Share

Bab 8

Penulis: Fahira Khanza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-26 19:20:25

Setelah semuanya selesai, Rahma memutuskan untuk segera merapihkan meja komputer seperti sedia kala, dan selanjutnya ia kembali ke kamar.

Perempuan itu terus berjalan dengan sesekali menatap ke arah lembaran kertas dan senyum tipis terpahat di bibir itu, sesampainya di kamar, wanita itu gegas mendudukkan bokong di tepi ranjang setelah mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya.

Sejenak Rahma memandangi wajah sang bayi, dan seketika saja dada wanita itu terasa begitu sesak.

Tangan Rahma terulur, mengusap lembut kepala sang anak dengan perasaan hancur.

"Maafkan Mama ya, Nak, jika setelah ini kamu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok Papa. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa kekurangan kasih sayang. Mama akan menjadi Mama sekaligus Papa untuk kamu." Rahma berucap pelan, tanpa sadar kedua kelopak matanya mulai berkaca-kaca seiring rasa sesak yang kian mendera.

Ah, air mata memang tidak bisa menyembunyikan sedalam apa rasa sakit yang dirasa.

Rahma menghela napas dalam-dalam, setelahnya ia mengusap matanya dengan jemarinya–menghalau air mata agar tak luruh begitu saja.

Lagi, Rahma meraup udara dalam-dalam lalu tersenyum. Meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja.

Cepat Rahma mencari nomor ponsel Elisa. Begitu menemukan, ia langsung menekan menu panggil.

"Halo, assalamualaikum, Rahma?"

"Waalaikumsalam, Sa. Sa, apa kamu besok sedang sibuk?" tanya Rahma yang berniat untuk meminta tolong pada sahabatnya.

"Enggak, ada apa memang?"

"Bisa aku antar ke toko emas palsu?"

Di seberang sana, kening Elisa berkerut tajam. Masih tak paham dengan maksud dari ucapan sahabatnya itu.

"Jadi begini, aku tadi menemukan kotak perhiasan di laci Risa. Dan itu barang sama persis sekali seperti punyaku yang diberikan sama Mas Arjuna." Rahma menjelaskan, seolah-olah wanita itu paham jika lawan bicaranya terdiam dengan perasaan heran.

"What?! Serius kamu?" cetus Elisa.

"Iya, persis sekali, Sa. Ada kalung sama cincin. Waktu aku acak-acak isi laci, aku juga mendapatkan bukti pembelian kwitansi dan semua atas nama Mas Arjuna."

"Terus?" tanya Elisa singkat.

"Nah, rencananya aku mau ambil perhiasan-perhiasan itu. Kalau langsung aku ambil aja, pasti ketahuan dong. Makanya aku mau sedikit memberikannya kejutan dengan mengganti perhiasan itu dengan emas palsu. Gimana?"

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Elisa tertarik ke atas.

"Idemu bagus sekali, jadi kapan? Aku lagi nggak ada kesibukan akhir-akhir ini," ucap Elisa setelah mengingat-ingat apakah ia memiliki agenda keluar apa tidak.

"Kalau besok gimana, Sa? Lebih cepat lebih baik, bukan? Kalau nanti nanti, takutnya mereka keburu kuusir, ha ha ha." Tawa renyah terdengar dari bibir Rahma.

"Baiklah, lalu bagaimana dengan suamimu?"

"Besok bilang saja kalau kita mau menjenguk saudara kamu yang baru saja melahirkan."

"Oh, baiklah. Besok aku kesana jam 10 ya."

"Ok, Sa. Maaf ya kalau aku selalu merepotkan kamu."

"Jangan bicara seperti itu, kayak sama siapa saja. Santai ya, jika kamu memang membutuhkan bantuanku, katakan saja."

Bibir Rahma tersenyum, ia merasa haru.

Meskipun Rahma tak memiliki saudara dan orangtua, masih ada sosok yang selalu ada untuknya.

Ya, Rahma memang seorang yatim piatu. Kedua orangtuanya meninggal karena tragedi kecelakaan tepat 2 tahun sebelum ia melangsungkan pernikahan.

****

"Mas, aku besok sama Elisa mau ke rumah Rina."

"Rina siapa?" tanya Arjuna singkat tanpa menoleh ke arah sang istri. Pandangannya masih tersita oleh tayangan sepak bola di televisi.

"Saudaranya Elisa, Mas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit karena melahirkan," ucap Rahma berbohong.

Sejenak Arjuna terdiam, mengingat-ingat nama Rina yang barang kali bersarang di kepalanya. Namun, lelaki itu tak kunjung juga mengingatnya.

"Iya, gapapa. Jangan lama-lama ya."

Rahma hanya tersenyum.

"Permisi Bu Rahma, Pak Arjuna, makan malamnya sudah siap." Suara Risa membuat Rahma dan Arjuna serempak menoleh ke sumber suara. Setelahnya, Rahma melirik ke arah sang suami.

"Tadi kuajak bicara pandangannya terus ke tv. Giliran Risa yang bersuara, perhatiannya langsung teralih." Rahma mencebik.

****

Makan malam pun usai. Rahma dan Arjuna kini melangkah menuju kamar. Meninggalkan Risa yang sedang membersihkan sisa-sisa dan bekas makan malam mereka.

****

Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam. Arjuna yang tengah berbaring di atas ranjang merubah posisinya menjadi bangkit dengan kepala menoleh ke arah sang istri yang tengah memainkan ponsel.

"Sayang, tolong minta Risa buatkan kopi dong. Kepalaku rasanya pusing, siang tadi nggak minum kopi soalnya."

"Baiklah, Mas. Jaga Rendy ya. Sekalian aku minta bikinkan teh hangat."

Arjuna mengangguk. Setelahnya, Rahma turun dari ranjang lalu melangkah keluar. Seiring kepergian sang istri, bergegas Arjuna mengambil ponsel yang ada di atas bantal lalu mengutak-atiknya.

****

Tok!

Tok!

Tok!

"Bu Rahma, saya mau mengantarkan teh dan kopinya." Suara Risa terdengar dari depan pintu.

"Iya, sebentar."

Gegas Rahma turun dari ranjang lalu melangkah. Dan begitu dibuka, sosok wanita berpakaian kaos sedikit longgar yang berlengan panjang dengan rok hitam yang panjangnya di bawah lutut berdiri di depannya dengan membawa nampan yang berisi dua gelas minuman.

Rahma meraihnya, ia mengucapkan terima kasih lalu menutup kembali pintu setelah mengambil dua gelas minuman.

"Ini, Mas, kopinya." Rahma mengulurkan kopi permintaan sang suami.

"Makasih, ya." Arjuna mengambilnya.

Selanjutnya, sepasang suami istri itu mulai menyesap minumannya masing-masing.

Jika kopi Arjuna masih tersisa separohnya, berbeda dengan teh hangat milik Rahma yang habis tak bersisa.

"Sayang?" Arjuna berucap sembari menatap heran ke arah wajah sang istri. Tangan kanannya langsung menyerobot gelas kosong yang hendak diletakkan ke atas nakas.

"Kenapa, Mas?" Rahma menatap sang suami dengan kening berkerut. Bingung, sebab sang suami yang tiba-tiba memanggilnya dengan memasang wajah heran, ditambah sang suami yang mengambil gelas yang akan ia letakkan di nakas.

"Apa gelasnya bocor? Kok bisa habis seketika? Setetes aja tak bersisa."

Ucapan sang Suami membuat Rahma tergelak tawa, refleks tangannya memukul paha sang suami yang duduk di sampingnya.

"Kamu ini ih, aku pikir kenapa. Haus aku, Mas. Ditambah rasanya kayak begah," terang Rahma.

"Jaga-jaga kesehatan, jangan sampai sakit." Arjuna menarik pundak sang istri untuk dimasukkan ke dalam dekapannya. Dan di saat itu juga tiba-tiba saja bayangan sang suami yang merengkuh tubuh Risa Berkelebatan di kedua pelupuk matanya. Sontak saja Rahma menarik tubuhnya hingga terlepas dari dekapan sang suami.

Arjuna menatap sang istri dengan keningnya yang berkerut. "Kenapa? Biasanya kamu suka sekali dipeluk," ucap Arjuna yang masih hapal betul kebiasaan sang istri yang suka sekali berada di dalam rengkuhannya.

"Aku ngantuk, Mas. Aku tidur dulu, ya."

Rahma melangkah ke sisi ranjang tempat tidurnya, setelahnya ia membaringkan tubuhnya di atas sana.

Mika mencari posisi ternyaman, hingga akhirnya kedua kelopak matanya benar-benar terpejam tanpa membutuhkan waktu yang lama.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si dungu koq masih ceroboh ya. otakmu benar2 g berfungsi njing. mau2nya minum teh buatan babu dimalam hari. hati2 dikitlah njing
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 9

    Dret DretPonsel yang sedari tadi berada di tangan Risa bergetar, ada sebuah pesan masuk. Dan begitu dibuka olehnya, sang kekasihlah si pengirim pesannya. [Masukkan semua serbuk itu ke dalam teh.] Sebuah pesan yang dikirim oleh Arjuna membuat Risa tersenyum. Belum sempat ia membalas pesan Arjuna, terdengar suara ketukan pintu dan suara sang majikan yang memanggil namanya. Gegas Risa bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju pintu. "Ada apa, Bu? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Risa begitu pintu terbuka. Nada suaranya begitu hormat dan patuh, selayaknya seperti seorang pembantu yang menghormati majikan."Ris, tolong buatkan kopi sama teh hangat ya. Sekalian tolong antarkan ke kamar." "Baik, Bu." Begitu sang majikan pergi, Risa kembali masuk ke dalam kamar. Wanita itu menyingkap kasurnya lalu mengambil obat yang berupa serbuk yang sejak tiga hari yang lalu diberikan oleh Arjuna padanya. Rahma tersenyum sinis, bayangan dirinya akan kembali mereguk kenikmatan di atas ranj

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 10

    Mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Rahma, membuat jantung Risa dan Arjuna berdegup kencang. Dua manusia tak berhati itu pun tak lagi bisa menyembunyikan kegugupannya, bahkan mereka terlihat salah tingkah. Dan pemandangan itu tertangkap di kedua iris hitam milik Rahma. Tentunya membuat Rahma tersenyum samar. Risa akhirnya lebih memilih untuk beranjak dari tempat duduknya, dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar."Mas berangkat dulu ya, Sayang. Udah siang," ucap Arjuna sembari melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Belum Rahma menjawabnya, Arjuna langsung beranjak dari kursi–mengulurkan tangan ke arah Rahma–lalu melangkah pergi setelah sang istri mencium punggung tangannya."Mas, tunggu!" Kembali dada Arjuna berdebar-debar.Langkah lelaki itu terhenti, lalu dengan ragu memutar tubuh, dan terlihatlah sang istri yang melangkah ke arahnya dengan memasang wajah datar. "A–ada apa, Sayang?" Tergugup Arjuna bertanya. "Aku nanti mau pergi sama

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 11

    "Apa?" tanya Elisa dengan cepat. Ia penasaran dengan ide yang terbersit di dalam otak Rahma."Kasih aja minuman pencuci perut. Nah, nanti kan si Arjuna pasti terus-terusan mengalami sakit perut tuh. Nah, di saat dia ingin ke toilet, mintalah tanda-tangannya."Rahma terdiam sesaat, hingga tak butuh waktu lama untuk bibir itu tersenyum sembari menatap ke arah Elisa. "Idemu bagus juga. Sumpah, aku nggak kepikiran sama sekali loh," ucap Rahma dengan begitu antusias. Elisa pun tersenyum mendengar sahabatnya kembali menerima masukan darinya. "Kamu setuju?" Rahma mengangguk cepat dan mantap. "Yaudah, kalau begitu sekalian aja kita mampir ke toko obat buat beli itu. Nggak mungkin dong kamu bakalan nyuruh pembantu bahenolmu untuk belikan obat sakit perut?" "Ha ha ha, ya enggak lah. Kita berhenti saja sekalian. Di depan sana kayaknya ada toko obat di seberang jalan." Elisa mengangguk-angguk, hingga beberapa menit kemudian, kendaraan roda empat itu mulai menepi dan berhenti di tepi jalan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 12

    "Aku punya niat untuk menggerebek Mas Arjuna saat begituan sama Risa. Kalau mereka janjian di luar, pasti aku geraknya kesusahan. Tau sendiri kan, aku ada bayi. Nggak bisa keluar sesuka hati. Jadi aku akan melakukan cara ini di rumah saja." Sontak saja Elisa menoleh ke arah Rahma. Beberapa pertanyaan muncul di benak wanita itu, namun ia memilih untuk diam terlebih dahulu. Mendengar setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir Rahma."Rencananya, setelah aku mendapatkan tandatangan Mas Arjuna, mengambil alih semua perhiasan milik Risa, aku akan memberikan serbuk obat pe rang sang ini ke minuman keduanya. Kalau mereka tak tahan, pasti melakukannya di rumah." Rahma selanjutnya menceritakan perihal Risa yang memberikannya obat tidur agar bisa leluasa bercinta dengan suaminya. "Aku yakin, dia akan memberikan aku minuman yang ada obat tidurnya itu. Nah, setelah aku tertidur, pasti mereka akan melakukannya di rumah. Kan nggak kuat kalau harus keluar cari hotel."Elisa mengangguk-angguk, mu

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 13

    Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kini, Rahma dan juga Arjuna hendak makan bersama. Manda sudah makan lebih dulu."Sepertinya menu spesial ini." "Iya, Mas. Ada gule kambing sama sate kambing." Kedua bola mata Arjuna berbinar."Oh ya? Seketika perut terasa lapar sekali. Makanan kesukaan disajikan oleh orang spesial. Sempurna!" "Iya, Mas. Tadi Risa yang menyajikan." Bibir Johan tak lagi mengeluarkan satu patah kata pun. Bahkan lelaki itu sampai menelan salivanya dengan susah payah, dalam batinnya ia merutuki, bagaimana bisa ia tak tanya dulu siapa yang membelinya.Rahma pun mulai mengisi piring sang suami dengan nasi beserta gule dan beberapa tusuk sate. Bergegas, Arjuna langsung melahapnya. Rahma terus memandangi wajah sang suami tanpa berkedip. Bayangan saat sang suami keluar masuk dari toilet memenuhi angan-angannya, membuat bibir itu tanpa sadar tersenyum tipis. Arjuna menyadari tatapan sang istri, lantas ia menghentikan kunyahannya lalu membalas tatapan sang istri. Ia pun be

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 14

    "Ini, Mas," ucap Rahma setelah melihat sang suami keluar dari kamar mandi. "Aduh! Perutku sakit lagi," keluh Arjuna yang baru saja keluar. Baru saja ia menutup pintu kamar mandi, ia kembali membukanya lalu masuk. "Apa aku kebanyakan kasih obatnya ya?" Rahma melangkah mendekat ke arah pintu kamar mandi sembari membawa kertas dan juga bolpoinnya, ia menunggu di depan pintu dengan dada yang berdebar-debar."Ini, Mas, kata Risa, Pak RT sudah menunggu di bawah buat ambil ini," ucap Rahma setelah Arjuna sudah kembali keluar. Rahma menunjukkan kertas itu. Jantung Rahma semakin terasa berdebar-debar kala sang suami mengambil alih kertas berikut juga bolpoinnya. "Aduh! Sakit lagi.""Tandatangani dulu, Mas. Kasihan Pak RT sudah dari tadi menunggu."Rahma mendorong kembali kertas yang diulurkan oleh Arjuna, meminta sang suami agar segera membubuhkan tanda tangan di atas namanya."Aduh." Arjuna memutar, ia ingin kembali masuk ke dalam toilet. Namun, Rahma gegas mencekal lengan sang suami dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 15

    Wanita itu sadar, ia langsung menarik tangannya dari wajah sang kekasih–lalu ia bergerak mundur. "Ma–maaf, Bu," tergagap Risa berbicara. "Gapapa, sepertinya kamu khawatir sekali ya sama Bapak," ucap Rahma dengan nada setenang mungkin. Lebih tepatnya berusaha untuk bersikap tenang."Ma–maaf sekali lagi, Bu. Bukan bermaksud lancang atau gimana-gimana, soalnya tadi saya lihat Ibu gendong putra Ibu, jadi saya berinisiatif untuk membantu Bapak sendiri." Kali ini Risa masih tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Dalam batinnya ia khawatir, bagaimana jika sang majikan akan menyerangnya lalu mempermalukan dirinya seperti yang disebutkannya tempo lalu. "Gapapa, justru saya bangga memiliki art seperti kamu. Lincah, gesit dan gerak cepat. Salut sama kamu, Risa." Risa tak tau harus bersikap bagaimana. Ia bingung dengan maksud sang majikan. Entah ia memberikannya pujian atau malah menghinanya dengan kalimat sindiran.Risa berkali-kali menelan saliva dengan susah payah. Kesepuluh jemarinya saling

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 16

    Pagi menyapa, sepasang suami istri itu kini tengah duduk saling berhadapan di meja makan. Jika sang majikan sedang malaksanakan sarapan pagi, berbeda dengan sang ART yang tengah sibuk menyiapkan sayuran yang akan diolah untuk menu makan siang nanti. "Bagaimana keadaanmu, Mas? Apa sudah membaik? Atau perlu kita ke rumah sakit?" tanya Rahma sembari mengoleskan selai ke dalam roti yang ada di piringnya. Sedangkan Arjuna tengah sibuk menyantap menu nasi goreng buatan Risa. "Nggak perlu, aku sudah baik-baik saja. Tapi hari ini aku minta cuti kerja," ucap Arjuna sembari menatap wajah sang istri. "Syukurlah, Mas, kalau begitu. Tau nggak, Mas, gara-gara kejadian kemarin, sampai terbawa mimpi." Rahma berujar dengan nada sungguh-sungguh. Sedangkan Arjuna yang tak paham dengan maksud sang istri menatapnya dengan kening berkerut. Berbeda dengan Risa, kali ini dada wanita itu mulai terasa berdebar-debar. "Kejadian apa?" tanya Arjuna polos. "Soal Risa yang begitu perhatian denganmu." Rahma men

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26

Bab terbaru

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 83

    Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 82

    Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 81

    "Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    "Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 78

    Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 77

    DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 76

    "Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 75

    Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status