“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja”
~Rania dan Soto
SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~
“Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya.
“Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania. “Nil?” Gadis itu menoleh pada Nilam.
“Lam.” Sahut Nilam sewot lalu bangun dari tundukan kepalanya di meja. “Kebiasaan lo, kalo manggil nama gue yang lengkap dong, ah! Susah susah emak gua ngasih nama yang imut begini konotasinya jadi kek kudanil. Argghh... kan inget mama lagi, ish!” Nilam mendorong kasar meja.
“Berantem lagi dia, Ran. Kali ini uang jajan di ganti capjay se kotak makan!” Sahut Randi.
“Yaelah, Nil. Mama masih ada lo ajak bertengkar mulu sih. Nggak takut nyesel apa.”
“Nggak tau aja lo gimana rasanya punya ibuk tapi kaya gak punya..”
“Ya kalo gitu lo mesti kuat tetep ngerasa punya ibuk padahal udah gaada kaya gue.” Randi mulai emosi.
Melihat raut ceria kedua temannya mulai bersitegang, Rania memecah suasana agar tak semakin berlarut.
“Eh, apaan si.” Sambil menepuk paha samping Nilam.”Kok jadi ngomongin ginian, lo tu, Nil, ya abis berjemur setannya ko ngga ilang sih. Kan seharusnya nguap sama matahari, kebanyakan setan tubuh lo nih perlu ruqyah kayanya.”
Sambil berjalan mereka menuju kantin.
“Dikira setan bentukannya kayak air rebus kali bisa nguap.” Sanggah Nilam yang sadar sudah merusak keadaan melihat Randi sudah memasang wajah ‘Yaudahlah’ ala dia.
“Hahahaha, iya juga ya, hahaha.” Rania menggandeng lengan Randi dan Nilam sambil terus berjalan. “Tanggal berapa sekarang, iyak tanggal muda, sultan Randi kalo ngajak ke kantin tanggal muda berarti udah dapet amplop dari mama muda kan.”
Rania mendapat sikutan dari Nilam yang berdesis “Astaga tu mulut, becandanya salah waktu ngga sekarang, bos.”
Rania menggigit bibir bawahnya, sadar kalau keceplosan dan memejamkan mata erat-erat lalu balas membisik “Ya elu sih tadi pake acara ngomong ibuk segala, kagak enak banget jaga manner depan kalian. Nggak cocok banget kalian di sopanin.”
“Gblg -_.“ Desis Nilam membalas.
Pandangan mereka mengarah ke depan koperasi yang ramai siswa menonton televisi yang tersedia bebas hanya di koperasi sekolah.
“Ada apaan si rame banget.” Tanya-tanya Vivi.
“Dahlah paling berita seleb lagi, pagi-pagi. Laper nih biar nggak dingin-dingin banget nih capjay.”
Randy dan Nilam terus melangkah meninggalkan Vivi yang terheran-heran dengan televisi kubus tua dengan layar buram bergaris-garis yang sedang di kerumuni siswa.
“Ran, ngapain?” Teriak Nilam.
Vivi melihat ke belakang, menuju Nilam dan Randi lalu kembali pada mereka setelah sekilas melihat televisi lagi.
“Heran aja biasanya kan program pagi kalo ga kartun variety show artis, masa serame itu.”
“Ternyata?” Tanya Nilam.
“Ada kecelakaan beruntun lagi.”
“Wadegile, 3 hari berturut-turut berita pagi isinya kecelakaan beruntun mulu ya!”
“Sotoy lu kayak pernah lihat berita aja pagi-pagi.” Sahut Randy tiba-tiba.
“Wah pemulihan mood anda cepat ya gan!” SewotNilam.
“Aku kok kepikiran ya.” Ucap Rania sambil terus mereka berjalan menuju kantin.
Mereka pun sampai di kantin, Randi yang membawa talam berisi makanan dan minumannya sedangkan Nilam yang hanya punya uang untuk membeli kerupuk terheran-heran melihat Rania yang termenung dengan tatapan kosong di bangku kantin mereka.
“Heh, ngapain sih.” Tanya Nilam sambil menggoyangkan tangannya di depan pandangan Vivi.
“Eh, nggak tau. Kayak kepikiran aja pas liat berita tadi. Aku kok kaya nggak tenang gini, sih!”
“Dah, nih minum dulu teh anget.” Randi menyodorkan teh ke depan Vivi.
“Traktiran nih?” tanya Vivi.
“Yah, tau gitu gua ngelamun tadi biar di traktir minum juga.” Timbal Nilam.
“Lo tu sama orang lagi susah aja sensi astaga! Pantes bertengkar mulu lo sama mak lo.” Sewot Randi.
“Di bahas lagi !” Sinis Nilam.
“Kalian bertengkar gua balik nih!” pisah Nilam. “Dahlah! Mau mesen soto dulu.”
Saat sampai di kasir, Vivi melihat layar monitor yang menampilkan “BREAKING NEWS” tentang kecelakaan beruntun yang sudah 3 hari berturut-turut terjadi lagi.
“Pesen apa dek?” Tanya Mbak Tika, mbak-mbak kantin penjaga kasir yang biasa di panggil ‘Mbatik’.
Rania yang layarnya fokus menatap monitor tersadar . “Soto, Mbatik. Sotonya ..”
Belum selesai ia disahut “Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja.”
“Wih, hapal dong.” Rania sumringah.
“Gimana enggak coba? Kamu ini jarang ke kantin, sekali ke kantin requestnya samaaa mulu. Mbatik sampe apal orangnya. Hahahah.”
“Jadi kalo aku nitip ke temen namanya ‘Soto Rania’ Mbatik langsung paham, kan? Hahahaha.”
“Selera bisa konstan, padahal soto di kasi koya enak juga loh, terus dagingnya pake daging kambing, pesen yang soto pake santen.”
“Itu makanan apa yaa.. makan soto ko gapake ayam sama kentang goreng tipis, situ yakin makan Soto? Hahahaha.”
“Wesss.. wesss.. Jangan sampe ada tim soto daging di belakangmu, nanti Mbatik pulang sore ini!”
Pandangan Rania kembali pada televisi di depannya.
“Wah, kejadiannya sama-sama di Tol Juktar ya?”
Mbatik menoleh ke monitor di belakangnya.
“Eh iya. Baru sadar!”
“Kok aneh banget ya, 3 kali kecelakaan di 3 hari berturut-turut di tempat yang sama dan juga sama-sama beruntun.” Ucap Rania.
“Emang terkenal rawan di sana, Ran! Salah satunya korban tuh ibu-ibu hamil yang kepental lumayan jauh. Tapi sayang bayinya gabisa diselametin beritanya barusan.”
“Masak iya sih sekali kecelakaan nggak diselidiki lebih lanjut? Minimal nggak ngulang kejadian yang sama sampek berkali-kali gini. Titiknya sama loh!”
“Ya namanya udah takdir, Ran. Siap nggak siap, kita nggak pernah tau kapan datengnya.” Ucap Mbatik.
“Ngga ngebayangin gimana keluarga mereka di rumah dipamitin pergi sebentar, baliknya ada di dalem peti yang nggak boleh dibuka.”
“Iya?”
“He em, adek ibuku kemaren jadi relawan buat perwakilan belasungkawa penyerahan jenazah ke keluarga korban. Kata dia, kasian kalo keluarga korban liat, karena kadang, permisi, udah nggak utuh.”
“Innalillahi wainnailaihirojiun.” Mbatik nyebut sambil mengelus perutnya yang besar, sedang hamil tua.
Rania melihat Mbatik. “HPL kapan, Mbatik?”
“Baru masuk minggu 34, besok Mbatik udah mulai cuti. Setelah itu suami Mbatik ga ngebolehin Mbatik keluar kemanapun, ini aja masih kerja mesti ngerayu. Hahahaha.”
“Pokoknya tu, Mbatik, harus bersyukur ya kita, masih ada yang sayang dan khawatir sama kita saat ini. Mumpung masih ada istilahnya.”
“Ini, nota sama kembaliannya ya, Rania.”
“He em, makasi Mbatik.”.
***
Kejadian-kejadian itu terakhir terjadi 6 tahun silam. Randi dan Nilam terakhir kali melihat Rania tertawa, mengumpat, berteriak, memaki, dan memarahinya. Rania yang selalu protes jika orang yang dititipin soto pesanannya kebanyakan menaruh kecap, Rania yang selalu melerai Randi dan Nilam yang mulai memperdebatkan tentang keluarga, Rania yang menjadi orang yang paling banyak mengomel dan Nilam yang lebih banyak mencari masalah serta penyebab dari omelannya.
Sekarang, kenangan tentang kejadian-kejadian itu hanya bisa menjadi harapan semua orang yang mau tidak mau harus menerima keadaan Rania saat ini yang sangat berbanding terbalik dengan 6 tahun lalu. Randi dan Nilam kehilangan sahabat cerewet mereka yang berusaha selalu bijaksana, Pak Yanto dan istrinya, kehilangan kakak beserta istri dan 2 keponakan mereka, masih harus menerima kenyataan bahwa keponakan tertua mereka masih hidup walau hanya tinggal raga dan jiwanya entah pergi kemana.
Kakak Jovan yang kehilangan adik sepupu ceriwis yang selalu meminta nomer telepon kawan letingnya untuk diberikan kepada teman-teman kelas Rania yang meminta nomer tentara muda. Tidak ada lagi gadis manis yang memaksa merampas dompetnya yang berisi gaji yang tidak seberapa.
Saat ini, hanya ada Nilam dan Randi yang berusaha banyak bicara dan memperhatikan, hanya ada orang tua yang khawatir berkepanjangan, dan kakak yang merasa sang adik pergi jauh padahal ada di dekatnya.
Dahulu, tidak ada satupun dari mereka yang mengira maut akan datang begitu cepat dan merampas segala kebahagiaan yang sudah tersaji lama. Sama sekali tidak ada yang mengira sumber bahagia tiba-tiba diangkat begitu saja dari hidup mereka dan menyisakan manusia-manusia yang berjalan ke depan dengan penuh penyesalan yang tak kunjung terselesaikan.
***
Flashback 6 tahun lalu di rumah duka. Setelah kejadian pertengkaran Rania dan sang bibi.
Laki-laki muda memasuki rumah duka yang keadaannya sangat kacau itu. Ia melihat kelambu di depan kamar Rania sudah copot beserta pengaitnya. Kacang tanah yang menjadi sajian pelayat berserakan dimana-mana, vas bunga yang pecah belum dibersihkan, kursi-kursi duduk kecil tak beraturan. Telinganya mendengar suara gaduh seperti orang yang sedang membentak-bentak dari arah dapur.
Dia adalah Naufal, sahabat masa kecil Rania, dia akhir-akhir ini sibuk mempersiapkan tes nya masuk akademi tentara. Saat ia mendengar kabar ini tadi, dirinya sedang berada di kolam renang yang ada di kota dan segera pulang.
Kepala Naufal menoleh ke kanan, pandangannya melihat gadis yang memeluk lutut, memandang takut pada orang-orang disekitarnya yang sedang menahan tangis. Naufal melihat Nilam yang dengan rapat menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara tangisannya, Randi pria tangguh yang matanya sudah bengkak walau sekarang tidak menangis, dan sepasang orang tua yang ia ketahu sebagai adik dari ibu Rania yang berprofesi sebagai tentara bersama dengan istrinya.
Mata dan perasaannya makin kalut melihat Rania yang semakin erat memeluk lututnya sendiri. Nilam berlari keluar dari ruangan itu dan ambruk di dinding ruang tamu sambil memecah tangisannya keras. Ia memegang kepalanya seolah ada yang akan memukulnya.
Matanya kembali mengarah ke gadis kecil yang merunduk menyembunyikan wajah, tak tahan ia berdiri di sana, akhirnya Naufal masuk dan memeluk gadis yang sangat ia sayangi itu. Melihat dia yang menangis dalam kehancuran turut membuatnya hancur juga.
Hatinya remuk dan tangisnya pecah. Dalam rangkulannya, gigi Rania menggertak seperti orang mengigil ketakutan. Terlihat orang-orang di kamar itu satu persatu keluar kecuali paman Rania, Pak Yanto Mahendra, yang kelak akan menjadi ayah angkat Rania.
Mereka berdua saling bertatapan, mengatakan banyak hal hanya dalam pandangan mata. Sosok didepannya sangat disegani Naufal, mengingat berada di titik beliaulah keinginan, cita-cita, dan seluruh harapan Naufal berada.
Tapi tangis Naufal terkadung pecah, dia tidak bisa menahannya di depan orang yang sangat ia segani itu. Akhirnya beliau mengulurkan tangannya mengelus pundak Naufal turut menguatkannya.
Saat itulah Ayah angkat Rania sadar, hanya kepada Naufal, dalam keadaan seburuk apapun, Rania bisa jujur akan perasaannya.
Semoga part sedih ini emosinya nyampe ya ke kalian! Jangan lupa vote! 😉
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Inget ya, lebih baik nikmati debat sama Mama lo yang masih ada, daripada nanti lo nyesel ngangenin dia”~RaniaSore menjelang malam di salah satu kota metropolitan. Langit mulai menunjukkan transisi menuju sisi gelap di arah barat. Kebetulan sekali petang ini siluet jingga datang lebih lama, menerangi jalan yang sedang disibukkan banyak kegiatan di atasnya. Pantas saja, bertepatan dengan jam pulang kantor, jalan tak lagi terlihat warna abu-abu khasnya, tertutup kerumunan sepeda motor, mobil, dan angkutan umum yang suara klaksonnya bersahut-sahutan.Di dalamnya terdapat orang-orang dengan wajah lelah, kusam, dan masih belum tersapu
“Masa yang sangat kelam bisa datang dan menghancurkan hidupmu kapan saja. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa bahagia.”~Rania dan Nilam terlihat keluar dari café itu. Karena kondisi sedang hujan, mereka memutuskan untuk menepi di teras café. Rania berdiri di samping kiri, Nilam di tengah, dan Randi yang baru keluar dari café berdiri di kanan Nilam. Agak lama mereka berdiri di sana, menyaksikan datangnya rintik hujan yang walau datangnya sedikit-sedikit, tetap saja akan membuat baju basah jika memaksa pergi di bawahnya. Sama sekali tidak ada pembicaraan di antara 3 manusia yang sudah seperti manekin pajangan toko baju itu.Rania hanya menatap nanar ke depan, di antara mobil dan motor yang lewat di persimpangan jalan dengan mata yang bahkan tidak berniat berkedip saking tidak ma
“Beberapa perpisahan tidak ada kata selamat tinggal di dalamnya.”~Rania“Rania welcome!” Seru Mama Rania dari dalam rumah.Di samping wanita paruh bayah yang berwajah teduh itu terdapat wanita yang berusia sebaya dengan sang kakak, memakai baju polisi dengan pangkat balok dua di pundaknya.Wanita itu adalah calon kakak ipar Rania. Saat ini, adalah hari pertama sang kakak membawa kekasihnya ke rumah secara resmi untuk membicarakan pernikahan, padahal sudah hampir 8 tahun sejak mereka pacaran.Rania, di dalam pikirannya bergelut bahwa sang kakak sengaja menunda pernikahan karena mengk
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“” ~ Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi. Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil, “Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya. “Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon. “Rania masuk!” “Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hing
“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”~6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga RaniaApa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seo