiSemalam kondisi Karmila tak stabil, akhirnya Nadio menghubungi dokter untuk memeriksa hari ini. Orang tuanya hanya diberitahu bahwa Karmila ingin istirahat, tak ingin diganggu siapa pun. Meski, pada awalnya Bu Rahmat sempat curiga, tetapi akhirnya mau mengerti.Pagi ini dokter yang ditunggu akhirnya datang juga. Tentu saja, Bu Rahmat dibuat penasaran dengan dengan penyakit yang diderita oleh putrinya. Secara semalam, dia tak boleh menemui Karmila.Untuk antisipasi, Nadio telah menelepon dokter tersebut agar merahasiakan penyakit yang diderita oleh Karmila pada siapa pun terutama kedua mertuanya. Nadio tak mau penyakit yang diderita Karmila membuat beban pikiran mereka. Dokter datang dan disambut oleh Bu Rahmat yang kemudian diantar ke kamar atas."Selamat pagi Bu Karmila!""Selamat pagi, Dok. Silakan masuk!"Pak Dokter segera masuk diikuti Bu Rahmat. Sementara itu, Nadio datang dari bawah sembari membawa jus alpokat kesukaan Karmila."Selamat pagi. Wah, Dokter udah sa
Untuk kesekian kalinya, Karmila mendapat telepon dari anak Bude Darmo. Wanita berambut ikal tersebut memilih mengabaikannya. Anak Bude Darmo ternyata nekat mengirim sebuah pesan.[Dasar gak punya hati. Ditelepon bukannya diangkat. Bude kamu sakit parah.]Karmila hanya membaca dan tak ingin membalas. Dia segera menelepon Nadio untuk meminta ke rumah Bu Darmo untuk mengecek keadaannya, sepulang dari menebus resep di apotek."Sayang, gak usah dipikirin. Abang udah otewe ke sana. Silent aja deringnya. Biar lebih tenang, minta tolong baby sitter panggilin Ibu buat temani," saran Nadio dari seberang telepon."Gak perlu, Honey. Aku lagi mual-mual habis minum obat. Entar Ibu tambah panik.""Yodah, kalo gitu. Buat tiduran aja. Mau titip apa?""Gak usah, Honey. Masih mampir Bude Darmo juga, kan. Hati-hati di jalan.""Terima kasih, Sayang."Hubungan telepon pun berakhir. Akhirnya, Karmila bisa tidur, setelah beberapa ke toilet karena mual.°°°°°°°°°°°°Pukul 10 pagiKarmila terlihat lebih segar
Karmila merasa bahagia dengan pesta kejutannya yang diadakan oleh karyawan kantor. Nadio pun berinisiatif memesan minuman dan makanan kecil dari sebuah gerai kuliner dekat kantor. Jadilah pesta dadakan yang meriah dengan berbagai atraksi hiburan spontan dari beberapa karyawan. Seketika senyum mengembang dari bibir Karmila. Wanita yang kini semakin kurus, merasa tersanjung oleh semua itu. Akhirnya niat semula hanya sebentar untuk menyelesaikan pekerjaan, harus molor sampai berjam-jam.Pasutri tersebut sangat menikmatinya dan merasa bahagia. Beberapa kali Bu Rahmat menelepon ke ponsel Karmila. Dia menanyakan tentang keberadaan putri dan menantunya. Wanita separuh baya ini sangat khawatir dengan keadaan Karmila. Oleh karena pasutri muda ini pamit untuk mengambil hasil tes dan mampir sebentar ke kantor untuk menyelesaikan sedikit pekerjaan. Namun, mereka belum pulang sampai hari menjelang malam.Nadio yang mendengar pembicaraan Karmila dengan Bu Rahmat hanya tersenyum dan sesekali menjawa
Bu Rahmat sudah selesai mengolah bahan makanan lalu mengatur semua menu di atas meja makan. Pak Rahmat datang dari arah depan dengan menenteng sebuah kantong plastik hitam. Pria berkaca mata itu kemudian meletakkan kantong tersebut di atas meja. Dia pun duduk di salah satu kursinya. Bu Rahmat yang merasa penasaran lalu membuka bawaan sang suami. Begitu wanita tersebut melihat isinya, seketika tersenyum manis. "Wah masih hangat! Beli di mana ini Pak?""Tadi ada yang jual lewat depan. Pas kebetulan Bapak ngobrol dengan satpam.""Kalo gitu, Ibu bikin kopi dulu, Pak." Bu Rahmat kemudian melangkah ke kompor untuk merebus air. Saat Bu Rahmat merebus air, tiba-tiba Karmila datang dari arah belakang. Wanita berambut Ikal ini pun melihat keberadaan kantong plastik di atas meja. Dia penasaran segera membukanya. “Wah enaknya, pisang rebus. Dari mana, Pak?” tanyanya kepada pria separuh baya yang sedang duduk di sebelah.“Dari beli di depan barusan.”Kemudian Karmila mengambil satu dan mencicip
"Ah, akhirnya aku tahu, apa yang mesti kita berbuat. Agar persoalan ini segera teratasi.”Nadio setelah mengatakan hal tersebut lalu tertawa lebar, terlihat kelegaan di raut wajahnya. Sehingga Bude Darmo pun menjadi penasaran dibuatnya."Apa yang akan dilakukan Nak Nadio lakukan?" tanya Bude Darmo sambil mencondongkan tubuh. Namun, saat Nadio akan menjawab pertanyaan tersebut, anak tiri Bude Darmo keburu datang. Dia tanpa berucap salam lalu ikut bergabung bersama mereka yang ada di ruang tamu.Nadio yang melihat kedatangan anak tiri Bude Darmo ini merasa kebetulan. Pria ini bisa langsung membicarakan keberatan soal tindakan pria berkepala plontos dan bertubuh penuh tato ini. Semua mata tertuju ke arah Pendi. Pria berpenampilan preman ini tak merasa bersalah maupun canggung sedikit pun. Tingkahnya seketika membuat Bude Darmo geleng-geleng kepala.“Le, kasih salam kepada sodaramu yang lain,” saran Bude Darmo sembari bangkit dan menepuk pundak putranya“Ngapain, Buk? Kita ini sodara tu
Dalam ruangan hanya terdengar tarikan napas para penghuninya. Tak ada yang mau bersuara. Masing-masing meresapi peristiwa haru yang terjadi di hadapan mereka. Karmila tampak paling bahagia karenanya.Ia merasa rencana membuat rumah makan bersama Bude Darmo dan Rasti akan berjalan tanpa hambatan, bahkan bisa lebih mudah terwujud. Ia optimis, Pendi yang telah berubah akan ikut andil membantunya."Alhamdulillah, bisa bertemu orang-orang baik seperti kalian," ucap Pendi lalu tersenyum tipis."Alhamdulillah, saya ikut senang, meski tak tahu soal mafia. Dengan itikad baik Mas Pendi dalam menangkap pelaku pengerusakan, saya sebagai pimpinan di sini mengucapkan terima kasih. Tindakan heroik Mas Pendi membuat kredibilitas kafe terjaga. Jika masa bersyarat sudah berakhir dan Mas ingin bergabung di kafe. Saya bisa merekomendasikan Mas untuk menjadi karyawan tanpa interview," ucap manager dengan wajah sumringah.Tawaran kerja barusan ditanggapi Pendi dengan wajah berseri-seri. Pria bertato terseb
"Ada laporan masuk. Pelaku pengerusakan telah ditangkap polisi, Pak," jawab sekuriti yang berdiri."Syukurlah!" seru Karmila dengan perasaan lega."Maaf, yang buat laporan siapa, Pak?" tanya Nadio yang penasaran."Seorang pria yang sekarang sedang berada di pos penjagaan. Katanya mengenal baik Bapak dan Ibu," jawab sekuriti sambil melihat ke arah Nadio dan Karmila. "Apa benar namanya Pendi?" tanya Nadio segera."Benar, Pak. Berarti orang itu benar-benar mengenal Bapak dan Ibu?" tanya balik sekuriti."Gimana gak kenal? Dia itu anak dari bude saya, Pak," sahut Karmila sambil tertawa kecil. Demikian pula Nadio."Wah, kebetulan sekali. Pak, tolong ajak orang tersebut kemari. Kita ajak berdiskusi," ucap manager sambil menatap sekuriti."Baik, Pak!" seru sekuriti dengan tangan memberi hormat. Pria tersebut segera balik badan dan berlalu.Setelah kepergiaannya, kini tinggal seorang sekuriti dan tukang parkir yang berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka merasa lega karena tak harus me
Nadio segera mengambil foto dengan ponsel lalu mengirimkan kepada Mr. Bram dan polisi yang sedang menyelidiki kasus mereka.Saat tukang parkir datang dengan maksud akan membantu arah kendaraan saat keluar dari parkir, tak kalah kaget. Pria berseragam hijau tersebut tak enak hati kepada Nadio dan Karmila."Saya minta maaf, Bapak dan Ibu. Silakan tunggu sebentar. Saya akan lapor ke sekuriti soal ini," ucap pria tersebut dengan sorot mata penyesalan."Ok. Silakan. Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" protes Nadio kesal.Karmila hanya menatap keduanya dengan pikiran tak menentu. Wanita ini merasa ngeri juga dengan kejadian barusan. Kehidupan rumah tangganya diselimuti berbagai masalah yang beruntun. Baru saja merasa lega dengan penjelasan Mr. Bram yang telah mulai menguak kasus sedikit demi sedikit. Namun, dengan insiden yang terjadi ini, membuat Karmila teringat traumanya kembali. "Honey, apa yang salah dengan kita?" tanya Karmila dengan wajah memelas.Nadio yang mendengarnya, langsung
"Maaf, boleh saya tahu? Siapakah yang telah menyerahkan map ini ke waiter?" tanya Nadio sambil menduga-duga sosok pemberi barang bukti tersebut. Seketika, Mr. Bram tersenyum tipis sambil berkata,"Orang terdekat Bapak dan Ibu." Pasutri muda ini pun seketika terkejut lalu saling berpandangan. Mr. Bram memahami kebingungan keduanya. Pria berpenampilan layaknya aktor laga tersebut mengambil ponsel dari dalam saku jaket. Tampak dirinya menghubungi seseorang. Mr. Bram sesaat berbicara lalu mengaktifkan speaker. "Silakan berbicara langsung dengan Bapak Nadio dan istri," ucap Mr. Bram dengan senyum yang membuat pasutri di hadapannya semakin penasaran. "Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Bapak!" teriak Karmila dan Nadio berbarengan. Mereka tak bisa mempercayai dengan suara yang terdengar. "Ya, ini Bapak, Nak. Maafkan, telah membuat kalian kaget," balas Pak Rahmat dari ujung telepon. Ucapan pria separuh baya tersebut seketika membuat wajah pasangan muda berseri-seri. Mereka tak menyan
"Salam kenal, Bu. Saya Mr. Bram Akira yang akan menangani kasus. Semoga berkenan," balas pria tersebut seraya membungkukkan badan. "Salam kenal kembali, Mr. Bram. Kami berharap bisa tuntas secepatnya," balas Karmila lalu membungkukkan badan pula. "Silakan duduk Mr. Bram!" pinta Nadio. Ketiganya kemudian duduk berhadapan. Secera kebetulan seorang waiter sedang lewat di depan mereka. Nadio seketika memanggilnya. Saat pria tersebut datang menghampiri, Nadio meminta untuk menghidangkan tiga minuman. "Baik, Pak. Saya akan segera membawakan pesanan. Mohon ditunggu. Permisi," ucap waiter tersebut lalu membungkuk. "Silakan," balas Nadio segera. Waiter segera berlalu meninggalkan tempat. Kini ketiganya kembali mengadakan pembicaraan. Di saat asik mengobrol datang seorang waiter lain dengan membawa sebuah map. Pria muda berambut cepak style tentara tersebut mengucapkan salam. Namun, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. "Kenapa itu?" tanya Karmila kaget. Nadio dan Mr. Bram
Tentu saja, penjelasan Nadio semakin membuat Karmila keheranan. Wanita berambut ikal tersebut memang orang yang lugu. "Hal biasa semacam itu di luar negeri. Pasangan tanpa komitmen resmi dan tetap bertanggung jawab kepada anak biologis. Mungkin saja, Tuan Ongki sudah melalaikan tanggung jawab." "Akhirnya ada rasa dendam karenanya," ucap Karmila mencoba menduga-duga. "Ya, begitulah." Pembicaraan terhenti, pada saat mobil mereka tak bisa bergerak karena tepat di depan mata ada kerumunan warga. Sesaat kemudian datanglah mobil patroli polisi dan ambulans. "Honey, kecelakaan?" tanya Karmila sembari mengawasi gerak-gerik para petugas yang sedang mengeksekusi korban. "Sepertinya pembunuhan," jawab Nadio segera. Rupanya mereka tak perlu menunggu lama untuk mengetahui dengan yang terjadi. Dari pembicaraan warga yang sedang berkerumun, mengarah pada kasus mutilasi. Karmila bergidik seketika mendengarnya. Korban adalah seorang dokter. Tiba-tiba terdengar ponsel Karmila berbunyi dan terter
"Selamat siang, Dokter," ucap Karmila sembari mengaktifkan speaker. "Selamat siang. Saya minta maaf, terpaksa menghubungi Bu Karmila. Hanya nomor kontak ini yang tercantum pada data pasien," jelas Dokter Andrean. "Gak masalah. Dokter, mau berbicara dengan suami saya?" "Boleh saya minta minta nomor Pak Nadio? Saya harus sampaikan langsung ke beliau." "Nomor suami sedang diprivate, Dok. Akhir-akhir ada yang teror. Tinggal bilang ke saja, nanti saya sampaikan," balas Karmila sambil tersenyum ke arah suaminya. Nadio pun langsung mengacungkan jempol. "Baiklah. Bu Vivian sempat keceplosan pada saya, sempat mengambil sidik jari Pak Nadio buat akses masuk ke apartemen. Maka dari itu dia yakin bahwa anaknya adalah benih Pak Nadio. Maaf, Bu. Sebenarnya ini bisa dibuktikan dengan tes DNA." "Dokter, ini saya, Nadio. Maaf, tadi lagi nyetir. Miss. Vivian kapan masuk apartemen? Kapan dia ambil sidik jari?" tanya Nadio dengan ekspresi marah sekaligus penasaran. Karmila pun ikut kesal begitu tahu
"Saya paham kronologinya. Kebetulan saya sempat ngobrol dengan Bu Vivian. Dari pasien ini, terungkap bahwa dia yang menularkan penyakit tersebut ke Pak Handoko lalu menular lagi ke pasangannya. Pasien tak sengaja menularkannya karena berdua dalam pengaruh narkoba saat melakukan hal tersebut," ungkap Dokter Andrean yang akhirnya, berhasil menyakinkan pasutri muda. Baik Nadio maupun Karmila tak menyangka dengan pernyataan dokter barusan. Mereka tak pernah lihat gelagat aneh dari Vivian, kalau memang wanita tomboi tersebut seorang pecandu narkoba. Namun, Karmila akhirnya punya pertanyaan yang menggelitik. "Jadi janin yang kemarin, benih siapa, Dok?" tanya Karmila sembari memandang dokter tersebut. "Kemungkinan besar anak suaminya. Itu masih dugaan saya dan perlu dibuktikan. Demi penyelidikan kasus yang terkait," jelas Dokter Andrean. Penjelasan dokter tersebut menjadikan Karmila teringat sesuatu. "Miss. Vivian pisah ranjang sampai akhirnya cerai itu sejak setahun lalu, Dok," urai Ka
Beberapa selang alat kesehatan menempel di bagian tubuh. Itu sudah mengindekasikan bahwa wanita yang terbaring ini sedang tidak baik-baik saja."Terima kasih masih mau memberi undangan kepada kami, Miss," ucap Nadio bernada canda agar pasien sedikit terhibur."Undangan yang bikin kalian bengong tentunya," balas Vivian dengan bibir bergetar.Kedua mata wanita tomboi tersebut sayu dan bisa dibilang hampir hilang cahayanya. Raut wajah yang dulu bersih segar, kini pucat pasi bagai tak dialiri darah. Pasutri muda yang sedang berdiri di depannya memandang dengan perasaan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan air mata Karmila tak tertahan lagi, mengalir deras, membasahi kedua pipi.Nadio seketika memeluk sang istri lalu berbisik,"Tahan dulu. Biar dia gak tambah sedih."Karmila pun mengangguk dan segera mengusap buliran-buliran bening tersebut dengan tisu. Kini, hanya tersisa isakan dan bunyi napas yang sesak. Namun, Karmila menahannya agar tak terdengar oleh Vivian."Miss. Vivian haru