Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Rahma tidak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka.
"Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Rahma menerka-nerka."Sepertinya iya, setelah malam itu Risa sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Arjuna dengan Risa hanya selisih hitungan puluhan menit." Secara Diam-diam dan tanpa sepengetahuan mereka, Rahma mengamati.Rahma pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya.Rahma sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun.DretDretPonsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Rahma meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya."Assalamualaikum, Sa." Rahma mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung."Waalaikumsalam, Ma. Bagaimana?""Apanya?""Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah mendapatkan bukti perselingkuhan mereka?" tanya Elisa.Rahma menghembuskan napas kasar. Hingga tanpa perlu harus memberikan jawaban, Elisa bisa menarik kesimpulan."Rasa-rasanya mereka masih enggan untuk melakukan hal menjijikkan itu di rumah, mengingat kamu hampir saja memergoki mereka. Aku kok kepikiran kalau mereka melakukan pertemuan di luar ya," ucap Elisa yang ternyata memiliki pemikiran yang sama dengan Rahma."Aku juga mikirnya gitu, Sa. Seminggu ini sih semua aman-aman saja. Hanya saja setelah kejadian itu, Risa sering sekali pamit keluar bertepatan dengan jam istirahat Mas Arjuna," ucap Rahma."Kalau pun nggak siang waktu istirahat, pasti sore hari waktu Mas Arjuna pulang dari kantor. Dan jika Risa keluar sore, pasti pulangnya nggak berselang lama dengan kepulangan Mas Arjuna.""Fix! Mereka ketemu di luar!" Seruan dari Elisa terdengar begitu kencang, membuat tangan Rahma secara refleks menjauhkan ponsel dengan daun telinga."Kenceng banget, Sa. Berdengung ini telingaku." Mendengar ucapan Rahma, seketika tawa Elisa meledak begitu saja."Rahma, tapi kamu sudah mengamankan semuanya kan?"Kening Rahma berkerut, lalu ia pun berucap, "Mengamankan apa maksud kamu, Sa?""Semua harta kalian. Jangan sampai harta itu jatuh ke tangan suamimu. Kamu harus mengamankan semua harta itu untuk masa depan Rendy dan Manda, Ma. Jangan sampai selingkuhan suamimu itu menikmati setiap hak milik kedua anakmu."Rahma menepuk pelan jidatnya."Ah, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu? Untung saja kamu mengatakannya, Sa. Kalau enggak, entahlah," ucap Rahma.Sungguh, ia sama sekali tidak memikirkan soal harta itu, yang ada di kepalanya hanya lah ingin memergoki suami dan selingkuhannya yang merupakan art di rumah mereka.Untunglah Rahma memiliki sahabat yang mengingatkan soal mengamankan harta."Sambil kamu menyelediki suamimu, kamu mulai saja mengurus semuanya, Ma. Mending kamu bikin saja surat perjanjian, dimana surat perjanjian itu bertuliskan kalau seluruh harta akan jatuh ke tangan pihak yang dikhianati."Rahma masih terdiam, mencerna setiap kata yang ia dengar."Kamu paham kan maksudku?""Ya, aku paham Sa. Kalau hanya kusimpan sertifikat rumah dan BPKB mobil beserta motor, itu terlalu beresiko. Masih bisa digugat dan dituntut sebagai harta gono gini. Sepertinya idemu sangat cocok. Apalagi kalau surat perjanjian itu ditandangani oleh Mas Arjuna dan bermaterai. Pasti lebih kuat di mata hukum.""Nah, tepat sekali! Cepat-cepat saja kamu siapkan semuanya, nanti kamu atur saja gimana caranya agar bisa mendapatkan tandatangan suamimu tanpa sepengetahuannya. Karena ... kalau dia tau kamu membuat perjanjian itu, tentu dia akan menolaknya. Iya kan?" ucap Elisa yang lagi-lagi dibenarkan oleh Rahma."Makasih ya, lain kali jika aku membutuhkan masukan darimu, jangan pernah bosan ya.""Haha, gampang. Bagaimana pun juga kamu sudah kuanggap lebih dari seorang sahabat. Aku nggak mau kalau kamu dan kedua anakmu hidup menderita. Enak aja, suamimu seneng-seneng sedangkan kalian menderita."Tiba-tiba saja suara derap langkah sayup-sayup terdengar di telinga Rahma."Aku matikan dulu ya, Sa. Sepertinya Risa baru saja pulang.""Iya, gapapa. Sehat-sehat ya, jangan gegabah dan hancur. Ada Manda dan Rendy yang lebih membutuhkanmu."Rahma tersenyum penuh haru, meskipun Elisa yang berada di seberang sana tak bisa melihat senyuman di bibirnya.Di saat Rahma kembali memastikan jika sang bayi masih tertidur, Rahma berjalan mengendap-endap untuk masuk ke dalam rumah.Wanita berjaket coklat dengan celana kulot panjang itu bernapas lega saat berhasil melewati ruang tamu. Sejenak ia mendongak–menatap ke arah tangga–memastikan jika tak ada yang melihat kedatangannya."Huh, aman!" batin Risa sembari menepuk pela dadanya yang berdebar-debar.Akan tetapi, saat Risa akan kembali mengayunkan kaki, tiba-tiba saja suara Rahma kembali membuat dada Risa berdebar-debar."Baru pulang belanjanya, Ris?" tanya Rahma sembari menuruni anak tangga satu per satu, hingga akhirnya sampailah ia berada di anak tangga terkahir."Iya, Bu. Maaf kalau lama, tadi harus muter-muter pasar buat cari bahannya. Waktu mau pulang, nunggu ojek juga nggak datang-datang," ucap Risa berusaha setenang mungkin."Kan saya sudah bilang kalau ke pasar bawa motor saja. Gapapa loh motor saya dipakai." Kali ini Rahma berjalan mendekat ke arah Risa yang tampak gugup, namun perempuan itu berusaha untuk bersikap tenang. Namun meski demikian, ditangkap pada kedua iris hitam milik Rahma ketika wajah Risa semakin tampak pucat."Kamu belanja apa saja? Coba saya cek, barangkali ada yang kurang."Rahma ingin mengambil kantong kresek merah yang ditenteng oleh Risa. Akan tetapi, Risa langsung menjauhkan kantong kresek itu."Ada ikannya, Bu. Kalau dibuka di sini takutnya bau amis.""Halah gapapa. Cuma dibuka aja kok."Rahma kembali ingin mengambil kantong itu, namun lagi-lagi Risa menahannya."Ris! Berikan!" Nada suara Rahma begitu menyentak."Ba–baik, Bu. Maaf ...." Risa menyerahkan kantong tersebut. Lalu dengan cepat Rahma mengambilnya dan membukanya."Loh, kok isinya kayak gini?!" Rahma menatap isi kantong kresek yang ternyata hanya berisi bekas-bekas kantong kresek yang jumlahnya banyak."Ris? Apa ini?" Rahma mengeluarkan satu per satu kantong itu sembari sesekali menatap penuh selidik ke arah Risa.Lagi-lagi Rahma hanya bisa menggeleng saat mendapati bongkahan batu berada di bagian paling bawah.Sebenarnya Rahma sudah menebak, jika Art-nya itu tak hanya pergi ke pasar. Namun Rahma juga curiga jika Risa bertemu dengan suaminya di luar sana. Mengingat Risa pergi lebih dari 2 jam. Apalagi ada sebuah hotel bintang tiga yang jaraknya tak jauh dari pasar. Hanya saja ia cukup terkejut karena pergi ke pasar hanyalah alasan belaka."Ma–maaf, Bu. Itulah sebabnya kenapa saya tadi tidak memberikan kantong kresek ini ke Ini. Di jalan tadi saya baru menyadari jika kantong ini tertukar dengan pemilik toko, Bu. Ah, iya. Begitulah, Bu. Kantong itu tadi tertukar.""Oh, ya? Masa kamu tidak menyadari sih?""Beneran, Bu. Soalnya itu ada batunya, jadi sama beratnya."Rahma mencebik, kemudian ia tersenyum sinis."Yaudah, kamu mau ambil kembali barang belanjaanmu sekarang?""Kan kalau jam segini udah tutup, Bu. Jadi besok Risa baru bisa mengambilnya."Sebenarnya Rahma ingin membuat Risa mati kutu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Akan tetapi, Rahma memilih untuk pura-pura percaya saja.Belum sempat Rahma berucap, tiba-tiba suara tangisan Rendy terdengar. Bergegas Rahma melangkah lalu menaiki setiap anak tangga."Huh, syukurlah, selamat ...." Lagi, Risa mengusap dadanya yang berdebar-debar.Bergegas ia melangkah tergopoh-gopoh menuju kamar, tentu setelah memasukkan kembali seluruh kantong kresek yang tadi dikeluarkan oleh Rahma tadi.Begitu masuk kamar, Risa langsung mengunci pintu. Wanita muda itu bergegas melangkah menuju ranjang.Ia lepaskan satu per satu jaket dan celana kulot yang dipakainya tanpa menyadari ada sosok yang memantaunya melaluinya sambungan cctv."Astaga ... benar-benar niat banget ini orang," lirih Rahma. Ia menggelengkan kepala, sebab begitu celana kulot dan jaket dilepaskan, ternyata Risa hanya memakai kaos merah yang ketat dengan belahan dada rendah. Bahkan, karena terlalu ketat dan rendahnya, dua benda kenyal di dada Risa menyembul dengan begitu jelasnya.Tak hanya itu, kes3ksian Risa ditambah dengan dirinya yang hanya memakai celana levis yang panjangnya tak lebih dari 30 cm."Pantas saja jika Mas Arjuna tertarik, pakaian Risa saja seperti itu. Benar-benar cocok! Mas Arjuna seperti sampah dan Risa adalah penampungnya." Rahma tersenyum sinis."Ternyata seleramu begitu menjijikkan, Mas," lirih Rahma. Selanjutnya, wanita itu menutup aplikasi rekaman cctv lalu kembali merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat perihal ucapan Elisa yang menyangkut perjanjian pernikahan. Rahma bangkit dari ranjang, setelahnya ia berjalan keluar dan langsung menuju ke ruang kerja sang suami yang letaknya persis di samping kamar mereka. Rahma bergegas masuk, tak lupa ia mengunci pintu ruangan kerja sang suami. Kemudian, ia pun melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang didepannya telah tersedia meja kerja berikut dengan komputer dan alat printer.Cepat, Rahma mengetikkan huruf demi huruf hingga terangkai menjadi kalimat. "Bismillah, semoga saja rencanaku berhasil," lirih Rahma sembari menatap layar komputer. Ia kembali membaca kalimat yang ia tulis. M
Setelah semuanya selesai, Rahma memutuskan untuk segera merapihkan meja komputer seperti sedia kala, dan selanjutnya ia kembali ke kamar.Perempuan itu terus berjalan dengan sesekali menatap ke arah lembaran kertas dan senyum tipis terpahat di bibir itu, sesampainya di kamar, wanita itu gegas mendudukkan bokong di tepi ranjang setelah mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya. Sejenak Rahma memandangi wajah sang bayi, dan seketika saja dada wanita itu terasa begitu sesak. Tangan Rahma terulur, mengusap lembut kepala sang anak dengan perasaan hancur. "Maafkan Mama ya, Nak, jika setelah ini kamu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok Papa. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa kekurangan kasih sayang. Mama akan menjadi Mama sekaligus Papa untuk kamu." Rahma berucap pelan, tanpa sadar kedua kelopak matanya mulai berkaca-kaca seiring rasa sesak yang kian mendera. Ah, air mata memang tidak bisa menyembunyikan sedalam apa rasa sakit yang dirasa. Rahma menghela napas dalam-dalam, setelahn
Dret DretPonsel yang sedari tadi berada di tangan Risa bergetar, ada sebuah pesan masuk. Dan begitu dibuka olehnya, sang kekasihlah si pengirim pesannya. [Masukkan semua serbuk itu ke dalam teh.] Sebuah pesan yang dikirim oleh Arjuna membuat Risa tersenyum. Belum sempat ia membalas pesan Arjuna, terdengar suara ketukan pintu dan suara sang majikan yang memanggil namanya. Gegas Risa bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju pintu. "Ada apa, Bu? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Risa begitu pintu terbuka. Nada suaranya begitu hormat dan patuh, selayaknya seperti seorang pembantu yang menghormati majikan."Ris, tolong buatkan kopi sama teh hangat ya. Sekalian tolong antarkan ke kamar." "Baik, Bu." Begitu sang majikan pergi, Risa kembali masuk ke dalam kamar. Wanita itu menyingkap kasurnya lalu mengambil obat yang berupa serbuk yang sejak tiga hari yang lalu diberikan oleh Arjuna padanya. Rahma tersenyum sinis, bayangan dirinya akan kembali mereguk kenikmatan di atas ranj
Mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Rahma, membuat jantung Risa dan Arjuna berdegup kencang. Dua manusia tak berhati itu pun tak lagi bisa menyembunyikan kegugupannya, bahkan mereka terlihat salah tingkah. Dan pemandangan itu tertangkap di kedua iris hitam milik Rahma. Tentunya membuat Rahma tersenyum samar. Risa akhirnya lebih memilih untuk beranjak dari tempat duduknya, dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar."Mas berangkat dulu ya, Sayang. Udah siang," ucap Arjuna sembari melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Belum Rahma menjawabnya, Arjuna langsung beranjak dari kursi–mengulurkan tangan ke arah Rahma–lalu melangkah pergi setelah sang istri mencium punggung tangannya."Mas, tunggu!" Kembali dada Arjuna berdebar-debar.Langkah lelaki itu terhenti, lalu dengan ragu memutar tubuh, dan terlihatlah sang istri yang melangkah ke arahnya dengan memasang wajah datar. "A–ada apa, Sayang?" Tergugup Arjuna bertanya. "Aku nanti mau pergi sama
"Apa?" tanya Elisa dengan cepat. Ia penasaran dengan ide yang terbersit di dalam otak Rahma."Kasih aja minuman pencuci perut. Nah, nanti kan si Arjuna pasti terus-terusan mengalami sakit perut tuh. Nah, di saat dia ingin ke toilet, mintalah tanda-tangannya."Rahma terdiam sesaat, hingga tak butuh waktu lama untuk bibir itu tersenyum sembari menatap ke arah Elisa. "Idemu bagus juga. Sumpah, aku nggak kepikiran sama sekali loh," ucap Rahma dengan begitu antusias. Elisa pun tersenyum mendengar sahabatnya kembali menerima masukan darinya. "Kamu setuju?" Rahma mengangguk cepat dan mantap. "Yaudah, kalau begitu sekalian aja kita mampir ke toko obat buat beli itu. Nggak mungkin dong kamu bakalan nyuruh pembantu bahenolmu untuk belikan obat sakit perut?" "Ha ha ha, ya enggak lah. Kita berhenti saja sekalian. Di depan sana kayaknya ada toko obat di seberang jalan." Elisa mengangguk-angguk, hingga beberapa menit kemudian, kendaraan roda empat itu mulai menepi dan berhenti di tepi jalan.
"Aku punya niat untuk menggerebek Mas Arjuna saat begituan sama Risa. Kalau mereka janjian di luar, pasti aku geraknya kesusahan. Tau sendiri kan, aku ada bayi. Nggak bisa keluar sesuka hati. Jadi aku akan melakukan cara ini di rumah saja." Sontak saja Elisa menoleh ke arah Rahma. Beberapa pertanyaan muncul di benak wanita itu, namun ia memilih untuk diam terlebih dahulu. Mendengar setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir Rahma."Rencananya, setelah aku mendapatkan tandatangan Mas Arjuna, mengambil alih semua perhiasan milik Risa, aku akan memberikan serbuk obat pe rang sang ini ke minuman keduanya. Kalau mereka tak tahan, pasti melakukannya di rumah." Rahma selanjutnya menceritakan perihal Risa yang memberikannya obat tidur agar bisa leluasa bercinta dengan suaminya. "Aku yakin, dia akan memberikan aku minuman yang ada obat tidurnya itu. Nah, setelah aku tertidur, pasti mereka akan melakukannya di rumah. Kan nggak kuat kalau harus keluar cari hotel."Elisa mengangguk-angguk, mu
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kini, Rahma dan juga Arjuna hendak makan bersama. Manda sudah makan lebih dulu."Sepertinya menu spesial ini." "Iya, Mas. Ada gule kambing sama sate kambing." Kedua bola mata Arjuna berbinar."Oh ya? Seketika perut terasa lapar sekali. Makanan kesukaan disajikan oleh orang spesial. Sempurna!" "Iya, Mas. Tadi Risa yang menyajikan." Bibir Johan tak lagi mengeluarkan satu patah kata pun. Bahkan lelaki itu sampai menelan salivanya dengan susah payah, dalam batinnya ia merutuki, bagaimana bisa ia tak tanya dulu siapa yang membelinya.Rahma pun mulai mengisi piring sang suami dengan nasi beserta gule dan beberapa tusuk sate. Bergegas, Arjuna langsung melahapnya. Rahma terus memandangi wajah sang suami tanpa berkedip. Bayangan saat sang suami keluar masuk dari toilet memenuhi angan-angannya, membuat bibir itu tanpa sadar tersenyum tipis. Arjuna menyadari tatapan sang istri, lantas ia menghentikan kunyahannya lalu membalas tatapan sang istri. Ia pun be
"Ini, Mas," ucap Rahma setelah melihat sang suami keluar dari kamar mandi. "Aduh! Perutku sakit lagi," keluh Arjuna yang baru saja keluar. Baru saja ia menutup pintu kamar mandi, ia kembali membukanya lalu masuk. "Apa aku kebanyakan kasih obatnya ya?" Rahma melangkah mendekat ke arah pintu kamar mandi sembari membawa kertas dan juga bolpoinnya, ia menunggu di depan pintu dengan dada yang berdebar-debar."Ini, Mas, kata Risa, Pak RT sudah menunggu di bawah buat ambil ini," ucap Rahma setelah Arjuna sudah kembali keluar. Rahma menunjukkan kertas itu. Jantung Rahma semakin terasa berdebar-debar kala sang suami mengambil alih kertas berikut juga bolpoinnya. "Aduh! Sakit lagi.""Tandatangani dulu, Mas. Kasihan Pak RT sudah dari tadi menunggu."Rahma mendorong kembali kertas yang diulurkan oleh Arjuna, meminta sang suami agar segera membubuhkan tanda tangan di atas namanya."Aduh." Arjuna memutar, ia ingin kembali masuk ke dalam toilet. Namun, Rahma gegas mencekal lengan sang suami dan
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se
DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel
"Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum