"Ra, buka pintunya!"
Suara Mas Fadil terdengar jelas dari balik pintu. Lelaki itu menekan pegangan pintu beberapa kali.
"Ra, kamu mau kan dimadu?" cecarnya beberapa kali, seperti anak kecil yang merengek meminta permen.
"Aku nggak mau. Sampai kapanpun aku nggak sudi dimadu!" pekikku histeris dari dalam kamar.
"Buka dulu pintunya?"
Aku membuka handle pintu perlahan. Ia masih berdiri tepat di depan pintu bercat cokelat dengan muka memelas, kemudian masuk ke dalam kamar.
"Mah, maaf. Ayah sudah terlanjur jauh dengannya."
"Maksudnya? Kamu ngapain aja sama perempuan murahan itu!"
"Sttt, kecilkan suaramu. Tetangga bisa dengar," ucapnya dengan mata membulat.
"Biar, biar semua orang denger. Biar orang-orang tahu keberengsekanmu!"
Aku tidak menurunkan volume suaraku sedikitpun. Dada ini serasa akan meledak dan panas.
"Ayah yang salah, dia nggak salah. Dia bukan perempuan murahan. Ayah yang paksa perempuan itu buat melayaniku," sergahnya dengan tatapan tajam.
Tangan kekarnya kuat mencengram kedua bahuku. Tubuh sudah ini lemas seketika dan luruh di atas lantai.
Kata-katanya bagai petir yang menyambar. Benarkah suamiku membela perempuan selingkuhannya?
Hati ini semakin terasa panas. Bagai ada kobaran api besar di dalamnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Baru kemarin kami bermain dan bercanda bersama anak-anak.
Tidak ada yang mencurigakan selain dirinya yang lebih pendiam. Aku tidak berfikir sejauh itu, hanya menduga beratnya pekerjaan yang membuatnya lebih diam.
Dunia seolah berputar seratus delapan puluh derajat. Rumah tanggaku yang baik-baik saja selama sebelas tahun. Berada di ujung jurang hanya dengan sehari.
"Tega, kamu, apa kamu nggak inget sama anak-anak? Pernikahan kita yang sebelas tahun? Aku selalu setia disisimu suka maupun duka. Tega, kamu ...."
Dada semakin sesak hingga sulit bernafas. Pengorbanan dan kesetiaan selama sebelas tahun dipertaruhkan saat ini.
"Maaf."
"Maaf saja nggak cukup. Kamu sadar nggak kalau kamu sudah menghancurkan semuanya. Pernikahan kita dan masa depan anak-anak," lirihku sambil terisak.
Rinai air mata keluar tanpa henti. Membasahi wajah dan jilbab. Dunia seolah berakhir hari ini.
Pengakuannya mencabik-cabik hati ini. Menghantamnya tanpa ampun hingga hancur. Hatiku hancur dan sakit.
Hening, suasana mendadak sepi. Tidak terdengar lagi suara Mas Fadil. Aku beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar.
"Maafin, Mas!"
Lelaki itu menghambur dan memelukku erat sebelum kuhempas menjauh dariku.
"Jangan sentuh, aku. Jijik," ucapku seraya menyeka air mata yang masih membasahi pipi.
"Kamu sudah berhubungan dengannya? Berapa kali?" cecarku dengan tatapan nyalang.
"Maaf ... aku hilaf," jawabnya seraya menggenggam tanganku erat.
"Jangan sentuh! Menjauh!"
Aku bergegas pergi meninggalkan Mas Fadil yang masih tercenung di dalam kamar. Rasanya diri ini tidak kuasa lagi untuk melihat sosoknya. Pengkhianatan dan pengakuan yang begitu menyakitkan.
Sajadah panjang menjadi tempatku meminta kekuatan dan memohon petunjuk. Air mata kembali tumpak tidak tertahan.
"Apa ini Ya Rabb? Ujian kah? Atau teguran kah? Ampuni dosa-dosa hamba di masa lalu, Ya Rabb. Jika ini ujian kuatkanlah hamba," lirihku dalam do'a
"Maaf, mah. Ayah nggak mau pisah sama kamu. Ayah nyesel. Maafin ayah."
Lelaki itu tersungkur di pangkuanku dengan suara serak. Bulir hangat terasa membasahi tangan yang ia cium berulang kali.
"Maaf, maaf," ucapnya berulang kali dengan tersedu.
Bagai setetes air di Padang pasir. Air matanya mampu meluluhkan hati dan bisa sedikit bernafas. Aku menatap manik coklat itu lekat. Terlihat penyesalan di dalamnya.
"Berjanjilah untuk mengakhiri hubunganmu dengan perempuan itu."
"Iya, Mah. Kamu maafin, aku kan,?"
Aku hanya mengangguk perlahan. Sebenarnya hati untuk ini masih begitu sakit dan panas.
Namun, apakah sikap kerasku nanti akan membuat semuanya baik-baik saja? Anak- anak kembali membayang di dalam benak.
Biarlah kusimpan sakit ini sendiri, asal anak-anakku tidak ikut terluka.
***Hatiku tidak merasakan tenang seketika dengan janji Mas Fadil. Serasa masih ada yang mengganjal dan membuat sesak di dada.
Malam semakin larut, Mas Fadil terlihat sibuk dengan gawainya. Entah siapa yang ada di balik gawai hingga membuat Mas Fadil resah dan terlihat gugup.
"Perempuan itu sudah kamu putuskan?"
"Besok saja, aku langsung ketemu dia."
"Nggak perlu, aku nggak mau Ayah ketemu lagi sama perempuan itu," tukasku geram.
Ada perasaan was-was di dalam hati. Semua ini tidak akan berakhir dengan mudah. Hatiku kembali gelisah dan bergejolak.
"Biar aku saja," ucapku sembari menyambar gawai yang ada di tangan Mas Fadil.
"Kamu mau apa?" tanyanya dengan tatapan tajam.
Baru tadi sore lelaki itu menangis dan bersimpuh memohon maaf. Tetapi, tatapannya kali ini tidak mencerminkan penyesalan sama sekali.
Apa ini Ya Rabb? Aku tidak mengenali suamiku sendiri. Ia seolah bermuka dua. Beberapa jam yang lalu ia tampak sadar dan menyesal. Lalu, apa arti sikap dan kilatan di bola mata itu?
"Jadi Ayah nggak mau putus?"
"Bukan begitu, biar Ayah yang menyelesaikannya. Kamu jangan ikut campur dulu," jawabnya dengan mengecilkan volume suaranya.
Aku menatapnya tajam. Menelisik kebohongan yang mungkin tersembunyi di dalam bola matanya.
"Ini, terserah, kamu," ucapnya seraya menyodorkan gawai berwarna hitam ke tanganku.
"Yang mana kontaknya?"
Lelaki itu pun menunjukkan sebuah nomor yang dinamai ADM 2. Betapa lihainya Mas Fadil mengelabuiku dengan menamainya sebagai staf administrasi kantor agar aku tidak curiga.
Aku menatapnya penuh tanya. Lelaki itu hanya tersenyum kecut melihat eksfresi wajahku yang terlihat kaget.
[Assalamualaikum, mohon maaf, Mbak. Saya istrina Mas Fadil. Tolong jangan menghubungi atau ketemu lagi dengan suami saya. Kasian anak-anak saya masih kecil]
Pesan pertama berhasil terkirim dan terlihat centang biru.
[Mana suami kamunya? Biar dia sendiri yang ngomong]
Sebuah balasan yang membuat tubuhku gemetar. Terlihat karakter keras dan kasar perempuan itu dari pesan balasannya.
[Asstagfirullah, Mbak. Mbak pasti sudah tahu kalau Mas Fadil sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kenapa Mbak tega berhubungan dengan suami orang? Bukankah mbak juga perempuan. Ingat mbak, karma itu ada]
Aku mengirim balasan dengan perasaan geram. Perempuan macam apa yang engkau mau jadikan maduku, Mas?
[Itu salah kamu sendiri yang nggak becus melayani suami. Ngaca dong jangan salahin orang]
Untuk kesekian kalinya aku melafalkan istigfar. Dari bahasanya saja terlihat jelas bahwa perempuan itu memang sengaja menjerat suamiku.
"Sudah, ah. Sini."
Belum sempat membalas pesan balasan. Mas Fadil sudah merampas gawainya terlebih dahulu.
"Sudah puas?" tanyanya dengan bola mata yang berkilat.
Tatapan matanya terasa asing. Berbeda dengan Mas Fadil yang kukenal. Entah apa yang ia sembunyikan dibalik tatapannya itu. Yang pasti, itu membuatku tidak nyaman.
***
Hati ini masih saja gelisah. Suara-suara binatang malam sudah mulai terdengar. Embusan angin malam mulai menusuk hingga ke pori-pori.
Namun, netra ini tidak hendak terpejam. Begitupun dengan Mas Fadil yang terlihat sibuk dengan gawainya.
"Mas, tahajud bareng, yuk!" ajakku setelah memakai mukena.
"Iya," jawabnya, kemudian pergi ke belakang.
Kami hanyut dalam do'a masing-masih. Entah apa yang ia minta. Apakah do'anya sama seperti do'aku agar rumah tangga ini kembali baik-baik saja?
Entahlah, aku larut dalam munajatku sendiri besama bulir bening yang menetes tanpa henti.
Benak ini dipenuhi kekhawatiran masa depan ketiga anakku. Apalah daya diri ini yang hanya ibu rumah tangga tanpa penghasilan kami benar-benar berpisah?
Aku bergegas mencari secarik kertas dan bolpoin. Apapun bisa terjadi di saat seperti ini.
Diatas semua luka yang kurasakan, masa depan anak-anak jauh lebih penting.
"Yah, tanda tangan di sini!" pintaku seraya menyodorkan secarik kertas yang sudah kutulis tangan.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan akan menghibahkan sebuah rumah di jalan kenanga dan sebuah rumah lagi di jalan jambu untuk ketiga anak saya jika saya menikah lagi.
Mas Fadil menatapku dengan sinis. Terlihat lengkungan tipis di atas bibirnya.
"Jadi, ini yang kamu mau?"
"Hanya untuk jaga-jaga," jawabku asal.
"Baiklah," dengkusnya kesal kemudian membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang kusediakan.
"Jika kamu tidak menduakanku dan tidak menikah lagi semua akan baik-baik saja, Mas. Surat perjanjian ini tidak berlaku jika kita tetap bersama," ucapku meyakinkan.
Terlihat gurat kecewa dari wajahnya. Ia pergi ke dalam kamar. Aku mengikutinya dari belakang.
"Apa ini, Mas? Kenapa kamu bereskan baju-bajumu?"
"Kamu lebih milih harta dibanding aku, ambil saja semuanya. Aku mau pergi," jawabnya kesal.
"Pergi ke rumah sekingkuhanmu?"
"Dia bisa menerimaku apa adanya."
Aku terdiam, habis sudah kata-kata untuk menyadarkannya jika perempuan itu bukan perempuan baik dan hanya mengincar uangnya.
"Aku yang menemanimu dari nol, Mas. Aku rela engkau bonceng naik sepeda selepas pulang kerja. Aku rela gajiku engkau pake untuk membayar tunggakan listrik orang tuamu. Aku yang menemani kamu di kontrakan kecil dan sanggup hanya makan bubur karena beras tinggal sedikit," lirihku dengan terisak.
Namun lelaki itu seperti tuli dan tidak menghiraukanku. Ia meninggalkan tumpukan baju yang telah keluar dari almari, kemudian pergi entah ke mana.
***
Mentari pagi telah bersinar di ufuk timur. Mas Fadil tengah bersiap untuk pergi bekerja.
Sudah hampir dua tahun terakhir, kami berhubungan jarak jauh. Tuntutan pekerjaan mengharuskannya bekerja di luar kota dan pulang hanya di tanggal merah.
Awalnya, aku bersikeras agar ikut bersamanya di luar kota. Aku lebih suka bertemu setiap hari dan menyiapkan semua kebutuhannya.
Namun, Mas Fadil melarang dengan alasan sekolah anak-anak. Akhirnya, kami pun menjadi jarang bertemu dan menjadi awal datangnya badai.
"Kamu janji akan memutuskan hubungan dengan wanita itu," ucapku seraya menatapnya lekat.
"Iya, insya Allah. Do'ain aja."
"Loh, kok jawabnya gitu?" tanyaku kesal.
"Iya, do'ain aja rumah tangga kita baik-baik aja," ucap lelaki itu dengan seulas senyum.
Entah kenapa, senyumannya terasa perih di hati. Aku masih tercenung menatap punggungnya yang masuk di balik kemudi mobil.
Ia pun pergi dengan sebuah koper kecil berisi beberapa baju tanpa menyapa anak-anak. Aku hanya tercenung memandangi punggungnya yang menghilang di balik kemudi.
Roda empat berwarna silver itu pun melaju cepat bersama semua rasa khawatir yang menyergap sanubari.
***
Bersambung
Aku gelisah sepanjang hari, menunggu kabar dari Mas Fadil. Apakah lelaki itu menepati janjinya?Warna oranye sudah menghiasi cakrawala, pertanda senja telah datang. Netraku masih terpaku pada benda pipih hitam yang tidak kunjung menyala, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk menghubunginya terlebih dahulu.Beberapa kali mencoba menghubunginya. Namun, lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku.Hati semakin tidak karuan. Gelisah, cemas dan takut bercampur menjadi satu.[Yah, kumohon jangan temui lagi perempuan itu!]Sebuah pesan whattshap berhasil ku kirim. Sudah centang biru, tapi tidak ada balasan.Kemana lagi harus kubagi gelisah ini? Bayangan kehancuran berputar-putar di dalam benak. Mendorong butiran bening dari pelupuk mata dan membasahi pipi.***Seminggu terasa sewindu bagiku. Mas Fadil semakin sulit dihubungi, membuatku tetap terjaga di malam hari.Hari ini seharusnya dia pulang ke rumah. Aku sudah bersiap
Badan Fariz semakin panas, bocah kecil itu terlihat lemas dan menggigil. Aku memeluknya erat sambil berlari ke rumah Ibu."Bu, Fariz! ""Ada apa? Astagfirullah. "Ibu terlihat sama gemasnya dengan diriku. Fariz semakin menggigil. Tubuhnya kejang-kejang beberapa kali."Fariz! Fariz! " pekikku dengan air mata yang terus keluar tanpa henti."Cepat bawa ke dokter, " ucap Ibu spontan.Aku berusaha menghubungi Mas Fadil beberapa kali. Namun nihil, tidak ada jawaban, bahkan direject.Aku berlari menuju rumahku untuk mengambil dompet. Kubuka perlahan benda usang berwarna merah muda itu. Hanya ada beberapa lembar uang puluhan."Mana cukup untuk ke dokter, " gumamku pelan.Ibu mengantar kami menuju klinik terdekat menggunakan sepeda motor. Ibuku memang keren, di usinya yang sudah tidak muda lagi. Beliau masih lincah mengenda
Malam semakin larut, hawa dingin menyelusup di balik selimut. Mata ini tidak hendak terpejam, suara bising dari Mas Fadil yang sedang VC dengan selingkuhannya membuat dada ini panas dan bergemuruh. Ingin rasanya melemparkan gawai yang tengah ia pegang hingga hancur berkeping-keping. Seperti hati ini yang telah hancur tak berbentuk."Mah, Ayah berisik. Kakak nggak bisa tidur," ucap si sulung yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan pintu kamar."Iya, nanti mamah bilangin ke Ayah biar nggak berisik."Ya-Rabb, sudah hilangkah rasa malunya? Bermesraan dan mengumbar rayuan lewat gawai hingga terdengar anaknya sendiri. Aku menggeleng kepala perlahan dan mengetuk pintu kamar Mas Fadil.Mas Fadil memang telah menjatuhkan talak satu kepadaku. Kami masih tinggal satu atap karena memang ada anjuran seperti itu di dalam syariat islam yang bertujuan agar suami istri tersebut dapat rujuk kembali sebelum habis masa idah.Lelaki it
Lelaki berperawakan sedang itu duduk bersimpuh di bawah kakiku. Ia menatap penuh pengharapan. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Jauh di lubuk hati, aku masih mengharapkan dirinya.Namun, bayangan pengkhianatan yang ia lakukan kembali menari di dalam benak."Demi anak-anak," ucapnya lirih seraya menggenggam kedua tanganku erat.Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi tenagaku jauh dibawah tenaganya. Setelah berfikir beberapa saat, membayangkan kehidupanku dan anak-anak tanpa Mas Fadil membuatku bergidik."Iya, aku mau, tapi, bagaimana dengan perempuan itu?""kami putus semalam," jawabnya lesu.Terlihat gurat kecewa di wajahnya. Apa aku hanya pelariannya saja? ah, bukan aku pelariannya, melainkan wanita itu yang menjadi pelarian Mas Fadil ketika aku tidak di dekatnya."Berjanjilah tidak akan menemui perempuan itu lagi!" pintaku dengan netra dipenuhi embun."iya, aku janji. Ayah
Tepat pukul delapan pagi Mas Fadil datang menjemputku. Kami pergi setelah berpamitan terlebih dahulu dengan Maya dan Adi.Mobil melaju perlahan, membelah jalanan yang mulai ramai. Mas Fadil terlihat bersemangat, senyum merekah menghiasi bibirnya sepanjang hari."Kenapa? Kok kayak lagi seneng?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi."Seneng dong, kan ada kamu yang nemenin aku," jawab lelaki yang duduk disampingku itu sembari mengulum senyum.Seperti ada yang disembunyikan dariku. Senyumnya memiliki arti berbeda yang membuat hati ini kembali gelisah."Kita makan dulu di sini, aku belum makan," ucap Mas Fadil sambil memarkirkan mobil di depan sebuah rumah makan khas Sunda.Mas Fadil makan dengan lahap dan cepat. Berbeda denganku yang sulit untuk sekedar menelan makanan. Semua yang aku makan terasa hambar dan pahit. Aku hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk yang ada di depanku."Ayo, lanjut, k
Aku kembali meraih gawai dan mengetik sebuah pesan.[Tolong mba, saya mohon jangan temui suami saya lagi. Mba wanita pasti bisa merasakan bagaimana klo posisi kita ditukar. saya masih menyusui anak ketiga saya, dua anak saya masih SD mba, tolong mba]Aku memohon dan memelas agar wanita itu luluh dan mau meninggalkan suamiku. Akan tetapi, syetan lebih kuat dan sudah menguasai Melati.[Hah, harusnya kamu yang mundur. Mas Fadil sudah tidak mencintaimu. kamu tahu kenapa dia pulang malam. Dia habis dari sini, klo tidak ku suruh pulang dia nggak mau pulang. Suamimu sudah jijik sama kamu, coba kamu lihat lehernya]Hatiku lebur untuk kesekian kalinya, sakit dan sesak serasa ada yang menginjak-injak harga diriku sebagai seorang perempuan."Bnagun! Bangun, Mas!" hardikku tertahan karena khawatir si kecil terbangun."Apaan, sih?" tanyanya dengan bola mata yang terlihat memerah."Apa ini?" tanyaku sembari membalikkan
Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah."Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum."Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia.""Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas."Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa.""Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!""Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk
Anak-anak terlihat bahagia melihat kedatanganku dan Fariz. Luna merengkuh Fariz seketika. Anak itu pasti sangat merindukan adiknya.Hampir satu minggu aku ikut bersama Mas Fadil dan belajar akan kesalahanku. Mempelajari penyebab badai ini datang dan bertekad untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik kepada Mas Fadil.Bahagia rasanya kembali ke rumah sendiri. Aku segera membereskan rumah setelah Mas Fadil pamit untuk kembali bekerja."Gimana perkembangan suamimu? Apa masih ketemua sama pelakor itu?" tanya Ibu geram yang tiba-tiba sudah duduk di ruang tamu sambil menggendong Fariz, tanpa kusadari."Masih," ucapku lemas."Pelan-pelan aja, Mamah udah minta bantu do'a sama Wa Haji," ucap wanita berdaster panjang itu dengan seulas senyum yang kubalas dengan anggukan.Kepada siapa lagi aku berbagi cerita, berbagi kesedihan dan beban pikiran, selain kepada orang tua dan keluarga. Terkadang, pengalaman n
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya