Namun, kini sebuah kenyataan terungkap dalam tes DNA, seakan-akan mematahkan kejujuran almarhum. Bude Darmo menjadi semakin penasaran, ada hubungan apa yang terjalin antara suaminya dengan ibu Pendi. Sedang yang lain asik beragumen tentang segala kemungkinan yang berhubungan dengan hasil tes dan hasil konsultasi dengan dokter.Nadio segera menenangkan semua agar tak semakin membuat kusut pikiran Bude Darmo dan Rasti. Kedua wanita tersebut, saat ini dalam kondisi paling menyakitkan tentang segala hal dengan Pendi.Dalam perjalanan pulang, berlima hanya berdiam diri. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Nadio menoleh ke arah Karmila yang tampak muram. Tampak jelas raut kesedihan di wajah wanita muda yang sedang mengandung dua belas minggu ini."Sayang, mau beli rujak buah?" tanya Nadio sembari meraih jemari Karmila. Namun, tangan pria tersebut segera ditepis oleh Karmila."Aku bisa beli sendiri," jawab Karmila yang berusaha menahan kesabaran. Dia sadar betul, bukan saat yang tepat
U-udah bangun?" tanya Nadio gugup yang langsung menon-aktifkan ponsel. Karmila tersenyum sinis lalu menatap layar ponsel. Beberapa saat, dia pun telah menerima panggilan."Selamat Siang, Pak. Tolong ditunggu di depan warung soto. Sebentar lagi saya sampai," kata Karmila mengakhiri hubungan telepon. Karmila melihat wajah sang suami dari pantulan kaca sipon."Kita makan soto? Kebetulan Abang lapar," ucap Nadio antusias tetap dengan ekspresi canggung."Aku sama Ibu naik taksi aja. Abang pasti sibuk, udah ada yang teleponi mulu. Udah samperin aja. Gak usah mikirin aku. Sebelum Abang ke Singapura, aku akan pulkam. Abang berhak bahagia dan aku pun ingin hidup tenang. Terima kasih, selama ini selalu perhatian padaku dan keluarga."Nadio seketika kaget dengan ucapan Karmila barusan. Pria tersebut langsung memeluk sang istri erat."Sayang, ada apa dengan kamu? Kita jalan-jalan, ya?" tanya Nadio panik dan Karmila segera mengurai pelukan."Aku gak perlu refreshing. Aku pengen hidup tenang. Abang
"Bilangnya ditunggu Nak Nadio. Tapi kenapa Nak Nadio nyariin?" tanya Bu Rahmat dengan mimik heran. Jiwa keibuannya telah merasa ada sesuatu, tetapi wanita separuh umur ini masih mau berpikir positif."Ibu tenang aja. Nanti saya cari tahu petugas di sana. Siapa yang telepon Karmila barusan. Karmila gak mungkin berangkat kalo bukan petugas beneran," jawab Nadio berusaha menenangkan hati ibu mertuanya.Nadio pun berjalan terburu-buru menuju garasi diikuti oleh Pak Rahmat. Sedangkan Bu Rahmat terengah-engah tertinggal di belakang. Sesampai garasi, Nadio segera membuka pintu mobil untuk bapak mertuanya."Ibu gak usah antar sini. Cukup di paviliun dan doakan kami aja,"ujar Nadio begitu Bu Rahmat sudah sampai di depan mereka."Ibumu tuh, pengen ikutan, Nak," sahut Pak Rahmat yang langsung direspon sebuah anggukan oleh Bu Rahmat. Wanita ini pun tersenyum tipis ke arah Nadio."Lebih baik Ibu di rumah. Jaga-jaga, kalo Karmila pulang duluan. Maafkan saya, Pak, Bu! Karmila pergi dalam keadaan mar
"Kita ikuti permainan dia, lalu kita jebak," balas Karmila dengan senyum penuh arti."Maksudnya, aku ikuti kemauan dia? Ogah!""Kita imbangi dengan permainan. Gini caranya," ucap Karmila lalu berbisik ke telinga Nadio. Sang suami seketika tersenyum lebar mendengar penjelasan Karmila. "Udah gak marahan, kan?" "Kaga. Aku perlu penjelasan doang. Ya, masa, setega itu. Mau cari bini baru tuh, tunggu aku mati dulu. Gak lama juga. Sempat mikir nih. Abang sengaja berulah, biar aku buruan mati," ungkap Karmila dengan tatapan mata tajam ke arah Nadio.Sang suami seketika memeluknya. Tak bisa disangkal, penyesalan amat dalam, membuat air mata Nadio merembes dari pelupuk mata. "Sayang, maafin aku. Di otak ini, cuma mau bantu dia. Hidup dia gak lama. Anggap kasih kebahagiaan di detik-detik terakhir. Kaga taunya, cari kesempatan."Karmila merasakan basah di bahu baju yang dikenakan. Dia mengurai pelukan lalu memandangi wajah sang suami yang bersimbah air mata. Tak jauh beda dengan diriku. Karmila
"Baik, Pak. Saya mohon maaf sebanyak-banyaknya atas keteledoran ini.""Ya. Lain kali jangan diulangi. Harus bertanggung jawab dengan tugas. Jangan dilimpahkan, tanpa persetujuan saya. Selamat sore.""Baik, Pak. Selamat sore."Komunikasi keduanya berakhir. Nadio meletakkan ponsel ke dalam saku celana kembali. Pria berhidung mancung tersebut menoleh ke Karmila lalu tersenyum. Tampak ada ekpresi lega di wajahnya. Karmila mengangkat kedua alis ke arah suaminya."Beres sudah. Nanti tinggal bikin surat mutasi buat Tanto,"ujar Nadio dengan ekspresi sedang berpikir."Ada apa, Honey?" tanya Karmila seketika."Kita salah sangka soal Tanto," ungkap Nadio sembari mulai menghidupkan mesin. Kini mobil mulai beranjak dari tempat parkir. Saat beberapa meter akan mendekati pos penjagaan, Nadio menatap ke arah kaca spion. Tampak baby sitter sedang memandang depan."Benar sekuriti ini?" tanya Nadio ke wanita pengasuh si kecil."Ya, betul, Pak. Dia yang ngobrol dengan Mas Tanto," jawab baby sister yakin.
"Emang ada di mana?" tanya Karmila yang semakin penasaran. Wanita berambut ikal ini hingga memiringkan badan demi mendengar penjelasan sang suami."Mas Tanto udah ditangkap bersama Bulek Handoko di warung dekat terminal.""Hah! Kok bisa, Honey? Kasus apaan?" Kedua mata Karmila terbelalak. Wanita ini benar-benar tak menyangka kejadian tersebut."Selama beberapa hari, orang kita udah intai aktivitas Mas Tanto. Tau, kaga? Mas Tanto udah ambil foto-foto kegiatan pekerja dan barang-barang yang akan diekspor di sekitar gudang. Kemarin mau masuk gudang, keburu ketaun.""Apa mungkin gerbang macet, gara-gara ulah dia?" tanya Karmila dengan muka memerah. Wanita ini sembari mengingat-ingat sesuatu."Abang pikir juga gitu. Dia pandai merakit elektronik.""Aku sempat liat di rumah Mas Tanto ada alat pemotong besi. Apa mungkin dia bekerja membuat pagar?""Tunggu hasil penyelidikan. Habis antar mereka, kita ke kantor polisi," ucap Nadio sembari menunjuk arah belakang dengan jempol. Karmila seketika
"Semoga mereka gak bisa susul kita," ujar Nadio yang semakin menambah kecepatan kendaraannya."Aamiin," sahut Karmila yang mulai menghubungi nomor polisi."Mbak, bisa fotoin mereka? Plat nomor harus jelas!" perintah Nadio kepada baby sitter. "Baik, Pak," balas baby sitter yang segera mengambil ponsel dari dalam tas.Nadio mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi lalu saat ada kesempatan ada sebuah kawasan perumahan, dia pun segera berbelok. Kebetulan para sekuriti telah mengenal dengan baik mobil yang dikendarai oleh Nadio.Dengan menurunkan kaca jendela, Karmila dan Nadio menyapa dua sekuriti yang sedang berjaga. Keduanya sudah beberapa kali mengunjungi kediaman seorang staf yang ada di sini."Honey, penguntit kita masih ada, tuh," ucap Karmila saat mobil telah melewati pos penjagaan."Tenang. Kita akan lewat pintu belakang,"balas Nadio dengan tersenyum melihat pantulan bayangan para penguntit dari kaca spion."Aman deh, kalo gitu," sahut Karmila tersenyum sambil mengamati para pe
"Madam, silakan tenangin diri dulu. Satu jam lagi, saya akan menemui Anda. Bagaimana? Anda tak keberatan?""Baik, Pak Na-Nadio. Ma-maaf.""Terima kasih telah berbaik hati menelepon saya. Selamat sore, Madam Alexa.""Selamat sore, Pak Nadio."Hubungan telepon berakhir dengan menyisakan rasa penasaran dalam diri Nadio. Karmila datang di saat sang suami telah mengeluarkan mobil dari garasi. Wanita berambut ikal tersebut segera menutup pintu garasi lalu melangkahkan kaki menuju mobil."Honey, apa perlu aku telepon sekuriti dulu?" tanya Karmila sesaat setelah duduk di samping Nadio."Oh, ya. Tolong tanyain, mobil di depan gerbang udah pergi belum? Suruh cek CCTV lalu simpan plat nomornya.""Oke, Honey. Lega juga. Akhirnya, bisa pulang," balas Karmila yang segera menghubungi nomor kontak sekuriti. Sedangkan Nadio segera mengemudikan mobil ke arah gerbang. Dia menghentikan mobil sejenak lalu segera mengemudi ke arah pulang. Karmila yang menghubungi sekuriti tampak terperangah mendengar penj