Bude Darmo akhirnya keluar kamar dengan membawa botol bening yang di dalamnya berisi beberapa helai rambut. Dia mendekat lalu duduk dan membuka botol tersebut. Wanita tua tersebut mengeluarkan isinya. Kini, tampak beberapa helai rambut yang sebagian beruban. Nadio dan yang lain mengamati sejenak."Emang ini yang kita butuhkan. Tolong masukkan lagi, Bude Darmo," ujar Nadio dengan tersenyum lega. Ada ambisi tersendiri baginya untuk pembuktian DNA Pendi karena sikap arogan pria berkepala plontos tersebut. Dia merasa yakin bahwa pria tersebut bukan anak kandung Pakde Darmo. Oleh karena perilaku ibu dan anak ini bagai langit dan bumi.Sementara itu, Karmila sembari tersenyum mengeluarkan sebuah kantong plastik berklip."Surprise! Aku pun punya bukti otentik," ungkap Karmila dengan kedua mata berbinar-binar sambil mengangkat plastik.Dalam plastik tersebut terlihat beberapa potongan pendek rambut. Seketika semua pandangan tertuju memperlihatkan pada yang lain.“Lah, itu rambut siapa, Nduk?”
Hari ini Nadio berangkat kerja dengan iringan perasaan sendu dari Karmila. Stamina tubuh wanita berambut ikal ini terlihat semakin ringkih dan Nadio tak tega meninggalkan sendiri di pagi ini. Namun, Karmila meyakinkan suaminya bahwa dia akan baik-baik saja dan akan ke rumah salkit diantar sopir. Akhirnya dengan berat hati, Nadio berangkat juga ke kantor."Telepon aku, kalo ada apa-apa. Segera periksa, Sayang!" Pesan Nadio diiringi kecupan lembut di kedua pipi istrinya."Siap, Bos!" Lengan Tania bergelayut manja pada lengan Nadio."Jaga diri! Aku kerja dulu," ucap Nadio seraya memasuki mobil. Karmila berdiri menunggu sampai mobil yang dikemudikan suaminya menghilang dari penglihatan. Dia segera masuk untuk menghabiskan minumannya. Tak berapa lama, Bu Rahmat menghampiri Karmila sembari membawa beberapa buah mangga."Nduk, Ibu kupaskan mangga, nih. Ada yang matang pohon tadi.""Entar, aja, Bu. Karmila mau ke dokter, periksa tensi darah.""Ibu temani, ya, Nduk?""Enggak usah, Bu. Karmila
"Gak apa. Barusan dia kirim pesan kalo akan naik taksi," jawab Nadio sambil melingkarkan lengan ke pinggang Vivian yang tampak buncit.Oh, My God! Kak Vivian hamil besar. Pantas aja, gak mau ke rumah, saat berkunjung ke Indonesia. Rupanya ini, batin Karmila dengan jantung berdetak tak karuan. Kalian tega banget padaku!Air mata tak terbendung keluar dari kelopak. Karmila menahan isakan sambil menunggu mobil berlalu bersama pasangan yang telah menghancurkan hati Karmila.****Keesokan harinya“Okey, saya percaya Bapak. Mohon kerja samanya, agar proyek selesai tepat waktu,” ucap Ario sembari mengulurkan tangan ke arah pemborong yang akan memulai pembangunan lahan kosong.Sejam kemudian, bahan-bahan material telah sampai. Nadio segera mengecek seluruh barang-barang yang diturunkan. Setelah semua material dianggap lengkap sesuai pesanan, dia segera menandatangai faktur pengiriman barang. Nadio kemudian menghampiri pemborong dan mengatakan bahwa material telah siap untuk digunakan. Baru k
Beberapa tetangga yang melihat adegan penangkapan Pendi barusan, mengikuti langkah Bude Darmo dan menantunya. Para tetangga ingin tahu kejadian sebenarnya karena selama ini tak ada yang berani lapor polisi walaupun Pendi sering berbuat onar. Kedua wanita tersebut hanya tersenyum membalas pertanyaan ingin tahu warga.Sepanjang jalan, Bude Darmo dan menantunya hanya duduk terdiam, sesekali dari kedua sudut mata menetes buliran bening. Mereka merasa malu dengan perilaku Pendi yang kurang ajar. Selama ini, keluarga Karmila telah banyak membantu mereka.Namun, entahlah! Apa yang ada di benak Pendi hingga beranggapan bahwa kedua orang tua Karmila telah menghabiskan tanah warisan milik wanita tua tersebut. Dari mana pula informasi tentang hal itu yang mampu menghasut Pendi. Selama ini pria bertato itu tak pernah ambil pusing dengan segala tentang keluarga di kampung. Pria tersebut tak mengenal mereka sama sekali karena baru saat ini bertemu.Karmila dan Bu Rahmat mengerti kegundahan hati Bude
Namun, kini sebuah kenyataan terungkap dalam tes DNA, seakan-akan mematahkan kejujuran almarhum. Bude Darmo menjadi semakin penasaran, ada hubungan apa yang terjalin antara suaminya dengan ibu Pendi. Sedang yang lain asik beragumen tentang segala kemungkinan yang berhubungan dengan hasil tes dan hasil konsultasi dengan dokter.Nadio segera menenangkan semua agar tak semakin membuat kusut pikiran Bude Darmo dan Rasti. Kedua wanita tersebut, saat ini dalam kondisi paling menyakitkan tentang segala hal dengan Pendi.Dalam perjalanan pulang, berlima hanya berdiam diri. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Nadio menoleh ke arah Karmila yang tampak muram. Tampak jelas raut kesedihan di wajah wanita muda yang sedang mengandung dua belas minggu ini."Sayang, mau beli rujak buah?" tanya Nadio sembari meraih jemari Karmila. Namun, tangan pria tersebut segera ditepis oleh Karmila."Aku bisa beli sendiri," jawab Karmila yang berusaha menahan kesabaran. Dia sadar betul, bukan saat yang tepat
U-udah bangun?" tanya Nadio gugup yang langsung menon-aktifkan ponsel. Karmila tersenyum sinis lalu menatap layar ponsel. Beberapa saat, dia pun telah menerima panggilan."Selamat Siang, Pak. Tolong ditunggu di depan warung soto. Sebentar lagi saya sampai," kata Karmila mengakhiri hubungan telepon. Karmila melihat wajah sang suami dari pantulan kaca sipon."Kita makan soto? Kebetulan Abang lapar," ucap Nadio antusias tetap dengan ekspresi canggung."Aku sama Ibu naik taksi aja. Abang pasti sibuk, udah ada yang teleponi mulu. Udah samperin aja. Gak usah mikirin aku. Sebelum Abang ke Singapura, aku akan pulkam. Abang berhak bahagia dan aku pun ingin hidup tenang. Terima kasih, selama ini selalu perhatian padaku dan keluarga."Nadio seketika kaget dengan ucapan Karmila barusan. Pria tersebut langsung memeluk sang istri erat."Sayang, ada apa dengan kamu? Kita jalan-jalan, ya?" tanya Nadio panik dan Karmila segera mengurai pelukan."Aku gak perlu refreshing. Aku pengen hidup tenang. Abang
"Bilangnya ditunggu Nak Nadio. Tapi kenapa Nak Nadio nyariin?" tanya Bu Rahmat dengan mimik heran. Jiwa keibuannya telah merasa ada sesuatu, tetapi wanita separuh umur ini masih mau berpikir positif."Ibu tenang aja. Nanti saya cari tahu petugas di sana. Siapa yang telepon Karmila barusan. Karmila gak mungkin berangkat kalo bukan petugas beneran," jawab Nadio berusaha menenangkan hati ibu mertuanya.Nadio pun berjalan terburu-buru menuju garasi diikuti oleh Pak Rahmat. Sedangkan Bu Rahmat terengah-engah tertinggal di belakang. Sesampai garasi, Nadio segera membuka pintu mobil untuk bapak mertuanya."Ibu gak usah antar sini. Cukup di paviliun dan doakan kami aja,"ujar Nadio begitu Bu Rahmat sudah sampai di depan mereka."Ibumu tuh, pengen ikutan, Nak," sahut Pak Rahmat yang langsung direspon sebuah anggukan oleh Bu Rahmat. Wanita ini pun tersenyum tipis ke arah Nadio."Lebih baik Ibu di rumah. Jaga-jaga, kalo Karmila pulang duluan. Maafkan saya, Pak, Bu! Karmila pergi dalam keadaan mar
"Kita ikuti permainan dia, lalu kita jebak," balas Karmila dengan senyum penuh arti."Maksudnya, aku ikuti kemauan dia? Ogah!""Kita imbangi dengan permainan. Gini caranya," ucap Karmila lalu berbisik ke telinga Nadio. Sang suami seketika tersenyum lebar mendengar penjelasan Karmila. "Udah gak marahan, kan?" "Kaga. Aku perlu penjelasan doang. Ya, masa, setega itu. Mau cari bini baru tuh, tunggu aku mati dulu. Gak lama juga. Sempat mikir nih. Abang sengaja berulah, biar aku buruan mati," ungkap Karmila dengan tatapan mata tajam ke arah Nadio.Sang suami seketika memeluknya. Tak bisa disangkal, penyesalan amat dalam, membuat air mata Nadio merembes dari pelupuk mata. "Sayang, maafin aku. Di otak ini, cuma mau bantu dia. Hidup dia gak lama. Anggap kasih kebahagiaan di detik-detik terakhir. Kaga taunya, cari kesempatan."Karmila merasakan basah di bahu baju yang dikenakan. Dia mengurai pelukan lalu memandangi wajah sang suami yang bersimbah air mata. Tak jauh beda dengan diriku. Karmila