"Iori...Iori...iori--IORI...!"
Gadis itu terbangun dengan peluh membasahi badan, pakaian tipis yang ia kenakan bahkan ikut basah oleh keringat bermanik-manik yang terlihat terus mengucur.Mata bermanik biru yang terbuka lebar itu langsung menatapi ruangan kecil yang bahkan tak memiliki pendingin ruangan kecuali kipas angin yang hanya membuat ruangan kecil tanpa jendela itu makin panas, pengap, menyesakkan. Sampai ia memejamkan mata menyadari ia tak lagi ada di ruangan nyaman dengan ranjang lebar nan empuk, harum dan penuh udara segar juga wangi lavender yang begitu ia rindukan.
Tempat yang rasaanya bisa ia sentuh setiap kali ia memejamkan mata karena hanya itu yang bisa ia lakukan kini. Mengenang masa dimana ia memiliki kehidupan tanpa harus mengenal apa arti hidup sesungguhnya.
Cklek! Suara pintu yang dibuka membuat wanita mungil dengan rambut yang selalu kusut tak lagi tersentuh tangan-tangan pekerja salon itu menoleh. Bocah lelaki yang bahkan harus berjinjit setiap kali ia harus membuka pintu itu melongokan kepala kecilnya dan mata biru jernihnya melebar mendapati sang mommy sudah banngun dari tidur yang hanya sesaat.
"Mommy, eng-" ragu, bocah yang bahkan belum berusia 4 tahun itu menggigit bibir merahnya yang basah. Lalu menunjukan senyum pada wanita yang menyuruhnya masuk dengan satu tangan.
Senyum lebar itu. Sungguh obat bagi segala kesusahan yang rasanya tak ingin menjauh dari kehidupannya kini. Senyum lebar dari bocah lelaki yang rambut halusnya berayun ketika kaki kecilnya berlari mendekat pada sang mommy yang badannya begitu tak terawat. Bibir kering, mata lelah, tangan kasar, pakaian seadanya. Namun pelukannya selalu hangat, menenangkan, juga aman bagi bocah lelaki yang akhirnya merasakan pelukan setelah menunggu jarum panjang mendekati 5 garis didepannya.
Hal yang selalu bocah itu lakukan setiap saat ketika penghuni rumah tak ada. Hanya meninggalkan dirinya dan sang mommy yang selalu kelelahan tapi tangan dan kaki mommy terus saja bergerak. Entah itu karena ucapan sang Oma, atau sang Daddy, ataupun wanita yang datang dan tidur dengan daddynya setiap malam, atau tantenya yang selalu bersikap tak baik pada mommy.
Opa? Hmm... Opa tak kasar pada mommy tapi Mommy terlihat tak ingin didekati pria yang sekali waktu membuat tanda biru ditubuh kecilnya.
"Mommy bangun aku belum datang." Ucap Rei dalam pelukan Cyntia yang mengusapi kepala berambut halus yang matanya mendongak menatapi dirinya.
"It's true, Darling," ucap wanita mungil yang bahkan kecupan bibir keringnya membuat pipi Rei kegelian. Sampai bunyi perut yang protes ingin diisi terdengar.
"Apa anak mommy sudah lapar?"
Pertanyaan sederhana itu membuat Rei diam beberapa lama lalu menggeleng meski perut kecilnya kembali protes dengan suara yang lebih besar.
"Ow, to bad than. Karena Mommy juga lapar."
Ucapan sang mommy membuat mata Rei berbinar begitu terang meski saat mata bulat nan jernih itu menatap keluar, mata birunya kembali menunjukan keraguan. Sampai sang mommy menyentuh pipi Rei agar menatapnya. "It's ok, darling. Mommy menyimpan roti untuk kita didapur."
"Tapi-" Rei menelan kembali kalimatnya lalu menggigit bibir merah kecil nan basahnya itu. Membuat wanita yang memeluknya erat mengenyahkan rasa menusuk yang begitu ia hafal dalam hati lalu tersenyum meyakinkan sang putra yang seharusnya tak memikirkan apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
Bahkan pikiran itu tak seharusnya ada, tak seharusnya ada!
'I am so sorry, Rei. I am so sorry.'
"Let's go, atau roti kita bisa dimakan semut." Ajak wanita itu berdiri dengan terus menggendong Rei yang tertawa saat perut kecilnya yang kembali protes digelitiki tangan kasar yang terasa begitu hangat, menenangkan.
"Makan pelan-pelan, Rei," ucap wanita itu mengingatkan bocah kecil yang duduk di atas lantai dingin yang dihafal bokong kecilnya.
"Eng!" jawab Rei dengan mulut penuh roti tawar berisi selai coklat yang belepotan di bibir dan pinggiran mulut. Dengan cekatan Cyntia mengusap coklat itu dengan ibu jari lalu dijilatnya.
"Yummy isn't it?" Tanya wanita yang membuat Rei mengangguk lalu menelan rotinya cepat, "kenapa Mommy tidak makan?"
Cyntia tersenyum lalu mengecup pipi putranya begitu gemas, "Mommy sudah kenyang melihatmu makan, Darling."
Mendengar itu Rei jadi diam, lalu menatap roti ditangan kecilnya yang baru dua kali ia gigit, "tapi--Rei tidak kenyang saat liat Daddy, Oma, Opa, Tante Catlyn, dan Tante itu makan, Mommy."
Ucapan Rei membuat Cyntia diam beberapa saat sampai panggilan Rei membuatnya sadar mata bulat nan jernih Rei menatapinya. Rasanya ia tak mampu menjawab dan hanya mengulurkan tangannya mendekap tubuh kecil yang membuatnya bertahan. Sekuat hati ia menahan rasanya untuk tak nampak saat wajahnya menatapi wajah Rei dan senyum ia ciptakan meski matanya tergenang.
Tin...Tin! Tin...Tin!
Tak sabar suara klakson itu terdengar membuat wajah Rei berubah kaku, panik menatap sang mommy juga roti ditangannya. "It's ok, Darling, kamu masuk kamar dan habiskan rotimu di sana. Jangan keluar kalau mommy tak memanggilmu, ok?"
Rei menatap Cyntia ragu lalu mengangguk pada tatapan lembut nan meyakinkan sang mommy yang memberinya kecupan dan dekapan.
Cyntia membetulkan untaian rambutnya memastikan tak ada coklat yang menempel di badan ataupun tangannya saat bercermin setelah Rei masuk dan menutup kamar tempat mereka tidur, rapat.
Umpatan langsung terdengar dari lelaki yang begitu tak sabar bahkan mendorong tubuh Cyntia yang hendak mengambil tas kerja sang suami. "Darimana saja, Kau!"
"Aku dari belakang, Hans." Jawab Cyntia dengan wajah datar membuat Hans meliriknya dari atas dan bawah. "Kuharap kau tak mendekati dapur ibuku!" Seru Hans masuk meninggalkan wanita yang hanya diam lalu berjalan dibelakangnya.
"Biar aku," ucap Cyntia saat Hans melepas sepatunya lalu masuk dengan menutup pintu dihadapan muka Cyntia.
BRAKK!
Terkejutkah Cyntia? Tidak, dia tak akan lagi terkejut dengan sikap kasar Hans. Dan hanya masuk lalu meletakan sepatu berserakan Hans dalam rak sepatu, hal yang rasanya tak pernah ia bayangkan akan ia lakukan saat ia masih tinggal dalam mansion berpilar-pilar besar dengan taman luas dan pagar tinggi menjulang.
Setidaknya sampai teriakan Hans terdengar membuatnya lari cepat setelah memastikan sepatu Hans rapi, tertata, tak menyalahi aturan pemilik rumah yang tidak suka pada ketakberaturan. Seandainya pemilik rumah ini menerapkan hal serupa pada mahluk hidup yang tinggal di rumah ini. Tapi, rasanya itu tidak akan mungkin.
"CYNTIA!!" teriak Hans makin keras dan membanting tangannya di atas meja makan kosong yang bahkan tak meninggalkan jejak satu butir kacang ataupun anggur.
"Kenapa tidak ada makanan? Apa saja yang kau lakukan selama kami semua pergi, hah!"
"Ini belum waktunya memasak makan malam, Hans. Kau tau ibu tak suka jika aku membuka kulkasny-"
"Alasan! Aku tau kau hanya pemalas yang kerjaannya hanya tidur-tiduran sepanjang hari sementara kami semua bekerja siang dan malam untukmu dan putra sialanmu itu!"
Deg! Rasanya kepala Cyntia dipukul gada yang begitu keras. Bukan karena ia disalahkan. Disalahkan atas segala hal, sudah biasa baginya. Namun, setiap kali mendengar sang suami menyalahkan putra mereka rasanya ia tak akan pernah bisa merasa biasa.
Putra yang bahkan untuk makan selembar roti saja ia harus sembunyi-sembunyi dan lelaki dihadapannya ini mengatakan ia bekerja siang malam untuk putra mereka?
"Airmatamu tak akan mempan, Cyntia. Jadi simpan saja sendiri." Ucap wanita berambut pirang yang masuk tanpa ia sadari, "Oh dan tolong bawakan belanjaanku lalu masukan dalam kamar, please."
Manis, begitu manis dan manja. Hal yang kini hilang dari wanita yang bahkan hanya bisa menggigit bibirnya keras merasa jijik pada pemandangan dihadapannya.
Gadis itu, tidak! Perempuan itu melumat bibir suaminya begitu lapar, sampai desahannya keluar saat tangannya yang berkuteks merah mengkilap menyusuri selangkangan Hans! Dan ia, istrinya, hanya bisa melihat! tak lagi ingin protes ataupun marah. Lukanya hanya ia simpan sendiri seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Menangis hanya jadi pelampiasannya jika ia sudah tak tahan.
"Ow, kau masih disitu?" Tawa manja itu terdengar dari perempuan yang melingkarkan tangannya pada leher Hans, pria yang hanya diam menatapinya yang mematung, "kau ingin lihat kelanjutannya, tentu?"
Ucapan itu seolah menyadarkan Cyntia dari apapun yang membuatnya diam. Diusapnya pipinya yang basah lalu keluar meninggalkan sepasang binatang yang suara desahannya memenuhi ruang makan. Cyntia bersyukur kamar tempat ia tidur ada di bagian belakang rumah jadi putranya tidak akan mendengar apapun.
"Sampai kapan kau akan menyimpan wanita bodoh itu dan anak sialanmu disini, Hans? Aku sudah muak melihat wajah mereka."
Hans hanya tersenyum melihat gadisnya sudah mulai menggesek-gesekan selangkangan basahnya pada paha Hans, "kau pikir aku tak merasakan hal yang sama, Honey?"
Perempuan yang sudah kepanasan itu mendengus sebal karena selalu mendapat jawaban sama dari pria yang mengangkatnya. "Aku bosan mendengarmu mengatakan hal sama setiap waktu, Hans!"
"Oh, come on, Honey. Kita tak perlu membayar housekeeper selama wanita bodoh itu ada di rumah ini, aku pun tak yakin kau bisa memasak."
Hans mencium dagu perempuan yang menunjukan wajah cemberut meski tangannya yang melingkar dileher Hans turun meremas selangkangan Hans yang mengeras, "tapi aku pandai memanjakan dirimu, Hans"
"Dan kau pun menikmatinya, Honey." Ucap pria yang mendorong pintu tak perduli jika ada telinga yang mendengar. Dan Cyntia hanya bisa diam memandang pintu kamar yang lebar terbuka, menunjukan kegiatan macam apa yang dilakukan dua manusia yang bahkan tak perduli jika ia melihat.
Perempuan berambut pirang itu bahkan sengaja menunjukan wajah kepuasannya pada tiap Hujaman Hans yang juga tak perduli. Suaranya yang melengking tinggi bahkan sengaja ia keraskan dan meminta Hans bergerak makin cepat di atas tubuhnya.
Cyntia hanya bisa menatap dengan perasaan hancur tanpa kata, airmatanya bahkan seperti tak ada harganya sama sekali bagi pria yang pernah membuatnya jadi gadis paling bahagia, jadi ratu satu malam dalam pernikahan mereka yang dirayakan besar-besaran. Bahkan masuk media.
Tapi kini, ia hanya bisa diam melihat suaminya bercinta dengan wanita lain yang Hans ajak tinggal serumah dalam rumah dingin yang rasanya jadi seperti neraka jika tak ada Rei. Satu-satunya cahaya yang membuatnya bertahan.
Cyntia sadar ia tak akan pernah bisa bertahan diluar. Dan tempatnya hanya disini, rumah ini! Karena ia sudah tak mungkin kembali ke rumah besar yang membuatnya bisa tidur tanpa perduli waktu. Makanan yang tersedia sepanjang waktu tanpa harus merasa was-was dan terpaksa menyembunyikan satu ataupun dua lembar roti untuk perut kecil putranya.
"Iori, bukan kehidupan seperti ini yang kubayangkan untuk kujalani. Tidak seperti ini."
*
Satu lagi biar tiga nih. Selamat membaca. Saya tunggu krisannya. Malak mode on!!
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan dengan piring nyaring terdengar dalam ruang makan yang obrolannya begitu hangat. Setidaknya sampai dua tubuh manusia yang duduk dilantai dingin dengan sepiring nasi yang masih belum bisa mereka sentuh terlihat.Tidak, bahkan mereka harus menunggu sampai pemilik rumah yang tertawa menceritakan seberapa beruntung sahabatnya yang memiliki menantu kaya raya selesai makan. "Kau harus pandai memilih calon, Catlyn. Agar kau tak berakhir jadi benalu juga beban."Menohok? Ya, tentu saja. Namun itu adalah kalimat yang setiap waktu hadir saat pemilik rumah, suaminya, juga dua putra putrinya dan seorang perempuan yang dibawa pulang sang putra berkumpul. Jadi itu bukanlah hal besar lagi."Tentu saja, Mom. Aku bukan gadis yang tak bisa menghidupi diriku sendiri. Lalu jadi benalu dan beban." Mata Catlyn melirik dua tubuh bisu yang hanya diam di atas lantai dingin. Setidaknya untuk yang wanita karena yang balita matanya menatap
"Selamat malam, Rob.""Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."Manajer toko mainan itu menyalami jabatan erat tangan Pria tua dibawah tatapan penasaran bocah kecil bermata biru yang mendongak. Rei hanya diam mendengar percakapan dua orang dewasa yang membuatnya lupa pada kereta yang sudah dimasukan ke dalam boks.Sampai suara bel pintu menyadarkan bocah kecil yang memakai jaket tebal kebesaran dan menatapi boks besar yang dibawa pegawai toko dan terus ia tatapi bahkan saat boks itu menghilang kedalam bagasi mobil besar yang terparkir didepan toko."Kau suka kereta, young man?" Tanya pria tua yang ternyata sudah ditinggalkan manajer masuk kedalam toko.Rei menggigit bibir merahnya yang jadi kering karena udara dingin, diam beberapa lama lalu mengangguk. Matanya membesar saat Iori menjajarkan kepalanya, "dan kemana syalmu? Diluar terlalu dingin meski jaketmu besar." Ucap Iori melepas syal hangat yang ia pakai lalu melingkarkan pada leher kec
"Tidak bisa dipercaya." Itu adalah kalimat yang keluar dari bibir Nara setelah pintu kamar tempatnya tidur tertutup rapat. Tentu tak tertutup sendiri karena ada pelayan tua yang begitu setia menemani.Iori hanya bisa menyembunyikan tawa melihat sesusah apa wajah yang diperlihatkan majikannya berkat bocah kecil anak tuan rumah yang nakalnya memang diatas rata-rata.Berkas-berkas penting yang sudah disusun sedemikian rupa berubah jadi pesawat mainan berkat tangan kecil Joe juga ayahnya yang membiarkan putra satu-satunya itu berbuat semaunya. "Pria itu bahkan ikut andil membuat pesawat-pesawat sialan itu. Apa kau percaya itu, Iori!" Sungut kesal Nara merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang aromanya berbeda dengan kasurnya.Meski ia tak perduli pada aroma apapun asal bau sabun dan bersih."Jika pria sialan itu ingin mengerjaiku karena aku menang tender tahun lalu seharusnya bukan dengan cara kekanakan begini!" Nara membalikan tubuhnya lalu duduk dan
Nara membasuhkan air dingin kewajahnya beberapa kali. Rasanya jadi buruk berkat pertanyaan Alan bahkan air dingin yang menusuki kulit tangan dan wajahnya jadi tak terasa.Apa yang terlintas dalam benaknya adalah kalimat yang membuat Nara menarik nafasnya begitu dalam. "Family?what a joke."Wanita dingin yang tinggal di mansion besar ditemani pelayan itu mematikan kran dan diam menatap pantulan diri. Manik mata hitam pekat Nara begitu menghanyutkan dan sepi. "Tch! Aku akan benar-benar jadi gila jika berada disini lebih lama lagi."Nara mengusap wajahnya dengan tisu, langkahnya jadi terasa berat saat matanya menatapi bocah kecil cerewet yang terus berceloteh dihadapan ayahnya yang menyebalkan. "Well, setidaknya pipi Joe enak dipegang." Pelan ucap Nara yang kembali melangkah."What?" Tanya Nara saat Joe terus menatapinya tapi tanpa kata. Pengalaman yang langka sekali bocah cerewet ini menahan ucapan.
"Daddy, apa Onty Nara marah padaku?" Tanya Joe pada sang ayah yang keluar dari kamar mandi.Pria yang tubuhnya menyeruakan wangi sampo dan sabun itu menatapi putra kecilnya yang sudah memakai baju tidur juga kaos kaki supaya kakinya hangat dalam kamar berpenghangat. Alan menarik nafasnya mengingat wanita dingin yang terus saja membisu meski ia menunjukan reaksi setiap Joe memandangi. "She just tired, Joe."Joe membalik badan kecilnya sampai baju tidurnya terangkat menunjukan puser kecil diantara perut buncit yang membuat Alan tersenyum. Jemarinya yang panjang dan terasa dingin menyentuh perut kecil Joe yang jadi cekikikan diatas ranjang mereka yang hangat. Ranjang mereka-karena Joe minta tidur bersamanya malam ini."Tidurlah, besok kita main lagi dengan Onty Nara." Ucap Alan pada mata bulat nan jernih yang menatapinya penuh harap, "itupun kalau Unty Nara sudah tak lelah lagi, Darling.""Jadi kalau Onty lelah, aku tak akan bisa main dengannya b
Nara turun dari dalam mobil setelah menarik dalam nafasnya. Pijakan kakinya terasa berat meski ia melangkah ringan teratur bahkan suara derap sepatunya menyatu dengan keramaian gedung rumah sakit yang tetap penuh meski waktu sudah dini hari.Wanita dingin yang ahirnya melihat pelayan setianya berdiri dengan petugas rumah sakit, menghampiri keduanya. "Mari." Ajak petugas berseragam hijau itu lalu berjalan lebih dahulu menjauhi keramaian dan naik kedalam lift.Sesekali mata petugas menatapi pantulan wanita yang bahkan belum sekalipun mengeluarkan kata, sementara ia yang sesungguhnya bisa menebak apa hubungan dua orang asing dibelakangnya tak bisa memandang rendah pria tua yang badannya masih terlihat gagah. Ia yang masih muda saja merasa kalah."Kami memang menunggu Anggota keluarganya datang. Tapi, sampai hari ini tak ada yang menjemputnya."Mendengar itu Iori mengangguk sementara sang majikan tetap rapat
Wanita dingin itu ahirnya membuka mata. Wajah kantuknya langsung menatapi tangan yang rasanya masih merasakan jemari kaku nan dingin sang adik yang sudah berpulang. Adik yang ia usir dari kehidupannya."Apa ada sesuatu di tanganmu?" Suara bariton itu membuat Nara menoleh pada tubuh yang punggungnya disinari cahaya matahari. Ia baru sadar ia tak sendiri didalam kamar. "Apa di rumahmu juga ada jam bangun?"Alan tertawa mendengar suara wanita dingin Yang bangun lalu menoleh pada tangan kecil yang tergeletak di pinggangnya, "ia lelah menunggumu jadi ikut naik ke kasur," ucap Alan merubah posisi, "dan saat kulihat ia sudah terlelap."Nara menatap tangan kecil Joe yang jemarinya memegangi gaun tidurnya. "Tuan Sulivan," panggil Nara membuat alis Alan terangkat, "tiga hari lagi aku akan pulang, tidakkah kau merasa kasihan pada putramu?""Untuk?" Nara menarik dalam nafasnya. Ia tau lelaki menyebalkan yang menatapinya dengan wajah tak berdosa itu paham betu
"Apa kamu sedang menghina dirimu sendiri?"Alan jadi benar-benar diam menatapi wanita dingin yang mendongak. Ia berpikir bagian mana dari ucapannya yang bisa jadi kesimpulan seperti itu? Tapi apa itu penting? Well, wanita dingin dihadapannya ini memang memiliki jawaban tersendiri atas segala hal yang kadang sulit masuk diakal.Sampai bibir Alan mengulum senyum samar, "aku tak menemukan letak hinaan dalam kalimatku, Nona Larson's.""Kamu tau aku hanya akan tinggal 3 hari dua malam lagi disini bukan?" Alan mengangguk, "dan aku hanya membutuhkan Joe mengatakan iya lalu aku akan pergi dengan berkas yang kamu tanda tangani."Sekali lagi Alan mengangguk, "jadi, aku tak perlu bertaruh lebih dari apa yang sudah aku pertaruhkan," Nara berdiri wajah dinginya bahkan tak bergeming, "so, aku tak butuh pertaruhan bodoh lain karena aku akan dapat ya dari putramu sebelum dua malamku berahir.""Apa kamu a
Sean Carter mengedarkan matanya menatapi langit yang rasanya sudah lama tak ia lihat."Get in."Sean tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung tertutup begitu ia duduk lalu melaju membelah hamparan pohon-pohon tinggi menjulang sejauh matanya memandang, 'aku tidak tau di kotaku ada tempat seperti ini. Apa mainku kurang jauh? Nah, kurasa hanya orang kebanyakan waktu yang mau masuk ke dalam hutan seperti ini.'Sean sesekali melirik pria yang menghancurkan kameranya. Lelaki yang juga diam sepanjang jalan, "hei, berapa lama kalian mengurungku?"Tak ada yang menjawab, dan itu membuat Sean mendengus lalu kembali menatapi jalanan sepi dan berkelok-kelok sampai matanya melihat jalan utama yang lengang dan semakin lama suara kehidupan terdengar makin jelas juga nyata."Get out."Tanpa diperintah dua kali Sean membuka pintu lalu turun, "hei!" Seruan itu membuat tangan Sean bergerak menangkap tas besar yang rasanya berat.
"ah...." Lenguhan pelan yang terdengar merdu ditelinga Alan itu semakin membuat pria yang sedang memainkan lidahnya di ceruk leher Nara terdiam meski tangannya menyusup masuk pada baju Nara yang kancingnya sudah terbuka. Dilepasnya pengait bra dibagian depan yang membuatnya lebih bebas melihat, menjilat, mengecupi payudara wanita dingin yang meremas rambutnya.Nara jadi lebih sensitif pada sentuhan jari, lidah, dan bibir Alan. Dan pria ini tau itu.Hari masih begitu terang di luar, juga hangat. Sementara dua anak kecil yang sudah selesai makan siang langsung tidur karena lelah menangis dan bermain. Sementara Iori pergi melakukan hal yang harus ia lakukan.Alan duduk di depan perut Nara yang ia pandangi, lalu sentuh dan kecup sekali, "halo, Sayang, ini pertama kalinya kita bertemu bukan?"Nara hanya menatapi Alan dalam diam, ia tak mengerti sentimen yang sedang ia lihat dihadapannya, tapi wanita dingin ini sama sekali tak keberatan. "See, your mama tidak m
Kaki kecil Joe terus mengejar langkah Rei yang menjauh darinya, langkah-langkah kecil keduanya membuat burung-burung dara jinak yang mematuki lantai kembali terbang tak tentu arah. "Rei...! Kenapa Rei lari?"Tapi yang ditanya menutup mulutnya rapat dan makin kencang berlari, "Rei! Jangan kencang-kencang dong, aku lelah nih.""Joe jangan ngejar aku!" Teriak Rei membuat Joe diam, "kalo gitu Rei jangan lari, dong!"Mendengar itu Rei berhenti lalu menoleh pada bocah kecil yang dadanya naik turun, "stop right there!" Seru Rei membuat Joe yang melangkah berhenti, "why?""Karena--karena aku," suara Rei makin kecil, "aku gak boleh ketemu Joe.""What? I don't hear you, Rei""I said I can't see Joe anymore!"Joe yang mendengar itu jadi diam memandangi sahabat yang ingin sekali ia temui, tapi apa katanya, "apa Rei benci padaku karena aku nakal? Jadi mommy benar? Rei gak mau ketemu aku karena aku nakal?""Aku tidak benci Joe, aku suka
Brugg!"What?" Wanita berambut merah yang bokongnya ditabrak itu menoleh, ia menunduk menatapi bocah kecil yang mendongak, "I am sorry, Ma'am."Wanita yang masih mentapi anak kecil yang membungkuk benar-benar meminta maaf itu tersenyum lalu mengusap kepala kecil yang rasanya mengingatkannya pada anak lain yang tak pernah bersuara, "it's ok, darling. But, lain kali hati-hati, ok?""Yes, Ma'am, thank you.""What a lovely child you are," ucap wanita berambut merah itu lalu membalas lambaian bocah kecil yang kembali berlari menyusul wanita berambut sebahu yang memakai topi lebar menutupi wajah."What you looking at, Roxanne?" Tanya Rima membuat wanita berambut merah yang ia tepuk pundaknya itu kaget, "God! Tak bisakah kau menyapaku dengan lebih ramah?"Rima hanya terkekeh lalu ikut menatap apa yang dilihat Roxanne, "who?""Tidakkah kau berpikir anak ke
"Apa anda melakukan sesuatu sampai nona Larson pergi tanpa kata, Tuan?"Alan diam dan Andre pun menutup mulutnya. 'I know it! Tapi jika bukan salah tuan ataupun Joe, lalu salah siapa sampai wanita dingin itu pergi? Tapi kesalahan besar apa yang bisa dilakukan anak nakal itu? Kecuali menghabiskan cheesecake dan membuat ibunya frustasi karena tak ingin didekati?'Tau ia tak akan mendengar jawaban dari Alan, Andre menarik dalam nafasnya sebelum berucap, "Oh, dan tentang pria yang anda minta kami cari keberadaanya itu-,"Alan memutar kursinya, "kau sudah menemukannya?"Andre menggeleng, "jangan menatapku kecewa begitu, Tuan, dengarkan dulu," Andre membuka layar laptopnya dan menyerahkannya pada Alan."Anda lihat pria bertato ular dilengannya itu?" Alan mengalihkan pandangannya dari potret lelaki yang membuatnya mengingat masa lalu."Dia rekan kerja Hansel Nicholas," Andre melirik Alan s
"Get back here, young man!" Seru lelaki bermata ash pada bocah berpipi gembil yang meliriknya kesal lalu membanting pintu kamarnya keras.Alan Parker Sulivan menarik dalam nafasnya dan ia hembuskan kasar melihat pintu kamar Joe yang rapat bahkan bunyi kunci terdengar setelah BRAKK!"Let me," ucap wanita berambut pirang yang mengetuk pintu kamar Joe, "honey, please open the door, we won't get mad, ok?"Tak ada jawaban sama sekali, dan sekali lagi Sofia mengetuk pintu, "please, we won't get mad becouse you Made your friend hurt again this time."Lagi, sama sekali tak ada jawaban dari Joe yang memilih bungkam. Bocah kecil yang memakai baju lengan pendek itu memilih duduk menatapi pesawat kertas yang membuatnya ingat sahabatnya yang tak lagi ia temui. Bahkan saat ia pergi bersama Bibi Ann, Rei tak ada di rumah.Musim sudah berganti, karena ia tak lagi harus memakai jaket tebal dan baju hangat seti
Kesunyian dalam kamar sama sekali tak dipermasalahkan dua tubuh yang berbaring di atasnya.Alan merengkuh tubuh Nara yang berbaring memunggunginya. Sesekali bibirnya mengecup pundak Nara, tangannya pun mengusap lengan wanita dingin yang memejamkan mata meski Alan tau Nara belum tidur.Ia tau wanita dingin yang memilih bisu ini sedang butuh waktu untuk apapun yang diinginkan Nara setelah mendengar ucapan Rei. Bocah lelaki kecil yang ternyata lebih terluka dari apa yang ia kira.Alan menarik dalam nafasnya, mengingat tiap kalimat Rei yang tak ingin ia enyahkan. Dan bayangan Sofia melintas silih berganti.[Senang bertemu denganmu, nona Johan.]Itu ucapan Nara saat pertama kali mereka bertemu dalam pesta perayaan gedung Smith yang ahirnya berdiri, 'apa kamu-?' Alan menggelengkan kepala dan mengecup pundak Nara sekali lagi, ia yakin Nara pasti sudah menyelidiki siapa Sofia. 'Apa yang ak
Lelaki yang mendengar ponselnya berbunyi itu langsung mengangkat telfon tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Hal yang sudah biasa ia lakukan mengingat pekerjaan yang ia pilih dalam hidup. "Good evening, Dokter Carter."Suara yang terasa tak asing itu membuat Carter langsung bangun, "Iori?""Maaf mengganggu tidur anda.""It's ok, is something wrong?" Ucap Carter menyibak selimut lalu turun dari ranjang, lelaki yang sudah sepenuhnya sadar ini terus mendengarkan ucapan Iori. Wajahnya berubah serius seketika dan terlihat berpikir dengan jari menjentiki permukaan kasur."Menolak bisa berahir Rei tak akan mau lagi meminta sesuatu dimasa yang akan datang, tapi jika menerima...,"Iori terus mendengarkan tanpa menyela, "apa Nona Larson berani mengambil resiko? Karena apapun pilihannya itu seperti dua mata pisau yang hasilnya belum pasti."Iori menatap wanita
Rei menatapi Joe yang jadi pendiam, bocah yang juga kecil itu memeluk bola yang rasanya tak akan mereka tendangi hari ini."What?" Ucap Joe saat Rei duduk disampingnya.Rei tidak pernah bicara, tapi bocah nakal disampingnya tak mempermasalahkan itu. Dan Rei yang hanya diam duduk menemaninya membuat Joe yang tak cerewet sejak datang merasa tenang--tenang? Bocah nakal ini bahkan belum tau arti kalimat itu tapi, ia tak masalah kalau Rei yang diam duduk disampingnya."Rei, apa kau suka padaku?" Tanya Joe membuat Rei menoleh lalu mengangguk."Tentu saja kau suka padaku, semua orang suka padaku. Daddy suka padaku, Bibi Ann suka padaku, Lody suka padaku, Onty Nara suka padaku, terus...Ng?"Rei menunjuk dirinya, "yeah, kau sudah ngomong itu tadi, duh."Ok, 'duh' Joe terucap lagi. "Tapi-," mata abu-abu bulat nan jernih itu menunduk, "tapi, my mommy tidak suka pa