Tok.. Tok..
Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya.
“Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut.
“Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania.
Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini.
Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi,
“Eh, rumah gue kan masih di sini. Lo lupa?” Jawab Randi.
“Tadi kita liat rumah ini kok buka, akhirnya mampir.” Lanjut Nilam.
Rania hanya menatap kosong satu persatu dari empat orang di hadapannya. Dia yakin Nilam dan Randi sengaja mengikutinya ke sini. Tapi ia enggan untuk bertanya.
“Temen kalian ini, dateng-dateng kesini setelah sekian lama, cuma mau nanya kronologi kecelakaan 6 tahun lalu. Kurang kerjaan aja!” Ucap Samsul, Paman Rania, kepada Nilam dan Randi.
“Apa temenmu ini nggak sadar kalo pamannya ini bisa aja sedih ingat-ingat kejadian itu lagi!” Bu Rahma, sang Bibi menimpali.
Melihat Rania yang tidak ada niatan menjawab, akhirnya Randi turut menanggapi Bu Rahma,
“Begini.. Rania ini mungkin cuma pengen tahu kronologi kecelakaan keluarganya. Dulu saat banyak orang bicara masalah itu kan Rania sedang dalam masa berkabung, jadi ceritanya nggak jelas masuk di otak,” Randi mengambil jeda “...toh mungkin Rania nanya ke Pamannya juga karena dia ada di lokasi kejadian juga waktu itu.”
Rania hanya menatap lurus. Tidak menanggapi omongan Randi, ataupun merasa tersinggung dengan perkataan sang Bibi.
“Lagian Rania juga sedih kali bukan Pak Samsul doang! Mana mau ungkit-ungkit kejadian itu. Pasti dia ada pertanyaan yang pengen dijawab sama kalian. Rania yang kehilangan orang tua dan dua adiknya di kecelakaan juga.” Sahut Nilam agak menyindir.
“Kamu orang luar tau apa? Mereka juga adik dan keponakan-keponakan saya. Saya juga kehilangan mereka. Rania kerjaanya cuma diem dan bengong, nggak bicara sama siapa-siapa. Sekarang dateng-dateng nyusahin aja.” Pak Samsul tidak mau kalah.
“Rania juga keponakan Paman kali. Kok nggak ada ikut sedih atau minimal ngehibur dia? Kan bener Rania nanyanya ke Paman, karena paman yang nyupirin mobil mereka pas kecelakaan dan satu-satunya korban yang masih hidup. Lagian nyusahin yang mana sih, wong cuma ditanya kronologi doang!” Lanjut Nilam
“Oh kamu nuduh saya ya?” Tanya Pak Samsul mengintimidasi Nilam.
Nilam yang tidak paham apa hubungan antara menuduh dengan pernyataan dia tadi memasang wajah heran. Siapa yang sedang menuduh apa?
“Nuduh apa?” Ucap Rania tiba-tiba setelah keheningannya sejak tadi.
Seluruh pandangan menuju ke arah Rania. Gadis itu tidak mengucapkan sepatah katapun dari Nilam dan Randi masuk. Lalu tiba-tiba kalimat yang keluar membuat Paman dan Bibinya sedikit terkejut dan membuka mata mereka lebar. Dua orang itu terlihat seperti tidak sengaja menceploskan suatu hal tanpa mereka sadari.
Nilam langsung mengalihkan pandangan dari Rania ke pasangan paruh baya di depannya dengan alis menyatu.
Tiba-tiba, Paman Rania memegangi dadanya. Terlihat dia seperti kesakitan dan hampir kehilangan nafasnya. Gelagapan, istrinya juga turut memegangi sang suami.
“Tuh kan, pamanmu asmanya kambuh. Masak iya kamu nggak tahu dia punya asma dari kecil gampang kambuh?” Sahut sang Bibi memarahi Rania. “Kembali lagi besok-besok saja. Kami mau siapin mental dulu!”
Rania hanya diam melihat sang Bibi membopong suaminya keluar dengan menyangga lengan kirinya. Sekarang tinggal ia, Nilam, dan Randi yang berada di sana. Mereka saling berpandangan.
“Dia bohong.” Ucap Rania lugas.
Nilam dan Randi kebingungan.
“Paman tidak punya asma sejak kecil.”
Keadaan hening sesaat, sementara Nilam dan Randi hanya berhadapan saling bertanya-tanya.
“Ran, lo mau nginep di sini dulu?” Tanya Randi.
“Enggak, gua langsung pulang.” Jawab Rania.
“Mampir dulu ke rumah yuk! Mama ku kangen kamu katanya.” Tawar Randi bersemangat.
Rania menatap dalam Randi. Temannya ini berubah begitu banyak. Sekarang ia tak lagi ragu memanggil istri kedua sang ayah dengan sebutan mama. Padahal dahulu Randi sangat berusaha untuk tidak menerimanya.
Entah sejak kapan dan karena apa, Rania baru menyadari akhir-akhir ini bahwa Randi sangat bersemangat menceritakan tentang ibu sambungnya. Dia juga tidak lagi menambahkan embel-embel istri ayah atau Bu Ratna lagi.
Detik ini, Rania sadar bahwa banyak yang berubah.
Entah itu di kehidupannya sendiri, ataupun kehidupan orang-orang disekitarnya. Dan kebanyakan dia baru menyadarinya setelah hal itu sudah berlalu lumayan lama. Apakah dia banyak membuang masa? Batin Rania pada dirinya sendiri.
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Inget ya, lebih baik nikmati debat sama Mama lo yang masih ada, daripada nanti lo nyesel ngangenin dia”~RaniaSore menjelang malam di salah satu kota metropolitan. Langit mulai menunjukkan transisi menuju sisi gelap di arah barat. Kebetulan sekali petang ini siluet jingga datang lebih lama, menerangi jalan yang sedang disibukkan banyak kegiatan di atasnya. Pantas saja, bertepatan dengan jam pulang kantor, jalan tak lagi terlihat warna abu-abu khasnya, tertutup kerumunan sepeda motor, mobil, dan angkutan umum yang suara klaksonnya bersahut-sahutan.Di dalamnya terdapat orang-orang dengan wajah lelah, kusam, dan masih belum tersapu
“Masa yang sangat kelam bisa datang dan menghancurkan hidupmu kapan saja. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa bahagia.”~Rania dan Nilam terlihat keluar dari café itu. Karena kondisi sedang hujan, mereka memutuskan untuk menepi di teras café. Rania berdiri di samping kiri, Nilam di tengah, dan Randi yang baru keluar dari café berdiri di kanan Nilam. Agak lama mereka berdiri di sana, menyaksikan datangnya rintik hujan yang walau datangnya sedikit-sedikit, tetap saja akan membuat baju basah jika memaksa pergi di bawahnya. Sama sekali tidak ada pembicaraan di antara 3 manusia yang sudah seperti manekin pajangan toko baju itu.Rania hanya menatap nanar ke depan, di antara mobil dan motor yang lewat di persimpangan jalan dengan mata yang bahkan tidak berniat berkedip saking tidak ma
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“” ~ Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi. Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil, “Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya. “Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon. “Rania masuk!” “Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hing
“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”~6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga RaniaApa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seo