Share

Rujuk

Penulis: Yani m
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-04 10:32:35

Lelaki berperawakan sedang itu duduk bersimpuh di bawah kakiku. Ia menatap penuh pengharapan. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Jauh di lubuk hati, aku masih mengharapkan dirinya. 

Namun, bayangan pengkhianatan yang ia lakukan kembali menari di dalam benak. 

"Demi anak-anak," ucapnya lirih seraya menggenggam kedua tanganku erat. 

Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi tenagaku jauh dibawah tenaganya. Setelah berfikir beberapa saat, membayangkan kehidupanku dan anak-anak tanpa Mas Fadil membuatku bergidik. 

"Iya, aku mau, tapi, bagaimana dengan perempuan itu?"

"kami putus semalam," jawabnya lesu. 

Terlihat gurat kecewa di wajahnya. Apa aku hanya pelariannya saja? ah, bukan aku pelariannya, melainkan wanita itu yang menjadi pelarian Mas Fadil ketika aku tidak di dekatnya. 

"Berjanjilah tidak akan menemui perempuan itu lagi!" pintaku dengan netra dipenuhi embun. 

"iya, aku janji. Ayah sayang kamu dan anak-anak," ucapnya sembari mencium keningku. 

kami resmi rujuk saat itu, karena talak satu dan belum habis masa iddah. kami tidak perlu melakukan ijab qabul terlebih dahulu untuk rujuk. Hanya dengan isyarat dari pihak laki-laki pun rujuk sudah dianggap sah. 

***

Sikap Mas Fadil kembali hangat, tapi belum sepenuhnya kembali. Ia tetap memasang kode di layar gawainya,  seperti ada yang ia sembunyikan. 

Aku tidak menuntutnya untuk segera terbuka karena itu akan menyulut pertengkaran.  Biarlah kunikmati rasa damai ini, walaupun hanya untuk sesaat. Menyingkirkan semua ego dan berbenah untuk bertahan. 

Hari bergulir begitu cepat, Mas Fadil terlihat lebih diam dan masih sibuk dengan gawainya. ingin rasanya merampas dan melihat semua isi benda pipih itu. 

Namun, niat itu ku urungkan demi menjaga perdamaian. semoga badai ini cepat berakhir, semoga Mas Fadil benar-benar telah sadar.

Malam ini, Mas Fadil bersikap lunak dan lembut. Kami melewati malam bersama hingga suara kumandang azan membangunkan kami. 

Aku berusaha menyingkirkan pikiran negatif yang bersarang di dalam benak sebisa mungkin. Namun, masih saja terselip perasaan takut dan khawatir. 

"Mas, tolong tepati janjimu kali ini," pintaku dengan mimik serius. 

"Kalau kamu nggak percaya, ayo ikut ke Cintabumi!" ajaknya dengan tatapan tajam. 

"iya, aku mau ikut," jawabku pasti.

aku segera mengemas beberapa baju dan perlengkapan si kecil setelah sebelumnya menitipkan dua anakku yang lain kepada Ibu. 

***

Mobil melaju perlahan, melewati jalanan pegunungan yang berkelok. Sepanjang jalan disuguhi pemandangan hijau yang menyejukkan mata. 

"Bagaimana kalau Melati hamil?" tanya lelaki yang sedang mengemudi itu tanpa menoleh ke arahku. 

Aku terdiam, menahan sakit dan panas di dalam hati. Luka yang masih basah ini terasa semakin perih bagai ditabur garam di atasnya. 

"Yakin itu anak kamu?"

"Jangan bicara sembarangan, aku nggak suka," hardiknya serasa belati yang menancap ke ulu hati. 

Aku terdiam membisu, menenangkan hati yang mulai bergejolak dan ingin berontak.

"Dek, lihat itu mobil besar," ucapku kepada si kecil untuk mengalihkan perhatian dan agar dia sadar betapa berharga dan pintarnya Fariz. 

"Mah, mobim besah," jawab Fariz sambil menunjuk deretan truk besar yang terparkir di pinggir jalan. 

"Sepertinya Melati memang hamil, kemarin dia bilang sudah terlambat datang bulan," ucap Mas Fadil tanpa menghiraukan celoteh lucu anaknya. 

"Jika itu benar, saya lebih mudah untuk melaporkan kalian dengan tuduhan pasal perzinahan," ucapku tegas seraya menatapnya tajam. 

Aku usap layar gawai,  membuka sebuah artikel yang ditulis seorang advokat dengan hukum pasal perzinahan, kemudian menyodorkan nya tepat di depan wajah Mas Fadil. 

Ia terlihat gugup, wajahnya berubah merah. 

"Kamu tega jeblosin aku ke penjara?" tanyanya geram. 

"Aku lebih suka kamu dipenjara daripada dipelukan wanita lain," jawabku tidak kalah geram. 

Untunglah, aku sudah membaca beberapa artikel tentang perselingkuhan yang bisa dipidanakan. 

Mobil melaju semakin cepat, sepertinya Mas Fadil sudah dibakar api amarah. Aku hanya tersenyum tipis melihat tingkah lelaki yang baru sehari rujuk denganku itu. 

"kamu nginep di rumah Adi saja, aku mau langsung ke kantor," ucapnya setelah sampai di halaman rumah Adi-adik kandungku yang kebetulan tinggal tidak jauh dari kantor tempat Mas Fadil bekerja. 

"Ayah tidur di mana?" tanyaku dengan nada lembut. 

Satu cara yang bisa kulakukan sekarang adalah merebut kembali cinta dan perhatiannya, tapi tetap tegas untuk menolak Melati masuk ke dalam rumah tangga kami. 

"Gampang, aku tidur dimana saja, besok kita cari kontrakan yang baru," jawabnya enteng. 

Aku terpaksa menuruti keinginannya karena kontrakan yang lama sudah habis masa sewanya. Di dalam rumah tampak Adi dan istrinya menyambutku  hangat. 

Adi bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Fadil. Ia lebih beruntung karena berada diposisi setahap lebih atas dari posisi suamiku. 

"Assalamualaikum," ucapku sembari tersenyum. 

"Waalaikumsallam," jawab Maya-istri Adi sembari mencium punggung tanganku bergantian dengan Adi. 

Aku duduk di ruang tamu untuk melepas lelah selama diperjalanan. Secangkir teh hangat dan beberapa cemilan terhilang di atas meja. 

"Gimana suamimu?" tanya Adi geram. 

"Do'ain aja baik-baik aja semua."

"Aku bisa masukkin dia ke perusahaan, aku juga bisa ngeluarin dia. tinggal kamu bilang aja, aku siap hancurin si berengsek itu," ucap Adi berapi-api. 

"Sabar, Yah," timpal Maya menenangkan. 

"Siapa yang bisa sabar lihat saudara perempuannya disakiti."

Adi semakin terpancing emosi,  lelaki metropolis itu mengacungkan tinjunya ke atas. Aku hanya diam melihat tingkah adik lelakiku itu. 

***

Hari beranjak senja, sang surya mulai meredupkan sinarnya dan berganti gelap.  Tidak ada satu pesan pun dari Mas Fadil. Aku menghubunginya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. 

Benakku mulai diracuni prasangka kembali.  Aku semakin gelisah menunggu kabar darinya. Tepat pukul dua dini hari, lelaki itu baru mengirimkan sebuah pesan. 

[Aku tidur di kantor sama teman]

Hanya satu kalimat saja yang ia kirim. Hatiku kembali gelisah, bayangan Melati yang terus menerus menggoda Mas Fadil kembali menari-nari dalam banak. 

Hanya sujud pandang dalam sajadah yang membuatku sedikit tenang.  Dunia ini boleh menipuku,  tapi, aku punya Allah yang maha memiliki segalanya. 

Aku bermunajat dan melangitkan do'a hingga terdengar kumandang azan subuh. 

"Besok pagi aku ikut cari kontrakan ya?" 

Sebuah pesan kukirim selepas menunaikan ibadah shalat subuh. Lama, tidak ada balasan, sepertinya Mas Fadil belum bangun, padahal hari beranjak terang. Apa dia melewatkan subuhnya lagi? 

Maya terlihat sedang menyiapkan sarapan pagi. Aku membantu seperlunya sebelum Mas Fadil menjemput. 

Kami sarapan bersama di teras rumah, menikmati sinar mentari pagi yang menghangatkan tubuh. Fariz terlihat bahagia bermain bersama Adit-anak bungsu Adi. 

Andai waktu bisa diulang, tidak akan kubiarkan Mas Fadil tinggal seorang diri di Cintabumi.  Aku akan turut serta dengannya bersama anak-anak kami.  Tidak akan ada celah untuk orang ketiga merusak bahtera kami. 

***

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Misdaliza
cerita nya jln d tempat je
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • A Wife's Diary   Pengkhianatan

    Tepat pukul delapan pagi Mas Fadil datang menjemputku. Kami pergi setelah berpamitan terlebih dahulu dengan Maya dan Adi.Mobil melaju perlahan, membelah jalanan yang mulai ramai. Mas Fadil terlihat bersemangat, senyum merekah menghiasi bibirnya sepanjang hari."Kenapa? Kok kayak lagi seneng?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi."Seneng dong, kan ada kamu yang nemenin aku," jawab lelaki yang duduk disampingku itu sembari mengulum senyum.Seperti ada yang disembunyikan dariku. Senyumnya memiliki arti berbeda yang membuat hati ini kembali gelisah."Kita makan dulu di sini, aku belum makan," ucap Mas Fadil sambil memarkirkan mobil di depan sebuah rumah makan khas Sunda.Mas Fadil makan dengan lahap dan cepat. Berbeda denganku yang sulit untuk sekedar menelan makanan. Semua yang aku makan terasa hambar dan pahit. Aku hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk yang ada di depanku."Ayo, lanjut, k

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-05
  • A Wife's Diary   Bertahan

    Aku kembali meraih gawai dan mengetik sebuah pesan.[Tolong mba, saya mohon jangan temui suami saya lagi. Mba wanita pasti bisa merasakan bagaimana klo posisi kita ditukar. saya masih menyusui anak ketiga saya, dua anak saya masih SD mba, tolong mba]Aku memohon dan memelas agar wanita itu luluh dan mau meninggalkan suamiku. Akan tetapi, syetan lebih kuat dan sudah menguasai Melati.[Hah, harusnya kamu yang mundur. Mas Fadil sudah tidak mencintaimu. kamu tahu kenapa dia pulang malam. Dia habis dari sini, klo tidak ku suruh pulang dia nggak mau pulang. Suamimu sudah jijik sama kamu, coba kamu lihat lehernya]Hatiku lebur untuk kesekian kalinya, sakit dan sesak serasa ada yang menginjak-injak harga diriku sebagai seorang perempuan."Bnagun! Bangun, Mas!" hardikku tertahan karena khawatir si kecil terbangun."Apaan, sih?" tanyanya dengan bola mata yang terlihat memerah."Apa ini?" tanyaku sembari membalikkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • A Wife's Diary   Luka

    Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah."Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum."Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia.""Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas."Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa.""Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!""Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-08
  • A Wife's Diary   Pulang

    Anak-anak terlihat bahagia melihat kedatanganku dan Fariz. Luna merengkuh Fariz seketika. Anak itu pasti sangat merindukan adiknya.Hampir satu minggu aku ikut bersama Mas Fadil dan belajar akan kesalahanku. Mempelajari penyebab badai ini datang dan bertekad untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik kepada Mas Fadil.Bahagia rasanya kembali ke rumah sendiri. Aku segera membereskan rumah setelah Mas Fadil pamit untuk kembali bekerja."Gimana perkembangan suamimu? Apa masih ketemua sama pelakor itu?" tanya Ibu geram yang tiba-tiba sudah duduk di ruang tamu sambil menggendong Fariz, tanpa kusadari."Masih," ucapku lemas."Pelan-pelan aja, Mamah udah minta bantu do'a sama Wa Haji," ucap wanita berdaster panjang itu dengan seulas senyum yang kubalas dengan anggukan.Kepada siapa lagi aku berbagi cerita, berbagi kesedihan dan beban pikiran, selain kepada orang tua dan keluarga. Terkadang, pengalaman n

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • A Wife's Diary   Pernikahan Siri

    Malam semakin larut, yang ditunggu tidak kunjung datang. Aku menyibak tirai beberapa kali. Namun, tetap nihil, Mas Fadil tidak terlihat batang hidungnya.Kenangan sebelas tahun silam, terbayang kembali. Seperti sebuah slide film yang diputar ulang. Malam itu sama dinginnya seperti malam ini. Aku dan Fadil bertemu di atap lantai dua selepas bekerja.Kami bekerja di tempat yang sama dan tinggal satu atap di mes karyawan yang disediakan perusahaan. Embusan angin malam kian mengencang, menerbangkan setiap helai rambut pendekku. Menusuk ke dalam pori-pori hingga ke tulang.Dulu, aku adalah seorang gadis yang cuek dan sedikit tomboy, sedangkan Fadil, adalah pemuda yang terkenal alim dan naif.Fadil sebenarnya bukan tipe pria idamanku. Namun,ia meluluhkan hatiku dengan sifat taat dan suara merdunya ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Usia kami hanya terpaut lima bulan saja. Lahir di tahun yang sama, aku lima bulan lebih muda darinya.&

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • A Wife's Diary   Cemburu

    Hari berganti terasa semakin lambat. Aku masih berkutat dengan anak-anak di rumah. Mulai menyibukkan diri dengan menekuni hobi menulis yang telah lama kutinggalkan.Mas Fadil semakin jarang menghubungi. Hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun bersama Melati di sampingnya. Wanita itu seolah ingin membuat hati ini panas dan lebih terluka. Bukan sikap Melati yang membuat luka ini semakin dalam, tetapi sikap Mas Fadil yang terkesan menurut semua ucapan istri sirinya.Hari sudah agak larut ketika mereka menghubungiku lewat vidio call. Untunglah, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi indahnya.[Gimana kabar anak-anak?] tanyanya dari balik gawai.Melati terlihat mendekati Mas Fadil di sebuah ruangan sempit yang disambut kata sayang dari Mas Fadil. Wanita itu duduk di atas pangkuan suamiku.Dada ini sesak melihat adegan itu tepat di depan mataku. Mereka seperti sengaja membuat hati ini hancur dan terluka sangat

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • A Wife's Diary   Bimbang

    Aku keluar dari kamar setelah mengusap air mata sebelumnya. Anak-anak tampak berkumpul di ruang tamu. Mereka sedang asik menonton TV."Mah, minta uang buat jajan!" pinta Luna seraya menatapku heran."Coba minta ke Ayah," jawabku sembari menyembunyikan netra yang mulai terlihat membengkak dengan telapak tangan.Tidak sepeserpun uang yang tersisa. Mas Fadil bahkan lupa memberikan uang belanja bulanan untuk kami. Ia hanya ingat dengan kebahagiannya sendiri dan perempuan murahan itu."Zahra!"Mas Fadil terdengar memanggil namaku. Terasa asing di telinga dan menusuk di hati. selama sebelas tahun, lelaki itu selalu memanggilku dengan panggilan Mamah. Kali ini, ia memanggil namaku.Aku tersentak untuk beberapa waktu. Dada ini sakit saat Mas Fadil hanya memanggilku dengan nama. Aku serasa orang asing di matanya. Aku bergegas menghampiri Mas Fadil di ruang tamu setelah berhasil menenangkan hati."Ini buat an

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • A Wife's Diary   Talak

    Lelah rasanya tubuh dan otak ini. Aku berbaring di atas kasur, memandangi hujan dari balik jendela. Rintik yang turun teratur dari langit.Baru pukul dua siang, tapi langit sudah gelap. Tertutup awan hitam yang menangis. Fariz sedang asik menonton televisi bersama kedua kakaknya.Aku mengusap layar gawai, memeriksa pesan yang masuk. Tapi, pesan yang ditunggu tidak muncul sama sekali.Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghubungi Mas Fadil terlebih dahulu.Lama menunggu, tapi tidak ada jawaban.Entah apa yang ia lakukan di sana hingga tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar memberi kabar kepada kami.Lelaki itu terlalu terbuai oleh tipu daya setan. Semua yang ada di sampingnya tidak lagi terlihat olehnya. Hanya Melati yang memenuhi hati dan pikirannya.Bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Begitulah sikap Mas Fadil sekarang ini. Ia manut dan patuh dengan semua ucapan yang keluar dari mulut M

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-13

Bab terbaru

  • A Wife's Diary   Perkenalan

    Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna

  • A Wife's Diary   Kenangan 2

    Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m

  • A Wife's Diary   Prank Ipar

    Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma

  • A Wife's Diary   Masih suasana duka

    Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak

  • A Wife's Diary   Pusara

    Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa

  • A Wife's Diary   Duka Mas Fadil

    "Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng

  • A Wife's Diary   Liburan dan duka

    Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me

  • A Wife's Diary   Pulang

    "Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b

  • A Wife's Diary   Kabar Melati

    Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya

DMCA.com Protection Status