Beberapa tetangga yang melihat adegan penangkapan Pendi barusan, mengikuti langkah Bude Darmo dan menantunya. Para tetangga ingin tahu kejadian sebenarnya karena selama ini tak ada yang berani lapor polisi walaupun Pendi sering berbuat onar. Kedua wanita tersebut hanya tersenyum membalas pertanyaan ingin tahu warga.Sepanjang jalan, Bude Darmo dan menantunya hanya duduk terdiam, sesekali dari kedua sudut mata menetes buliran bening. Mereka merasa malu dengan perilaku Pendi yang kurang ajar. Selama ini, keluarga Karmila telah banyak membantu mereka.Namun, entahlah! Apa yang ada di benak Pendi hingga beranggapan bahwa kedua orang tua Karmila telah menghabiskan tanah warisan milik wanita tua tersebut. Dari mana pula informasi tentang hal itu yang mampu menghasut Pendi. Selama ini pria bertato itu tak pernah ambil pusing dengan segala tentang keluarga di kampung. Pria tersebut tak mengenal mereka sama sekali karena baru saat ini bertemu.Karmila dan Bu Rahmat mengerti kegundahan hati Bude
Namun, kini sebuah kenyataan terungkap dalam tes DNA, seakan-akan mematahkan kejujuran almarhum. Bude Darmo menjadi semakin penasaran, ada hubungan apa yang terjalin antara suaminya dengan ibu Pendi. Sedang yang lain asik beragumen tentang segala kemungkinan yang berhubungan dengan hasil tes dan hasil konsultasi dengan dokter.Nadio segera menenangkan semua agar tak semakin membuat kusut pikiran Bude Darmo dan Rasti. Kedua wanita tersebut, saat ini dalam kondisi paling menyakitkan tentang segala hal dengan Pendi.Dalam perjalanan pulang, berlima hanya berdiam diri. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Nadio menoleh ke arah Karmila yang tampak muram. Tampak jelas raut kesedihan di wajah wanita muda yang sedang mengandung dua belas minggu ini."Sayang, mau beli rujak buah?" tanya Nadio sembari meraih jemari Karmila. Namun, tangan pria tersebut segera ditepis oleh Karmila."Aku bisa beli sendiri," jawab Karmila yang berusaha menahan kesabaran. Dia sadar betul, bukan saat yang tepat
U-udah bangun?" tanya Nadio gugup yang langsung menon-aktifkan ponsel. Karmila tersenyum sinis lalu menatap layar ponsel. Beberapa saat, dia pun telah menerima panggilan."Selamat Siang, Pak. Tolong ditunggu di depan warung soto. Sebentar lagi saya sampai," kata Karmila mengakhiri hubungan telepon. Karmila melihat wajah sang suami dari pantulan kaca sipon."Kita makan soto? Kebetulan Abang lapar," ucap Nadio antusias tetap dengan ekspresi canggung."Aku sama Ibu naik taksi aja. Abang pasti sibuk, udah ada yang teleponi mulu. Udah samperin aja. Gak usah mikirin aku. Sebelum Abang ke Singapura, aku akan pulkam. Abang berhak bahagia dan aku pun ingin hidup tenang. Terima kasih, selama ini selalu perhatian padaku dan keluarga."Nadio seketika kaget dengan ucapan Karmila barusan. Pria tersebut langsung memeluk sang istri erat."Sayang, ada apa dengan kamu? Kita jalan-jalan, ya?" tanya Nadio panik dan Karmila segera mengurai pelukan."Aku gak perlu refreshing. Aku pengen hidup tenang. Abang
"Bilangnya ditunggu Nak Nadio. Tapi kenapa Nak Nadio nyariin?" tanya Bu Rahmat dengan mimik heran. Jiwa keibuannya telah merasa ada sesuatu, tetapi wanita separuh umur ini masih mau berpikir positif."Ibu tenang aja. Nanti saya cari tahu petugas di sana. Siapa yang telepon Karmila barusan. Karmila gak mungkin berangkat kalo bukan petugas beneran," jawab Nadio berusaha menenangkan hati ibu mertuanya.Nadio pun berjalan terburu-buru menuju garasi diikuti oleh Pak Rahmat. Sedangkan Bu Rahmat terengah-engah tertinggal di belakang. Sesampai garasi, Nadio segera membuka pintu mobil untuk bapak mertuanya."Ibu gak usah antar sini. Cukup di paviliun dan doakan kami aja,"ujar Nadio begitu Bu Rahmat sudah sampai di depan mereka."Ibumu tuh, pengen ikutan, Nak," sahut Pak Rahmat yang langsung direspon sebuah anggukan oleh Bu Rahmat. Wanita ini pun tersenyum tipis ke arah Nadio."Lebih baik Ibu di rumah. Jaga-jaga, kalo Karmila pulang duluan. Maafkan saya, Pak, Bu! Karmila pergi dalam keadaan mar
"Kita ikuti permainan dia, lalu kita jebak," balas Karmila dengan senyum penuh arti."Maksudnya, aku ikuti kemauan dia? Ogah!""Kita imbangi dengan permainan. Gini caranya," ucap Karmila lalu berbisik ke telinga Nadio. Sang suami seketika tersenyum lebar mendengar penjelasan Karmila. "Udah gak marahan, kan?" "Kaga. Aku perlu penjelasan doang. Ya, masa, setega itu. Mau cari bini baru tuh, tunggu aku mati dulu. Gak lama juga. Sempat mikir nih. Abang sengaja berulah, biar aku buruan mati," ungkap Karmila dengan tatapan mata tajam ke arah Nadio.Sang suami seketika memeluknya. Tak bisa disangkal, penyesalan amat dalam, membuat air mata Nadio merembes dari pelupuk mata. "Sayang, maafin aku. Di otak ini, cuma mau bantu dia. Hidup dia gak lama. Anggap kasih kebahagiaan di detik-detik terakhir. Kaga taunya, cari kesempatan."Karmila merasakan basah di bahu baju yang dikenakan. Dia mengurai pelukan lalu memandangi wajah sang suami yang bersimbah air mata. Tak jauh beda dengan diriku. Karmila
"Baik, Pak. Saya mohon maaf sebanyak-banyaknya atas keteledoran ini.""Ya. Lain kali jangan diulangi. Harus bertanggung jawab dengan tugas. Jangan dilimpahkan, tanpa persetujuan saya. Selamat sore.""Baik, Pak. Selamat sore."Komunikasi keduanya berakhir. Nadio meletakkan ponsel ke dalam saku celana kembali. Pria berhidung mancung tersebut menoleh ke Karmila lalu tersenyum. Tampak ada ekpresi lega di wajahnya. Karmila mengangkat kedua alis ke arah suaminya."Beres sudah. Nanti tinggal bikin surat mutasi buat Tanto,"ujar Nadio dengan ekspresi sedang berpikir."Ada apa, Honey?" tanya Karmila seketika."Kita salah sangka soal Tanto," ungkap Nadio sembari mulai menghidupkan mesin. Kini mobil mulai beranjak dari tempat parkir. Saat beberapa meter akan mendekati pos penjagaan, Nadio menatap ke arah kaca spion. Tampak baby sitter sedang memandang depan."Benar sekuriti ini?" tanya Nadio ke wanita pengasuh si kecil."Ya, betul, Pak. Dia yang ngobrol dengan Mas Tanto," jawab baby sister yakin.
"Emang ada di mana?" tanya Karmila yang semakin penasaran. Wanita berambut ikal ini hingga memiringkan badan demi mendengar penjelasan sang suami."Mas Tanto udah ditangkap bersama Bulek Handoko di warung dekat terminal.""Hah! Kok bisa, Honey? Kasus apaan?" Kedua mata Karmila terbelalak. Wanita ini benar-benar tak menyangka kejadian tersebut."Selama beberapa hari, orang kita udah intai aktivitas Mas Tanto. Tau, kaga? Mas Tanto udah ambil foto-foto kegiatan pekerja dan barang-barang yang akan diekspor di sekitar gudang. Kemarin mau masuk gudang, keburu ketaun.""Apa mungkin gerbang macet, gara-gara ulah dia?" tanya Karmila dengan muka memerah. Wanita ini sembari mengingat-ingat sesuatu."Abang pikir juga gitu. Dia pandai merakit elektronik.""Aku sempat liat di rumah Mas Tanto ada alat pemotong besi. Apa mungkin dia bekerja membuat pagar?""Tunggu hasil penyelidikan. Habis antar mereka, kita ke kantor polisi," ucap Nadio sembari menunjuk arah belakang dengan jempol. Karmila seketika
"Semoga mereka gak bisa susul kita," ujar Nadio yang semakin menambah kecepatan kendaraannya."Aamiin," sahut Karmila yang mulai menghubungi nomor polisi."Mbak, bisa fotoin mereka? Plat nomor harus jelas!" perintah Nadio kepada baby sitter. "Baik, Pak," balas baby sitter yang segera mengambil ponsel dari dalam tas.Nadio mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi lalu saat ada kesempatan ada sebuah kawasan perumahan, dia pun segera berbelok. Kebetulan para sekuriti telah mengenal dengan baik mobil yang dikendarai oleh Nadio.Dengan menurunkan kaca jendela, Karmila dan Nadio menyapa dua sekuriti yang sedang berjaga. Keduanya sudah beberapa kali mengunjungi kediaman seorang staf yang ada di sini."Honey, penguntit kita masih ada, tuh," ucap Karmila saat mobil telah melewati pos penjagaan."Tenang. Kita akan lewat pintu belakang,"balas Nadio dengan tersenyum melihat pantulan bayangan para penguntit dari kaca spion."Aman deh, kalo gitu," sahut Karmila tersenyum sambil mengamati para pe
Dalam ruangan hanya terdengar tarikan napas para penghuninya. Tak ada yang mau bersuara. Masing-masing meresapi peristiwa haru yang terjadi di hadapan mereka. Karmila tampak paling bahagia karenanya.Ia merasa rencana membuat rumah makan bersama Bude Darmo dan Rasti akan berjalan tanpa hambatan, bahkan bisa lebih mudah terwujud. Ia optimis, Pendi yang telah berubah akan ikut andil membantunya."Alhamdulillah, bisa bertemu orang-orang baik seperti kalian," ucap Pendi lalu tersenyum tipis."Alhamdulillah, saya ikut senang, meski tak tahu soal mafia. Dengan itikad baik Mas Pendi dalam menangkap pelaku pengerusakan, saya sebagai pimpinan di sini mengucapkan terima kasih. Tindakan heroik Mas Pendi membuat kredibilitas kafe terjaga. Jika masa bersyarat sudah berakhir dan Mas ingin bergabung di kafe. Saya bisa merekomendasikan Mas untuk menjadi karyawan tanpa interview," ucap manager dengan wajah sumringah.Tawaran kerja barusan ditanggapi Pendi dengan wajah berseri-seri. Pria bertato terseb
"Ada laporan masuk. Pelaku pengerusakan telah ditangkap polisi, Pak," jawab sekuriti yang berdiri."Syukurlah!" seru Karmila dengan perasaan lega."Maaf, yang buat laporan siapa, Pak?" tanya Nadio yang penasaran."Seorang pria yang sekarang sedang berada di pos penjagaan. Katanya mengenal baik Bapak dan Ibu," jawab sekuriti sambil melihat ke arah Nadio dan Karmila. "Apa benar namanya Pendi?" tanya Nadio segera."Benar, Pak. Berarti orang itu benar-benar mengenal Bapak dan Ibu?" tanya balik sekuriti."Gimana gak kenal? Dia itu anak dari bude saya, Pak," sahut Karmila sambil tertawa kecil. Demikian pula Nadio."Wah, kebetulan sekali. Pak, tolong ajak orang tersebut kemari. Kita ajak berdiskusi," ucap manager sambil menatap sekuriti."Baik, Pak!" seru sekuriti dengan tangan memberi hormat. Pria tersebut segera balik badan dan berlalu.Setelah kepergiaannya, kini tinggal seorang sekuriti dan tukang parkir yang berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka merasa lega karena tak harus me
Nadio segera mengambil foto dengan ponsel lalu mengirimkan kepada Mr. Bram dan polisi yang sedang menyelidiki kasus mereka.Saat tukang parkir datang dengan maksud akan membantu arah kendaraan saat keluar dari parkir, tak kalah kaget. Pria berseragam hijau tersebut tak enak hati kepada Nadio dan Karmila."Saya minta maaf, Bapak dan Ibu. Silakan tunggu sebentar. Saya akan lapor ke sekuriti soal ini," ucap pria tersebut dengan sorot mata penyesalan."Ok. Silakan. Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" protes Nadio kesal.Karmila hanya menatap keduanya dengan pikiran tak menentu. Wanita ini merasa ngeri juga dengan kejadian barusan. Kehidupan rumah tangganya diselimuti berbagai masalah yang beruntun. Baru saja merasa lega dengan penjelasan Mr. Bram yang telah mulai menguak kasus sedikit demi sedikit. Namun, dengan insiden yang terjadi ini, membuat Karmila teringat traumanya kembali. "Honey, apa yang salah dengan kita?" tanya Karmila dengan wajah memelas.Nadio yang mendengarnya, langsung
"Maaf, boleh saya tahu? Siapakah yang telah menyerahkan map ini ke waiter?" tanya Nadio sambil menduga-duga sosok pemberi barang bukti tersebut. Seketika, Mr. Bram tersenyum tipis sambil berkata,"Orang terdekat Bapak dan Ibu." Pasutri muda ini pun seketika terkejut lalu saling berpandangan. Mr. Bram memahami kebingungan keduanya. Pria berpenampilan layaknya aktor laga tersebut mengambil ponsel dari dalam saku jaket. Tampak dirinya menghubungi seseorang. Mr. Bram sesaat berbicara lalu mengaktifkan speaker. "Silakan berbicara langsung dengan Bapak Nadio dan istri," ucap Mr. Bram dengan senyum yang membuat pasutri di hadapannya semakin penasaran. "Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Bapak!" teriak Karmila dan Nadio berbarengan. Mereka tak bisa mempercayai dengan suara yang terdengar. "Ya, ini Bapak, Nak. Maafkan, telah membuat kalian kaget," balas Pak Rahmat dari ujung telepon. Ucapan pria separuh baya tersebut seketika membuat wajah pasangan muda berseri-seri. Mereka tak menyan
"Salam kenal, Bu. Saya Mr. Bram Akira yang akan menangani kasus. Semoga berkenan," balas pria tersebut seraya membungkukkan badan. "Salam kenal kembali, Mr. Bram. Kami berharap bisa tuntas secepatnya," balas Karmila lalu membungkukkan badan pula. "Silakan duduk Mr. Bram!" pinta Nadio. Ketiganya kemudian duduk berhadapan. Secera kebetulan seorang waiter sedang lewat di depan mereka. Nadio seketika memanggilnya. Saat pria tersebut datang menghampiri, Nadio meminta untuk menghidangkan tiga minuman. "Baik, Pak. Saya akan segera membawakan pesanan. Mohon ditunggu. Permisi," ucap waiter tersebut lalu membungkuk. "Silakan," balas Nadio segera. Waiter segera berlalu meninggalkan tempat. Kini ketiganya kembali mengadakan pembicaraan. Di saat asik mengobrol datang seorang waiter lain dengan membawa sebuah map. Pria muda berambut cepak style tentara tersebut mengucapkan salam. Namun, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. "Kenapa itu?" tanya Karmila kaget. Nadio dan Mr. Bram
Tentu saja, penjelasan Nadio semakin membuat Karmila keheranan. Wanita berambut ikal tersebut memang orang yang lugu. "Hal biasa semacam itu di luar negeri. Pasangan tanpa komitmen resmi dan tetap bertanggung jawab kepada anak biologis. Mungkin saja, Tuan Ongki sudah melalaikan tanggung jawab." "Akhirnya ada rasa dendam karenanya," ucap Karmila mencoba menduga-duga. "Ya, begitulah." Pembicaraan terhenti, pada saat mobil mereka tak bisa bergerak karena tepat di depan mata ada kerumunan warga. Sesaat kemudian datanglah mobil patroli polisi dan ambulans. "Honey, kecelakaan?" tanya Karmila sembari mengawasi gerak-gerik para petugas yang sedang mengeksekusi korban. "Sepertinya pembunuhan," jawab Nadio segera. Rupanya mereka tak perlu menunggu lama untuk mengetahui dengan yang terjadi. Dari pembicaraan warga yang sedang berkerumun, mengarah pada kasus mutilasi. Karmila bergidik seketika mendengarnya. Korban adalah seorang dokter. Tiba-tiba terdengar ponsel Karmila berbunyi dan terter
"Selamat siang, Dokter," ucap Karmila sembari mengaktifkan speaker. "Selamat siang. Saya minta maaf, terpaksa menghubungi Bu Karmila. Hanya nomor kontak ini yang tercantum pada data pasien," jelas Dokter Andrean. "Gak masalah. Dokter, mau berbicara dengan suami saya?" "Boleh saya minta minta nomor Pak Nadio? Saya harus sampaikan langsung ke beliau." "Nomor suami sedang diprivate, Dok. Akhir-akhir ada yang teror. Tinggal bilang ke saja, nanti saya sampaikan," balas Karmila sambil tersenyum ke arah suaminya. Nadio pun langsung mengacungkan jempol. "Baiklah. Bu Vivian sempat keceplosan pada saya, sempat mengambil sidik jari Pak Nadio buat akses masuk ke apartemen. Maka dari itu dia yakin bahwa anaknya adalah benih Pak Nadio. Maaf, Bu. Sebenarnya ini bisa dibuktikan dengan tes DNA." "Dokter, ini saya, Nadio. Maaf, tadi lagi nyetir. Miss. Vivian kapan masuk apartemen? Kapan dia ambil sidik jari?" tanya Nadio dengan ekspresi marah sekaligus penasaran. Karmila pun ikut kesal begitu tahu
"Saya paham kronologinya. Kebetulan saya sempat ngobrol dengan Bu Vivian. Dari pasien ini, terungkap bahwa dia yang menularkan penyakit tersebut ke Pak Handoko lalu menular lagi ke pasangannya. Pasien tak sengaja menularkannya karena berdua dalam pengaruh narkoba saat melakukan hal tersebut," ungkap Dokter Andrean yang akhirnya, berhasil menyakinkan pasutri muda. Baik Nadio maupun Karmila tak menyangka dengan pernyataan dokter barusan. Mereka tak pernah lihat gelagat aneh dari Vivian, kalau memang wanita tomboi tersebut seorang pecandu narkoba. Namun, Karmila akhirnya punya pertanyaan yang menggelitik. "Jadi janin yang kemarin, benih siapa, Dok?" tanya Karmila sembari memandang dokter tersebut. "Kemungkinan besar anak suaminya. Itu masih dugaan saya dan perlu dibuktikan. Demi penyelidikan kasus yang terkait," jelas Dokter Andrean. Penjelasan dokter tersebut menjadikan Karmila teringat sesuatu. "Miss. Vivian pisah ranjang sampai akhirnya cerai itu sejak setahun lalu, Dok," urai Ka
Beberapa selang alat kesehatan menempel di bagian tubuh. Itu sudah mengindekasikan bahwa wanita yang terbaring ini sedang tidak baik-baik saja."Terima kasih masih mau memberi undangan kepada kami, Miss," ucap Nadio bernada canda agar pasien sedikit terhibur."Undangan yang bikin kalian bengong tentunya," balas Vivian dengan bibir bergetar.Kedua mata wanita tomboi tersebut sayu dan bisa dibilang hampir hilang cahayanya. Raut wajah yang dulu bersih segar, kini pucat pasi bagai tak dialiri darah. Pasutri muda yang sedang berdiri di depannya memandang dengan perasaan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan air mata Karmila tak tertahan lagi, mengalir deras, membasahi kedua pipi.Nadio seketika memeluk sang istri lalu berbisik,"Tahan dulu. Biar dia gak tambah sedih."Karmila pun mengangguk dan segera mengusap buliran-buliran bening tersebut dengan tisu. Kini, hanya tersisa isakan dan bunyi napas yang sesak. Namun, Karmila menahannya agar tak terdengar oleh Vivian."Miss. Vivian haru