“Beberapa perpisahan tidak ada kata selamat tinggal di dalamnya.”
~Rania
“Rania welcome!” Seru Mama Rania dari dalam rumah.
Di samping wanita paruh bayah yang berwajah teduh itu terdapat wanita yang berusia sebaya dengan sang kakak, memakai baju polisi dengan pangkat balok dua di pundaknya.
Wanita itu adalah calon kakak ipar Rania. Saat ini, adalah hari pertama sang kakak membawa kekasihnya ke rumah secara resmi untuk membicarakan pernikahan, padahal sudah hampir 8 tahun sejak mereka pacaran.
Rania, di dalam pikirannya bergelut bahwa sang kakak sengaja menunda pernikahan karena mengkhawatirkan kondisinya. Rania membenci itu, dia ingin bilang bahwa ia tidak ingin menjadi orang yang banyak menghalangi keadaan.
Jovan, sang kakak memperhatikan ekspresi Rania. Harapan untuk mengembalikan hasrat hidup adik yang ia sayangi tak pernah pudar. Saat tiba-tiba ingin menyerah, dia melihat ke wajah berharap orang tuanya yang tak pernah pudar, atau kepada wanita yang sangat ia cintai, Siska
Wanita itu rela menunggu dan memberi perhatian penuh kepada keluarga Jovan yang bahkan belum resmi menjadi keluarganya. Lihatlah sekarang Papa, Mama, dan Siska yang masih memakai pakaian dinas mereka masing-masing, pukul 8 malam, sudah menyiapkan acara kecil yang cukup mewah ini sendirian.
Pasti sangat melelahkan, selesai kerja langsung memikirkan acara, makanan, perasaan, harapan, bahkan ekspresi yang harus mereka pasang. Alasan utamanya, tak lain tentang harapan mereka agar hasrat hidup gadis kecil mereka yang hilang sejak 6 tahun silam, kembali lagi.
Jovan merangkul Rania hangat dari samping. Gadis itu memang kehilangan hasrat hidupnya, tapi dia juga tak pernah tidak menghargai pemberian mereka. Yah walaupun tanpa ekspresi sumringah seperti yang diharapkan sebelumnya, tapi mereka tetap bahagia dan selalu berkata bahwa kesempatan di hari esok akan datang lagi seperti biasanya.
Mereka duduk di meja makan. Tanpa melepas seragam kerja masing-masing, keluarga itu duduk dan makan setelah mencuci tangan. Seperti biasa, sang Papa mulai mengambilkan ikan untuk Rania. Sejak kecil, Rania selalu makan ikan yang sudah dibersihkan durinya. Ayah dan Ibunya selalu membuat ia makan tanpa harus ada hambatan lagi.
Ikan yang durinya sudah dibersihkan, air putih di samping pirin, sendok di atas meja, lauk yang gampang digigit, buah yang sudah dikupas, hingga tisu kering di tengah meja. Rania selalu merasakan bentuk kasih sayang yang seperti itu sejak kecil.
Hingga saat itu, ia bertengkar dengan sang ayah. Baru pertama kali dirinya bertengkar dan itu hanya karena hal sepele. Saat itu mama Nilam menelpon bahwa Nilam tidak pulang lagi ke rumah. Sudah hampir 45 jam dan mama Nilam sudah berada di kantor polisi untuk persiapan membuat laporan. Rania tahu kemana Nilam pergi biasanya karena itulah mamanya menelponnya.
Kejadian itu sudah berulang kali terjadi dan Rania langsung menghampiri Nilam yang ada di rumah salah satu teman fotografinya yang dipakai untuk markas organisasi mereka. Rania tidak meminta izin untuk keluar pada ayahnya, sehingga saat ia kembali, sang ayah langsung memarahinya habis-habisan.
Padahal biasanya, jika Rania keluar dengan alasan Nilam, ayahnya akan pengertian. Toh ia keluar tidak sampai 4 jam, tapi sangat marah seolah dirinya berbuat salah apa. Hari itu ayahnya sangat temperamen, apa-apa saja dikomentari. Pakaian, cara jalan, riasan wajah, bahkan cara dia makan. Tiba-tiba ayahnya memarahinya habis-habisan,
“Kamu ini manja banget seh, Ran!” Bentak sang Ayah tiba-tiba.
Ibunya yang merasa suasananya tidak enak menyenggol bahu suaminya untuk segera berhenti dan makan karena gadis itu sudah banyak dimarahi sejak pagi. Tapi rupanya Rania tidak, dia sudah terlanjur tersulut emosinya. Dimakannya ikan di hadapannya dengan asal yang berujung tersedak duri.
Semua orang tahu bagaimana rasa sakit sekaligus trauma yang ditimbulkan saat tersedak duri. Tenggorokannya sangat sakit seperti ada yang mengganjal sambil menggores dinding kerongkongan. Dibawa batuk sakit, dibawa menelan juga sakit. Akhirnya Rania memegangi erat tenggorokannya dan menangis menjadi-jadi.
Andai saja ia tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir ia bertemu sang ayah, sudah pastilah dia akan mengalah.
Tapi sayang, beberapa perpisahan tidak ada kata selamat tinggal di dalamnya.
***
Setelah berakhirnya acara di malam itu, Rania segera membuka laptopnya. Dia membuka browser dan melihat tab pencarian yang sudah ia pin sebelumnya.
Carrier in South Korea
Disandarkan punggungnya ke kursi. Sudah sejak lama ia memikirkan karir ini. Sudah cukup dirinya menjadi penulis belakang layar yang hanya dikenal crew saja. Dia ingin mencapai cita-citanya yang ini.
Tiba-tiba pintunya diketuk.
“Rani, Papa sama Mas boleh masuk?”
Itu suara Papa!
Segera Rania menggeser-geser mouse, mencari dan menekan tombol close di pojok kanan atas. Ia kemudian berdehem mengiyakan panggilan itu.
Rania duduk di ranjang dan Papa nya duduk di sofa di depannya. Kemudian kakak nya ke dalam sambil membawa kopi kemasan kaleng di tangannya lalu menutup pintu.
“Rani, kamu masih nyelidikin kasus kecelakaan keluarga kamu?” Ucap sang Papa to the point.
Rania menatap wajah mereka segera tanpa menjawab apapun.
Kakaknya menyerahkan flashdisk ke atas meja.
“Orang punya toko yang CCTV nya ngerekam kejadian 6 tahun lali tadi nyerahin ini ke Papa. Katanya kamu yang minta.” Timbal sang Kakak.
Rania menunduk tidak menjawab lama.
“Aku.. Aku cuma pingin punya videonya aja, kok! Meskipun aku tau kepastian kematiannya, mereka tetep nggak akan kembali.”
Hening sejenak, hanya terdengar suara nafas mereka bertiga yang mulai memberat.
“Begini, Papa nggak halangin Rania untuk selidikin sedalam apa kematian mereka. Lakukan apa yang menurut kamu emang perlu dilakukan. Kalo kamu emang merasa ada yang aneh pada kematian mereka, lakuin apa yang Rania mau. Yang perlu Rani inget, Papa selalu ada di samping Rania kapanpun Rania butuh. Jangan sungkan buat hubungin Papa.”
Jovan menoleh pada sang ayah. Bagaimana dirinya sesabar ini? Mengapa menawarkan hal seperti itu pada Rania? Bukankah ia bisa melakukan hal yang lebih dari itu? Kecelakaan itu hanyalah tragedi ringan yang dengan gampang dapat di atasi oleh petinggi militer yang punya banyak koneksi di kepolisian seperti dirinya.
Bukankah itu sama saja merendahkan posisinya? Ia tidak tahan dan akhirnya menyahut,
“Penyelidikan seperti itu bisa dengan mudah kita lakuin, Ran. Kenapa kamu nggak minta kita aja?”
Rania menunduk dalam dan memainkan ibu jarinya. Batinnya mulai merasa tak enak akan perkataan sang Kakak. Omongannya ada benarnya juga, tapi entah kenapa Rania belum siap untuk mengandal orang lain lagi. Bahkan Papa dan Kakak nya sendiri.
Setelah keluar ruangan Rania, Jovan malah merasa bersalah telah mengatakan hal itu tadi,
“Maaf, Pa, Ma. Tadi Jovan kelepasan.”
Orang tuanya hanya diam dan bernafas berat di depannya.
“Lain kali biarin dia lakuin apa yang dia suka dan mau dulu. Sudah sejak lama adikmu tidak berhasrat melakukan apapun, hal ini adalah satu-satunya hal yang ia ingin lakukan sejak 3 tahun silam. Biarkan dia, yang paling penting kita selalu ada di sampingnya.” Jelas sang Mama.
“Mamamu benar. Saat itu dia seperti hidup tanpa harapan. Baru 3 tahun setelahnya ada keinginan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu.”
Rania mendengar dari balik pintu kamarnya. Pikirannya mulai mengatakan bahwa dirinya adalah kesusahan bagi mereka. Dia tidak suka kondisi seperti ini, seolah-olah dia sedang dikasihani saja. Rania ingin mereka melakukan apapun tanpa berpikir bagaimana dirinya. Bukan seperti ini yang namanya bersikap biasa saja.
Ia pun berlalu menenggelamkan wajahnya di bantal kasurnya.
.
.
“...Kita melakukan ini bukan karena kasihan dan menolong Rani. Tapi kita menyayanginya, sebab itu kita semua harus melakukan ini.” Lanjut sang papa yang sudah tidak terdengar oleh Rania.
Terkadang kasih sayang yang sebenarnya banyak tertutup oleh keraguan pribadi manusia, sehingga kekuatan asli kasih sayang itu terlihat redup, padahal aslinya sangat terang.
“Tapi mau tidak mau, jika ingin mengetahui kejelasan dari seluruh kisah yang membuat kepalanya kesakitan ini, dia harus menerima rasa sakit dan bertahan sebentar di sana.”~6 Tahun yang lalu.“Lo nggak capek berantem mulu sama Mama lo?” Mulai Rania mengomel di pagi hari karena masalah Nilam dan mamanya lagi.“Jawaban gue tetep sama. Sekeras apapun lo nasehatin
"Dia hanya ‘menyiapkan’ apa yang sudah ia temukan dan membiarkan Rania yang menyusun sendiri puzzle yang sudah coba dirinyaa kumpulkan.” ~Papa Rania (Bapak Yanto) “Tadi pagi Rania bilang dia nggak kerja hari ini.” Ucap Jovan. Saat ini, ia sedang berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama Papa dan Mamanya. “Kemana dia pergi, pagi-pagi banget?” Tanya sang Mama. “Kampung Salak.” Jawab Jovan yang membuat semua orang bertatapan. Ada perasaan bergemuruh dari dalam diri mereka masing-masing. Ada trauma tersendiri dari kampung itu untuk keluarga mereka. Kampung Salak merupakan kampung as
“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”~6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga RaniaApa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seo
“” ~ Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi. Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil, “Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya. “Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon. “Rania masuk!” “Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hing
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“” ~ Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi. Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil, “Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya. “Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon. “Rania masuk!” “Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hing
“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”~6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga RaniaApa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seo