Karmila merasa bahagia dengan pesta kejutannya yang diadakan oleh karyawan kantor. Nadio pun berinisiatif memesan minuman dan makanan kecil dari sebuah gerai kuliner dekat kantor. Jadilah pesta dadakan yang meriah dengan berbagai atraksi hiburan spontan dari beberapa karyawan. Seketika senyum mengembang dari bibir Karmila. Wanita yang kini semakin kurus, merasa tersanjung oleh semua itu. Akhirnya niat semula hanya sebentar untuk menyelesaikan pekerjaan, harus molor sampai berjam-jam.Pasutri tersebut sangat menikmatinya dan merasa bahagia. Beberapa kali Bu Rahmat menelepon ke ponsel Karmila. Dia menanyakan tentang keberadaan putri dan menantunya. Wanita separuh baya ini sangat khawatir dengan keadaan Karmila. Oleh karena pasutri muda ini pamit untuk mengambil hasil tes dan mampir sebentar ke kantor untuk menyelesaikan sedikit pekerjaan. Namun, mereka belum pulang sampai hari menjelang malam.Nadio yang mendengar pembicaraan Karmila dengan Bu Rahmat hanya tersenyum dan sesekali menjawa
Bu Rahmat sudah selesai mengolah bahan makanan lalu mengatur semua menu di atas meja makan. Pak Rahmat datang dari arah depan dengan menenteng sebuah kantong plastik hitam. Pria berkaca mata itu kemudian meletakkan kantong tersebut di atas meja. Dia pun duduk di salah satu kursinya. Bu Rahmat yang merasa penasaran lalu membuka bawaan sang suami. Begitu wanita tersebut melihat isinya, seketika tersenyum manis. "Wah masih hangat! Beli di mana ini Pak?""Tadi ada yang jual lewat depan. Pas kebetulan Bapak ngobrol dengan satpam.""Kalo gitu, Ibu bikin kopi dulu, Pak." Bu Rahmat kemudian melangkah ke kompor untuk merebus air. Saat Bu Rahmat merebus air, tiba-tiba Karmila datang dari arah belakang. Wanita berambut Ikal ini pun melihat keberadaan kantong plastik di atas meja. Dia penasaran segera membukanya. “Wah enaknya, pisang rebus. Dari mana, Pak?” tanyanya kepada pria separuh baya yang sedang duduk di sebelah.“Dari beli di depan barusan.”Kemudian Karmila mengambil satu dan mencicip
"Ah, akhirnya aku tahu, apa yang mesti kita berbuat. Agar persoalan ini segera teratasi.”Nadio setelah mengatakan hal tersebut lalu tertawa lebar, terlihat kelegaan di raut wajahnya. Sehingga Bude Darmo pun menjadi penasaran dibuatnya."Apa yang akan dilakukan Nak Nadio lakukan?" tanya Bude Darmo sambil mencondongkan tubuh. Namun, saat Nadio akan menjawab pertanyaan tersebut, anak tiri Bude Darmo keburu datang. Dia tanpa berucap salam lalu ikut bergabung bersama mereka yang ada di ruang tamu.Nadio yang melihat kedatangan anak tiri Bude Darmo ini merasa kebetulan. Pria ini bisa langsung membicarakan keberatan soal tindakan pria berkepala plontos dan bertubuh penuh tato ini. Semua mata tertuju ke arah Pendi. Pria berpenampilan preman ini tak merasa bersalah maupun canggung sedikit pun. Tingkahnya seketika membuat Bude Darmo geleng-geleng kepala.“Le, kasih salam kepada sodaramu yang lain,” saran Bude Darmo sembari bangkit dan menepuk pundak putranya“Ngapain, Buk? Kita ini sodara tu
Bude Darmo akhirnya keluar kamar dengan membawa botol bening yang di dalamnya berisi beberapa helai rambut. Dia mendekat lalu duduk dan membuka botol tersebut. Wanita tua tersebut mengeluarkan isinya. Kini, tampak beberapa helai rambut yang sebagian beruban. Nadio dan yang lain mengamati sejenak."Emang ini yang kita butuhkan. Tolong masukkan lagi, Bude Darmo," ujar Nadio dengan tersenyum lega. Ada ambisi tersendiri baginya untuk pembuktian DNA Pendi karena sikap arogan pria berkepala plontos tersebut. Dia merasa yakin bahwa pria tersebut bukan anak kandung Pakde Darmo. Oleh karena perilaku ibu dan anak ini bagai langit dan bumi.Sementara itu, Karmila sembari tersenyum mengeluarkan sebuah kantong plastik berklip."Surprise! Aku pun punya bukti otentik," ungkap Karmila dengan kedua mata berbinar-binar sambil mengangkat plastik.Dalam plastik tersebut terlihat beberapa potongan pendek rambut. Seketika semua pandangan tertuju memperlihatkan pada yang lain.“Lah, itu rambut siapa, Nduk?”
Hari ini Nadio berangkat kerja dengan iringan perasaan sendu dari Karmila. Stamina tubuh wanita berambut ikal ini terlihat semakin ringkih dan Nadio tak tega meninggalkan sendiri di pagi ini. Namun, Karmila meyakinkan suaminya bahwa dia akan baik-baik saja dan akan ke rumah salkit diantar sopir. Akhirnya dengan berat hati, Nadio berangkat juga ke kantor."Telepon aku, kalo ada apa-apa. Segera periksa, Sayang!" Pesan Nadio diiringi kecupan lembut di kedua pipi istrinya."Siap, Bos!" Lengan Tania bergelayut manja pada lengan Nadio."Jaga diri! Aku kerja dulu," ucap Nadio seraya memasuki mobil. Karmila berdiri menunggu sampai mobil yang dikemudikan suaminya menghilang dari penglihatan. Dia segera masuk untuk menghabiskan minumannya. Tak berapa lama, Bu Rahmat menghampiri Karmila sembari membawa beberapa buah mangga."Nduk, Ibu kupaskan mangga, nih. Ada yang matang pohon tadi.""Entar, aja, Bu. Karmila mau ke dokter, periksa tensi darah.""Ibu temani, ya, Nduk?""Enggak usah, Bu. Karmila
"Gak apa. Barusan dia kirim pesan kalo akan naik taksi," jawab Nadio sambil melingkarkan lengan ke pinggang Vivian yang tampak buncit.Oh, My God! Kak Vivian hamil besar. Pantas aja, gak mau ke rumah, saat berkunjung ke Indonesia. Rupanya ini, batin Karmila dengan jantung berdetak tak karuan. Kalian tega banget padaku!Air mata tak terbendung keluar dari kelopak. Karmila menahan isakan sambil menunggu mobil berlalu bersama pasangan yang telah menghancurkan hati Karmila.****Keesokan harinya“Okey, saya percaya Bapak. Mohon kerja samanya, agar proyek selesai tepat waktu,” ucap Ario sembari mengulurkan tangan ke arah pemborong yang akan memulai pembangunan lahan kosong.Sejam kemudian, bahan-bahan material telah sampai. Nadio segera mengecek seluruh barang-barang yang diturunkan. Setelah semua material dianggap lengkap sesuai pesanan, dia segera menandatangai faktur pengiriman barang. Nadio kemudian menghampiri pemborong dan mengatakan bahwa material telah siap untuk digunakan. Baru k
Beberapa tetangga yang melihat adegan penangkapan Pendi barusan, mengikuti langkah Bude Darmo dan menantunya. Para tetangga ingin tahu kejadian sebenarnya karena selama ini tak ada yang berani lapor polisi walaupun Pendi sering berbuat onar. Kedua wanita tersebut hanya tersenyum membalas pertanyaan ingin tahu warga.Sepanjang jalan, Bude Darmo dan menantunya hanya duduk terdiam, sesekali dari kedua sudut mata menetes buliran bening. Mereka merasa malu dengan perilaku Pendi yang kurang ajar. Selama ini, keluarga Karmila telah banyak membantu mereka.Namun, entahlah! Apa yang ada di benak Pendi hingga beranggapan bahwa kedua orang tua Karmila telah menghabiskan tanah warisan milik wanita tua tersebut. Dari mana pula informasi tentang hal itu yang mampu menghasut Pendi. Selama ini pria bertato itu tak pernah ambil pusing dengan segala tentang keluarga di kampung. Pria tersebut tak mengenal mereka sama sekali karena baru saat ini bertemu.Karmila dan Bu Rahmat mengerti kegundahan hati Bude
Namun, kini sebuah kenyataan terungkap dalam tes DNA, seakan-akan mematahkan kejujuran almarhum. Bude Darmo menjadi semakin penasaran, ada hubungan apa yang terjalin antara suaminya dengan ibu Pendi. Sedang yang lain asik beragumen tentang segala kemungkinan yang berhubungan dengan hasil tes dan hasil konsultasi dengan dokter.Nadio segera menenangkan semua agar tak semakin membuat kusut pikiran Bude Darmo dan Rasti. Kedua wanita tersebut, saat ini dalam kondisi paling menyakitkan tentang segala hal dengan Pendi.Dalam perjalanan pulang, berlima hanya berdiam diri. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Nadio menoleh ke arah Karmila yang tampak muram. Tampak jelas raut kesedihan di wajah wanita muda yang sedang mengandung dua belas minggu ini."Sayang, mau beli rujak buah?" tanya Nadio sembari meraih jemari Karmila. Namun, tangan pria tersebut segera ditepis oleh Karmila."Aku bisa beli sendiri," jawab Karmila yang berusaha menahan kesabaran. Dia sadar betul, bukan saat yang tepat
Dalam ruangan hanya terdengar tarikan napas para penghuninya. Tak ada yang mau bersuara. Masing-masing meresapi peristiwa haru yang terjadi di hadapan mereka. Karmila tampak paling bahagia karenanya.Ia merasa rencana membuat rumah makan bersama Bude Darmo dan Rasti akan berjalan tanpa hambatan, bahkan bisa lebih mudah terwujud. Ia optimis, Pendi yang telah berubah akan ikut andil membantunya."Alhamdulillah, bisa bertemu orang-orang baik seperti kalian," ucap Pendi lalu tersenyum tipis."Alhamdulillah, saya ikut senang, meski tak tahu soal mafia. Dengan itikad baik Mas Pendi dalam menangkap pelaku pengerusakan, saya sebagai pimpinan di sini mengucapkan terima kasih. Tindakan heroik Mas Pendi membuat kredibilitas kafe terjaga. Jika masa bersyarat sudah berakhir dan Mas ingin bergabung di kafe. Saya bisa merekomendasikan Mas untuk menjadi karyawan tanpa interview," ucap manager dengan wajah sumringah.Tawaran kerja barusan ditanggapi Pendi dengan wajah berseri-seri. Pria bertato terseb
"Ada laporan masuk. Pelaku pengerusakan telah ditangkap polisi, Pak," jawab sekuriti yang berdiri."Syukurlah!" seru Karmila dengan perasaan lega."Maaf, yang buat laporan siapa, Pak?" tanya Nadio yang penasaran."Seorang pria yang sekarang sedang berada di pos penjagaan. Katanya mengenal baik Bapak dan Ibu," jawab sekuriti sambil melihat ke arah Nadio dan Karmila. "Apa benar namanya Pendi?" tanya Nadio segera."Benar, Pak. Berarti orang itu benar-benar mengenal Bapak dan Ibu?" tanya balik sekuriti."Gimana gak kenal? Dia itu anak dari bude saya, Pak," sahut Karmila sambil tertawa kecil. Demikian pula Nadio."Wah, kebetulan sekali. Pak, tolong ajak orang tersebut kemari. Kita ajak berdiskusi," ucap manager sambil menatap sekuriti."Baik, Pak!" seru sekuriti dengan tangan memberi hormat. Pria tersebut segera balik badan dan berlalu.Setelah kepergiaannya, kini tinggal seorang sekuriti dan tukang parkir yang berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka merasa lega karena tak harus me
Nadio segera mengambil foto dengan ponsel lalu mengirimkan kepada Mr. Bram dan polisi yang sedang menyelidiki kasus mereka.Saat tukang parkir datang dengan maksud akan membantu arah kendaraan saat keluar dari parkir, tak kalah kaget. Pria berseragam hijau tersebut tak enak hati kepada Nadio dan Karmila."Saya minta maaf, Bapak dan Ibu. Silakan tunggu sebentar. Saya akan lapor ke sekuriti soal ini," ucap pria tersebut dengan sorot mata penyesalan."Ok. Silakan. Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" protes Nadio kesal.Karmila hanya menatap keduanya dengan pikiran tak menentu. Wanita ini merasa ngeri juga dengan kejadian barusan. Kehidupan rumah tangganya diselimuti berbagai masalah yang beruntun. Baru saja merasa lega dengan penjelasan Mr. Bram yang telah mulai menguak kasus sedikit demi sedikit. Namun, dengan insiden yang terjadi ini, membuat Karmila teringat traumanya kembali. "Honey, apa yang salah dengan kita?" tanya Karmila dengan wajah memelas.Nadio yang mendengarnya, langsung
"Maaf, boleh saya tahu? Siapakah yang telah menyerahkan map ini ke waiter?" tanya Nadio sambil menduga-duga sosok pemberi barang bukti tersebut. Seketika, Mr. Bram tersenyum tipis sambil berkata,"Orang terdekat Bapak dan Ibu." Pasutri muda ini pun seketika terkejut lalu saling berpandangan. Mr. Bram memahami kebingungan keduanya. Pria berpenampilan layaknya aktor laga tersebut mengambil ponsel dari dalam saku jaket. Tampak dirinya menghubungi seseorang. Mr. Bram sesaat berbicara lalu mengaktifkan speaker. "Silakan berbicara langsung dengan Bapak Nadio dan istri," ucap Mr. Bram dengan senyum yang membuat pasutri di hadapannya semakin penasaran. "Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Bapak!" teriak Karmila dan Nadio berbarengan. Mereka tak bisa mempercayai dengan suara yang terdengar. "Ya, ini Bapak, Nak. Maafkan, telah membuat kalian kaget," balas Pak Rahmat dari ujung telepon. Ucapan pria separuh baya tersebut seketika membuat wajah pasangan muda berseri-seri. Mereka tak menyan
"Salam kenal, Bu. Saya Mr. Bram Akira yang akan menangani kasus. Semoga berkenan," balas pria tersebut seraya membungkukkan badan. "Salam kenal kembali, Mr. Bram. Kami berharap bisa tuntas secepatnya," balas Karmila lalu membungkukkan badan pula. "Silakan duduk Mr. Bram!" pinta Nadio. Ketiganya kemudian duduk berhadapan. Secera kebetulan seorang waiter sedang lewat di depan mereka. Nadio seketika memanggilnya. Saat pria tersebut datang menghampiri, Nadio meminta untuk menghidangkan tiga minuman. "Baik, Pak. Saya akan segera membawakan pesanan. Mohon ditunggu. Permisi," ucap waiter tersebut lalu membungkuk. "Silakan," balas Nadio segera. Waiter segera berlalu meninggalkan tempat. Kini ketiganya kembali mengadakan pembicaraan. Di saat asik mengobrol datang seorang waiter lain dengan membawa sebuah map. Pria muda berambut cepak style tentara tersebut mengucapkan salam. Namun, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. "Kenapa itu?" tanya Karmila kaget. Nadio dan Mr. Bram
Tentu saja, penjelasan Nadio semakin membuat Karmila keheranan. Wanita berambut ikal tersebut memang orang yang lugu. "Hal biasa semacam itu di luar negeri. Pasangan tanpa komitmen resmi dan tetap bertanggung jawab kepada anak biologis. Mungkin saja, Tuan Ongki sudah melalaikan tanggung jawab." "Akhirnya ada rasa dendam karenanya," ucap Karmila mencoba menduga-duga. "Ya, begitulah." Pembicaraan terhenti, pada saat mobil mereka tak bisa bergerak karena tepat di depan mata ada kerumunan warga. Sesaat kemudian datanglah mobil patroli polisi dan ambulans. "Honey, kecelakaan?" tanya Karmila sembari mengawasi gerak-gerik para petugas yang sedang mengeksekusi korban. "Sepertinya pembunuhan," jawab Nadio segera. Rupanya mereka tak perlu menunggu lama untuk mengetahui dengan yang terjadi. Dari pembicaraan warga yang sedang berkerumun, mengarah pada kasus mutilasi. Karmila bergidik seketika mendengarnya. Korban adalah seorang dokter. Tiba-tiba terdengar ponsel Karmila berbunyi dan terter
"Selamat siang, Dokter," ucap Karmila sembari mengaktifkan speaker. "Selamat siang. Saya minta maaf, terpaksa menghubungi Bu Karmila. Hanya nomor kontak ini yang tercantum pada data pasien," jelas Dokter Andrean. "Gak masalah. Dokter, mau berbicara dengan suami saya?" "Boleh saya minta minta nomor Pak Nadio? Saya harus sampaikan langsung ke beliau." "Nomor suami sedang diprivate, Dok. Akhir-akhir ada yang teror. Tinggal bilang ke saja, nanti saya sampaikan," balas Karmila sambil tersenyum ke arah suaminya. Nadio pun langsung mengacungkan jempol. "Baiklah. Bu Vivian sempat keceplosan pada saya, sempat mengambil sidik jari Pak Nadio buat akses masuk ke apartemen. Maka dari itu dia yakin bahwa anaknya adalah benih Pak Nadio. Maaf, Bu. Sebenarnya ini bisa dibuktikan dengan tes DNA." "Dokter, ini saya, Nadio. Maaf, tadi lagi nyetir. Miss. Vivian kapan masuk apartemen? Kapan dia ambil sidik jari?" tanya Nadio dengan ekspresi marah sekaligus penasaran. Karmila pun ikut kesal begitu tahu
"Saya paham kronologinya. Kebetulan saya sempat ngobrol dengan Bu Vivian. Dari pasien ini, terungkap bahwa dia yang menularkan penyakit tersebut ke Pak Handoko lalu menular lagi ke pasangannya. Pasien tak sengaja menularkannya karena berdua dalam pengaruh narkoba saat melakukan hal tersebut," ungkap Dokter Andrean yang akhirnya, berhasil menyakinkan pasutri muda. Baik Nadio maupun Karmila tak menyangka dengan pernyataan dokter barusan. Mereka tak pernah lihat gelagat aneh dari Vivian, kalau memang wanita tomboi tersebut seorang pecandu narkoba. Namun, Karmila akhirnya punya pertanyaan yang menggelitik. "Jadi janin yang kemarin, benih siapa, Dok?" tanya Karmila sembari memandang dokter tersebut. "Kemungkinan besar anak suaminya. Itu masih dugaan saya dan perlu dibuktikan. Demi penyelidikan kasus yang terkait," jelas Dokter Andrean. Penjelasan dokter tersebut menjadikan Karmila teringat sesuatu. "Miss. Vivian pisah ranjang sampai akhirnya cerai itu sejak setahun lalu, Dok," urai Ka
Beberapa selang alat kesehatan menempel di bagian tubuh. Itu sudah mengindekasikan bahwa wanita yang terbaring ini sedang tidak baik-baik saja."Terima kasih masih mau memberi undangan kepada kami, Miss," ucap Nadio bernada canda agar pasien sedikit terhibur."Undangan yang bikin kalian bengong tentunya," balas Vivian dengan bibir bergetar.Kedua mata wanita tomboi tersebut sayu dan bisa dibilang hampir hilang cahayanya. Raut wajah yang dulu bersih segar, kini pucat pasi bagai tak dialiri darah. Pasutri muda yang sedang berdiri di depannya memandang dengan perasaan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan air mata Karmila tak tertahan lagi, mengalir deras, membasahi kedua pipi.Nadio seketika memeluk sang istri lalu berbisik,"Tahan dulu. Biar dia gak tambah sedih."Karmila pun mengangguk dan segera mengusap buliran-buliran bening tersebut dengan tisu. Kini, hanya tersisa isakan dan bunyi napas yang sesak. Namun, Karmila menahannya agar tak terdengar oleh Vivian."Miss. Vivian haru