Share

bab 4

Penulis: Fahira Khanza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-04 09:47:15

POV 3

"Ris, sini. Ada yang ingin saya tanyakan," panggil Rahma pada sang pembantu yang tengah membersihkan hiasan guci yang ada di sudut ruang makan.

Di sana, mereka tak hanya berdua. Ada Arjuna juga. Lelaki itu masih menyelesaikan sarapannya yang belum selesai. Sebenernya hanya tinggal tiga suap saja sepiring nasi itu habis.

"Ada apa, Bu?" tanya Risa ketika ia sudah berada di depan sang Majikan.

"Kemarin saya menemukan celana dalam laki-laki ada di kamar kamu."

Deg!

Seketika jantung Risa terasa seperti berhenti berdetak. Sekilas, Risa melirik ke arah Arjuna yang tampak menunduk dalam.

"Kata suami saya, kamu habis memasukkan laki-laki ke dalam kamar ya? Siapa? Kekasih kamu?" tanya Rahma yang bersikap pura-pura tidak tau.

Risa terlihat gugup, ia sampai tak bisa berpikir jawaban apa yang harus ia katakan. Risa kembali melirik ke arah sang kekasih, dan detik berikutnya tampak Arjuna memberikan kode agar Risa mengangguk saja.

"I–iya, Bu. Saya minta maaf." Dengan perasaan kesal sekaligus gugup, Risa menjawab.

"Jangan seperti itu lagi. Saya tidak bisa mentolerir andai kamu ketahuan melakukan itu lagi. Ngerti?" Tegas, Rahma berucap. Dan Risa pun hanya mampu memberikan respon dengan anggukan kepala saja.

"Ya sudah, kembali bekerja."

"Baik, Bu," jawab Risa. Kemudian, perempuan itu berbalik dan hendak menyelesaikan pekerjaan yang sempat terganggu karena panggilan dari sang Majikan.

Setelah selesai sarapan, Arjuna pun berpamitan berangkat kerja. Sedangkan Rahma berjalan ke arah kamar untuk menemui putranya yang masih tertidur lelap di atas ranjang.

***

Rahma terduduk di tepi ranjang, memikirkan segenap rencana yang akan ia lakukan. Rencana untuk menguak suatu kebenaran. Penemuannya malam ini benar-benar membuat kepala perempuan itu berdenyut sakit. Mulai dari suara sang suami yang terdengar dari dalam kamar sang Pembantu, lalu disusul oleh mendapati celana dalam milik sang suami berada di sana. Dan kini ditambah oleh status sang ART yang tiba-tiba dihapus setelah dibaca oleh Rahma.

Ada satu hal yang saat ini memenuhi isi kepala Rahma, yaitu mengenai bagaimana sang suami bisa keluar dari kamar sang pembantu, sedangkan ia berdiri di depan pintu. Rahma benar-benar merasa penasaran. Oleh sebab itulah Rahma memutuskan akan mencari tau secepatnya. Ia ingin mencari jawabannya.

"Sepertinya aku harus memasang cctv. Tapi tidak mungkin aku memasangnya saat Risa ada di rumah," lirih Rahma sembari sesekali melirik ke arah Rendy yang tengah tertidur pulas.

Tok!

Tok!

Tok!

Suara ketukan pintu membuat Rahma menoleh ke arah sumber suara.

"Bu, ini saya Risa."

"Masuklah," titah Rahma. Hingga tak berselang lama derit pintu terdengar seiring daun pintu yang mulai terbuka.

Terlihat Risa berjalan mendekat ke arahnya setelah menutup kembali pintu kamar.

"Ada apa, Ris?" Kali ini Rahma berusaha untuk bersikap biasa saja. Meski pada faktanya ia ingin sekali menjambak dan mencabik-cabik wajah cantik milik sang Art.

"Bu, apa boleh saya keluar sebentar? Teman-teman saya yang kebetulan merantau di kota ini ngajak untuk bertemu."

Tepat sekali!

Sepertinya Tuhan mendukung rencana Rahma untuk segera memasang kamera pengintai. Bibir Rahma tersenyum samar, setelahnya ia berucap, "Semua kerjaan sudah selesai?"

"Sudah, Bu."

"Ya sudah, pergilah. Jangan pulang larut malam." Rahma memberi peringatan.

Mendengar ucapan sang majikan tentu saja membuat kedua sudut bibir Risa tertarik ke atas.

"Baik, Bu. Paling lambat mungkin jam 8. Soalnya acara kumpul-kumpulnya jam 6 sore. Kebetulan acara ini diadakan di rumah teman Risa. Dia meminta bantuan untuk menyiapkan segala keperluannya. Kami harus belanja dulu lalu masak-masak," jelas Risa panjang lebar.

"Ya, pergilah."

"Baik, Bu. Terima kasih, saya pergi sekarang ya, Bu."

Rahma mengangguk.

Setelah mendapatkan respon dari sang majikan, Risa melangkah pergi. Hingga akhirnya Rahma kembali memikirkan soal rencananya untuk memasang cctv.

Nama Elisa seketika muncul di ingatannya. Rahma menepuk-nepuk kepalanya, bagaimana bisa dia baru ingat jika sahabatnya itu menjual aneka peralatan elektronik termasuk cctv.

Bergegas Rahma mengambil ponsel yang tergeletak di atas bantal. Jemarinya dengan tergesa-gesa mencari kontak bernama Elisa–salah satu teman dekatnya dari SMA hingga saat ini.

Begitu ketemu, Rahma langsung menekan menu panggil.

"Assalamualaikum, Rahma. Halo, ada apa?" Suara wanita dari seberang sana terdengar begitu panggilan diangkat setelah dering ketiga.

"Sa, bisa kirim karyawanmu untuk pasang cctv di rumahku?"

"Loh, bukankah rumahmu baru beberapa bulan yang lalu ganti cctv? Rusak lagi?"

"Enggak sih. Mau aku suruh pasang di kamar, Sa."

"Di kamar? Buat apa? Jangan-jangan ...."

"Ish! Jangan mikir yang aneh-aneh kamu, Sa. Aku butuh cctv yang kecil sekali. Pokok yang membuat orang tidak menyadari jika ada cctv di kamar itu."

"Kenapa? Apa kamu mencurigai suamimu dengan pembantu di rumahmu?"

Telak!

Tebakan Elisa tak meleset.

"Ya."

Hembusan napas kasar terdengar dari seberang sana.

"Jangan bertindak gegabah, selidiki dan main cantik."

"Iya, Sa. Makanya aku mau pasang cctv di kamar pembantuku itu. Pokoknya yang kecil saja ya. Kalau bisa suruh datang segera, takutnya Mas Arjuna keburu pulang," ucap Rahma sembari melirik sekilas ke arah jam yang menunjukkan pukul 1 siang.

"Iya, beres. 15 menit orang suruhanku bakalan tiba."

"Oke, Sa. Makasih ya."

Panggilan diputus setelah salam perpisahan.

Kali ini Rahma bisa sedikit bernapas lega.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
amymende
makin dibaca makin bego rasanya c rahma
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 5

    "Sudah, Bu. Sudah saya sambungkan sekalian ke ponsel ini." Lelaki yang merupakan karyawan Elisa menyerahkan ponsel Rahma kepada pemiliknya. "Baik, Mas. Terima kasih, ya. Kwitansinya mana?" Diserahkannya selembar nota pembelian kepada Rahma, dan bergegas wanita itu memberikan sejumlah uang yang tertera pada nota pembelian. Tak lupa ia juga menambahkan satu lembar uang pecahan 100 ribuan sebagai upah atau bonus atas tenaganya.Setelah lelaki itu pergi, Rahma melangkah masuk menuju kamar Risa. Kepala Rahma mendongak, mencari keberadaan benda kecil yang akan mengungkap kebusukan dua manusia tak berakhlak. Dua pasang cctv terpasang dengan sempurna. Satu menyorot langsung bagian ranjang, dan satunya mencakup satu ruangan."Pasti mereka tidak akan tau kalau ada cctv di dalam sini," ucap Rahma dengan bibir tersenyum puas. ****Bibir bergincu merah maroon itu tersenyum kala melihat sang kekasih sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di cafe tempat mereka melakukan janjian. Bergegas R

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-04
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 6

    Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Rahma tidak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka. "Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Rahma menerka-nerka."Sepertinya iya, setelah malam itu Risa sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Arjuna dengan Risa hanya selisih hitungan puluhan menit." Secara Diam-diam dan tanpa sepengetahuan mereka, Rahma mengamati. Rahma pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya. Rahma sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun. DretDretPonsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Rahma meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya. "Assalamualaikum, Sa." Rahma mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung. "Waalaikumsalam, Ma. Bagaimana?" "Apanya?""Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-04
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 7

    "Pantas saja jika Mas Arjuna tertarik, pakaian Risa saja seperti itu. Benar-benar cocok! Mas Arjuna seperti sampah dan Risa adalah penampungnya." Rahma tersenyum sinis."Ternyata seleramu begitu menjijikkan, Mas," lirih Rahma. Selanjutnya, wanita itu menutup aplikasi rekaman cctv lalu kembali merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat perihal ucapan Elisa yang menyangkut perjanjian pernikahan. Rahma bangkit dari ranjang, setelahnya ia berjalan keluar dan langsung menuju ke ruang kerja sang suami yang letaknya persis di samping kamar mereka. Rahma bergegas masuk, tak lupa ia mengunci pintu ruangan kerja sang suami. Kemudian, ia pun melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang didepannya telah tersedia meja kerja berikut dengan komputer dan alat printer.Cepat, Rahma mengetikkan huruf demi huruf hingga terangkai menjadi kalimat. "Bismillah, semoga saja rencanaku berhasil," lirih Rahma sembari menatap layar komputer. Ia kembali membaca kalimat yang ia tulis. M

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 8

    Setelah semuanya selesai, Rahma memutuskan untuk segera merapihkan meja komputer seperti sedia kala, dan selanjutnya ia kembali ke kamar.Perempuan itu terus berjalan dengan sesekali menatap ke arah lembaran kertas dan senyum tipis terpahat di bibir itu, sesampainya di kamar, wanita itu gegas mendudukkan bokong di tepi ranjang setelah mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya. Sejenak Rahma memandangi wajah sang bayi, dan seketika saja dada wanita itu terasa begitu sesak. Tangan Rahma terulur, mengusap lembut kepala sang anak dengan perasaan hancur. "Maafkan Mama ya, Nak, jika setelah ini kamu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok Papa. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa kekurangan kasih sayang. Mama akan menjadi Mama sekaligus Papa untuk kamu." Rahma berucap pelan, tanpa sadar kedua kelopak matanya mulai berkaca-kaca seiring rasa sesak yang kian mendera. Ah, air mata memang tidak bisa menyembunyikan sedalam apa rasa sakit yang dirasa. Rahma menghela napas dalam-dalam, setelahn

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 9

    Dret DretPonsel yang sedari tadi berada di tangan Risa bergetar, ada sebuah pesan masuk. Dan begitu dibuka olehnya, sang kekasihlah si pengirim pesannya. [Masukkan semua serbuk itu ke dalam teh.] Sebuah pesan yang dikirim oleh Arjuna membuat Risa tersenyum. Belum sempat ia membalas pesan Arjuna, terdengar suara ketukan pintu dan suara sang majikan yang memanggil namanya. Gegas Risa bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju pintu. "Ada apa, Bu? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Risa begitu pintu terbuka. Nada suaranya begitu hormat dan patuh, selayaknya seperti seorang pembantu yang menghormati majikan."Ris, tolong buatkan kopi sama teh hangat ya. Sekalian tolong antarkan ke kamar." "Baik, Bu." Begitu sang majikan pergi, Risa kembali masuk ke dalam kamar. Wanita itu menyingkap kasurnya lalu mengambil obat yang berupa serbuk yang sejak tiga hari yang lalu diberikan oleh Arjuna padanya. Rahma tersenyum sinis, bayangan dirinya akan kembali mereguk kenikmatan di atas ranj

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 10

    Mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Rahma, membuat jantung Risa dan Arjuna berdegup kencang. Dua manusia tak berhati itu pun tak lagi bisa menyembunyikan kegugupannya, bahkan mereka terlihat salah tingkah. Dan pemandangan itu tertangkap di kedua iris hitam milik Rahma. Tentunya membuat Rahma tersenyum samar. Risa akhirnya lebih memilih untuk beranjak dari tempat duduknya, dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar."Mas berangkat dulu ya, Sayang. Udah siang," ucap Arjuna sembari melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Belum Rahma menjawabnya, Arjuna langsung beranjak dari kursi–mengulurkan tangan ke arah Rahma–lalu melangkah pergi setelah sang istri mencium punggung tangannya."Mas, tunggu!" Kembali dada Arjuna berdebar-debar.Langkah lelaki itu terhenti, lalu dengan ragu memutar tubuh, dan terlihatlah sang istri yang melangkah ke arahnya dengan memasang wajah datar. "A–ada apa, Sayang?" Tergugup Arjuna bertanya. "Aku nanti mau pergi sama

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 11

    "Apa?" tanya Elisa dengan cepat. Ia penasaran dengan ide yang terbersit di dalam otak Rahma."Kasih aja minuman pencuci perut. Nah, nanti kan si Arjuna pasti terus-terusan mengalami sakit perut tuh. Nah, di saat dia ingin ke toilet, mintalah tanda-tangannya."Rahma terdiam sesaat, hingga tak butuh waktu lama untuk bibir itu tersenyum sembari menatap ke arah Elisa. "Idemu bagus juga. Sumpah, aku nggak kepikiran sama sekali loh," ucap Rahma dengan begitu antusias. Elisa pun tersenyum mendengar sahabatnya kembali menerima masukan darinya. "Kamu setuju?" Rahma mengangguk cepat dan mantap. "Yaudah, kalau begitu sekalian aja kita mampir ke toko obat buat beli itu. Nggak mungkin dong kamu bakalan nyuruh pembantu bahenolmu untuk belikan obat sakit perut?" "Ha ha ha, ya enggak lah. Kita berhenti saja sekalian. Di depan sana kayaknya ada toko obat di seberang jalan." Elisa mengangguk-angguk, hingga beberapa menit kemudian, kendaraan roda empat itu mulai menepi dan berhenti di tepi jalan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 12

    "Aku punya niat untuk menggerebek Mas Arjuna saat begituan sama Risa. Kalau mereka janjian di luar, pasti aku geraknya kesusahan. Tau sendiri kan, aku ada bayi. Nggak bisa keluar sesuka hati. Jadi aku akan melakukan cara ini di rumah saja." Sontak saja Elisa menoleh ke arah Rahma. Beberapa pertanyaan muncul di benak wanita itu, namun ia memilih untuk diam terlebih dahulu. Mendengar setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir Rahma."Rencananya, setelah aku mendapatkan tandatangan Mas Arjuna, mengambil alih semua perhiasan milik Risa, aku akan memberikan serbuk obat pe rang sang ini ke minuman keduanya. Kalau mereka tak tahan, pasti melakukannya di rumah." Rahma selanjutnya menceritakan perihal Risa yang memberikannya obat tidur agar bisa leluasa bercinta dengan suaminya. "Aku yakin, dia akan memberikan aku minuman yang ada obat tidurnya itu. Nah, setelah aku tertidur, pasti mereka akan melakukannya di rumah. Kan nggak kuat kalau harus keluar cari hotel."Elisa mengangguk-angguk, mu

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26

Bab terbaru

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 83

    Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 82

    Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 81

    "Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    "Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 78

    Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 77

    DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 76

    "Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 75

    Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum

DMCA.com Protection Status