“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”
~
6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga Rania
Apa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?
Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.
Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.
Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seorang diri, sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya sejak tadi pagi. Usut punya usut, ternyata Rania hanya diam di kamar yang dikunci dari dalam dan tidak keluar sama sekali bahkan saat mayat keluarganya datang. Hal itulah yang jadi pergunjingan warga yang sedang melayat di rumahnya.
Di kampung Rania terdapat adat dimana pihak keluarga yang ditinggal harus menyediakan makanan bagi para pelayat yang datang dan menemui mereka. Tapi saat itu, keadaan benar-benar di luar kendali dan Rania kepalang tak sanggup bertemu banyak orang. Untuk keluar meminta makan saja dia tidak ada hasrat, bagaimana bisa menjamu orang?
Karena itulah, di dalam rumah duka tersebut terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu yang hanya fokus memperhatikan ‘keselamatan’ Rania. Sedangkan kubu kedua adalah kubu kritis yang sibuk protes kenapa para pelayat tidak mendapat sambutan dari tuan rumah.
Salah satu pemimpin kubu kedua adalah adik ipar ayah Rania, istri dari adik kandungnya atau bibi Rania. Daritadi dia sibuk mondar-mandir mengetuk pintu kamar Rania yang tertutup rapat, kembali ke dapur berkomentar, lalu ke depan lagi menyambut tamu sekaligus memberi tahu orang-orang,
“Nggak tahu dari tadi anaknya ada di kamar terus. Lah yo harusnya tamu ini disambut.”
Para tamu yang merasa bahwa bibi Rania adalah yang dituakan saat itu, otomatis setuju dengan pendapatnya dan menanggapi,
“Lah kan harusnya ada tamu itu disambut gitu, kan. Kok jadi ditinggal tidur di kamar.”
Parahnya, Rania mendengar hal itu semua dari dalam kamar yang tidak kedap suara dari luar. Banyak umpatan dan protes yang ingin ia teriakkan langsung pada orang-orang di luar sana. Tapi saat ia berusaha melangkah keluar, dirinya berbalik sesaat sebelum menyentuh pintu dan kemudian menangis kembali.
Nilam dan Randi dari tadi hanya menahan diri di depan pintu kamar Rania sekaligus menahan emosi melihat orang-orang yang yang membicarakan hal-hal yang tidak berguna di hadapan mereka. Nilam tahu betul bahwa bibi Rania itu adalah seorang penjilat dan suka cari muka. Dia berlagak peduli dengan sok sibuk mondar-mandir depan belakang padahal segala hal sudah disiapkan oleh orang tua angkat Rania, Pak Yanto dan istrinya.
Bibi Rania bekerja sebagai ART di rumah Rania. Tidak sekali dua kali Nilam melihat orang itu bersikap sinis, saat keluarga Rania masih hidup pun, dia sering memperlihatkan kekasarannya baik itu pada tamu atau tuan rumah alias ayah dan ibu Rania. Ayah Rania tidak enak hati memecatnya yang mana bisa berimbas pada silaturahmi keluarga nantinya.
Wanita yang sudah banyak memiliki kerutan tu menghampiri Nilam dan Randi yang duduk di depan pintu kamar Rania dengan mata melotot yang sudah hampir keluar. Tangan kiri sudah bertengger di pinggang serta telunjuk tangan kanannya bersiap menyalah-nyalahkan orang.
“Rania kemana, seh?” Sentaknya sambil menodong muka Nilam.
Karena teriakannya cukup keras, orang-orang yang awalnya berada di dapur berkumpul ke depan kamar Rania. Kejadian seperti ini lebih menarik perhatian banyak orang memang.
Nilam memilih untuk diam dan beralih dari pandangan wanita yang seusia ibunya itu. Tubuhnya terlalu lelah, bahkan kantung mata nya besar, sisa dari kebanyakan menangis.
Pandangan Bibi Rania beralih pada Randi di sisi lain daun pintu yang tak kalah ikut memalingkan wajah daripadanya. Tapi tanpa disangka, pintu yang dari tadi tertutup di samping mereka terbuka dan menampakkan Rania yang kacau balau dengan kondisi yang tidak sanggup diceritakan.
Belum sempat gadis itu bicara, sang Bibi langsung menyemprot dengan perkataan pedasnya,
“Dari pagi nggak keluar dari mana saja se, Ran?”
Rania hanya menghembuskan nafas kasar dan menatap jengah,
“Lah ya banyak tamu itu loh di depan sana ditemuin! Malah jadi ndekem di kamar seharian nggak keluar-keluar. Itu tamunya dikasih makan apa? Suguhanmu di meja depan wis habis.”
Rania melongo tak percaya dengan apa yang bibinya katakan. Begitu pantaskah mengatakan hal seperti itu pada orang yang sedang berduka ketika ditinggal 4 keluarganya sekaligus?
Mama angkat Rania menghampiri sang Bibi dan bicara sedikit berbisik padanya,
“Sudah, dilihat orang banyak, malu. Saya dan suami sudah siapkan beberapa suguhan di depan. Rania sedang berduka tolong dimaklumi.” Ucap sang Mama mencoba halus.
“Kalau masalah berduka, Bu, saya juga berduka. Suami saya juga ada di mobil yang sama dengan orang tua Rania, loh! Tapi saya masih tegar dan nggak nyerah sama keadaan. Anak muda sekarang ini apa-apa dibawa ke penyakit jiwa. Bilang aja males.”
Nilam menggertak,
“Tapi suami Bibi nggak mati. Rania empat-empatnya loh, Bi. Barengan.”
“OH JADI KAMU NYUMPAHIN SUAMI SAYA MATI?” Serang balik sang bibi.
Suami dari bibi Rania adalah sopir keluarga. Pada kecelakaan itu, pamannya turut menjadi korban dan menjadi satu-satunya yang selamat. Beliau sekarang dirawat di rumah sakit karena mengalami beberapa luka.
“SAYA DAN SUAMI MEMANG CUMA PESURUH DI RUMAH INI. TAPI KAMI JUGA KELUARGA!” Lanjut sang bibi dengan nada yang sangat tinggi.
“Berhenti, dong. Kok jadi merembet kemana-mana.” Lerai Mama angkat Rania memegangi pundak sang Bibi.
Ia berusaha mendorong wanita yang sedang emosi sambil melotot ke arah Rania itu untuk kembali ke dapur dan memisahkan mereka.
Mata Rania memandang orang-orang yang berdiri mengerumuninya dari pagar depan hingga gorden ruangan sebelum kamarnya.
Tatapan itu..
Rania benci tatapan itu..
Kenapa mereka semua menatapnya seolah Rania yang bersalah?
Suara desas-desus orang-orang seolah menggunjingnya atas duka yang sedang ia alami terdengar paling jelas untuk pendengaran Rania.
Kasihan dia ditinggal orang tua bersamaan.
Kasihan dia kehilangan seluruh keluarganya.
Tapi bibinya tadi benar.
Adat kita seperti itu, kenapa dia tidak mengerti?
Dia terlalu dimanja orang tuanya dahulu.
Rania terlalu dibebaskan.
Masa adat orang mati saja tidak mengerti? Apa dia tidak pernah melayat?
Apatis sekali kalau begitu?
Suara suara sumbang yang harusnya tetap dibiarkan terlilit dalam putaran otak itu terus terdengar jelas di telinga Rania. Ia memegangi tangannya dan mulai merasa sakit kepala. Tenggorokannya masih perih bekas tersedak duri ikan karena bertengkar dengan sang ayah kemarin. Hatinya sakit karena tidak sempat mengucapkan maaf dan selamat tinggal sebelum kepergiannya. Adik-adik yang menjadi alasan ia giat sekolah dan bekerja untuk membiayai mereka pergi begitu saja.
Rania sakit di luar dan dalam.
“Anak muda sekarang tidak ada yang tau adat. Nanti kalo adatnya hilang sok-sokan mau bikin program pelestarian adat.” Lanjut sang Bibi masih kasar walau sudah ditarik ke belakang ruangan.
Suasana seolah mendukung semua yang diucapkan Bibinya. Rania merasa perih di matanya dan sakit di sekujur tubuhnya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA !!” Teriak Rania pada akhirnya.
Tidak tahan lagi dirinya. Nilam dan Randi berusaha mendekat karena khawatir akan keadaan Rania. Tapi Mama angkat Rania langsung menahannya dan memberi isyarat biarkan Rania terlebih dahulu.
Tapi teriakan Rania tidak berhenti. Gadis itu memegangi kepalanya dan melompat-lompat di tempatnya sambil melanjutkan teriakannya.
Matanya melihat sekitar dan tangannya meraih vas bunga keramik berukuran sedang di meja belajar. Ia melempar vas itu secara cepat ke arah sang Bibi.
Sontak semua orang yang berada di situ berteriak. Sebagian dari mereka bahkan berhamburan keluar karena mengira Rania kesurupan.
Pada akhirnya Mamanya, Randi, dan Nilam menghentikan laju Rania yang berusaha menghampiri sang Bibi.
Sambil mencak-mencak di rangkulan mereka, Rania berkata,
“AKU YANG SEDANG BERDUKA! Kenapa aku yang disuruh mengerti mereka? Seharusnya mereka yang mengerti aku.”
Ketiga orang itu, ditambah Papa dan kakak Jovan ikut menghentikan laju Rania.
“Persetan masalah adat. Kenapa kalian jadi tidak punya rasa kemanusiaan?” Mata Rania memerah dan mengeluarkan air. Seluruh tubuhnya masih menginginkan melempari kepala orang itu dengan berbagai hal yang berhasil dipegangnya.
Rania berbalik arah dan mengambil keranjang plastik berwarna merah muda di bawah sana dan melemparnya ke salah satu kerumunan laki-laki yang berkumpul ‘melihat’ nya.
Karena tanpa persiapan matang, ia yang diserang otomatis terkena lemparan tepat di kepalanya. Suasana makin chaos dan Rania masih berusaha ditahan sebisa mungkin.
“Kau! Tampilan seperti orang bijak! Tapi otak tak pernah sekolah! Sudah tau orang tua ku mati! Bahkan mayatnya masih ada di depan kalian! Masih dibicarakan? Aku yang bangsat! Aku yang tak menurut orang tua! Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”
Kerumunan laki-laki yang tadi sibuk berkomentar itu hanya diam dan menunduk. Mama, Papa, Kakak Jovan, Nilam, dan Randi hanya menahan tangis sambil memegangi Rania.
“Jika kalian datang ke sini karena memang berduka padaku. Kalian tidak akan datang hanya untuk menuntut ini dan itu!”
Segala sumpah serapah keluar dari mulut Rania saat itu. Beberapa orang mengiyakan apa yang dikatakan Rania. Tapi masih ada saja yang merasa bahwa Rania keterlaluan, mengingat peti mati dari keempat keluarganya masih ada di ruang tamu saat itu.
Karena hari itu, adik dari ibunya, yang sekarang menjadi papa angkat Rania beserta istrinya memutuskan untuk membawa Rania keluar dari kampung Salak. Hubungannya dengan keluarga sana sudah pasti sulit untuk diperbaiki.
Ditambah lagi, Rania sudah tidak punya siapapun sebagai alasan untuk tetap hidup di rumah di kampung ini.
Hari ini adalah hari pengecualian, Rania sudah memasukkan mobilnya ke dalam gang Kampung Salak. Dia tidak akan pulang dengan tangan kosong lagi hari ini.
Tbc.
“” ~ Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi. Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil, “Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya. “Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon. “Rania masuk!” “Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hing
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“” ~ Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi. Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil, “Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya. “Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon. “Rania masuk!” “Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hing
“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”~6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga RaniaApa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seo