Setelah berpisah dengan mbak mbak tanpa pergelangan tangan di pertigaan koridor fakultas ekonomi. Arlin melangkahkan kakinya ke arah lobi sambil merutuk beberapa kali dalam hati. Duh kenapa jadi begini sih, kenapa juga Arlin harus susah - susah membuang waktu dan tenaganya yang berharga hanya untuk mengantarkan barang titipan Tetehnya Haikal. Sebenarnya Arlin dan Haikal kalau dibilang dekat juga tidak, ya walaupun mereka memang lumayan sering bersama saat awal ospek. Tapi setelah ospek selesai, Haikal dan Arlin masuk kelas yang berbeda, jadi mereka sudah tidak terlalu sering bertemu, hanya terkadang berpapasan sesekali di koridor sambil saling menyapa.
Sekali lagi Arlin menghela nafas, ya sudahlah mungkin sekali kali ia memang harus berbuat kebaikan. Padahal perut Arlin dari tadi sudah meraung-raung meminta makanan. Namun sebenarnya bukan hanya itu yang membuat Arlin sebegitu malasnya pergi ke kantin fakultas teknik. Masalah terbesarnya adalah mental gadis itu belum siap jika harus datang ke kantin yang rata - rata dipenuhi oleh kaum adam itu. Arlin pernah sih sekali mendatangi markas terbesar anak teknik itu, tapi itu pun hanya untuk menemani Cherry yang ingin menemui gebetannya yang merupakan anak teknik mesin. Belum lagi, ah demi Tuhan Arlin kan juga belum pernah kenalan sama hantu - hantu yang ada gedung teknik. Duh, bukan berarti Arlin sudah pernah kenalan sama semua hantu di gedung fakultas ekonomi sih tapi kan maksud gadis itu, siapa yang tau coba kalau nanti ternyata para hantu di gedung teknik lebih seram atau tidak bisa gadis itu kendalikan. Apalagi dia kini harus pergi sendirian kesana. Rasanya Arlin ingin menangis saja.
Dan sekarang, ia sepertinya harus menerima kenyataan bahwa mau tidak mau gadis itu harus pergi kesana sendirian karena Cherry yang masih demam dan masih belum masuk ke kelas. Jeffrey? Jangan harap, sejak kejadian di kafe bersama Lana, pacar tersayangnya itu, Arlin masih belum bertemu cowok itu. Sepertinya cowok itu memang sedang sibuk menikmati waktunya bersama pacarnya.
Saat kaki Arlin akhirnya memasuki kantin fakultas teknik, mata cewek itu memindai seluruh mahasiswa yang kebanyakan berambut gondrong sedang duduk santai atau pun bercengkerama heboh bersama dengan teman temannya. Ada juga anak kecil yang sedang berlarian bermain petak umpet bersama teman temannya yang berwajah penuh darah dan pria tua tanpa kaki yang memandang Arlin sinis sejak gadis itu memasuki kantin. Arlin meringis sedikit, pokoknya gadis itu harus menemukan Haikal secepat mungkin dan pergi dari sana sebelum para hantu itu menyadari Arlin yang bisa melihat mereka. Tapi sayangnya, sudah beberapa menit ia berdiri di sana namun gadis itu masih belum menemukan wajah Haikal. Arlin berjinjit sedikit sambil sesekali menggaruk rambutnya yang tidak gatal saat tiba tiba pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang dari belakang.
"Hai, Arlin kan?"
Arlin mengerjapkan kedua matanya pelan saat sosok laki laki yang menepuk pundaknya tadi sekarang sudah berdiri di depannya.
"E-eh hai."
Arlin tersenyum kikuk menanggapi karena jujur ia bingung bagaimana menanggapi laki - laki di hadapannya yang merupakan teman dari Haikal, tapi sayangnya Arlin melupakan nama cowok di depannya ini. Eh teman Haikal? Arlin seketika melirik ke paperbag digenggamannya.
"Em, lo temennya Haikal kan? Lo tau gak Haikal dimana? Ada yang perlu gue kasih nih." ucap Arlin sambil mengangkat sedikit benda yang sudah ia tenteng sejak pagi.
Nathan yang ditanya seperti itu langsung menyeringai jahil membuat Arlin yang berada di hadapannya merinding.
"Oh, jadi jauh jauh kesini mau cari Haikal? Tuh orangnya disana." Tanpa menunggu respon Arlin, Nathan berlalu meninggalkan gadis itu yang masih berdiri di tempat semula, bingung karena tiba tiba Nathan meninggalkannya. Tapi baru tiga langkah cowok itu pergi, Nathan berbalik melambaikan tangannya sambil tersenyum pada Arlin menandakan bahwa cowok itu menyuruh Arlin untuk mengikutinya.
Arlin segera melangkahkan kakinya mengikuti langkah Nathan sambil menggenggam erat paperbag yang ada di genggamannya.
"Loh Lin, ngapain disini?"
Haikal yang kini sudah ada di hadapannya menampilkan raut kebingungan walaupun mulutnya masih penuh dengan nasi goreng. Di sebelah Haikal nampak Ryand yang juga sedang memakan semangkuk bakso dan kini juga sedang menatap Arlin. Di depan Ryand, terdapat Nathan yang kini sudah mendudukkan dirinya dengan anteng sambil tersenyum jahil menatap Haikal dan Arlin bergantian.
"Nih Kal, gue mau ngasih ini." ucap gadis itu seraya menyerahkan paper bag di tangannya.
"Eh apaan nih?" Belum sempat Arlin menjawab pertanyaan Haikal, Nathan yang berada di depan Ryand kini sudah sibuk bersiul sambil tersenyum aneh sebelum tiba tiba berkata.
"Haduh haduh,Yan mending lo tutup mata deh, daripada keburu sawan gegara kebanyakan ngeliat momen mesra si Haikal."
Haikal hanya melirik sinis Nathan sebelum kembali memusatkan fokus pada gadis di hadapannya ini.
"Eh nggak gitu. Itu titipan Teteh lo Kal. Tadi Teteh lo nitipin ini ke gue pas ketemu di lobi fakultas buat dikasihin ke lo." bela Arlin. Haikal seketika mengintip ke dalam paper bag tersebut dan menemukan sebuah proposal acara dan kotak makan siang kesayangan ibunya.
"Ohh ternyata di titipin ke lo. Thanks ya Lin. Sorry banget ngerepotin sampe lo harus jauh-jauh ke sini."
"Eh btw, kok lo bisa tau gue lagi disini? Jangan jangan lo nyariin gue kemana-mana ya? Astaga, Lin maaf banget ya gue jadi gak enak. Kenapa lo gak chat gue aja Lin?" cerocos Haikal.
"Gue udah chat lo dari pagi Kal." ucap Arlin sinis walaupun tidak terlalu terlihat dimata ketiga laki-laki di hadapannya.
Seketika wajah Haikal menggelap. Sial, cowok itu baru ingat kalau ponselnya dari pagi mati karena belum di charge. Makanya tadi pagi ia meminta tolong Ryand untuk menghubungi Tetehnya agar segera membawakan proposal acara yang harus ia serahkan hari ini pada dosen. Seketika Haikal merebut ponsel Ryand yang tergeletak disampingnya. Buru buru cowok itu membuka aplikasi pesan dan benar saja, Haikal menemukan pesan dari kakak perempuannya kalau barang-barang pesanan Haikal dititipkan ke Arlin, dan sebaris perintah lagi agar ia cepat-cepat menemui Arlin untuk mengambil barangnya agar tidak menyusahkan gadis itu.
"Astaga sorry sorry Lin, sumpah gue baru inget HP gue mati. Tadi pake HP-nya Ryand. Duh maap ya Lin, maap banget."
"Nah loh Kal, lo ah makanya. Kasian temen lo kan jadi susah susah harus nyari lo. Tanggung jawab Kal." ucap Ryand memanas - manasi masih sambil mengunyah baksonya. Haikal seketika menoyor kepala Ryand sambil melotot. Yang ditoyor hanya merengut tanda bahwa ia protes.
"Ini juga gara gara lo tau gak! Itu Teteh gue ada ngirim chat ke HP lo ngabarin kalo dia nitipin barang ke Arlin, tapi lo gak ada bilang ke gue! Elahhh." protes Haikal.
Ryand yang dibawa-bawa justru mengecek HP-nya sejenak sebelum tersenyum kecil menanggapi. "Ya mana gue tau ya Teteh lu bales, gue kan jarang periksa HP, hehe."
"Dah dah kalian tuh ya emang gak ada yang gentle. Daripada ribut, mending kalian tawarin si Arlin duduk. Nontonin kalian ribut gak bakal bikin dia kenyang mohon maap."
Haikal yang mendengar ucapan Nathan langsung kembali berbalik menghadap Arlin dan menyuruh gadis itu untuk duduk dulu dan makan bersama mereka.
"Eh gak usah gak apa apa. Gue lagian udah mau pulang kok."
"Udah gak usah malu-malu, Ryand serem-serem gini gak gigit kok Lin. Sini sini duduk sebelah gue, muka gue gak nyeremin kan? Gue juga gak gigit kok."kata Nathan sambil menepuk nepuk kursi disebelahnya dengan senyum manis tersungging di bibirnya.
"Yeu. Lo emang gak gigit Than, tapi diem diem langsung lo telen tuh si Arlin." ucap Ryand dengan sinis.
"Lin, gue bener bener gak enak udah ngerepotin lo. Gue traktir aja ya? Mau kan? Duduk sini biar gue pesenin ya. Lo mau apa? Nasi goreng, bakso, siomay atau apa? Gue traktir deh apa aja. Makanan di sini gak kalah enak sama makanan di kantin fakultas kita loh."
Arlin yang ditawari begitu tentu saja menelan ludahnya saat memikirkan semua makanan yang tadi disebut Haikal. Duh gimana ya. Satu sisi Arlin ingin menolak karena ia sudah tidak sanggup menjadi pusat perhatian hantu - hantu di sini. Nyalinya semakin menciut saat melihat wujud-wujud hantu disini yang ternyata lebih menyeramkan dibanding para hantu di gedung fakultasnya. Tapi kalau dipikir-pikir, sepertinya tidak ada salahnya menerima traktiran Haikal, saat ini perutnya sudah meraung-raung meminta gadis itu agar cepat duduk dan mengiyakan tawaran Haikal. Apalagi, Arlin sangat suka dengan yang namanya gratisan. Seperti yang selalu Cherry katakan, tidak baik menolak rejeki.
"....ada jajanan cimol, cilor, cir-"
"ADA CILOR?!"
Haikal tanpa sadar memundurkan tubuhnya sedikit saat tiba tiba Arlin berteriak antusias ditengah-tengah penjelasannya soal daftar menu makanan di kantin teknik. Ryand yang sedang menyeruput kuah baksonya itu juga tersedak kaget karena mendengar teriakan gadis itu. Sedangkan Nathan, cowok itu hanya memandang Arlin horor sambil dalam hati berkata, 'buset ini cewek ternyata tampang doang jutek tapi sekalinya teriak kalah-kalah toa masjid, menggelegar membahana'.
"..lo mau cilor..?"tanya Haikal pelan sersya menelan ludah pada Arlin yang kini sedang tersenyum bahagia dan sudah duduk di kursi samping Nathan sambil melipat tangannya di meja.
"Mau." ucap Arlin singkat tak lupa wajah berseri dan senyum lebarnya.
"Buset demen banget sama cilor lo? Lebar banget perasaan senyumnya."
Kali ini Ryand yang bersuara. Yang disindir hanya tersenyum lebar menanggapi. Arlin hanya terlampau senang saat ini. "Hehe, iya. Gue suka banget sama cilor."
Haikal yang melihat perubahan raut gadis itu hanya terdiam, otaknya masih memproses kejadian barusan. Soalnya kalau Haikal pikir - pikir, dari dulu Arlin sepertinya tidak pernah tersenyum selebar di hadapannya. Arlin cukup tertutup diantara teman-teman yang lain. Dan Haikal tidak tahu kalau ada sisi baru yang sangat kontras dengan yang ia ketahui biasanya. Ternyata, diberi cilor saja sudah cukup untuk membuat perempuan di hadapannya ini tersenyum begitu manis seperti saat ini.
"Ya udah, gue beliin dulu ya Lin."
Saat Haikal hendak berdiri, tangannya ditahan oleh Nathan yang secepat kilat sekarang sudah ada di hadapannya.
"Wet set, bro. Gue aja yang pesenin Arlin. Lo duduk aja, itu belum kelar kan makan lo. Udah, gue sebagai gentlemen di sini aja yang pergi. Mana sini duitnya."
"Yeuu. Ini mah ide lo biar bisa ikut ditraktir juga, sat."
Walaupun menggerutu, Haikal tetap mengeluarkan selembar uang berwarna merah muda itu dan memberikannya pada Nathan. Kadang Haikal heran deh, padahal jelas jelas keluarga Nathan lebih tajir daripada keluarga Haikal. Tapi kalau masalah gratisan, gercepnya minta ampun.
Saat sedang asik asiknya mengobrol bersama Arlin dan menunggu Nathan kembali membawa cilor pesanan gadis itu. Haikal melihat salah satu teman sejawatnya berjalan ke arah meja mereka dengan menenteng hoodie hitam di pundaknya.
"Wet bro, gak makan?" tanya Haikal.
Jevan yang baru saja duduk tepat di sebelah Arlin, melirik sekilas gadis di sampingnya yang juga sedang menatap ke arah Jevan dengan sesekali mengerjapkan matanya.
"Gue gak laper, ntaran aja."jawab Jevan.
Haikal hanya mengangguk-nganggukan kepalanya menanggapi sampai ia melirik Arlin yang masih memandangi Jevan dengan lekat dari samping.
"Eh Jev, kenalin nih temen gue namanya Arlin. Yang kemarin kita anterin ke ruangan dosen." ucap Haikal berbasa-basi karena dilihatnya Arlin terang - terangan menatap Jevan sejak tadi.
Jevan melirik sekilas ke kanan tempat Arlin duduk, cowok itu hanya bisa melihat kalau sedari tadi cewek itu memandangnya tanpa henti dan sesekali mengekerutkan keningnya. Dalam hati Jevan bingung, kenapa cewek ini memperhatikannya seperti ini sih. Apa cewek ini sedang terpesona dengannya? Ya walaupun sebenarnya harus Jevan akui tatapan gadis itu lebih mirip seperti orang yang sedang melihat pasien ODGJ sedang meraung-raung di dalam rumah sakit jiwa.
"Iya, tau." jawab Jevan seikhlasnya lalu memainkan ponselnya.
Sesaat kemudian Nathan datang dengan membawa satu plastik penuh cilor dan juga dua mangkuk bakso, cowok itu buru buru meletakkan seluruh makanan yang ia bawa ke atas meja dan segera duduk di samping Haikal.
Arlin yang sedari tadi memperhatikan cowok itu akhirnya berhenti memandanginya. Sebenarnya Arlin punya alasan dibalik tingkahnya yang tiba tiba memandangi Jevan itu. Hm rasa - rasanya ada yang perlu cewek itu pastikan soal Jevan. Tapi sebelum gadis itu melakukannya, sepertinya lebih baik jika ia menghabiskan cilor menggiurkan yang ada di hadapannya.
Cewek itu langsung buru buru meraih plastik berisi cilor lengkap dengan micin kesukaannya dengan mata yang berbinar. Langsung saja ia menyuapkan cilor itu ke mulutnya setelah bergumam mengucapkan terimakasih pada Haikal dan Nathan yang telah membelikan makanan kesukaannya ini.
Wah, saat lidahnya berhasil merasakan kekenyalan aci yang saat ini ia kunyah, rasanya Arlin ingin berteriak agar semua orang tau kalau cilor di tangannya ini adalah cilor terenak yang pernah ia makan dan bahwa semua orang harus segera mencobanya untuk merasakan surga dunia ini.
"Lo beli dua mangkok bakso, satunya buat siapa Than? Jevan katanya gak makan."
"He? Siapa bilang ini buat Jevan?"
"Terus buat siapa?"
"Buat gue, hehe." ucap Nathan sambil mengeluarkan cengiran kudanya.
"Yeuu, emang gak ada malunya ni bocah. Udah maksa minta ditraktir, mesennya dua mangkok lagi." Kali ini Ryand yang bersuara. Nathan hanya tersenyum semakin lebar seraya mengaduk ngaduk kuah baksonya. Haikal hanya tersenyum kecut mendengarkan sebelum memprotes Nathan.
"Padahal Arlin yang emang mau gue traktir aja cuma minta di traktir cilor. Hadeh, gak ngerti lagi deh gue sama lo, sat."
Jevan yang sedari tadi mendengarkan hanya tersenyum kecil sesekali sambil masih memainkan ponselnya. Lebih tepatnya bermain game online disana. Cowok itu sangat fokus menembaki musuh-musuhnya di game itu sampai tiba tiba ia merasakan remasan di kaos bagian bawahnya. Jevan akhirnya menoleh ke arah tersangka yang kini meremas kaosnya semakin kuat. Kening cowok itu mengkerut saat melihat Arlin memalingkan wajahnya ke arah Jevan sambil menunduk takut dan memejamkan matanya. Jevan melirik teman-temannya sekilas, masih belum ada yang menyadari keadaan gadis itu selain dirinya, teman temannya tampak sedang asik mengobrol soal artis yang 'video' nya baru saja tersebar di sosial media.
Sebenarnya beberapa saat lalu Arlin masih baik baik saja. Gadis itu tengah mengunyah cilornya dengan semangat hingga tiba-tiba ia melihat nenek rombeng yang kemarin mengganggunya di toilet fakultas sedang menyeringai seraya melihat dirinya. Wujudnya kali ini berkali kali lipat lebih seram daripada kemarin, wajahnya dipenuhi belatung, dagingnya busuk dipenuhi darah dengan bau tidak sedap. Sepertinya, nenek itu berhasil menyerap banyak energi negatif dari orang-orang sehingga bisa mengubah wujudnya menjadi seperti itu hanya untuk menakut-nakuti Arlin. Arlin reflek menutup matanya sambil menggapai sesuatu yang bisa ia remas untuk menghilangkan rasa takutnya. Cewek itu memang belum terbiasa melihat wujud wujud para arwah yang terlalu seram. Atau mungkin lebih tepatnya tidak akan terbiasa.
Walaupun selama ini ia tampak berani saat dihadapkan oleh hantu hantu yang mengganggunya. Tetap saja apabila diganggu dengan wujud yang sangat tidak enak dipandang seperti ini, ia akan ketakutan. Dan biasanya gadis itu akan bersembunyi dibalik punggung Jeffrey ataupun Cherry.
"Oi." Jevan menoel sekilas kepala Arlin sambil berharap cewek itu segera melepaskan kaosnya yang Jevan yakini saat ini sudah sangat kusut karena diremas kuat oleh gadis ini.
"Lo kenapa sih? Bisa lepasin baju gue gak?"
Jevan berusaha menahan emosinya yang sudah ingin meledak dari tadi. Dalam hati ia merutuk, emang cewek jaman sekarang kalo lagi carper begini ya. Ganggu banget deh kayaknya. Rasanya Jevan ingin sekali memanggil Haikal dan bilang kalau temen ceweknya ini sedang bertingkah aneh. Tapi, karena Jevan amat malas menjelaskan dan tidak ingin mengundang huru-hara dari Nathan dan Ryand yang ia yakini kalau mereka berdua melihat posisi Jevan dan Arlin, maka mereka akan meledeknya mati - matian.
Akhirnya Arlin pun mengangkat wajahnya dan membuka satu matanya, mengintip ke arah tempat nenek rombeng tadi berada. Seketika Arlin duduk menegakkan badannya dan menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan nenek rombeng itu masih dengan tangannya yang meremas kaos cowok di sampingnya. Padahal Arlin yakin sekali kalau tadi ia melihat nenek rombeng itu yang sedang berniat untuk mengerjai Arlin lagi. Tetapi saat ia membuka matanya, cewek itu gak melihat keberadaan nenek itu. Bahkan sekarang, Arlin semakin dibuat bingung karena kantin teknik yang tadinya ramai dipenuhi para manusia dan juga hantu, tiba tiba hantu-hantu di sekitar kantin perlahan menghilang satu per satu saat matanya bertemu dengan Arlin dan melihat cowok disamping Arlin seperti orang yang sedang melihat hantu. Mereka seperti terkejut dan tiba tiba menghilang menyisakan para manusia yang masih bersantai di area kantin.
Jevan yang memperhatikan tingkah Arlin hanya mengerutkan keningnya heran. Cewek itu sekarang terlihat seperti bocah hilang yang mencari ibunya di mall.
"Oi, lepasin baju gue." kata Jevan sambil melepas paksa tangan Arlin dari bajunya.
Cewek itu hanya menoleh polos pada Jevan dan mengerjapkan matanya beberapa kali tidak memedulikan tatapan aneh dan risih yang cowok itu tujukan padanya. Arlin masih berusaha memproses kejadian barusan, berusaha menyimpulkan sesuatu saat tiba tiba spontan muncul ide gila di kepalanya.
"Jevan.." ucapnya.
"...nama lo Jevan kan?"
Kerutan di kening Jevan terlihat semakin dalam, tidak berniat menjawab pertanyaan dari cewek itu.
"Jevan.."
"..Jevan gue boleh jadi pacar lo gak..?"
TBC
"... Jevan gue boleh jadi pacar lo gak...?" Jevan yang berada di sebelahnya mendecakkan lidahnya sambil memandang Arlin horor. Seumur-umur baru kali ini cowok itu menerima pernyataan cinta dari orang yang baru dua kali ia temui. Meskipun sebenarnya, Jevan sudah tidak asing untuk menerima pernyataan cinta dari para kaum hawa seperti ini. Tetapi sebenarnya permasalahan di sini adalah perubahan tingkah laku gadis itu yang sangat jauh berbeda dari yang cowok itu ketahui membuat laki-laki itu berjengit memandangi gadis di sebelahnya. "Lo suka sama gue?" Arlin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengar pertanyaan Jevan, sebelum menjawab dengan tegas. "Nggak."
Hari ini adalah hari minggu. Sudah beberapa hari berlalu sejak perseteruan tidak jelas antara Arlin dan Jevan di kantin fakultas cowok itu. Saat ini, Arlin sedang bersiap pergi ke supermarket untuk belanja bulanan berhubung isi kulkasnya sudah mulai terlihat kosong. Arlin sudah siap dengan hoodie oversize berwarna putih dan legging hitamnya. Tak lupa rambutnya yang ia gerai dan bibirnya yang ia oleskan sedikit liptint agar terlihat segar. Gadis itu berpikir sejenak, ia hendak menimbang-nimbang apakah dirinya harus menggunakan layanan ojek online atau mobilnya yang sudah hampir berdebu yang disimpan di basement apartemennya karena jarang gadis itu gunakan. Arlin memang terbilang jarang menggunakan mobilnya karena biasanya Jeffrey selalu mengantarnya kemanapun sejak kecelakaan yang menimpanya pada saat awal menjadi mahasiswa baru. Saat itu, Arlin tanpa sengaja menabrak pohon besar di sekitar kampusnya ka
"Dasar nyusahin."Arlin sontak berbalik menghadap asal suara untuk melihat bahwa sekarang Jevan sudah pergi mendorong troli-nya, meninggalkan Arlin yang masih melamun.Buru-buru gadis itu mengejar langkah Jevan, berusaha memposisikan troli-nya persis di samping troli cowok itu membuat mereka berdua berjalan bersisian. Wah! Kalau begini, sepertinya gadis itu memang sedang beruntung hari ini karena tanpa sengaja bertemu dengan 'kunci dari hidup tenangnya' yang sekarang sedang memilih semangka. Siapa yang sangka kalau ia dapat menjalankan misinya lebih cepat seperti ini. Tanpa ingin membuang kesempatan, Arlin pun mulai membuka topik obrolan dengan Jevan."Kata nenek gue, kalo pilih semangka yang manis tuh biasanya diketok ketok dulu tau, Van." Jevan hanya menoleh singkat
Tampak gadis dengan rambut panjang berwarna hitam pekat sedang turun dari motor pria berjaket hijau. Setelah mengucapkan terimakasih pada abang ojek online yang sudah mengantarkannya dengan selamat ke kampus, Arlin segera berbalik berjalan ke arah pintu masuk fakultasnya seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Semalam setelah Jeffrey mampir sebentar di apartemen gadis itu untuk mengecek kondisi Arlin, tak lama kemudian cowok itu pamit pulang karena jam dinding apartemen gadis itu sudah menunjukkan pukul satu malam. Karena tidak ingin mengganggu waktu istirahat Arlin, Jeffrey pun pulang setelah berpamitan dan berhasil membuat cewek itu untuk berjanji agar tidak menyetir mobilnya sendirian lagi. Saat Arlin sedang berjalan di koridor fakultasnya, tiba-tiba pundak gadis itu dipukul kuat oleh seseorang di belakangnya. Saat gadis itu menoleh, mata Arlin otomatis membelalak saat menemukan seseorang yang
Kini Arlin dan anak laki-laki yang baru diketahui namanya Jean itu sedang duduk di Orion. Arlin memutuskan untuk membawa Jean ke Orion sambil menunggu keluarga anak kecil ini menjemputnya. Mereka duduk di dekat kaca yang mengarah ke tempat les Jean sehingga mereka dapat mengetahui jika keluarga anak ini menjemputnya.Jean sedang duduk di hadapan Arlin, anak kecil itu terlihat sangat semangat menjejalkan sepotong cheesecake ke mulutnya. Arlin terkekeh melihat anak yang baru berusia enam tahun itu. Tadi saat Arlin bertanya bagaimana anak itu bisa berada agak jauh dari tempat lesnya, Jean hanya berkata bahwa tadi ada badut tikus menyeramkan yang berjalan mendekatinya, otomatis anak itu panik ketakutan, Jean yang semulanya berdiri di depan tempat lesnya berjalan menjauh dari badut itu. Saat akhirnya badut tikus itu sudah menghilang dari pandangannya, Jean terlanjur panik saat ia sadar bahwa
"Lin! Lo mending buru deh siapin hati sama mental. Panjang umur banget ini. Padahal orangnya baru aja abis diomongin loh! Ini mah bener-bener definisi pucuk dicinta ulam pun tiba!" Arlin yang mendengar perkataan sahabatnya itu hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda bahwa gadis itu tidak mengerti dengan ucapan yang baru saja dikatakan Cherry. Seketika Cherry menarik tangan Arlin dan membawa gadis itu ke arah pintu unit apartemennya untuk melihat sendiri siapa orang yang sedang bertandang ke rumahnya dimalam hari seperti ini. "Ah, udah cepet lo liat aja sendiri!" teriak Cherry seraya memelototkan matanya. Arlin yang masih menampilkan raut kebingungan hanya menuruti perkataan Cherry dan segera mengintip dari door-view untuk melihat orang yang berada dibalik pintu. Saat matanya berhasil menangkap bayangan seseorang yang sangat ia kenal, gadis itu segera berbalik ke arah Cherry dan
Setelah meletakkan nampan berisi minuman itu di atas meja ruang tamu, Arlin izin sejenak pergi ke kamarnya untuk mengganti baju yang hanya dibalas oleh deheman singkat oleh Cherry dan senyuman manis Lana. Sedangkan Jeffrey, laki-laki itu masih berdiri di counter dapur, masih menatap punggung Arlin yang menjauh dari sela-sela tembok.Di dalam kamarnya, Arlin duduk di meja rias, ia menatap pantulan dirinya di kaca, perlahan ia terisak lirih seraya meremas rambutnya. Arlin merasa dirinya bodoh sekali. Apa tadi yang ia katakan pada laki laki itu? Arlin tertawa lirih mengingat ucapannya beberapa saat lalu, baik-baik saja? Bagaimana bisa Arlin baik-baik saja jika laki-laki itu selalu menaruh perhatian berlebih padanya tetapi diwaktu yang bersamaan juga menjalin hubungan dengan perempuan lain. Tetapi apa boleh bua
Pagi ini, Arlin sedang bersiap untuk pergi ke kampus. Ia mengenakan kaos berwarna hitam dan jeans yang sangat pas dengan tubuhnya. Tak lupa, ia memakai cardigan abu-abu untuk menutupi membungkus tubuhnya. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Arlin pun pergi mengenakan ojek online kesayangannya. Semalam setelah Jeffrey dam Lana pulang, Cherry memaksanya untuk bercerita tentang apa yang dibicarakan oleh Lana tadi terkait Jevan, Arlin pun mau tak mau menceritakan semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini antara dirinya dan Jevan yang seketika ditanggapi oleh suara tawa menggelegar oleh sahabatnya itu. Tak lama kemudian Cherry pun pamit untuk segera pulang karena gadis itu sudah diteror oleh ibunya dan diancam akan diusir dari rumah bila belum juga pulang ke rumah dalam beberapa menit. Dan berujung Arlin kembali sendirian di apartemennya.Saat gadis itu sudah sampai di kampus, ia segera berjalan menuju ruangan kelas yang akan digunaka
Sayup-sayup suara burung terdengar, gadis yang tengah berbaring di atas tempat tidur itu beberapa kali tampak mengernyit saat sinar matahari mulai menyilaukan matanya yang masih setengah terpejam. Arlin berguling ke sebelah kanan tempat tidur, berusaha meraba-raba jam kecil yang biasa diletakan di meja sebelah kanan tempat tidurnya masih dengan matanya yang terpejam. Kening gadis itu mengernyit saat telapak tangannya tidak menemukan apa yang ia cari. Perlahan Arlin membuka matanya, beberapa kali dia mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya di ruangan itu. Kemudian mata gadis itu menyapu seluruh penjuru kamar yang jelas-jelas bukan kamar miliknya di apartemen.Mata gadis itu membulat beberapa saat, hampir saja Arlin berteriak histeris saat tiba-tiba ingatan semalam muncul di kepalanya. Oh astaga… gadis itu baru ingat kalau semalam dirinya menginap di rumah Jevan. Atau lebih tepatnya rumah kakak Jevan? Entahlah.Arlin lantas bangun dari posisi tidurnya dan segera beranj
Beberapa jam yang lalu… "Kamu… mau bantu saya?"Arlin mengangguk pelan, "Apa yang harus saya lakuin?""Kamu cuma perlu bawa foto janin dan ponsel saya ke orangtua saya. Itu satu-satunya cara supaya mereka bisa tau tentang kehamilan dan… kebenaran di balik kematian saya."Arlin mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca dan hatinya kian diliputi rasa bersalah dan juga prihatin terhadap wanita di hadapannya."Kamu yakin mau bantu saya?"Iya, saya bakal bantu mbak." ucap Arlin dengan mantap. Walaupun ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran gadis itu terkait kebenaran di balik kematian wanita di depannya, tapi Arlin tak memedulikannya. 'Gue cuma harus fokus membantu wanita ini, pikirnya'."Sekarang dimana foto dan HP mbak itu?""Di rumah saya."Setelah itu Arlin segera pergi ke rumah itu dengan arwah wanita tadi yang menuntun jalan. Sesampai mereka di sana, Arlin mengerutkan keningnya melihat teras dan halaman rumah bernomor dua belas itu yang terlihat sangat kotor seperti sudah la
"Brengs*k!" Jevan seketika mendorong tubuh pria yang sedang berada di atas Arlin dan mencekik leher gadis itu. Tubuh pria itu otomatis terhuyung ke lantai. Kini Jevan sudah menduduki tubuh pria asing itu dan memberikannya berbagai pukulan di sekitar wajah dan rahangnya. Jevan seolah sudah gelap mata. Tadi saat ia baru saja memasuki kamar ini, matanya langsung menangkap pria ini sedang mencekik Arlin dan tubuhnya menimpa gadis. Jevan sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, tapi entahlah instingnya seperti mengatakan untuk segera menyelamatkan gadis itu terlebih dahulu dari pada repot-repot meminta penjelasan pada mereka.Jevan terus-terusan memukul pria itu sampai tiba-tiba Arlin menarik jaketnya pelan seraya menggelengkan kepalanya, "Udah…." Tatapan nyalang di mata Jevan seketika berubah menjadi lebih lembut. Cowok itu menghela nafas kasar dan langsung bangun dari tubuh pria itu yang sudah habis ia pukuli. Kemudian Jevan menarik tangan Arlin dan segera pergi dari ru
Arlin baru saja keluar dari ruang kelas usai jadwal kelasnya hari ini selesai, tentunya bersama Cherry saat tiba-tiba Jeffrey menelfonnya. Buru-buru Arlin menelpon menekan tombol hijau pada layar ponselnya. Cherry yang berdiri di sampingnya menoleh ke arah gadis itu dan mengangkat satu alisnya. Namun, saat gadis itu melihat si kontak penelpon, Cherry menyeringai ke arah Arlin."Halo.""Aku udah nyampe." ucap laki-laki di seberang telepon."Aku?""Iya, aku-kamu. Emang kenapa? Kan kita harus latihan dulu biar kamu terbiasa." ucap Jeffrey
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian dimana Jeffrey berhasil merebut ciuman pertamanya. Tentu saja hal itu berhasil membuat Arlin tidak bisa tertidur selama beberapa malam. Dan hari ini adalah hari keberangkatan Jeffrey ke kota tempat tinggal neneknya itu. Selain untuk menjenguk neneknya yang kabarnya sedang sakit, rencananya laki-laki itu juga akan menyelesaikan hubungannya dengan Lana secara langsung saat berada di sana.Saat ini Jeffrey sedang menyetir dan sedang berada dalam perjalanan ke kampus untuk mengantar Arlin yang kini duduk dengan tenang di sampingnya. Setelah beberapa kali beradu mulut perihal Jeffrey yang terus-terusan ngotot ingin mengantar Arlin untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin sebelum cowok itu berangkat ke Yogyakarta siang ini, akhirnya Arlin pun kalah karena tidak ingin berdeba
"JELAS MASALAH BUAT GUE YANG UDAH SEJAK LAMA SUKA SAMA LO." ucap cowok itu dengan keras, nafasnya terengah-engah."...dan gue tau… lo juga suka sama gue."Arlin membelalakan matanya terkejut. Sedetik kemudian, gadis itu merubah raut wajahnya dan memutar bola matanya malas. "Lo gila.""Iya, gue emang udah sinting.""Bisa-bisanya lo suka sama gue disaat lo aja masih punya Lana? Dan sekarang lo ngakuin perasaan lo? Lo egois banget.""Gue emang egois. Dari awal gue selalu pura-pura gak tau soal perasaan lo, sementara di saat yang sama gue selalu berada di deket lo dan pacaran sama cewek lain."Arlin terdiam mendengarkan penuturan cowok
Jevan sangat kesal saat telinganya sayup-sayup mendengar laki-laki di seberang telpon sana terus-terusan memarahi gadis di sampingnya yang padahal masih terlihat pucat dan shock akibat kejadian buruk yang menimpanya tadi. Ingin sekali rasanya Jevan berteriak ke arah si penelpon lalu berkata bahwa gadis di sebelahnya ini sedang tidak baik-baik saja dan menyuruhnya untuk sedikit lebih tenang dengan tidak memarahi gadis itu. Walaupun Jevan sama sekali tidak menyukai Arlin karena sifatnya yang akhir-akhir ini selalu mendekatinya dan membuatnya risih, namun sisi kemanusiaan cowok itu lebih mendominasi saat ini. "Kalo ngomong gak usah pake urat. Mending sekarang lo cepetan ke tempat cewek lo, kita ketemu di sana." Setelah berucap tajam pada lak
Jevan saat ini tengah berdiri di pojok belakang area konser FLAVS. Laki-laki itu menyilangkan tangannya dengan tubuh yang ia sandarkan di pagar pembatas besi yang berada di belakang area konser. Sesekali kepalanya bergerak seiring dengan irama lagu yang dinyanyikan seseorang di atas panggung sana.Laki-laki itu sendirian berada di sana bukan tanpa alasan. Jevan sudah beberapa kali berusaha mengajak ketiga temannya untuk menemani laki-laki itu menonton konser R&B yang mana sangat disukai oleh laki-laki itu. Namun, teman-temannya sangat pandai beralasan untuk menolak menemaninya. Jevan menggelengkan kepalanya kecil seraya tersenyum saat teringat kejadian kemarin dimana laki-laki itu memaksa mereka untuk menemaninya menonton.Ryand berkata bahwa ia ada panggilan job untuk bernyanyi di kafe baru milik temannya. Sehingga ia tidak bisa
Saat ini Arlin sedang bersiap-siap untuk pergi ke FLAVS R&B concert bersama Jeffrey. Gadis itu tampak cantik mengenakan t-shirt berwarna abu-abu dengan dengan potret bunga mawar dipadu dengan rok pendek berwarna coklat yang terlihat pas di tubuhnya. Arlin tampak sangat senang karena hari ini ia akan dapat melihat idolanya secara langsung. Sesekali gadis itu bersenandung kecil seraya tersenyum membayangkan konser yang akan ia datangi nanti.Saat gadis itu sedang membubuhkan pewarna bibir, nada dering ponselnya terdengar menandakan adanya telepon masuk. Lantas gadis itu segera menekan tombol berwarna hijau setelah melihat sekilas nama kontak si penelpon."Halo.