Share

Talak Satu

Author: Yani m
last update Last Updated: 2021-07-14 08:31:50

Malam semakin larut, hawa dingin menyelusup di balik selimut. Mata ini tidak hendak terpejam, suara bising dari Mas Fadil yang sedang VC dengan selingkuhannya membuat dada ini panas dan bergemuruh. Ingin rasanya melemparkan gawai yang tengah ia pegang hingga hancur berkeping-keping. Seperti hati ini yang telah hancur tak berbentuk. 

"Mah, Ayah berisik. Kakak nggak bisa tidur," ucap si sulung yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan pintu kamar. 

"Iya, nanti mamah bilangin ke Ayah biar nggak berisik."

Ya-Rabb, sudah hilangkah rasa malunya?  Bermesraan dan mengumbar rayuan lewat gawai hingga terdengar anaknya sendiri. Aku menggeleng kepala perlahan dan mengetuk pintu kamar Mas Fadil. 

Mas Fadil memang telah menjatuhkan talak satu kepadaku. Kami masih tinggal satu atap karena memang ada anjuran seperti itu di dalam syariat islam yang bertujuan agar suami istri tersebut dapat rujuk kembali sebelum habis masa idah. 

Lelaki itu keluar dari kamar dengan gawai yang masih menyala. Netraku terpaku kepada sosok wanita di seberang gawai. Seorang wanita bermake up tebal serta memakai  linggeri seksi.  Apakah wanita itu sengaja beroenampilan seperti itu di tengah malam seperti ini? 

"Wanita seperti itu yang kamu mau."

Aku berdecak heran dan tersenyum sinis. Persis seperti gambaran wanita murahan di dalam film. Serendah itukah pilihannya sekarang? Seorang wanita yang sengaja memamerkan aurat dan menjerat laki-laki yang bukan mahramnya. 

Aku merasa keputusanku sudah tepat untuk menolaknya sebagai maduku. Tidak mungkin poligami akan adil dengan madu minim akhlak. Apa jadinya anak-anakku jika dibawah pengasuhannya? Naudzubillah. 

"Apa maksudmu?  Jangan sok suci," ucap Mas Fadil geram. 

"Iya,  aku memang bukan wanita shalehah tapi aku bukan perempuan murahan seperti itu.  Ngobrol aurat sama suami orang, cuih," cibirku tidak kalah geramnya. 

"Sudah,  sudah,  ngapain ke sini?"

"Tolong kecilkan suaramu, anak-anak merasa terganggu! Apa kamu nggak malu di denger anak-anak?" tanyaku penuh penekanan. 

"Kamu kali yang keganggu, nggak usah caper," ucap lelaki itu sinis. 

"Astagfirullah, ngapain aku caper? Lihat jam berapa ini? Suara kamu dan perempuan murahan itu sangat mengganggu."

"Terserahlah, besok juga aku pergi," ucapnya sembari menutup pintu kamar. 

Aku tercenung untuk beberapa saat, kaget dengan sikap kasar dan perubahan sikapnya yang ekstrim.

Aku pun kembali ke kamar dengan langkah gontai. Rasa benci mulai menghuni sanubari. Membuat dada ini semakin sesak dan panas.  Aku tersedu seorang diri di pojok pintu kamar, menahan sebisa mungkin agar suara tangisku tidak terdengar. Meratapi nasib buruk yang menimpaku. 

Semua tidak akan menyangka hal ini akan menimpaku. Sosok Mas Fadil yang alim dan penyayang membuat semua orang iri kepadaku.  Wajah rupawan dan ramah, menambah daya tarik mantan suamiku dahulu. 

Kami menikah atas dasar suka sama suka setelah sebelumnya sempat berpacaran dia tahun. Mungkin ini adalah penebusan dosa selama pacaran dulu. Bukankan syariat islam melarang adanya pacaran? 

Andai kutahu semua hukum-hukum dalam syariat islam.  Tidak mungkin aku menjalani hubungan acaranya itu sebelum menikah, ampuni aku, Ya Rabb. 

Tangisku semakin tidak terhenti saat mengenang semua khilaf di masa lalu. Aku bangkit dan berjalan tertatih untuk mengambil air wudhu. 

Dua rakaat shalat taubat, dilanjutkan shalat tahajud dan witir menjadi penenang hati yang bergejolak. 

***

Matahari telah menyingsing di ufuk timur, hari mulai terang. Mas Fadil sudah rapi dan bersiap untuk pergi. 

Entah perasaan apa yang ada dihati ini saat melihatnya melenggang pergi tanpa sepatah kata pun. 

Rasa sayang, cinta, rindu dan benci seakan bercampur menjadi satu. Ingin rasanya mengejar dan memeluknya dari belakang. Menghentikan langkahnya agar tidak pergi ke tempat nista itu lagi. 

Namun, kaki ini seolah terpaku di lantai. Aku hanya terdiam membisu sampai sosoknya menghilang bersama mobil silver miliknya. 

"Mah, ayah udah pergi?" tanya Luna yang terlihat sudah siap untuk berangkat ke sekolah. 

"Ayah VC an sama pelakor ya?"

Aku sontak terkaget mendengar pertanyaan si sulung. 

"Kakak tahu dari mana?" tanyaku sambil memegang kedua bahunya erat. 

"Kakak lihat cewe di hp pas Mamah ke kamar Ayah," jawabnya polos. 

Astagfirullah, kenapa aku begitu ceroboh dan lupa kalau malam itu ada Luna yang masih terjaga. 

"Kakak tau dari mana istilah pelakor?" tanyaku heran. 

"Dari TV ikan terbang lah,  Mah.  Tiap hari Kakak nonton. Di sekolah juga banyak yang nyanyi-nyayi pelakor.  Pelakor di mana-mana, suami cepat digembok," jawab Luna sambil bersenandung. 

Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecut.  Efek media televisi begitu cepat menempel di benak anak-anak. 

"Mamah juga nangis terus dari kemarin-kemarin," sambungnya sambil menatapku iba. 

"Iya, Kak. Keluarga kita sedang diuji,  tapi Kakak janji jangan ngomong ke siapapun masalah ini, janji!" pintaku dengan tatapan tajam. 

"Kakak do'ain aja, Ayah cepat sadar dan kembali sama kita."

"Kakak doainnya biar Kakak jadi sukses banyak uang trus lihat Ayah ngemis-ngemis sama Kakak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. 

Terlihat jelas ada luka di hatinya. Anak itu sangat peka dan cepat mengerti situasi yang terjadi di sekitarnya. 

"Hush, nggak boleh gitu. Doakan yang baik-baik untuk Ayah.  Udah berangkat sekolah,  sana, ntar telat."

"Ia, assalamualaikum."

***

"Ra, coba kamu tanya-tanya ke Pak Haji, kayaknya suamiku Kena guna-guna, kena pelet," ucap Ibu saat aku sedang menyapi si kecil Fariz di halaman rumah. 

Aku terdiam dan mengingat-ngingat rentetan kejadian ganjal akhir-akhir ini. Mulai dari ikan di kolam yang mati serentak,  hingga perubahan sikap Mas Fadil yang diluar logika. 

Hampir tiga belas tahun hidup bersamanya.  Akan tetapi sikap dan kebiasaannya sekarang berbanding terbalik dengan Mas Fadil yang kukenal. 

"Bu, titip Fariz sebentar," ucapku kemudian pergi ke kamar.

Aku bergegas mencari gawai, mengusap layar benda pipih itu dan masuk ke mesin pencarian. 

[Ciri-ciri orang yang kena pelet dan cara menyembuhkannya] Aku mengetik dan membuka beberapa link yang berkaitan dengan pencarianku. 

Betapa kagetnya diri ini ketika mendapati semua ciri yang cocok dengan keadaan Mas Fadil saat ini. 

Kota Cintabumi yang saat ini ditinggali Mas Fadil sekaligus kota asal Melati memang terkenal dengan guna-guna dan peletnya. Menurut kabar, kota tersebut juga memiliki banyak wanita berstatus janda yang terkenal lihai dalam menjerat laki-laki beristri. Apa mungkin suamiku terkena jerat pelet janda itu? 

Netraku terpaku pada satu penjelasan di salah satu situs website. Semua ilmu hitam akan kalah dengan ilmu Allah. 

Aku termenung sesaat, memikirkan semua yang terjadi. Mengingat semua dosa di masa lalu. Apakah ini ujian atau teguran darimu Ya Rabb? 

***

Waktu berjalan begitu lambat, rumah ini terasa kosong dan sepi tanpa Mas Fadil. Rintik hujan terdengar berirama, jatuh berurutan di atas genting. 

Anak-anak tengah tertidur pulas berselimut mimpi. Aku mengusap layar gawai dan membuka aplikasi whatssap. Melihat beberapa status teman dan terhenti di status whatssap Mas Fadil. 

Lelaki itu memasang foto Melati yang sedang berada di pangkuannya. Hati ini sakit seketika bagai ribuan panah menancap dan mengoyak hati ini. Sudah hilang rasa malunya hingga berani memamerkan kemesraan di mata umum. 

Bulir hangat mengalir tanpa henti, membuatku semakin sesak dan sulit untuk bernafas. 

Aku mengusap layar gawai dan beralih ke media sosial miliknya. Hati kembali teriris saat netra ini menangkap puluhan gambar kemesraan nya yang diunggah di media sosial. 

Pilihan like dan komentar turut meramaikan becandanya. Apa mereka yang melike dan komen itu tidak tahu ada hati yang terluka? Ada tangis dan kecewa di atas nya? 

Yang paling membuatku terluka adalah like dan komen dari orang-orang yang sama-sama kami kenal, terutama dari saudara kandung Mas Fadil. 

Namun, kutekan rasa sakit itu sendiri, biarlah menjadi penggugur dosa-dosaku di masa lalu. 

***

Seminggu berlalu, tidak ada kabar dari Mas Fadil selain status di media sosialnya yang menambah lukaku semakin dalam. 

Netraku memindai setiap sudut ruangan, hari mulai senja. Akan tetapi anak keduaku belum tampak batang hidungnya dari tadi siang. 

"Ayah, Ayah."

Sayup, terdengar suara Kia lirih. Aku bergegas pergi ke arah suara. Gadis kecil itu terlihat sedang mengisi sambil memegang foto Mas Fadil. 

"Kia, kenapa?" tanyaku seraya membelai rambut tipisnya dengan lembut. 

"Ia, ka-ngen Ayah," ucap gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun itu sambil terisak. 

Ia mengusap cairan yang keluar dari hidung dengan sebelah tangan. Aku segera memeluknya erat. 

"Do'ain biar Ayah cepat pulang karena do'a dari anak shalehah pasti didengar Allah," ucapku lirih. 

Bulir bening yang kutahan sedari tadi pun lolos membasahi pipi. Hati ini perih dan sakit melihat anak-anak yang merindukan Ayahnya. 

Teganya wanita yang sengaja merampas kebahagian wanita lain. Bukan hanya satu orang yang engkau lukai, anak-anak dan seluruh keluarga ikut terluka. 

Kami pun menangis sambil berpelukan. Badai pasti berlalu. Itulah yang selalu kuyakini. Allah Maha melihat dan maha adil. Biarlah mereka yang melukai akan mendapat balasannya dari Mu Ya Rabb. 

Tok!  Tok! 

Suara ketukan pintu membuatku terhenyak. Aku bergegas mengusap air mata dan pergi untuk membuka pintu. 

Jantung ini serasa berhenti untuk sesaat. Sosok yang kami rindukan berada tepat di balik pintu. Aku mengatur nafas perlahan, mempersiapkan diri dengan sikap dingin dan acuh yang akan kuterima. 

"Waalaikumsalam," ucapku sembari membukakan daun pintu. 

Lelaki itu menatapku dengan tatapan sayu. 'Ada apa ini?' pikirku di dalam hati. 

"Maafin, Ayah,  Mah," ucapnya sembari terhunyung dan hampir memelukku sebelum aku mundur ke belakang. 

"Ayo kita rujuk! Kasian anak-anak!" pintanya masih dengan tatapan sayu. 

Tidak terlihat gairah di manik cokelatnya. Ia terlihat murung dan kusut. 

"Duduklah dulu!" pintaku sambil mempersilakannya duduk di ruang tamu. 

Lelaki itu terdiam untuk sesaat, seperti orang yang sedang linglung. Netranya menerawang ke atas. Terlihat bingung dan tertekan. 

"Tolong, rujuk sama Aku, mau ya? "

***

Bersambung

Related chapters

  • A Wife's Diary   Rujuk

    Lelaki berperawakan sedang itu duduk bersimpuh di bawah kakiku. Ia menatap penuh pengharapan. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Jauh di lubuk hati, aku masih mengharapkan dirinya.Namun, bayangan pengkhianatan yang ia lakukan kembali menari di dalam benak."Demi anak-anak," ucapnya lirih seraya menggenggam kedua tanganku erat.Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi tenagaku jauh dibawah tenaganya. Setelah berfikir beberapa saat, membayangkan kehidupanku dan anak-anak tanpa Mas Fadil membuatku bergidik."Iya, aku mau, tapi, bagaimana dengan perempuan itu?""kami putus semalam," jawabnya lesu.Terlihat gurat kecewa di wajahnya. Apa aku hanya pelariannya saja? ah, bukan aku pelariannya, melainkan wanita itu yang menjadi pelarian Mas Fadil ketika aku tidak di dekatnya."Berjanjilah tidak akan menemui perempuan itu lagi!" pintaku dengan netra dipenuhi embun."iya, aku janji. Ayah

    Last Updated : 2021-08-04
  • A Wife's Diary   Pengkhianatan

    Tepat pukul delapan pagi Mas Fadil datang menjemputku. Kami pergi setelah berpamitan terlebih dahulu dengan Maya dan Adi.Mobil melaju perlahan, membelah jalanan yang mulai ramai. Mas Fadil terlihat bersemangat, senyum merekah menghiasi bibirnya sepanjang hari."Kenapa? Kok kayak lagi seneng?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi."Seneng dong, kan ada kamu yang nemenin aku," jawab lelaki yang duduk disampingku itu sembari mengulum senyum.Seperti ada yang disembunyikan dariku. Senyumnya memiliki arti berbeda yang membuat hati ini kembali gelisah."Kita makan dulu di sini, aku belum makan," ucap Mas Fadil sambil memarkirkan mobil di depan sebuah rumah makan khas Sunda.Mas Fadil makan dengan lahap dan cepat. Berbeda denganku yang sulit untuk sekedar menelan makanan. Semua yang aku makan terasa hambar dan pahit. Aku hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk yang ada di depanku."Ayo, lanjut, k

    Last Updated : 2021-08-05
  • A Wife's Diary   Bertahan

    Aku kembali meraih gawai dan mengetik sebuah pesan.[Tolong mba, saya mohon jangan temui suami saya lagi. Mba wanita pasti bisa merasakan bagaimana klo posisi kita ditukar. saya masih menyusui anak ketiga saya, dua anak saya masih SD mba, tolong mba]Aku memohon dan memelas agar wanita itu luluh dan mau meninggalkan suamiku. Akan tetapi, syetan lebih kuat dan sudah menguasai Melati.[Hah, harusnya kamu yang mundur. Mas Fadil sudah tidak mencintaimu. kamu tahu kenapa dia pulang malam. Dia habis dari sini, klo tidak ku suruh pulang dia nggak mau pulang. Suamimu sudah jijik sama kamu, coba kamu lihat lehernya]Hatiku lebur untuk kesekian kalinya, sakit dan sesak serasa ada yang menginjak-injak harga diriku sebagai seorang perempuan."Bnagun! Bangun, Mas!" hardikku tertahan karena khawatir si kecil terbangun."Apaan, sih?" tanyanya dengan bola mata yang terlihat memerah."Apa ini?" tanyaku sembari membalikkan

    Last Updated : 2021-08-07
  • A Wife's Diary   Luka

    Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah."Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum."Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia.""Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas."Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa.""Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!""Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk

    Last Updated : 2021-08-08
  • A Wife's Diary   Pulang

    Anak-anak terlihat bahagia melihat kedatanganku dan Fariz. Luna merengkuh Fariz seketika. Anak itu pasti sangat merindukan adiknya.Hampir satu minggu aku ikut bersama Mas Fadil dan belajar akan kesalahanku. Mempelajari penyebab badai ini datang dan bertekad untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik kepada Mas Fadil.Bahagia rasanya kembali ke rumah sendiri. Aku segera membereskan rumah setelah Mas Fadil pamit untuk kembali bekerja."Gimana perkembangan suamimu? Apa masih ketemua sama pelakor itu?" tanya Ibu geram yang tiba-tiba sudah duduk di ruang tamu sambil menggendong Fariz, tanpa kusadari."Masih," ucapku lemas."Pelan-pelan aja, Mamah udah minta bantu do'a sama Wa Haji," ucap wanita berdaster panjang itu dengan seulas senyum yang kubalas dengan anggukan.Kepada siapa lagi aku berbagi cerita, berbagi kesedihan dan beban pikiran, selain kepada orang tua dan keluarga. Terkadang, pengalaman n

    Last Updated : 2021-08-09
  • A Wife's Diary   Pernikahan Siri

    Malam semakin larut, yang ditunggu tidak kunjung datang. Aku menyibak tirai beberapa kali. Namun, tetap nihil, Mas Fadil tidak terlihat batang hidungnya.Kenangan sebelas tahun silam, terbayang kembali. Seperti sebuah slide film yang diputar ulang. Malam itu sama dinginnya seperti malam ini. Aku dan Fadil bertemu di atap lantai dua selepas bekerja.Kami bekerja di tempat yang sama dan tinggal satu atap di mes karyawan yang disediakan perusahaan. Embusan angin malam kian mengencang, menerbangkan setiap helai rambut pendekku. Menusuk ke dalam pori-pori hingga ke tulang.Dulu, aku adalah seorang gadis yang cuek dan sedikit tomboy, sedangkan Fadil, adalah pemuda yang terkenal alim dan naif.Fadil sebenarnya bukan tipe pria idamanku. Namun,ia meluluhkan hatiku dengan sifat taat dan suara merdunya ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Usia kami hanya terpaut lima bulan saja. Lahir di tahun yang sama, aku lima bulan lebih muda darinya.&

    Last Updated : 2021-08-11
  • A Wife's Diary   Cemburu

    Hari berganti terasa semakin lambat. Aku masih berkutat dengan anak-anak di rumah. Mulai menyibukkan diri dengan menekuni hobi menulis yang telah lama kutinggalkan.Mas Fadil semakin jarang menghubungi. Hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun bersama Melati di sampingnya. Wanita itu seolah ingin membuat hati ini panas dan lebih terluka. Bukan sikap Melati yang membuat luka ini semakin dalam, tetapi sikap Mas Fadil yang terkesan menurut semua ucapan istri sirinya.Hari sudah agak larut ketika mereka menghubungiku lewat vidio call. Untunglah, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi indahnya.[Gimana kabar anak-anak?] tanyanya dari balik gawai.Melati terlihat mendekati Mas Fadil di sebuah ruangan sempit yang disambut kata sayang dari Mas Fadil. Wanita itu duduk di atas pangkuan suamiku.Dada ini sesak melihat adegan itu tepat di depan mataku. Mereka seperti sengaja membuat hati ini hancur dan terluka sangat

    Last Updated : 2021-08-12
  • A Wife's Diary   Bimbang

    Aku keluar dari kamar setelah mengusap air mata sebelumnya. Anak-anak tampak berkumpul di ruang tamu. Mereka sedang asik menonton TV."Mah, minta uang buat jajan!" pinta Luna seraya menatapku heran."Coba minta ke Ayah," jawabku sembari menyembunyikan netra yang mulai terlihat membengkak dengan telapak tangan.Tidak sepeserpun uang yang tersisa. Mas Fadil bahkan lupa memberikan uang belanja bulanan untuk kami. Ia hanya ingat dengan kebahagiannya sendiri dan perempuan murahan itu."Zahra!"Mas Fadil terdengar memanggil namaku. Terasa asing di telinga dan menusuk di hati. selama sebelas tahun, lelaki itu selalu memanggilku dengan panggilan Mamah. Kali ini, ia memanggil namaku.Aku tersentak untuk beberapa waktu. Dada ini sakit saat Mas Fadil hanya memanggilku dengan nama. Aku serasa orang asing di matanya. Aku bergegas menghampiri Mas Fadil di ruang tamu setelah berhasil menenangkan hati."Ini buat an

    Last Updated : 2021-08-12

Latest chapter

  • A Wife's Diary   Perkenalan

    Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna

  • A Wife's Diary   Kenangan 2

    Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m

  • A Wife's Diary   Prank Ipar

    Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma

  • A Wife's Diary   Masih suasana duka

    Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak

  • A Wife's Diary   Pusara

    Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa

  • A Wife's Diary   Duka Mas Fadil

    "Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng

  • A Wife's Diary   Liburan dan duka

    Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me

  • A Wife's Diary   Pulang

    "Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b

  • A Wife's Diary   Kabar Melati

    Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya

DMCA.com Protection Status