"... Jevan gue boleh jadi pacar lo gak...?"
Jevan yang berada di sebelahnya mendecakkan lidahnya sambil memandang Arlin horor. Seumur-umur baru kali ini cowok itu menerima pernyataan cinta dari orang yang baru dua kali ia temui. Meskipun sebenarnya, Jevan sudah tidak asing untuk menerima pernyataan cinta dari para kaum hawa seperti ini. Tetapi sebenarnya permasalahan di sini adalah perubahan tingkah laku gadis itu yang sangat jauh berbeda dari yang cowok itu ketahui membuat laki-laki itu berjengit memandangi gadis di sebelahnya.
"Lo suka sama gue?"
Arlin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengar pertanyaan Jevan, sebelum menjawab dengan tegas.
"Nggak."
"Terus kenapa lo tiba tiba mau jadi cewek gue?"
"Hng, soalnya gue harus terus-terusan ada di deket lo."
Jawaban Arlin semakin membuat kerutan pada kening Jevan bertambah. Menilik dari kata-kata Haikal dan tingkah laku cewek itu di pertemuan mereka yang baru beberapa kali, cewek itu jelas-jelas lebih terlihat seperti perempuan yang tidak pernah peduli dengan sekitarnya dan selalu memasang wajah jutek pada semua orang di dekatnya. Jadi, untuk melihat cewek itu yang tiba tiba mengajak Jevan untuk berpacaran seperti sekarang, hal itu cukup membuat Jevan berpikir kalau gadis di sebelahnya merupakan gadis yang tergolong aneh. Yah, walaupun sebenarnya apa yang gadis itu katakan tidak bisa dibilang pernyataan cinta tetapi, lebih seperti ajakan untuk berpacaran. Tapi, Jevan masa bodo lah, bukankah hal itu sama saja?
Tanpa menanggapi perkataan tidak jelas Arlin, Jevan menoleh ke arah Haikal yang sekarang matanya masih fokus ke arah ponsel Nathan yang menampilkan video syur salah satu artis ternama yang tersebar di jagat sosial media.
"Kal, kayaknya temen lo nggak enak badan."
Haikal lantas menjauhkan tubuhnya dari Nathan dan kembali ke tempat duduknya. "Hah? Lin, lo beneran sakit?" Arlin melongo sejenak mendengar perkataan Jevan. "Sakit? Gue gak sa-"
"Udah Kal mending lo buru deh anter temen lo ini balik. Mukanya aja udah pucet kayak gitu. Buru ah." ucap Jevan sambil kini memegang lengan Arlin sambil melotot tanda bahwa ia saat ini tidak bisa dibantah.
"Lah kok jadi pulang sih, lo belum jawab pertanyaan gue Van."
"Pertanyaan apaan! Lo ngelindur ya? Kal, udah Kal bawa balik aja. Ngelindur ini bocah."
"Itu pertanyaan yang tadi! Lo mau gak jadi pa- asdfghjklzxc." Sebelum gadis di sebelahnya itu berhasil mengeluarkan kalimat-kalimat anehnya dan membuat teman-temannya salah paham, Jevan buru - buru membekap mulut Arlin, kali ini matanya makin melotot membuat ketiga temannya yang mendengarkan perdebatan mereka menatap mereka aneh. Sejak kapan mereka jadi seakrab itu, setidaknya kalimat itu yang pertama kali melintas di pikiran teman-teman Jevan itu.
"Kal, udah ah buru! Daripada lo bengong gitu, mending lo bawa nih temen lo balik!"
Haikal yang disebut langsung berdiri dan berjalan ke arah Jevan dan Arlin. Berusaha membereskan barang-barang Arlin yang ada disana dan memasukkannya ke tas cewek itu lalu menyentuh pelan lengan Arlin.
"Buru Kal!" kali ini Jevan sekali lagi mengeluarkan suaranya.
"Iya, ini mau gue anter dia balik anj*ng tapi lo lepas dulu bekepan lo! Gimana caranya gue anter dia balik kalo tangan lo masih nemplok di mukanye."
Jevan lantas buru buru melepaskan tangannya yang sejak tadi tanpa sadar masih menutup bibir dan hidung perempuan di sebelahnya. Arlin yang akhirnya bisa menghirup udara bebas langsung menarik nafas dalam-dalam lalu menoleh ke arah Jevan.
"Van, lo belum jawab pertanyaan gue!" teriaknya.
"Apaan sih! Lo gak nanya apa-apa! Udah sana balik, Kal anter balik aja udah, lo gak liat apa mukanya nih bocah udah pucet kayak gitu."
Mata Haikal seketika menaruh fokus pada wajah teman ceweknya itu, berusaha menilai. Setelah Haikal lihat-lihat sepertinya temannya ini memang lagi sakit, apabila dilihat dari wajah dan bibirnya yang kini sudah berwarna putih pucat.
"Lin, kayaknya lo beneran sakit deh. Balik yuk? Gue anter ya?"
"Bentar Kal, Jevan masih belum jawab perta-"
"AH ELAH SUMPAH KAL! BURU BAWA TEMEN LO BALIK!"
"JEVAN TAPI LO BELUM JAWAB PERTANYAAN GUE!"
"GAK ADA YANG PERLU DIJAWAB! KENAPA SIH LO NGOTOT BANGET!"
"GUE GAK BISA KASIH TAU ALASANNYA! TAPI POKOKNYA GUE HARUS! KALAU GAK.. kalau gak.. gue bakal.. bakal apa ya.."
"LO MAKIN NGELINDUR TAU GAK! KITA BAHKAN GAK PERNAH NGOBROL TIBA - TIBA LO KAYAK GINI, GUE GAK NGERTI!"
"EMANG LO GAK BAKAL NGERTI MAU GUE JELASIN PUN LO PASTI GAK PERCAYA!"
"LO TUH BATU BANGET SIH! GUE GAK MAU! KENAPA LO NGOTOT?!"
"POKOKNYA GUE BENER BENER MESTI ADA TERUS DI DEKET LO JEVAN!"
Jevan melotot mendengar teriakan Arlin yang berhasil membuat sekitar separuh orang yang ada di kantin kini menoleh penasaran ke arah meja mereka berlima. Baru kali ini dia merasa darahnya seperti benar-benar naik ke atas kepalanya saat berbicara dengan orang. Rasanya gadis di sebelahnya ini benar-benar pintar untuk memancing emosi cowok itu sehingga bisa berteriak keras di tempat umum seperti ini, yang mana sangat tidak pernah laki-laki itu lakukan.
Kini Jevan sesekali melirik ke arah Haikal untuk mengecek tanggapan cowok itu terhadap perkataan Arlin. Untuk sementara ini, Haikal tidak menampilkan raut wajah yang gimana-gimana sih. Tapi, laki-laki itu malah melongo heran mendengar perdebatan diantara kedua temannya yang tidak bisa ia mengerti. Duh, sejujurnya Jevan jadi takut Haikal akan berpikir macam-macam pada keduanya.
Jevan menghembuskan nafasnya perlahan, sepertinya cowok itu tidak boleh menanggapi Arlin dengan menggunakan urat. Karena kalau dilihat lagi dari perdebatan mereka tadi, gadis itu sepertinya akan semakin membalas perkataan Jevan dengan urat apabila cowok itu menggunakan emosi.
"Gue gak mau, Arlin." sahut Jevan sambil berusaha memelankan suaranya agar tidak terdengar emosi.
Ryand, Nathan dan Haikal yang dari tadi asik menonton perdebatan mereka berdua bersama hampir separuh orang yang berada di kantin itu hanya bisa melongo berusaha memproses apa yang terjadi di hadapannya. Seingatnya, Jevan bukan orang yang akan berteriak-teriak kesetanan seperti tadi, cowok itu jarang sekali berteriak atau membentak. Cowok itu terkesan dingin, cuek dan tidak peduli dengan sekitarnya. Sejak kapan cowok itu berubah jadi orang yang cerewet dan suka berteriak seperti ini. Terlebih, Arlin yang sepenglihatan mereka bertiga selama ini juga terbilang gadis yang pendiam dan dingin pada semua orang, terkecuali Cherry dan Jeffrey. Tapi saat ini yang mereka lihat, cewek itu justru lebih terlihat seperti singa, atau mungkin kalau menurut Nathan seperti ibu-ibu yang marah pada suaminya karena uang bulanannya dipakai berjudi oleh sang suami.
Dan yang lebih penting adalah… sejak kapan mereka berdua seakrab ini untuk saling membekap mulut dan membentak seperti yang mereka lakukan saat ini.
"Kalian.. kenapa sih?" tanya Nathan pelan.
Sedangkan yang ditanya hanya mengerjapkan mata pelan berusaha memproses apa yang sedang terjadi. Arlin menoleh ke kanan dan kiri, melihat hampir separuh orang di kantin tengah memperhatikan perdebatan mereka dan otomatis mendengar apa yang dikatakan oleh cewek tersebut. Duh, Arlin merutuki mulutnya yang tidak memiliki rem. Tumben sekali gadis itu kelepasan dan mempermalukan dirinya seperti ini. Tapi dipikir pikir lagi, ia memang sesering mungkin harus berada di dekat Jevan agar bisa terhindar dari gangguan para hantu di sekelilingnya.
Karena sekarang gadis itu menyadari bahwa laki-laki yang barusan berdebat dengannya ini sepertinya memang mempunyai kemampuan khusus untuk mengusir energi negatif. Arlin belum tau pasti sih, tapi gadis itu bisa merasakan bahwa selama dirinya berada di dekat Jevan, maka hidupnya akan berjalan dengan lebih tenang. Namun masalahnya adalah kenapa tadi gadis itu harus mempermalukan dirinya di depan Jevan seperti itu dengan menawarkan diri menjadi pacar cowok itu! Astaga, Arlin sepertinya sudah kehilangan akal sehat akibat terlalu banyak dirundung oleh para hantu itu.
Arlin baru saja tersadar dari lamunannya saat lengannya disentuh pelan oleh Haikal. Cepat-cepat Arlin tersadar bahwa yang harus ia lakukan sekarang adalah pulang ke rumah secepat mungkin dan mengubur wajahnya ini di kasur untuk meredam rasa malu yang sekarang sudah mencapai ubun-ubunnya. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang yang mengarah padanya, gadis itu buru buru mengubah wajahnya menjadi datar dan menarik tangan Haikal, lalu berlari ke luar dari kantin bersama cowok itu yang kini terlihat lebih seperti diseret oleh Arlin.
"Dih, kenapa tuh bocah?"
Jevan hanya terdiam mendengar pertanyaan Ryand yang lebih seperti ungkapan heran dari laki laki itu. Cowok itu menatap kepergian Arlin dan Haikal yang semakin menjauh dari area kantin fakultasnya dengan tatapan heran sekaligus kebingungan. Namun beberapa saat kemudian, cowok itu hanya mengedikkan bahunya tanda bahwa ia tidak peduli.
Sekarang, Jevan hanya berharap agar Haikal tidak berpikiran macam-macam setelah menyaksikan perdebatan sengit antara teman perempuannya itu dan juga dirinya. Karena sebenarnya, cowok itu hanya tidak ingin menyakiti sahabat baiknya.
---
"Thanks Kal."
Sesampai di depan lobi apartemen Arlin, cewek itu buru buru turun dari motor Haikal dan melepas helmnya, memberikannya kembali pada Haikal yang masih setia duduk di atas motor.
"Lo.. gak ada masalah sama Jevan kan?" tanya Haikal yang akhirnya membuka suara setelah di sepanjang perjalanan berusaha tak menyinggung soal kejadian tadi.
"Hehe, gak ada kok." ucap Arlin, walaupun dalam hati ia mati-matian mengutuk dirinya sendiri yang bisa-bisanya mempermalukan diri sendiri di depan umum.
Haikal diam sejenak, berpikir apakah ia harus mengorek lebih jauh soal perdebatan teman-temannya tadi. Namun, cowok itu memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh pada Arlin agar tidak membebani gadis itu. Yah walaupun sebenarnya ia cukup penasaran. Mungkin nanti ia akan bertanya pada Jevan.
"Ya udah kalo gitu, gue balik ya Lin. Lo istirahat aja, muka lo masih pucet gitu."
"Hehe, oke Kal. Thanks ya sekali lagi traktiran sama tumpangannya." Haikal hanya merespon dengan mengacungkan jempolnya dan segera menjalankan motornya untuk pergi dari lobi apartemen cewek itu.
Arlin pun masuk ke area lift dan menekan tombol 8 untuk segera sampai di unit apartemennya yang sudah gadis itu tempati sejak awal ia pindah ke Jakarta untuk memulai bangku perkuliahannya. Gadis itu menekan beberapa angka untuk membuka pintu unit miliknya. Setelah berhasil masuk, Arlin melempar sembarang tasnya dan segera masuk ke dalam kamar untuk merebahkan dirinya. Sejenak, gadis itu langsung terpikirkan oleh kejadian di kantin tadi.
Arlin meringis memikirkan perbuatan kelewat bodohnya itu. Cewek itu memukul bantal di sebelahnya beberapa kali untuk meredakan rasa malunya. Lagipula kenapa sih dia harus terbesit pikiran gila untuk menjadikan Jevan pacarnya agar ia bisa selalu berada di dekat cowok itu, alias menjadikan Jevan tameng dari para hantu yang kerap menjahilinya. Padahal kan masih banyak cara lain agar Jevan mau membantunya. Hm, tetapi apabila dilihat dari sifat cowok itu yang terlihat sangat tidak peduli dengan sekitarnya itu membuat Arlin jadi ragu apabila cowok itu mau membantunya jika ia berkata jujur soal situasi yang sebenarnya.
Hah masa bodoh lah! Arlin sudah kepalang basah! Biarlah tubuhnya basah sekalian ataupun tenggelam. Yang penting cewek itu harus mencoba dulu. Demi kehidupan Arlin yang lebih tenang! Tekad cewek itu sudah bulat! Arlin pokoknya harus menjadi teman Jevan! Walaupun harus menanggung malu, tapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa takut dan kesal setiap kali para hantu itu terus mengganggu dan meminta bantuannya.
Karena terlalu lama berpikir cara untuk menaklukan Jevan, atau lebih tepatnya cara agar cowok itu mau menerimanya sebagai temannya dan membiarkan Arlin berkeliaran di sekitarnya. Tanpa sadar, cewek itu pun terlelap. Mungkin sekarang saatnya cewek itu berhenti memikirkan Jevan dan mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur siang.
TBC
Hari ini adalah hari minggu. Sudah beberapa hari berlalu sejak perseteruan tidak jelas antara Arlin dan Jevan di kantin fakultas cowok itu. Saat ini, Arlin sedang bersiap pergi ke supermarket untuk belanja bulanan berhubung isi kulkasnya sudah mulai terlihat kosong. Arlin sudah siap dengan hoodie oversize berwarna putih dan legging hitamnya. Tak lupa rambutnya yang ia gerai dan bibirnya yang ia oleskan sedikit liptint agar terlihat segar. Gadis itu berpikir sejenak, ia hendak menimbang-nimbang apakah dirinya harus menggunakan layanan ojek online atau mobilnya yang sudah hampir berdebu yang disimpan di basement apartemennya karena jarang gadis itu gunakan. Arlin memang terbilang jarang menggunakan mobilnya karena biasanya Jeffrey selalu mengantarnya kemanapun sejak kecelakaan yang menimpanya pada saat awal menjadi mahasiswa baru. Saat itu, Arlin tanpa sengaja menabrak pohon besar di sekitar kampusnya ka
"Dasar nyusahin."Arlin sontak berbalik menghadap asal suara untuk melihat bahwa sekarang Jevan sudah pergi mendorong troli-nya, meninggalkan Arlin yang masih melamun.Buru-buru gadis itu mengejar langkah Jevan, berusaha memposisikan troli-nya persis di samping troli cowok itu membuat mereka berdua berjalan bersisian. Wah! Kalau begini, sepertinya gadis itu memang sedang beruntung hari ini karena tanpa sengaja bertemu dengan 'kunci dari hidup tenangnya' yang sekarang sedang memilih semangka. Siapa yang sangka kalau ia dapat menjalankan misinya lebih cepat seperti ini. Tanpa ingin membuang kesempatan, Arlin pun mulai membuka topik obrolan dengan Jevan."Kata nenek gue, kalo pilih semangka yang manis tuh biasanya diketok ketok dulu tau, Van." Jevan hanya menoleh singkat
Tampak gadis dengan rambut panjang berwarna hitam pekat sedang turun dari motor pria berjaket hijau. Setelah mengucapkan terimakasih pada abang ojek online yang sudah mengantarkannya dengan selamat ke kampus, Arlin segera berbalik berjalan ke arah pintu masuk fakultasnya seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Semalam setelah Jeffrey mampir sebentar di apartemen gadis itu untuk mengecek kondisi Arlin, tak lama kemudian cowok itu pamit pulang karena jam dinding apartemen gadis itu sudah menunjukkan pukul satu malam. Karena tidak ingin mengganggu waktu istirahat Arlin, Jeffrey pun pulang setelah berpamitan dan berhasil membuat cewek itu untuk berjanji agar tidak menyetir mobilnya sendirian lagi. Saat Arlin sedang berjalan di koridor fakultasnya, tiba-tiba pundak gadis itu dipukul kuat oleh seseorang di belakangnya. Saat gadis itu menoleh, mata Arlin otomatis membelalak saat menemukan seseorang yang
Kini Arlin dan anak laki-laki yang baru diketahui namanya Jean itu sedang duduk di Orion. Arlin memutuskan untuk membawa Jean ke Orion sambil menunggu keluarga anak kecil ini menjemputnya. Mereka duduk di dekat kaca yang mengarah ke tempat les Jean sehingga mereka dapat mengetahui jika keluarga anak ini menjemputnya.Jean sedang duduk di hadapan Arlin, anak kecil itu terlihat sangat semangat menjejalkan sepotong cheesecake ke mulutnya. Arlin terkekeh melihat anak yang baru berusia enam tahun itu. Tadi saat Arlin bertanya bagaimana anak itu bisa berada agak jauh dari tempat lesnya, Jean hanya berkata bahwa tadi ada badut tikus menyeramkan yang berjalan mendekatinya, otomatis anak itu panik ketakutan, Jean yang semulanya berdiri di depan tempat lesnya berjalan menjauh dari badut itu. Saat akhirnya badut tikus itu sudah menghilang dari pandangannya, Jean terlanjur panik saat ia sadar bahwa
"Lin! Lo mending buru deh siapin hati sama mental. Panjang umur banget ini. Padahal orangnya baru aja abis diomongin loh! Ini mah bener-bener definisi pucuk dicinta ulam pun tiba!" Arlin yang mendengar perkataan sahabatnya itu hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda bahwa gadis itu tidak mengerti dengan ucapan yang baru saja dikatakan Cherry. Seketika Cherry menarik tangan Arlin dan membawa gadis itu ke arah pintu unit apartemennya untuk melihat sendiri siapa orang yang sedang bertandang ke rumahnya dimalam hari seperti ini. "Ah, udah cepet lo liat aja sendiri!" teriak Cherry seraya memelototkan matanya. Arlin yang masih menampilkan raut kebingungan hanya menuruti perkataan Cherry dan segera mengintip dari door-view untuk melihat orang yang berada dibalik pintu. Saat matanya berhasil menangkap bayangan seseorang yang sangat ia kenal, gadis itu segera berbalik ke arah Cherry dan
Setelah meletakkan nampan berisi minuman itu di atas meja ruang tamu, Arlin izin sejenak pergi ke kamarnya untuk mengganti baju yang hanya dibalas oleh deheman singkat oleh Cherry dan senyuman manis Lana. Sedangkan Jeffrey, laki-laki itu masih berdiri di counter dapur, masih menatap punggung Arlin yang menjauh dari sela-sela tembok.Di dalam kamarnya, Arlin duduk di meja rias, ia menatap pantulan dirinya di kaca, perlahan ia terisak lirih seraya meremas rambutnya. Arlin merasa dirinya bodoh sekali. Apa tadi yang ia katakan pada laki laki itu? Arlin tertawa lirih mengingat ucapannya beberapa saat lalu, baik-baik saja? Bagaimana bisa Arlin baik-baik saja jika laki-laki itu selalu menaruh perhatian berlebih padanya tetapi diwaktu yang bersamaan juga menjalin hubungan dengan perempuan lain. Tetapi apa boleh bua
Pagi ini, Arlin sedang bersiap untuk pergi ke kampus. Ia mengenakan kaos berwarna hitam dan jeans yang sangat pas dengan tubuhnya. Tak lupa, ia memakai cardigan abu-abu untuk menutupi membungkus tubuhnya. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Arlin pun pergi mengenakan ojek online kesayangannya. Semalam setelah Jeffrey dam Lana pulang, Cherry memaksanya untuk bercerita tentang apa yang dibicarakan oleh Lana tadi terkait Jevan, Arlin pun mau tak mau menceritakan semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini antara dirinya dan Jevan yang seketika ditanggapi oleh suara tawa menggelegar oleh sahabatnya itu. Tak lama kemudian Cherry pun pamit untuk segera pulang karena gadis itu sudah diteror oleh ibunya dan diancam akan diusir dari rumah bila belum juga pulang ke rumah dalam beberapa menit. Dan berujung Arlin kembali sendirian di apartemennya.Saat gadis itu sudah sampai di kampus, ia segera berjalan menuju ruangan kelas yang akan digunaka
Arlin seketika menoleh ke belakang dan menemukan Jevan yang tengah menyilangkan tangannya dan memandang Arlin dengan kening mengkerut."Jevan?""Lo dari tadi ngomong sama siapa sih? Temen halu lo?"Arlin yang masih dilanda kebingungan akibat kemunculan Jevan yang tiba-tiba di hadapannya hanya melongo seraya mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian gadis itu menoleh ke arah arwah wanita yang tadi menahan Arlin agar tidak beranjak dari sana. Mata Arlin membulat saat melihat arwah itu sudah tidak ada disana. Lantas gadis itu kembali berbalik ke arah Jevan yang masih memandangnya aneh."Lo kenapa sih? Sakit ya lo?""Nggak Van, bukan gitu!" ucap Arlin seraya menggelengkan kepalanya yang hanya direspon Jevan dengan mengangkat salah satu alisnya."Gue punya alasan kena-, bukan! Gue pun
Sayup-sayup suara burung terdengar, gadis yang tengah berbaring di atas tempat tidur itu beberapa kali tampak mengernyit saat sinar matahari mulai menyilaukan matanya yang masih setengah terpejam. Arlin berguling ke sebelah kanan tempat tidur, berusaha meraba-raba jam kecil yang biasa diletakan di meja sebelah kanan tempat tidurnya masih dengan matanya yang terpejam. Kening gadis itu mengernyit saat telapak tangannya tidak menemukan apa yang ia cari. Perlahan Arlin membuka matanya, beberapa kali dia mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya di ruangan itu. Kemudian mata gadis itu menyapu seluruh penjuru kamar yang jelas-jelas bukan kamar miliknya di apartemen.Mata gadis itu membulat beberapa saat, hampir saja Arlin berteriak histeris saat tiba-tiba ingatan semalam muncul di kepalanya. Oh astaga… gadis itu baru ingat kalau semalam dirinya menginap di rumah Jevan. Atau lebih tepatnya rumah kakak Jevan? Entahlah.Arlin lantas bangun dari posisi tidurnya dan segera beranj
Beberapa jam yang lalu… "Kamu… mau bantu saya?"Arlin mengangguk pelan, "Apa yang harus saya lakuin?""Kamu cuma perlu bawa foto janin dan ponsel saya ke orangtua saya. Itu satu-satunya cara supaya mereka bisa tau tentang kehamilan dan… kebenaran di balik kematian saya."Arlin mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca dan hatinya kian diliputi rasa bersalah dan juga prihatin terhadap wanita di hadapannya."Kamu yakin mau bantu saya?"Iya, saya bakal bantu mbak." ucap Arlin dengan mantap. Walaupun ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran gadis itu terkait kebenaran di balik kematian wanita di depannya, tapi Arlin tak memedulikannya. 'Gue cuma harus fokus membantu wanita ini, pikirnya'."Sekarang dimana foto dan HP mbak itu?""Di rumah saya."Setelah itu Arlin segera pergi ke rumah itu dengan arwah wanita tadi yang menuntun jalan. Sesampai mereka di sana, Arlin mengerutkan keningnya melihat teras dan halaman rumah bernomor dua belas itu yang terlihat sangat kotor seperti sudah la
"Brengs*k!" Jevan seketika mendorong tubuh pria yang sedang berada di atas Arlin dan mencekik leher gadis itu. Tubuh pria itu otomatis terhuyung ke lantai. Kini Jevan sudah menduduki tubuh pria asing itu dan memberikannya berbagai pukulan di sekitar wajah dan rahangnya. Jevan seolah sudah gelap mata. Tadi saat ia baru saja memasuki kamar ini, matanya langsung menangkap pria ini sedang mencekik Arlin dan tubuhnya menimpa gadis. Jevan sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, tapi entahlah instingnya seperti mengatakan untuk segera menyelamatkan gadis itu terlebih dahulu dari pada repot-repot meminta penjelasan pada mereka.Jevan terus-terusan memukul pria itu sampai tiba-tiba Arlin menarik jaketnya pelan seraya menggelengkan kepalanya, "Udah…." Tatapan nyalang di mata Jevan seketika berubah menjadi lebih lembut. Cowok itu menghela nafas kasar dan langsung bangun dari tubuh pria itu yang sudah habis ia pukuli. Kemudian Jevan menarik tangan Arlin dan segera pergi dari ru
Arlin baru saja keluar dari ruang kelas usai jadwal kelasnya hari ini selesai, tentunya bersama Cherry saat tiba-tiba Jeffrey menelfonnya. Buru-buru Arlin menelpon menekan tombol hijau pada layar ponselnya. Cherry yang berdiri di sampingnya menoleh ke arah gadis itu dan mengangkat satu alisnya. Namun, saat gadis itu melihat si kontak penelpon, Cherry menyeringai ke arah Arlin."Halo.""Aku udah nyampe." ucap laki-laki di seberang telepon."Aku?""Iya, aku-kamu. Emang kenapa? Kan kita harus latihan dulu biar kamu terbiasa." ucap Jeffrey
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian dimana Jeffrey berhasil merebut ciuman pertamanya. Tentu saja hal itu berhasil membuat Arlin tidak bisa tertidur selama beberapa malam. Dan hari ini adalah hari keberangkatan Jeffrey ke kota tempat tinggal neneknya itu. Selain untuk menjenguk neneknya yang kabarnya sedang sakit, rencananya laki-laki itu juga akan menyelesaikan hubungannya dengan Lana secara langsung saat berada di sana.Saat ini Jeffrey sedang menyetir dan sedang berada dalam perjalanan ke kampus untuk mengantar Arlin yang kini duduk dengan tenang di sampingnya. Setelah beberapa kali beradu mulut perihal Jeffrey yang terus-terusan ngotot ingin mengantar Arlin untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin sebelum cowok itu berangkat ke Yogyakarta siang ini, akhirnya Arlin pun kalah karena tidak ingin berdeba
"JELAS MASALAH BUAT GUE YANG UDAH SEJAK LAMA SUKA SAMA LO." ucap cowok itu dengan keras, nafasnya terengah-engah."...dan gue tau… lo juga suka sama gue."Arlin membelalakan matanya terkejut. Sedetik kemudian, gadis itu merubah raut wajahnya dan memutar bola matanya malas. "Lo gila.""Iya, gue emang udah sinting.""Bisa-bisanya lo suka sama gue disaat lo aja masih punya Lana? Dan sekarang lo ngakuin perasaan lo? Lo egois banget.""Gue emang egois. Dari awal gue selalu pura-pura gak tau soal perasaan lo, sementara di saat yang sama gue selalu berada di deket lo dan pacaran sama cewek lain."Arlin terdiam mendengarkan penuturan cowok
Jevan sangat kesal saat telinganya sayup-sayup mendengar laki-laki di seberang telpon sana terus-terusan memarahi gadis di sampingnya yang padahal masih terlihat pucat dan shock akibat kejadian buruk yang menimpanya tadi. Ingin sekali rasanya Jevan berteriak ke arah si penelpon lalu berkata bahwa gadis di sebelahnya ini sedang tidak baik-baik saja dan menyuruhnya untuk sedikit lebih tenang dengan tidak memarahi gadis itu. Walaupun Jevan sama sekali tidak menyukai Arlin karena sifatnya yang akhir-akhir ini selalu mendekatinya dan membuatnya risih, namun sisi kemanusiaan cowok itu lebih mendominasi saat ini. "Kalo ngomong gak usah pake urat. Mending sekarang lo cepetan ke tempat cewek lo, kita ketemu di sana." Setelah berucap tajam pada lak
Jevan saat ini tengah berdiri di pojok belakang area konser FLAVS. Laki-laki itu menyilangkan tangannya dengan tubuh yang ia sandarkan di pagar pembatas besi yang berada di belakang area konser. Sesekali kepalanya bergerak seiring dengan irama lagu yang dinyanyikan seseorang di atas panggung sana.Laki-laki itu sendirian berada di sana bukan tanpa alasan. Jevan sudah beberapa kali berusaha mengajak ketiga temannya untuk menemani laki-laki itu menonton konser R&B yang mana sangat disukai oleh laki-laki itu. Namun, teman-temannya sangat pandai beralasan untuk menolak menemaninya. Jevan menggelengkan kepalanya kecil seraya tersenyum saat teringat kejadian kemarin dimana laki-laki itu memaksa mereka untuk menemaninya menonton.Ryand berkata bahwa ia ada panggilan job untuk bernyanyi di kafe baru milik temannya. Sehingga ia tidak bisa
Saat ini Arlin sedang bersiap-siap untuk pergi ke FLAVS R&B concert bersama Jeffrey. Gadis itu tampak cantik mengenakan t-shirt berwarna abu-abu dengan dengan potret bunga mawar dipadu dengan rok pendek berwarna coklat yang terlihat pas di tubuhnya. Arlin tampak sangat senang karena hari ini ia akan dapat melihat idolanya secara langsung. Sesekali gadis itu bersenandung kecil seraya tersenyum membayangkan konser yang akan ia datangi nanti.Saat gadis itu sedang membubuhkan pewarna bibir, nada dering ponselnya terdengar menandakan adanya telepon masuk. Lantas gadis itu segera menekan tombol berwarna hijau setelah melihat sekilas nama kontak si penelpon."Halo.