“”
~
Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi.
Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil,
“Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya.
“Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon.
“Rania masuk!”
“Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hingga membuat semua orang menoleh.
Gadis itu berjalan keluar segera setelah mendapat pesanan sarapannya.
“Gimana gimana? Maksudnya?” Tanyanya pada Randi.
“Ini kayaknya Rania masuk kampung, deh.”
“Beneran lo? Katanya biasanya cuma berhenti di depan gapura?”
“Iya biasanya gitu. Tapi sekarang masuk dia nya!”
“Yaudah deh, tunggu dulu! Gua kesana.”
Randi berlari memasuki rumahnya setelah memarkir sepeda. Ia membuka helm dan melemparkannya asal-asalan. Mamanya yang melihat hal itu terburu-buru menghampiri Randi,
“Kenapa, Ran?” Tanyanya.
“Rania kesini, Ma. Aku keluar lagi ya, nanti aja ceritanya!” Ucap Randi tergesa-gesa sambil mengganti jas kerja nya menjadi jaket.
Bu Ratih, sang Mama membantu Randi memasukkan tangan ke dalam jaket. Kejadian 6 tahun lalu tidak hanya merubah hidup Rania. Tapi juga hidup dari putra suaminya yang sudah dianggap sebagai putranya sendiri ini. Kejadian itu turut merubah sikap Randi padanya. Satu sisi dia bahagia karena Randi tidak lagi menganggapnya hanya istri dari ayahnya, bukan ibunya, tapi di sisi lain, dia juga turut prihatin atas kondisi Rania.
Oleh sebab itulah, dirinya langsung paham dengan perkataan Randi tadi.
“Hati-hati! Jangan agresif berlebih ke Rania. Pahami aja dia ya. Setelah 6 tahun anak itu berani ke sini lagi.” Nasihatnya.
Randi mengangguk mengiyakan permintaan Ibunya. Dia mencium tangan ibunya lalu memeluknya dan segera pergi keluar.
“Nanti makan jangan nunggu Randi pulang ya, Ma!”
“Iya, hati-hati!”
Randi memilih untuk tidak menaiki motornya dan berjalan menuju rumah Rania.
***
Rania keluar dari mobilnya setelah memarkirkannya di taman yang terletak tepat di depan gerbang rumahnya. Dia masih berdiri di sana, enggan untuk segera masuk ke dalam. Di tangan kanannya ia menenteng tas dan tangan kirinya masih memegang kunci mobil.
Bertahun-tahun dia tidak ke sini, rasanya masih sama. Suasana di rumah ini masih sama persis seperti yang ia tinggalkan 6 tahun silam. Bahkan warna catnya masih sama, terlihat terawat dan terus diperbarui setiap saatnya.
Dahulu dia pergi dari sini dengan kesan buruk yang mungkin akan terkenang bagi banyak orang. Jika ada tetangganya tahu dia di sini sekarang, pastilah akan langsung jadi pembicaraan dan gosip yang cepat menyebar.
Keluarganya cukup terpandang di desa ini, saat seluruh anggota keluarga yang sangat disegani warga itu mati dalam waktu yang bersamaan, pastilah akan menjadi berita besar yang membuat banyak orang rela tidak bekerja hari itu hanya untuk melayat ke sana.
Dan tentunya, mereka semua ada di sana saat Rania mengamuk seperti orang gila dahulu. Mereka semua ada di sana saat Rania tidak protes dibawa pergi dari kampung Salak. Mereka juga pastilah tau Rania sering mendekat ke kampung ini walau tidak pernah turun mobil.
“Rania?” Suara seorang wanita paruh baya dari arah kiri mengejutkan Rania yang ada di sana.
Gadis itu menoleh ke sumber suara dan hanya menatap wanita itu lekat tanpa ada niat membalas sapaannya.
“Iya kamu Rania kan? Anaknya Pak Mardi? Adik suami saya?”
Iya, dia adalah Bibi Rania. Dalam hati Rania, mengapa harus orang ini yang ia temui pertama kali saat ke sini. Ingatan Rania tentang orang ini hanyalah tentang bagaimana dia bereaksi saat kematian keluarganya dahulu.
Dia juga yang membuat Rania marah-marah seperti orang gila karena terus menerus menyalahkannya hanya karena adat yang katanya harus dituruti. Saat orang lain banyak berduka karena kehilangan, yang beliau sibukkan hanya masalah adat, adat, dan adat. Marah karena orang lain sibuk menemani Rania yang terus mengurung diri, marah karena tidak ada makanan yang tidak bisa diberikan kepada tamu.
Apa yang paling diingat Rania adalah saat bagaimana dirinya harus sibuk membanding-bandingkan kecelakaan yang juga dialami suaminya. Rania selalu ingat bagaimana sang bibi mengomentari bahwa orang-orang menanggapi terlalu lebay kematian keluarganya padahal suaminya juga menjadi korban kecelakaan itu.
Padahal setelah beberapa minggu, pamannya kembali pulih dan hidup biasa seperti sedia kala. Sementara karena kecelakaan yang sama pula, Rania kehilangan hidupnya. Dari situ sudah sangat jelas, sang Bibi tidak berada di pihaknya.
“Akhirnya kesini juga kamu ya! Nggak kangen sama keluarga sini kah? Atau kamu udah bahagia bersama pamanmu yang jenderal tentara itu iya? Hidupmu pasti sentosa.”
‘Tidak tahu saja dia bagaimana aku merasa mati tiap saat dalam hidup.’ Batin Rania.
“Ayo masuk, ini kan rumahmu. Jangan di luar terus!”
Sang Bibi membuka gerbang dengan kunci yang ia bawa sendiri. Rania awalnya heran dan memandangi kunci rumah yang ia bawa ternyata tidak berguna.
Sang Bibi juga terlihat sudah terbiasa masuk ke rumah itu, dilihat dari bagaimana caranya dia masuk lalu memberi makan ikan, membuka pintu dan jendela, dan pergerakan lain yang memperlihatkan beliau sudah lama memiliki rumah itu.
Rania hanya memilih diam dan tidak menghiraukan keheranannya. Ia menuju kolam ikan di pojok rumahnya. Ikan koi kesayangannya masih di sana ternyata!
“Moshi!” Sapa Rania sambil menyentuh ikan koi di dalam kolam.
“Bibi kasih makan Moshi tiap hari. Kadang juga bibi tidur di sini biar rumahnya nggak kayak sarang hantu. Lama nggak ditempatin manusia.”
Sementara di luar rumah Rania, Randi harap-harap cemas tentang keadaan yang baru saja ia lihat. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin melihat Rania hanya masuk berdua dengan orang yang turut menyumbang trauma di masa lalunya.
Da tidak berani ikut masuk ke dalam karena sudah pasti jika Randi tiba-tiba di sana, Rania akan enggan melanjutkan penyelidikannya dan menjauhi Randi dan ia tidak suka itu. Sudah cukup dahulu ia serasa hampir mati melihat Rania yang awalnya ceria, gemuk, berisi. Menjadi kurus kering tinggal tulang, berbulan-bulan tidak bicara, dan percobaan bunuh diri.
Sudah cukup ia bermimpi buruk setiap saat waktu itu karena pikirannya masih bergelut pada pertanyaan : Apakah Rania bisa bertahan hidup? Apakah Rania mencoba bunuh diri lagi? Apakah dia aman?
Dari kejauhan Randi melihat Nilam keluar dari mobilnya.dan segera berlari menuju arahnya.
“Kata lo Rania kalo kesini nggak pernah turun mobil?” Tanya Nilam langsung saat sudah sampai di depan Randi.
“Iya biasanya emang gitu. Ini nggak tahu tadi dia keluar mobil dan akhirnya sekarang masuk ke rumahnya!”
“Masuk? Kesana?” Tanya Nilam sambil menunjuk rumah Rania “Yakin, lo?” Lanjutnya.
“Iya beneran. Mana masuknya sama ntuh si bibi yang waktu itu marah-marah di hari pemakaman, yang suaminya nyetirin mobil maut.” Jelas Randi merujuk pada mobil yang digunakan oleh keluarga Rania saat kecelakaan 6 tahun silam.
“Dia keluar!” Sahut Nilam tiba-tiba melihat Bibi Rania keluar dari rumah.
Beberapa saat kemudian, mereka melihat Bibi Rania membawa serta sang suami dan melangkah tergesa ke rumah itu.
“Wah, kok dia bawa sekutu? Perasaan gue nggal enak, Nil.” Ucap Randi.
“Kesana-kesana! Ayok samperin! Cepetan!” Ajak Nilam sambil mereka melangkah dengan setengah berlari ke rumah lama Rania.
Randi dan Nilam mengendap-ngendap memasuki gerbang tinggi rumah itu. Samar-samar mereka mendengar nada tinggi terucap dari dalam sana.
“Kamu minta kejelasan lagi ini maksudnya gimana? Kamu nggak percaya kalo dari kecelakaan tragis itu pamanmu ini nggak ikut mati?”
“Bertahun-tahun baru nyapa keluarga di sini, dateng-dateng nanyain kronologi kejadian yang buat semua orang sedih. Kamu nggak mikir?” Suara sang Paman lantang.
“Udah keenakan dia hidup di rumah pegawai negara. Dari kecil enak, ditinggal orang tua pun masih hidup enak! Sengaja buat kita sedih dengan nanyain hal-hal yang buat pamannya ngerasa bersalah, begitu maksudnya?”
Nilam dan Randi menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi playing victim! Nggak ada yang nuduh tiba-tiba sok merasa dituduh.
Lagu lama.
Tbc.
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Inget ya, lebih baik nikmati debat sama Mama lo yang masih ada, daripada nanti lo nyesel ngangenin dia”~RaniaSore menjelang malam di salah satu kota metropolitan. Langit mulai menunjukkan transisi menuju sisi gelap di arah barat. Kebetulan sekali petang ini siluet jingga datang lebih lama, menerangi jalan yang sedang disibukkan banyak kegiatan di atasnya. Pantas saja, bertepatan dengan jam pulang kantor, jalan tak lagi terlihat warna abu-abu khasnya, tertutup kerumunan sepeda motor, mobil, dan angkutan umum yang suara klaksonnya bersahut-sahutan.Di dalamnya terdapat orang-orang dengan wajah lelah, kusam, dan masih belum tersapu
“Ada berbagai macam peran wanita sebagai ibu di dunia ini. Ada mereka yang menjadi ibu untuk melahirkan. Ada mereka yang menjadi ibu untuk mengasuh anak/tak bisa melahirkan. Ada wanita yang menjadi ibu dengan melakukan keduanya.Mereka semua ‘ibu’ dengan perannya masing-masing. Tanpa berat sebelah. Semuanya rata-Sama.”~PutkerrSuasana lorong rumah sakit terasa begitu suram walau ada banyak orang di sana. Pak Yanto Mahendra, Paman Rania beserta sang istri di sampingnya yang masih tidak percaya apa yang sedang terjadi hanya diam menatap lurus ke arah pintu UGD.Polisi lalu lintas dan guru disiplin SMA Negeri Harapan Bangsa hanya duduk terdiam di kursi tunggu dengan wajah lesu. Penurunan emosi yang sesaat serta secara tiba-tiba m
“Akan ada masanya, emosi yang tepat arah sekalipun, harus dipikirkan ulang sebelum dilampiaskan.” ~Anonim Rania, Randi, dan Nilam hanya termenung setelah melihat gelengan kepala paman Rania. Nilam menajamkan matanya melihat Paman Rania memeluk keponakannya. Randi masih tidak percaya tentang apa yang baru saja ia lihat. Matanya masih kesulitan bahkan untuk berkedip. Mereka bertiga masih belum menangis, desah nafas pun masih terasa berat karena mereka baru saja berlari-lari. Rania mulai berontak dan tidak percaya dengan apa yang terjadi, ia berlari menuju ke dalam ruang operasi darurat, melepaskan pelukan sang paman. Randi dan Nilam mengikuti Rania, bedanya, mereka melangkah pelan, seperti ketakutan, berharap apa yang ada di pikiran mereka tidak benar-benar terjadi. Diteguknya air liur pelan, Nila
“Jika terjadi sesuatu pada orang tuanya, ia masih belum sempat berpamitan kepada mereka. Bahkan terakhir bertemu mereka, ia hanya membuat dosa, dan dosanya masih terasa sampai sekarang, dalam bentuk tenggorokan sakit karena tersedak tulang ikan akibat bertengkar dengan sang ayah.” ~ Rania, Randi, dan Nilam terlihat berlarian di koridor sekolah mereka, terlihat tergesa-gesa dan hampir menubruk semua hal yang menghalangi jalan mereka. “Udah dapet?” Tanya Nilam. Wajah Rania memucat, ia sangat khawatir saat ini, tenggorokannya masih sakit, sehingga tidak bisa mengutarakan kekhawatirannya. Randi menoleh ke arah Rania, tidak kalah khawatirnya. Setelah membaca pesan dari ibu Nilam yang mengatakan bahwa oran
"Sampe kapanpun lo nggak bakal ngerti! NGGAK ADA YANG BIKIN LO MARAH SAMPE PENGEN PROTES KE SEMUA ORANG! Nggak ada!"~Randi6 Tahun yang lalu. Hari kecelakaan.Saat sampai di depan kelas, dia melihat pemandangan yang sudah terasa hawa-hawa pertengkarannya. Dia melihat Nilam yang sudah menekuk wajah dan Randi yang pindah dari bangkunya ke bangku pojok belakang.Rania langsung paham, pasti mereka sedang berselisih lagi hari ini. Dihelanya nafas berat,“Kali in
“ Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa kerumitan Rania hari ini adalah kenangan terakhir yang akan ia rasakan bersama orang-orang yang ia cintai.”~Flashback 6 tahun lalu. Sehari sebelum kecelakaan terjadi.Pagi hari, suasana terasa mendung di kampung Salak. Di kamar berukuran 3x4 meter bangun seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang sangat berantakkan.Dia adalah Rania. Mulutnya mengerucut dan tenggorokannya ia paksa menelan. Terasa masih sangat sakit, ia memegangi tenggorokan yang baru kemasukan duri ikan itu.Kemarin, ia dan sang ayah bertengkar hebat. Kejadian itu membuat mood Rania langsung anjlok ketika mengingatnya. Mengingat ia da
“Nambah 2000 nggak pake kecap, sambel 2 sendok, kuah sedikit lebih banyak, ekstra kentang goreng plus kubis ditambah telur rebus setengah aja” ~Rania dan Soto SMA Negeri Harapan Bangsa 6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 8 pagi setelah upacara~ “Kantin yokk!! Belom sarapan nih!” Ajak Randi kepada Nilam dan Rania di depannya. “Boleh, yuk! Lagi pengen minum es coklat.” Sahut Rania
Tok.. Tok.. Nilam mengetuk pintu rumah Rania. Gadis itu berlagak tidak tahu ada siapa di dalam rumah itu dengan celingak celinguk ketika masuk ke dalam. Saat sudah sampai di ruang tengah, dilihatnya Rania yang duduk berhadapan dengan paman dan bibinya. “Rania!” Ucap Nilam dengan nada terkejut. “Nilam, Randi. Kalian di sini? Ngapain?” Tanya Rania. Paman dan Bibinya memasang ekspresi jengah melihat ‘pasukan’ Rania yang baru datang ini. Randi dan Nilam sempat kelabakan untuk menjawab Rania. Tapi dapat segera mereka atasi, “Eh, rumah gue kan masih di sini.
“” ~ Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi. Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil, “Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya. “Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon. “Rania masuk!” “Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hing
“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”~6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga RaniaApa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seo