Badan Fariz semakin panas, bocah kecil itu terlihat lemas dan menggigil. Aku memeluknya erat sambil berlari ke rumah Ibu.
"Bu, Fariz! "
"Ada apa? Astagfirullah. "
Ibu terlihat sama gemasnya dengan diriku. Fariz semakin menggigil. Tubuhnya kejang-kejang beberapa kali.
"Fariz! Fariz! " pekikku dengan air mata yang terus keluar tanpa henti.
"Cepat bawa ke dokter, " ucap Ibu spontan.
Aku berusaha menghubungi Mas Fadil beberapa kali. Namun nihil, tidak ada jawaban, bahkan direject.
Aku berlari menuju rumahku untuk mengambil dompet. Kubuka perlahan benda usang berwarna merah muda itu. Hanya ada beberapa lembar uang puluhan.
"Mana cukup untuk ke dokter, " gumamku pelan.
Ibu mengantar kami menuju klinik terdekat menggunakan sepeda motor. Ibuku memang keren, di usinya yang sudah tidak muda lagi. Beliau masih lincah mengendarai kuda besi kesayangannya.
"Bu, pinjam uang dulu. Uangku kurang, " bisikku pelan sesaat setelah tiba di parkiran klinik.
"iya, cepet bawa Fariz, " jawabnya tergesa.
kami pun bergegas memasuki klinik. Seorang perawat tampak menghampiri dan segera membawa Fariz ke ruang IGD.
Bocah itu terlihat semakin lemas. Dadaku sesak melihat anak laki-lakiku satu-satunya terkulai di ranjang IGD. Sebuah selang infus dipasang di pergelangan tangannya. Anak itu menangis kesakitan saat jarum tajam menghunjam nadi kecilnya.
Hati ini serasa disayat sembilu. Mas Fadil tetap tidak bisa dihubungi. Aku mengirim pesan dan foto keadaan Fariz ke nomor whattshapnya, hanya ceklis dua. Kemana lekaki itu disaat anaknya sakit? Ia pasti sedang bersama selingkuhannya. Bagaimana jika terjadi sesuatu kepada Fariz?
Benakku dipenuhi ribuan pertanyaan yang membuat sakit di dalam hati.
"Allhamdulillah, untung cepat dibawa ke sini, " ucap dokter yang terlihat lega.
"Makasih, Dok, " ujar Ibu dengan seulas senyum.
"Sama-sama."
wanita berseragam putih itu pun pergi meninggalkan kami. Aku masih termenung di ujung ranjang. Memandangi wajah pucat si kecil.
'Tega kamu, Mas, kamu tidak pantas menjadi Ayah lagi, ' rutukku di dalam hati.
***
Kumandang azan subuh membuatku terbangun dan bergegas mengambil air wudhu. Ibu sudah pulang terlebih dahulu ke rumah untuk mengurus kedua anakku.
Ruangan kecil yang hanya memiliki dua tempat tidur dan satu kamar mandi. Pasien di sebelahku tampak masih tertidur pulas. Aku membuka layar gawai perlahan. Membaca pesan masuk dari Mas Fadil.
[Aku pulang besok]
Sebuah pesan singkat yang membuatku kesal. Setega itu dia kepada darah dagingnya? kemana kasih sayang dan cintanya dahulu?
"Mah, susu, " pinta Fariz pelan.
Aku bergegas membuatkan susu formula untuknya. Bocah dua tahun itu pun meminumnya dengan lahap. 'syukurlah, Fariz terlihat baikan. '
Uang dari Ibu sepertinya hanya cukup untuk satu hari rawat inap. Aku pergi ke depan dan meminta salah satu staf untuk mengecek tagihanku dan benarlah perkiraanku. Uangku hanya cukup untuk membayar tagihan ini.
***
Hari telah beranjak siang, matahari berada tepat diatas kepala. Aku duduk di ruang tamu, menghela nafas panjang dan membuangnya. Fariz baru saja tertidur karena pengaruh obat yang diberikan dokter. Aku memaksa membawanya pulang ke rumah dan memilih merawatnya sendiri. Kendala biaya membuat benak yang sudah berjejal masalah ini semakin berdenyut sakit.
"Assalamualaikum."
Suara berat dari teras rumah itu terdengar familiar dan semakin dekat diiringi derap langkah cepat kaki. Mas Fadil tengah berdiri tepat di depan pintu yang terbuka.
"Dimana Fariz? "
Aku hanya menatapnya tajam, kemudian menunjuk ke arah kamar. Ia melangkah ke dalam kamar dengan mimik muka lelah.
Aku masih mematung di ruang tamu, menyaksikan sosoknya yang terasa asing. Ya, aku baru tersadar kalau aku bukan istrinya lagi sekarang. Kami hanyalah dia orang asing yang terhubung oleh anak.
Selang beberapa lama, Mas Fadil keluar."Mana Luna? " tanyanya dengan tatapan dingin.
"Kak, bikinin Ayah makan! " pekiknya sambil mencari sosok si sulung.
Tidak ada lagi kewajiban untukku melayaninya. Luna terlihat keluar dari kamar dan menatap ke arahku yang kubalas dengan anggukan pelan. Gadis kecil itu memasak telor ceplok untuk dihidangkan kepada Ayahnya, kemudian kembali ke kamar dengan muka masam.
"Uangku habis, tadi pinjam uang Ibu buat bayar klinik, " ucapku memulai percakapan sesaat setelah ia menghabiskan makanannya.
"Aku nggak punya uang, pinjam saja dulu, " jawabnya tanpa menatap ke arahku.
Hampir dua minggu tidak bersua, dirinya semakin asing di mataku. Secepat itukah lelaki itu berubah? Sosoknya yang hangat berubah menjadi sedingin salju. Tidak terlihat lagi ketaatannya akan perintah Allah. Ia sering melewatkan kewajiban shalat selama diam di rumah, padahal, dulu, ia selalu menjadi imam mesjid dan rajin tilawah Al-Qur'an. Kemana Mas Fadil ku yang dulu?
Semua terjadi begitu cepat hingga aku tidak memiliki simpanan sedikitpun. Uang belanja yang ia berikan setiap bulannya selalu habis bahkan minus.
Mas Fadil malah asik dengan gawainya. Sesekali terlihat senyum tipis di bibirnya."Sedang apa kamu, Mas? " tanyaku geram ketika mendapatinya asik bergidik call dengan selingkuhannya.
"Kenapa? Aku lagi VC sama pacarku, kamu keberatan? Sadar, kamu sudah bukan siapa-siapa lagi, " jawabnya ketus.
Aku terdiam sesaat, merasakan nyeri di dalam ulu hati. Perih dan semakin sesak melihat tingkah menjijikan mantan suamiku.
"Jaga kelakuanmu, anak-anak bisa melihatnya, tolong jaga perasaan mereka. Jangan hancurkan hati anak-anak juga, " lirihku penuh tekanan.
"Oke kalau kamu nggak suka aku VC, aku pergi sekarang, " ancamnya dengan bola mata membulat penuh.
Baru satu jam yang lalu ia datang dan terlihat mengkhawatirkan si bungsu. Kini, lelaki itu tidak ubahnya seperti ABG yang tengah dimabuk cinta. Membenci siapapun yang menentangnya.
"Ayah! " pekik Fariz yang tengah berdiri di depan pintu kamar.
Bocah lugu itu berlari kecil dan memeluk sang Ayah. Meluapkan rindu yang telah tersimpan. Rona bahagia terlihat jelas dari wajah Fariz.
'Ah, kasian kesayanganku, maafin mamah, Dek, ' bisikku di dalam hati.Mas Fadil menggendong Fariz dan berjalan-jalan di pekarangan rumah. Pekarangan yang cukup luas ini tampak tidak terurus akhir-akhir ini. Rumput liar dan ilalang tumbuh hampir memenuhi sebagian pekarangan. Kolam ikan hias, tempat pavorit kami bercengkrama, kini telah kering dan kotor. Semua penghuni di dalamnya mati serempak sebulan sebelum badai ini menghantam rumah tanggaku.
***
Sang surya perlahan tenggelam di balik bukit, berhiaskan warna oranye di cakrawala. Senja yang selalu datang di penghujung hari dan tidak pernah ingkar janji. Mas Fadil tengah menidurkan Fariz di dalam kamar. Anak itu seakan tidak mau lepas dari Ayahnya. Tangan mungilnya menggenggam erat tangan kekar Mas Azam.
"Apa rencana mu setelah selesai masa udah? " tanyanya seraya menyamankan duduknya agak jauh dari tempat dudukku.
"Entahlah, mungkin akan cari kerja, " jawabku asal sambil memalingkan wajah darinya.
"Lantas, anak-anak bagaimana? "
"Tentu saja di sini sama Neneknya. Aku tidak sudi jika anak-anak ikut denganmu dan tinggal dengan perempuan tidak bermoral, " jawabku geram.
"Kenapa kamu membuat situasinya menjadi sulit. Kamu hanya perlu tanda tangani surat izin menikah lagi. Aku tidak akan menelantarkan kamu dan anak-anak. Aku akan berbuat adil dan tidak akan mengurangi jatah bulanan sama sekali. "
"Adil? Memang seperti apa adil itu? Apakah kamu bisa menjaga hati ini agar tidak terluka? Apakah kamu bisa membagi cinta dengan benar sesuai porsinya? Atau membagi pendapatmu sesuai porsinya? " cecarku dengan nada penuh penekanan.
Lelaki itu pun diam membisu untuk beberapa saat. Ia menggeser tempat duduknya mendekat ke arahku.
"Aku janji akan adil, asal kamu mau tandatangan. Kasian anak-anak. "
"Aku nggak sudi. "
Wanita bernama Melati itu ternyata lebih pintar dari dugaanku. Ia tidak mau dinikahi siri oleh Mas Fadil Satu hal yang kutangkap dari wanita yang dua tahun lebih tua dariku itu. Ia ingin pengakuan dan pembagian hak layaknya istri sah.
Namun, tidak semudah itu, semua yang kami kumpulkan selama sebelas tahun ini adalah hak anak-anakku. Untuk masa depan mereka. Logikanya, seorang janda dua kali akan berfikir materi sebelum memutuskan menikah lagi dan bodohnya Mas Fadil sangat percaya jika wanita itu tergila-gila kepadanya.
Aku pergi meninggalkan Mas Fadil yang kembali asik dengan gawai. Semua janjinya adalah bohong semata. Janji suci di depan penghulu pun ia ingkari, apalagi janji berbuat adil setelah menikah lagi. Ah, bodohnya aku yang dahulu telah memilihnya dan meyakini kesetiaannya, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan selalu datang terlambat.
Nyatanya, semua orang berubah seiring berjalannya waktu. Cinta pun memudar dan mungkin telah hilang. Hanya cinta dari-Nya yang tidak akan memudar dan hilang.
Terdengar gelak tawa Mas Fadil dari kamar tamu, sesekali diikuti suara desahan seorang wanita di seberang sana, yang sontak membuatku jijik.
'Perempuan macam apa yang kamu gilai itu, Mas, ' gumamku di dalam hati.Malam terasa sangat panjang. Suara Mas Fadil samar terdengar. Teganya lelaki itu bermesraan dan mengumbar kata-kata gombal di rumahku. Ia sudah tidak peduli lagi dengan luka yang ia hunjam di hati ini.
Kini, aku hanyalah seorang istri yang telah kalah. seperti sebuah layangan putus yang kehilangan arah. Habis manis sepah dibuang, mungkin pepatah itu cocok dengan keadaanku saat ini.
Air mata ini menetes tanpa henti, potongan-potongan kenangan masa lalu berputar kembali dalam benak. Saat Mas Fadil mati-matian mengejar cintaku. Saat kami berbagi sepiring nasi berdua dan saat aku rela dibonceng naik sepeda selepas pulang bekerja.
Janjinya akan setia hingga maut memisahkan masih terngiang di telinga. Janji akan membahagiakanku saat kami tidur hanya beralaskan kasur tipis di sebuah kontrakan kecil. Kini, semua hanya tinggal janji.
Aku beranjak dari tempat tidur, menatap wajah polos ketiga anakku dan kucium mereka satu persatu.
"Maafin, Mamah, " lirihku pelan seraya membelai lembut rambut si bungsu.
Merekalah satu-satunya kekuatanku. Yang membuatku mampu untuk bertahan dan menghadapi semua. Pelipur lara saat perih di hati kian terasa.
"Mamah janji, kalian tidak akan kekurangan apapun. "
BersambungMalam semakin larut, hawa dingin menyelusup di balik selimut. Mata ini tidak hendak terpejam, suara bising dari Mas Fadil yang sedang VC dengan selingkuhannya membuat dada ini panas dan bergemuruh. Ingin rasanya melemparkan gawai yang tengah ia pegang hingga hancur berkeping-keping. Seperti hati ini yang telah hancur tak berbentuk."Mah, Ayah berisik. Kakak nggak bisa tidur," ucap si sulung yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan pintu kamar."Iya, nanti mamah bilangin ke Ayah biar nggak berisik."Ya-Rabb, sudah hilangkah rasa malunya? Bermesraan dan mengumbar rayuan lewat gawai hingga terdengar anaknya sendiri. Aku menggeleng kepala perlahan dan mengetuk pintu kamar Mas Fadil.Mas Fadil memang telah menjatuhkan talak satu kepadaku. Kami masih tinggal satu atap karena memang ada anjuran seperti itu di dalam syariat islam yang bertujuan agar suami istri tersebut dapat rujuk kembali sebelum habis masa idah.Lelaki it
Lelaki berperawakan sedang itu duduk bersimpuh di bawah kakiku. Ia menatap penuh pengharapan. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Jauh di lubuk hati, aku masih mengharapkan dirinya.Namun, bayangan pengkhianatan yang ia lakukan kembali menari di dalam benak."Demi anak-anak," ucapnya lirih seraya menggenggam kedua tanganku erat.Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi tenagaku jauh dibawah tenaganya. Setelah berfikir beberapa saat, membayangkan kehidupanku dan anak-anak tanpa Mas Fadil membuatku bergidik."Iya, aku mau, tapi, bagaimana dengan perempuan itu?""kami putus semalam," jawabnya lesu.Terlihat gurat kecewa di wajahnya. Apa aku hanya pelariannya saja? ah, bukan aku pelariannya, melainkan wanita itu yang menjadi pelarian Mas Fadil ketika aku tidak di dekatnya."Berjanjilah tidak akan menemui perempuan itu lagi!" pintaku dengan netra dipenuhi embun."iya, aku janji. Ayah
Tepat pukul delapan pagi Mas Fadil datang menjemputku. Kami pergi setelah berpamitan terlebih dahulu dengan Maya dan Adi.Mobil melaju perlahan, membelah jalanan yang mulai ramai. Mas Fadil terlihat bersemangat, senyum merekah menghiasi bibirnya sepanjang hari."Kenapa? Kok kayak lagi seneng?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi."Seneng dong, kan ada kamu yang nemenin aku," jawab lelaki yang duduk disampingku itu sembari mengulum senyum.Seperti ada yang disembunyikan dariku. Senyumnya memiliki arti berbeda yang membuat hati ini kembali gelisah."Kita makan dulu di sini, aku belum makan," ucap Mas Fadil sambil memarkirkan mobil di depan sebuah rumah makan khas Sunda.Mas Fadil makan dengan lahap dan cepat. Berbeda denganku yang sulit untuk sekedar menelan makanan. Semua yang aku makan terasa hambar dan pahit. Aku hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk yang ada di depanku."Ayo, lanjut, k
Aku kembali meraih gawai dan mengetik sebuah pesan.[Tolong mba, saya mohon jangan temui suami saya lagi. Mba wanita pasti bisa merasakan bagaimana klo posisi kita ditukar. saya masih menyusui anak ketiga saya, dua anak saya masih SD mba, tolong mba]Aku memohon dan memelas agar wanita itu luluh dan mau meninggalkan suamiku. Akan tetapi, syetan lebih kuat dan sudah menguasai Melati.[Hah, harusnya kamu yang mundur. Mas Fadil sudah tidak mencintaimu. kamu tahu kenapa dia pulang malam. Dia habis dari sini, klo tidak ku suruh pulang dia nggak mau pulang. Suamimu sudah jijik sama kamu, coba kamu lihat lehernya]Hatiku lebur untuk kesekian kalinya, sakit dan sesak serasa ada yang menginjak-injak harga diriku sebagai seorang perempuan."Bnagun! Bangun, Mas!" hardikku tertahan karena khawatir si kecil terbangun."Apaan, sih?" tanyanya dengan bola mata yang terlihat memerah."Apa ini?" tanyaku sembari membalikkan
Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah."Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum."Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia.""Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas."Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa.""Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!""Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk
Anak-anak terlihat bahagia melihat kedatanganku dan Fariz. Luna merengkuh Fariz seketika. Anak itu pasti sangat merindukan adiknya.Hampir satu minggu aku ikut bersama Mas Fadil dan belajar akan kesalahanku. Mempelajari penyebab badai ini datang dan bertekad untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik kepada Mas Fadil.Bahagia rasanya kembali ke rumah sendiri. Aku segera membereskan rumah setelah Mas Fadil pamit untuk kembali bekerja."Gimana perkembangan suamimu? Apa masih ketemua sama pelakor itu?" tanya Ibu geram yang tiba-tiba sudah duduk di ruang tamu sambil menggendong Fariz, tanpa kusadari."Masih," ucapku lemas."Pelan-pelan aja, Mamah udah minta bantu do'a sama Wa Haji," ucap wanita berdaster panjang itu dengan seulas senyum yang kubalas dengan anggukan.Kepada siapa lagi aku berbagi cerita, berbagi kesedihan dan beban pikiran, selain kepada orang tua dan keluarga. Terkadang, pengalaman n
Malam semakin larut, yang ditunggu tidak kunjung datang. Aku menyibak tirai beberapa kali. Namun, tetap nihil, Mas Fadil tidak terlihat batang hidungnya.Kenangan sebelas tahun silam, terbayang kembali. Seperti sebuah slide film yang diputar ulang. Malam itu sama dinginnya seperti malam ini. Aku dan Fadil bertemu di atap lantai dua selepas bekerja.Kami bekerja di tempat yang sama dan tinggal satu atap di mes karyawan yang disediakan perusahaan. Embusan angin malam kian mengencang, menerbangkan setiap helai rambut pendekku. Menusuk ke dalam pori-pori hingga ke tulang.Dulu, aku adalah seorang gadis yang cuek dan sedikit tomboy, sedangkan Fadil, adalah pemuda yang terkenal alim dan naif.Fadil sebenarnya bukan tipe pria idamanku. Namun,ia meluluhkan hatiku dengan sifat taat dan suara merdunya ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Usia kami hanya terpaut lima bulan saja. Lahir di tahun yang sama, aku lima bulan lebih muda darinya.&
Hari berganti terasa semakin lambat. Aku masih berkutat dengan anak-anak di rumah. Mulai menyibukkan diri dengan menekuni hobi menulis yang telah lama kutinggalkan.Mas Fadil semakin jarang menghubungi. Hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun bersama Melati di sampingnya. Wanita itu seolah ingin membuat hati ini panas dan lebih terluka. Bukan sikap Melati yang membuat luka ini semakin dalam, tetapi sikap Mas Fadil yang terkesan menurut semua ucapan istri sirinya.Hari sudah agak larut ketika mereka menghubungiku lewat vidio call. Untunglah, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi indahnya.[Gimana kabar anak-anak?] tanyanya dari balik gawai.Melati terlihat mendekati Mas Fadil di sebuah ruangan sempit yang disambut kata sayang dari Mas Fadil. Wanita itu duduk di atas pangkuan suamiku.Dada ini sesak melihat adegan itu tepat di depan mataku. Mereka seperti sengaja membuat hati ini hancur dan terluka sangat
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya