Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
"Ma, tadi Papa di kamar Embak," ucap putri angkatku yang kini sudah berusia lima tahun. Ia aku adopsi ketika usianya baru satu minggu. Lebih tepatnya, dia adalah anak dari sosok perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat denganku. Meski Manda hanyalah anak angkat, tapi aku begitu sayang selayaknya anak kandung. Manda begitu dekat denganku. Hal sekecil apapun yang ia tau, pasti dikatakan padaku. Dan aku sangat suka kebiasaannya itu. "Oh ya? Ngapain Papa di kamar Embak?" Embak adalah panggilan dari putriku untuk asisten rumah tangga di rumah ini. Risa namanya. "Nggak tau, Ma. Pintunya ditutup sih," jawabnya tanpa menoleh ke arahku. Anak gadisku tengah fokus memainkan boneka mixue kesayangannya. Entah kenapa mendengar ucapannya tadi membuatku merasa tertarik untuk terus menanggapi. "Terus kok Manda tau kalau Papa di kamar Embak?" tanyaku lebih detail lagi. Bukankah anak kecil adalah makhluk paling polos? Dia mengatakan apa yang dia lihat dan dia dengar. "Iya, Manda denger suara
"Aw ... geli, Sayang. Aduh ...." "Biarin, salah sendiri. Pulang-pulang disambut dandanan kayak gini. Rasain kamu, ha ha ha.""Jangan gitu, geli tau."Seketika langkahku terhenti di anak tangga terakhir saat kudengar suara Risa– Asisten rumah tanggaku yang terdengar begitu manja. Apalagi suara Risa bersahut-sahutan dengan suara yang amat aku kenali. Suara suamiku– Mas Arjuna."Udah, Sayang. Cukup, dong. Geli tau ...." Suara sosok lelaki kembali tertawa terbahak-bahak. Aku menajamkan pendengaran. Akan tetapi, sudah tak terdengar lagi suara tawa dari dalam sana. "Tapi aku suka sekali melihat tubuhmu yang meliuk-liuk kegelian seperti ini." Kulanjutkan langkahku, menuruni anak tangga terakhir lalu mendekat ke arah kamar yang ditempati oleh Art-ku yang berusia 25 tahun. Tak bisa dipungkiri, saat ini jantungku seperti berdetak lebih kencang.Kuhentikan langkah ini tepat di depan pintu. Kutajamkan pendengaranku lalu kutempelkan daun telinga pada pintu. Hingga terdengar lagi suara dari da
Bergegas aku meraih gagang pintu lalu menekannya ke bawah berkali-kali, namun pintu tak kunjung terbuka."Pintu terkunci!" geramku. Kuremas jemariku, berharap mampu sedikit saja memberikan ketenangan lalu aku bisa berpikir dengan jernih. Kutempelkan lagi gendang telinga pada daun pintu, tapi sudah tak terdengar lagi suara dari dalam sana. Padahal aku tadi sempat menangkap suara desahan yang saling bersahut-sahutan.Karena tak kunjung mendapatkan ide, akhirnya aku memilih ....Brak! Kutendang kuat-kuat pintu kamar, namun masih tertutup dengan sempurna. Brak!Brak!"Risa! Buka pintunya!"Brak!Brak!Brak!Aku terus menggebrak daun pintu dengan begitu kerasnya, tak kupedulikan rasa panas yang menjalar di area telapak tanganku. "Risa! Buka pintunya!" Suara seseorang berusaha memutar anak kunci terdengar dari arah dalam, hingga sepersekian detik kemudian sosok wanita yang tengah mengenakan pakaian tidur dengan rambut digelung ke atas berdiri di hadapanku. "Ada apa, Bu? Maaf, saya tad
POV 3"Ris, sini. Ada yang ingin saya tanyakan," panggil Rahma pada sang pembantu yang tengah membersihkan hiasan guci yang ada di sudut ruang makan. Di sana, mereka tak hanya berdua. Ada Arjuna juga. Lelaki itu masih menyelesaikan sarapannya yang belum selesai. Sebenernya hanya tinggal tiga suap saja sepiring nasi itu habis. "Ada apa, Bu?" tanya Risa ketika ia sudah berada di depan sang Majikan. "Kemarin saya menemukan celana dalam laki-laki ada di kamar kamu." Deg!Seketika jantung Risa terasa seperti berhenti berdetak. Sekilas, Risa melirik ke arah Arjuna yang tampak menunduk dalam. "Kata suami saya, kamu habis memasukkan laki-laki ke dalam kamar ya? Siapa? Kekasih kamu?" tanya Rahma yang bersikap pura-pura tidak tau. Risa terlihat gugup, ia sampai tak bisa berpikir jawaban apa yang harus ia katakan. Risa kembali melirik ke arah sang kekasih, dan detik berikutnya tampak Arjuna memberikan kode agar Risa mengangguk saja. "I–iya, Bu. Saya minta maaf." Dengan perasaan kesal seka
"Sudah, Bu. Sudah saya sambungkan sekalian ke ponsel ini." Lelaki yang merupakan karyawan Elisa menyerahkan ponsel Rahma kepada pemiliknya. "Baik, Mas. Terima kasih, ya. Kwitansinya mana?" Diserahkannya selembar nota pembelian kepada Rahma, dan bergegas wanita itu memberikan sejumlah uang yang tertera pada nota pembelian. Tak lupa ia juga menambahkan satu lembar uang pecahan 100 ribuan sebagai upah atau bonus atas tenaganya.Setelah lelaki itu pergi, Rahma melangkah masuk menuju kamar Risa. Kepala Rahma mendongak, mencari keberadaan benda kecil yang akan mengungkap kebusukan dua manusia tak berakhlak. Dua pasang cctv terpasang dengan sempurna. Satu menyorot langsung bagian ranjang, dan satunya mencakup satu ruangan."Pasti mereka tidak akan tau kalau ada cctv di dalam sini," ucap Rahma dengan bibir tersenyum puas. ****Bibir bergincu merah maroon itu tersenyum kala melihat sang kekasih sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di cafe tempat mereka melakukan janjian. Bergegas R
Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Rahma tidak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka. "Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Rahma menerka-nerka."Sepertinya iya, setelah malam itu Risa sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Arjuna dengan Risa hanya selisih hitungan puluhan menit." Secara Diam-diam dan tanpa sepengetahuan mereka, Rahma mengamati. Rahma pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya. Rahma sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun. DretDretPonsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Rahma meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya. "Assalamualaikum, Sa." Rahma mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung. "Waalaikumsalam, Ma. Bagaimana?" "Apanya?""Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah
"Pantas saja jika Mas Arjuna tertarik, pakaian Risa saja seperti itu. Benar-benar cocok! Mas Arjuna seperti sampah dan Risa adalah penampungnya." Rahma tersenyum sinis."Ternyata seleramu begitu menjijikkan, Mas," lirih Rahma. Selanjutnya, wanita itu menutup aplikasi rekaman cctv lalu kembali merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat perihal ucapan Elisa yang menyangkut perjanjian pernikahan. Rahma bangkit dari ranjang, setelahnya ia berjalan keluar dan langsung menuju ke ruang kerja sang suami yang letaknya persis di samping kamar mereka. Rahma bergegas masuk, tak lupa ia mengunci pintu ruangan kerja sang suami. Kemudian, ia pun melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang didepannya telah tersedia meja kerja berikut dengan komputer dan alat printer.Cepat, Rahma mengetikkan huruf demi huruf hingga terangkai menjadi kalimat. "Bismillah, semoga saja rencanaku berhasil," lirih Rahma sembari menatap layar komputer. Ia kembali membaca kalimat yang ia tulis. M
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se
DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel
"Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum