Baju berwarna hijau tosca senada dengan hijabnya sudah kupersiapkan untuk kedua putri kecilku.
"Mah, aku mau didandan!" pinta Kia-anak keduaku.
Ia menatapku tajam sambil memonyongkan sebagian bibirnya. Ingin rasanya kucubit bibir mungil gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun itu.
"Iya," jawabku sambil mengangguk.
"Kakak juga mau didandan?" tanyaku kepada si sulung.
"Enggak, ah. Malu."
Luna-sulung dari tiga bersaudara itu mencebik kesal. Ia memang agak pemalu dibanding adiknya.
***
Waktu berjalan cepat, acara anak-anak akan dimulai selepas ashar. Kedua anakku tampil cantik dan anggun.
Aku mengabadikan gambar mereka beberapa kali di layar gawai. Suasana mesjid pun semakin ramai.
Semua mata tertuju pada anak-anak yang tampil di atas panggung ketika perhatianku beralih ke layar gawai yang menyala.
Terlihat sebuah pesan gambar dari Mas Fadil-suamiku. Aku bergegas membuka layar benda pipih itu.
Nafas serasa berhenti untuk sesaat. Dada terasa sesak dan nyeri seperti di lempar sebongkah batu besar saat netra ini menatap pesan yang dikirim belahan jiwaku.
Sebuah foto Mas Fadil dan seorang perempuan asing yang bertelanjang dada membuat sendi-sendi dan seluruh tulang lumpuh.
Aku terduduk di antara keramaian untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian bangkit dan bergegas pulang ke rumah.
[Mas, apa ini? Siapa perempuan itu]
Cecarku di balik gawai.
[Maaf, Mah. Dia Melati-pacarku]
[Asstagfirullahaladzim]
Aku beristigfar berkali-kali. Langit seolah runtuh, nyeri di dalam dada semakin terasa perih. Bagai tersayat sembilu.
[Cepat pulang!]
Aku memekik nyaring dari balik gawai, tidak perduli terdengar oleh tetangga. Bulir bening tumpah tidak terbendung lagi.
[Iya, tapi izinkan aku kawin lagi. Aku ingin memperistri perempuan itu]
[Pulang!] pekikku semakin kencang.
Aku menangis sekencang-kencangnya bersama suara derasnya hujan yang turun. Langit seolah menangis bersamaku.
Suara petir dan kilat yang bersahutan turut mengiringi awal nestapa pernikahan yang telah berusia sebelas tahun.
Embusan angin kencang membawa bulir-bulir air hujan lewat pintu rumah yang terbuka lebar.
Aku menatap lantai yang basah kemudian masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.
Entah berapa lama air mata ini keluar. Aku hanya terduduk di atas lantai, di balik pintu kamar. Meratapi semua yang baru saja terjadi.
"Mah, dedek nangis."
Suara Si sulung terdengar dari balik pintu kamar diiringi suara tangisan Fariz-si bungsu yang beradu dengan suara hujan.
Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bangkit dan membuka pintu.
Kuusap kedua pipi yang telah basah itu kasar.Aku segera mengambil Fariz dari gendongan Luna dan pergi ke rumah Ibu tanpa bicara.
Anak sulungku terlihat bingung dan cemas. Ia hanya menatapku heran, tanpa berani bertanya. 'Ah, anak yang baru berumur sebelas tahun tidak akan mengerti apapun,' pikirku dalam hati.
Aku setengah berlari menuju rumah Ibu yang terletak di depan rumah dengan membawa Farhan yang sudah agak tenang di dalam gendongan.
"Pak, lihat ini!"
Aku menyodorkan gambar yang dikirim Mas Fadil di dalam gawai. Bapak menatapku lekat, kemudian memeriksa gambar itu.
Lelaki paruh baya itu menatapku iba.
"Tenang dulu, mungkin itu hanya teman," ucap Bapak bijak.
"Dia pacarnya, tadi aku telp, Mas Fadil minta izin kawin lagi," jawabku lirih.
Embun yang masih menganak sungai pun kembali tumpah di depan Ibu dan Bapak.
"Asstagfirullah .... "
Ibu beristgfar berkali-kali. Wajah wanita yang paling tulus itu pun tampak basah dengan air mata. Mendung bergelayut di atap rumah.
Badai yang akan datang tidak bisa terelakkan lagi. Siap menghempas dan memporak porandakan bahtera yang sudah dibangun.
***
Siang berganti malam. Cakrawala mulai gelap. Mas Fadil datang tepat ba'da Isya. Ia duduk di ujung sofa biru tua setelah memarkirkan roda empat warna putih kesayangannya .
Aku membisu di ujung sofa lainnya. Bergelut dengan hati yang masih bergemuruh. Mencoba menenangkan ombak yang mengamuk di dalamnya.
"Mah, izinkan Ayah menikahi Melati!"
Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Ayah dari ketiga anakku, sesampainya di rumah.
Ia mendekat ke arahku, mencoba menggapai jemariku sebelum kuhempas kedua tangan kekar itu.
"Tidak, aku nggak mau di madu," jawabku tegas.
"Tapi Ayah sudah terlanjur jatuh cinta dan sudah melamarnya."
"Dia tahu kamu punya anak dan istri?" tanyaku geram.
"Tahu, dia itu perempuan baik. Dia mau jadi istri keduaku," jawab lelaki itu sambil tersenyum tipis.
"Perempuan baik tidak mungkin mau jadi duri dalam hubungan orang lain," jawabku sembari menatapnya tajam.
"Sudahlah, kamu izinin atau nggak?" tanyanya sambil membentak.
Mas Fadil menatapku nyalang. Lelaki itu tengah menunggu jawabanku. Sorot matanya tajam menghujam ke jantungku.
Namun, aku masih membisu dan bergelut dengan segala pikiran dan kemungkinan yang akan terjadi.
Terlintas wajah polos ketiga anakku. Bagaimana masa depannya jika kami berpisah?
Si sulung yang akan masuk ke sekolah menengah pertama tahun depan. Azkia yang masih manja dan si bungsu yang masih menyusu. Bagaimana nasib mereka?
Namun, satu hal yang pasti. Aku tidak akan pernah memberinya izin untuk menikah lagi. Apapun yang terjadi.
"Pilih aku atau dia," jawabku tegas.
"Aku mau kalian berdua."
"Tapi aku nggak mau ada yang kedua. Kalau Mas pilih dia, ceraikan aku."
"Jangan paksa aku. Aku cuma minta tanda tanganmu di surat izin nikah lagi nanti."
"Aku takkan sudi tanda tangan."
Kami pun terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Bapak datang menengahi.
"Ada apa ini?" tanya Bapak sembari mengalihkan pandangan ke arah Mas Fadil.
"Ouh, ini pak. Saya mau minta izin ke Zahra untuk menikah lagi," jawab lelaki itu tak berperasaan.
Bapak diam untuk sesaat, tampak menarik nafas panjang. Aku bisa melihat luka dan embun yang bersarang di ujung manik hitam lelaki paruh baya itu.
Bapak pasti merasakan sakitnya seperti yang kurasakan. Ayah mana yang rela anak perempuannya disakiti dan dimadu?
"Bapak sebenarnya tidak mau ikut campur. Semua keputusan ada pada Azahra," jawab Bapak sambil menatapku iba.
"Zahra nggak mau, Pak. Zahra nggak mau dimadu. Hiks."
Tangisku pun pecah. Air mata yang kubendung sedari tadi mengalir tanpa henti.
"Zahra tidak bersedia dimadu. Walaupun ajaran agama kita membolehkan tapi harus ada keikhlasan dari istri tua."
"Iya, Pak. Tapi saya terlanjur berjanji untuk menikahi perempuan itu."
"Bapak ngerti, tapi keluarga lebih penting dari orang lain. Lihat anak-anak kamu."
"Dia perempuan baik kok, Pak."
"Sudahlah, Zahra. Ikuti kata hatimu, yakinlah Allah akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik."
Bapak pergi dengan kesal setelah menepuk kedua bahuku. Lelaki itu terlihat murung dan kecewa.
Lelaki yang kunikahi sebelas tahun itu, kini telah asik memainkan gawainya sambil tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Rasa cinta dan simpati perlahan terkikis. Tidak sadarkah dia telah menyakitiku dan keluargaku?
Setega dan sebuta itukah cinta? Sampai tidak bisa melihat luka yang di tebar karenanya.
Aku pergi ke kamar dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Mas Fadil yang tengah dimabuk cinta.
Bersambung"Ra, buka pintunya!"Suara Mas Fadil terdengar jelas dari balik pintu. Lelaki itu menekan pegangan pintu beberapa kali."Ra, kamu mau kan dimadu?" cecarnya beberapa kali, seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Aku nggak mau. Sampai kapanpun aku nggak sudi dimadu!" pekikku histeris dari dalam kamar."Buka dulu pintunya?"Aku membuka handle pintu perlahan. Ia masih berdiri tepat di depan pintu bercat cokelat dengan muka memelas, kemudian masuk ke dalam kamar."Mah, maaf. Ayah sudah terlanjur jauh dengannya.""Maksudnya? Kamu ngapain aja sama perempuan murahan itu!""Sttt, kecilkan suaramu. Tetangga bisa dengar," ucapnya dengan mata membulat."Biar, biar semua orang denger. Biar orang-orang tahu keberengsekanmu!"Aku tidak menurunkan volume suaraku sedikitpun. Dada ini serasa akan meledak dan panas."Ayah yang salah, dia nggak salah. Dia bukan perempuan murahan. Ayah yang paksa perempuan itu buat me
Aku gelisah sepanjang hari, menunggu kabar dari Mas Fadil. Apakah lelaki itu menepati janjinya?Warna oranye sudah menghiasi cakrawala, pertanda senja telah datang. Netraku masih terpaku pada benda pipih hitam yang tidak kunjung menyala, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk menghubunginya terlebih dahulu.Beberapa kali mencoba menghubunginya. Namun, lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku.Hati semakin tidak karuan. Gelisah, cemas dan takut bercampur menjadi satu.[Yah, kumohon jangan temui lagi perempuan itu!]Sebuah pesan whattshap berhasil ku kirim. Sudah centang biru, tapi tidak ada balasan.Kemana lagi harus kubagi gelisah ini? Bayangan kehancuran berputar-putar di dalam benak. Mendorong butiran bening dari pelupuk mata dan membasahi pipi.***Seminggu terasa sewindu bagiku. Mas Fadil semakin sulit dihubungi, membuatku tetap terjaga di malam hari.Hari ini seharusnya dia pulang ke rumah. Aku sudah bersiap
Badan Fariz semakin panas, bocah kecil itu terlihat lemas dan menggigil. Aku memeluknya erat sambil berlari ke rumah Ibu."Bu, Fariz! ""Ada apa? Astagfirullah. "Ibu terlihat sama gemasnya dengan diriku. Fariz semakin menggigil. Tubuhnya kejang-kejang beberapa kali."Fariz! Fariz! " pekikku dengan air mata yang terus keluar tanpa henti."Cepat bawa ke dokter, " ucap Ibu spontan.Aku berusaha menghubungi Mas Fadil beberapa kali. Namun nihil, tidak ada jawaban, bahkan direject.Aku berlari menuju rumahku untuk mengambil dompet. Kubuka perlahan benda usang berwarna merah muda itu. Hanya ada beberapa lembar uang puluhan."Mana cukup untuk ke dokter, " gumamku pelan.Ibu mengantar kami menuju klinik terdekat menggunakan sepeda motor. Ibuku memang keren, di usinya yang sudah tidak muda lagi. Beliau masih lincah mengenda
Malam semakin larut, hawa dingin menyelusup di balik selimut. Mata ini tidak hendak terpejam, suara bising dari Mas Fadil yang sedang VC dengan selingkuhannya membuat dada ini panas dan bergemuruh. Ingin rasanya melemparkan gawai yang tengah ia pegang hingga hancur berkeping-keping. Seperti hati ini yang telah hancur tak berbentuk."Mah, Ayah berisik. Kakak nggak bisa tidur," ucap si sulung yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan pintu kamar."Iya, nanti mamah bilangin ke Ayah biar nggak berisik."Ya-Rabb, sudah hilangkah rasa malunya? Bermesraan dan mengumbar rayuan lewat gawai hingga terdengar anaknya sendiri. Aku menggeleng kepala perlahan dan mengetuk pintu kamar Mas Fadil.Mas Fadil memang telah menjatuhkan talak satu kepadaku. Kami masih tinggal satu atap karena memang ada anjuran seperti itu di dalam syariat islam yang bertujuan agar suami istri tersebut dapat rujuk kembali sebelum habis masa idah.Lelaki it
Lelaki berperawakan sedang itu duduk bersimpuh di bawah kakiku. Ia menatap penuh pengharapan. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Jauh di lubuk hati, aku masih mengharapkan dirinya.Namun, bayangan pengkhianatan yang ia lakukan kembali menari di dalam benak."Demi anak-anak," ucapnya lirih seraya menggenggam kedua tanganku erat.Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi tenagaku jauh dibawah tenaganya. Setelah berfikir beberapa saat, membayangkan kehidupanku dan anak-anak tanpa Mas Fadil membuatku bergidik."Iya, aku mau, tapi, bagaimana dengan perempuan itu?""kami putus semalam," jawabnya lesu.Terlihat gurat kecewa di wajahnya. Apa aku hanya pelariannya saja? ah, bukan aku pelariannya, melainkan wanita itu yang menjadi pelarian Mas Fadil ketika aku tidak di dekatnya."Berjanjilah tidak akan menemui perempuan itu lagi!" pintaku dengan netra dipenuhi embun."iya, aku janji. Ayah
Tepat pukul delapan pagi Mas Fadil datang menjemputku. Kami pergi setelah berpamitan terlebih dahulu dengan Maya dan Adi.Mobil melaju perlahan, membelah jalanan yang mulai ramai. Mas Fadil terlihat bersemangat, senyum merekah menghiasi bibirnya sepanjang hari."Kenapa? Kok kayak lagi seneng?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi."Seneng dong, kan ada kamu yang nemenin aku," jawab lelaki yang duduk disampingku itu sembari mengulum senyum.Seperti ada yang disembunyikan dariku. Senyumnya memiliki arti berbeda yang membuat hati ini kembali gelisah."Kita makan dulu di sini, aku belum makan," ucap Mas Fadil sambil memarkirkan mobil di depan sebuah rumah makan khas Sunda.Mas Fadil makan dengan lahap dan cepat. Berbeda denganku yang sulit untuk sekedar menelan makanan. Semua yang aku makan terasa hambar dan pahit. Aku hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk yang ada di depanku."Ayo, lanjut, k
Aku kembali meraih gawai dan mengetik sebuah pesan.[Tolong mba, saya mohon jangan temui suami saya lagi. Mba wanita pasti bisa merasakan bagaimana klo posisi kita ditukar. saya masih menyusui anak ketiga saya, dua anak saya masih SD mba, tolong mba]Aku memohon dan memelas agar wanita itu luluh dan mau meninggalkan suamiku. Akan tetapi, syetan lebih kuat dan sudah menguasai Melati.[Hah, harusnya kamu yang mundur. Mas Fadil sudah tidak mencintaimu. kamu tahu kenapa dia pulang malam. Dia habis dari sini, klo tidak ku suruh pulang dia nggak mau pulang. Suamimu sudah jijik sama kamu, coba kamu lihat lehernya]Hatiku lebur untuk kesekian kalinya, sakit dan sesak serasa ada yang menginjak-injak harga diriku sebagai seorang perempuan."Bnagun! Bangun, Mas!" hardikku tertahan karena khawatir si kecil terbangun."Apaan, sih?" tanyanya dengan bola mata yang terlihat memerah."Apa ini?" tanyaku sembari membalikkan
Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah."Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum."Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia.""Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas."Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa.""Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!""Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya