"Selamat malam, Rob."
"Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."Manajer toko mainan itu menyalami jabatan erat tangan Pria tua dibawah tatapan penasaran bocah kecil bermata biru yang mendongak. Rei hanya diam mendengar percakapan dua orang dewasa yang membuatnya lupa pada kereta yang sudah dimasukan ke dalam boks.
Sampai suara bel pintu menyadarkan bocah kecil yang memakai jaket tebal kebesaran dan menatapi boks besar yang dibawa pegawai toko dan terus ia tatapi bahkan saat boks itu menghilang kedalam bagasi mobil besar yang terparkir didepan toko.
"Kau suka kereta, young man?" Tanya pria tua yang ternyata sudah ditinggalkan manajer masuk kedalam toko.
Rei menggigit bibir merahnya yang jadi kering karena udara dingin, diam beberapa lama lalu mengangguk. Matanya membesar saat Iori menjajarkan kepalanya, "dan kemana syalmu? Diluar terlalu dingin meski jaketmu besar." Ucap Iori melepas syal hangat yang ia pakai lalu melingkarkan pada leher kecil yang matanya membesar, terkejut.
"Aku tidak mau ikut denganmu."
Ucapan Rei membuat manik hazel Iori membesar lalu tersenyum lebar, "tawaran yang menggoda, young man. Tapi, aku tak suka membawa anak-anak tanpa orang tua mereka. So, dimana Mommy dan Daddy-mu?"
Rei tampak berpikir, ia menatap pria tua yang senyumnya begitu ramah. Menimbang dan menilai haruskah ia mengatakan kemana mommy pergi atau tidak. "Disana," tunjuk jari yang sarung tangan hangatnya kebesaran, apalagi itu milik wanita.
'Mungkin mommy anak ini lupa membawa sarung tangan untuk bocah kecil ini.' pikir Iori menatapi cafe dan bar lalu kembali menatap bocah lelaki yang juga memakai jaket wanita-bukan barang imitasi meski itu keluaran 5 tahun lalu, tapi kenapa yang dipakainya barang-barang branded wanita- "Tidak ikut orang asing adalah pilihan yang bijak, young man."
Rei menatapi pria tua ramah yang berdiri dengan senyum lalu mengusap kepalanya, "senang bertemu denganmu, young man." Ucap Iori lalu berjalan meninggalkan bocah kecil yang baru sadar pria tua yang masuk kedalam mobil wanita yang menunjuki kereta tadi syalnya masih melingkar dilehernya yang jadi hangat.
Kaki kecilnya yang siap berlari mengejar mobil yang melaju, tertahan saat bangku yang tak boleh ia tinggalkan kembali nampak pada matanya yang tadi terhipnotis kereta mainan. Bocah kecil ini jadi bingung, tentu saja. Tapi, Rei memilih duduk. Berharap lelaki tua itu sadar syalnya tertinggal.
Sementara dibalik tembok, Cyntia menyentuh dadanya yang keras berdetak karena melihat siapa yang mengajak putranya berbicara. Kepala pelayan tempatnya dulu tinggal masih saja sama, begitu murah senyum dan tegak tak perduli rambutnya memutih. 'Apa kakak ada dimobil itu?'
Hanya itu yang berani Cyntia tanyakan, ia akan merasa bersalah jika bertanya lebih dari itu meski pertanyaan itu ada dalam kepalanya sendiri bahkan tak ada yang mendengar ataupun tau. Tak menyadari sepasang mata lelaki yang mengawasinya dengan air liur yang menggenang dimulut.
"Hei, Hans. Aku tak tau kau punya istri yang berani keluar dengan baju tipis dimusim dingin." Ucap pria itu membuat Hans melirik wanita yang tubuh kecilnya menempel pada tembok.
Tapi, Hans tak perduli dan kembali menatapi berkas ditangannya. Dibacanya berkali-kali tulisan dalam berkas seolah memastikan tak akan ada typo ataupun kesalahan ketik. Ini kesempatan terahirnya. Ini kesempatan terahirnya.
Tiga kalimat itu berputar berkali-kali dalam otak Hans. Pria yang kehilangan segalanya bahkan harus pergi dari tempatnya dahulu tinggal dan bekerja, pergi ke kota kecil membawa sumber kemalangannya dan keluarga. Karena di kota yang ia tinggalkan tak ada lagi tempat yang mau menerima dirinya ataupun keluarganya.
Kota kecil ini yang membuatnya meninggalkan segalanya, kehidupan mewah yang rasanya kini tinggal mimpi dan angan-angan. Tapi, ia harus terus terjebak dengan sumber kemalangan dalam hidup hanya karena orang tuanya tak mau membayar seorang pembantu!
"Shit!" Rutuk Hans jadi kesal dan menenggak bir yang tinggal separoh, Habis.
"Kau tau, aku mempertaruhkan segalanya disini bukan?" Hans melirik partner kerjanya itu, malas. Dan entah setan dari mana ucapan Hans membuat pria mesum dengan tato ular yang ia kenal sejak setahun lalu itu menyeringai.
"Ku harap kau tak akan menarik ucapanmu, Hans."
Hans mendengus dengan senyum dibibir, lalu memanggil pelayan meminta segelas bir lagi. "Toh aku tak pernah menyentuhnya."
"What?" Tanya pria yang sudah membayangkan hal mesum, pada Hans yang kembali menenggak bir tak perduli pada wajah bodoh yang sudah dipenuhi nafsu.
*"Kau pikir ini cukup, Iori?" Tanya wanita berwajah dingin membuat yang ditanya menoleh kebangku belakang. Mata majikannya melirik bagasi tempat kado besar terbungkus dengan pita.
"Yang lebih penting Nona yang memilihnya, bukan begitu?"
"Kau sama sekali tak menjawab pertanyaanku, Iori." Ucapan Nara membuat pria tua yang memutar duduknya itu tersenyum.
"Well, Nona. Apa anda melihat mata bocah kecil yang saya ajak bicara tadi?" Nara hanya diam mengingat bocah kecil yang tubuhnya menempel pada etalase toko yang rasanya ingin bocah itu tembusi.
"Apa hubungannya dengan anak itu?"
Senyum Iori membuat Nara menyedakepkan tangan. "Nona, anak itu begitu terhipnotis dengan kereta yang anda beli.""Oh." Hanya jawaban itu yang keluar dari bibir Nara. Wanita dingin itu mengangguk paham dan menyenderkan kepalanya makin dalam, "bangunkan aku jika kita sudah sampai. Dan belilah syal baru untuk lehermu itu!" Ucap Nara memejamkan matanya.
Iori hanya mengangguk dengan senyum, majikan dinginnya itu menunjukan kehangatan dengan caranya sendiri. "Jika anak Ais sudah besar apa menurutmu ia akan sebesar anak itu?"
Seoalah tak percaya dengan apa yang didengar telinganya. Iori menatap window rear, menatapi pantulan sang majikan yang memejamkan mata. "Mungkin saja, Nona."
Mobil yang melaju itu kembali sepi, bahkan tak ada suara musik karena memang majikannya itu tak akan bisa beristirahat jika ada gangguan. Beruntung sekali mobil yang mereka beli ini suaranya begitu halus. Beruntung? Tentu saja ini tak ada hubungannya dengan keberuntungan. Iori terlalu hafal dengan selera sang majikan yang benar-benar tertidur diantara bisingnya suara yang bahkan begitu tak mengganggu meski mereka ada ditengah kemacetan.
"Berapa lama lagi kita sampai?" Tanya Iori pada ceufer yang melirik jam ditangannya.
"Dengan kemacetan ini? Kurang lebih satu jam."
Apa yang diharapkannya? Mungkin naik pesawat lebih efisien sayangnya tempat yang ia tuju tak memiliki landasan pesawat meski pemiliknya pasti bisa membuatnya lebih dari satu jika ia mau.
Setidaknya kota kecil ini indah, tapi apa majikannya tak akan marah-marah jika ia tau tak akan ada jaringan internet dirumah Tuan Sulivan?
Iori melirik wanita muda yang benar-benar tertidur itu, "tentu saja majikanku tak marah, dia hanya akan murka dalam diam."
"Nevermind," ucap Iori pada ceufer yang mengerutkan dahi.
Satu minggu, setidaknya majikannya ini bersedia meluangkan waktunya demi mendapat hati bocah kecil nakal yang akan mempermudah kerja sama. "Lucu sekali." Ucap Iori kembali membuat ceufer yang melajukan mobil pelan diantara kemacetan itu mengerutkan dahi.
Iori terdiam mengingat mata biru bocah yang memakai jaket dan sarung tangan bermerek namun kebesaran itu. Wajah bulatnya membuat Iori berpikir lalu menggelengkan kepala.
Iori menoleh keluar menatapi lampu-lampu cantik diantara gemerlap malam di kota kecil yang membuatnya menarik nafas dalam. Mengingat gadis bodoh yang tawanya begitu lebar saat ia menjadi ratu satu malam. Meski pasangannya adalah tunangan dari kakaknya sendiri. Hansel Nickolas.
Pria yang tak lagi bisa memasuki kota tempat majikannya tinggal, begitupun keluarganya. Jadi itu termasuk Cyntia dan anaknya yang entah lelaki ataupun perempuan. Majikannya ini benar-benar memotong hubungan apapun dengan adiknya. Dan tak ingin tau kabar apapun tentang mereka.
[Aku tidak mau ikut denganmu.]
Ucapan bocah kecil yang namanya tak ia ketahui itu membuat bibir dan mata Iori tersenyum. Meski ia jadi diam menyadari setipis apa baju yang dipakai bocah lelaki itu dibalik jaket kebesaran yang ia kenakan.
*Cyntia menatapi pria tua yang duduk diatas kasur tempatnya tidur. Ia lupa mengunci pintu gudang saat pergi tadi. Rei yang melihat opanya menyeringai lebar mengeratkan genggaman tangannya pada jemari sang mommy.
"Tidak perlu waspada seperti itu, menantuku sayang." Rasanya Cyntia ingin muntah mendengar panggilan lelaki tua yang hanya memakai bokser itu. Apalagi saat mata birunya mendapati bagian selangkangan pria tua itu mengeras.
Cyntia mundur selangkah saat Rudy berdiri. Tangannya langsung memeluk Rei dan menutup telinga kecil Rei yang menyembunyikan wajah. Bocah kecil ini paham sekali jika apapun yang akan diucapkan opanya adalah hal yang tak baik untuk ia dengar. Karena Cyntia akan selalu melakukan itu memeluknya dengan menutupi telinga Rei setiap kali orang-orang dalam rumahnya ini berteriak!
Tubuh Cyntia merinding jijik pada tangan Rudy yang hendak menyentuh lengannya. Matanya menatap waspada dan lega saat mendengar suara gedoran pintu yang membuat Rudy mendengus kesal. Sementara Cyntia langsung menggendong Rei dan secepatnya berlari menjauh dari gudang tempatnya tidur dengan rasa syukur. Berterimakasih pada siapapun yang sedang berdiri didepan pintu.
Rei yang melihat opanya menjilati bibir saat menatapi ia dan mommy-nya yang berlari cepat mengeratkan pegangan tangan kecilnya pada leher Cyntia. Meski tak ia katakan bocah kecil ini tak senang dengan cara opa menatapi sang mommy. Sangat tidak suka!
Duk..! Duk..!Duk!!
Cyntia yang nafasnya tersengal menarik nafasnya dalam-dalam lalu menurunkan Rei di ruang tengah. "Tunggu mommy di sini, ok?" Ucap Cyntia mengusap kepala Rei yang mengangguk. Dan menatapi punggung mommy yang menjauh, mendekati pintu yang gedorannya begitu tak sabar.
Rei yang berdiri menarik nafasnya melihat buah di atas meja makan yang rasanya pasti enak tapi tak boleh ia makan. Bocah kecil yang terus menunggu sang mommy ini memilih duduk diatas lantai meski ada sofa panjang empuk yang rasanya pasti tak sedingin dan sekeras tempatnya dan sang mommy biasanya duduk. "Kenapa aku dan mommy tak boleh duduk di sana, ya?"
Pertanyaan itu kembali terlontar dari bibir kecil yang terkejut mendengar teriakan Cyntia. "BERHENTI! HANS TOLONG JANGAN LAKUKAN INI. KUMOHON HANS!"
Teriakan Cyntia membuat Rei berdiri. Kaki kecilnya berlari secepat yang ia mampu. "Mommy!"
Seruan bocah kecil itu terdengar saat melihat tubuh Cyntia ditindih lelaki tak dikenal yang wajahnya bengis. Sementara Daddynya hanya diam melihat. Aroma tak enak yang menyeruak dari tubuh Hans membuat hidung Rei gatal, tapi bocah kecil itu berlari lalu mendorong tubuh limbung lelaki bengis yang menindih tubuh Cyntia yang terus berusaha mendorong lelaki yang ahirnya jatuh.
Cyntia langsung berdiri memeluk Rei yang ia angkat. Tapi langkah kakinya yang ingin berlari ditahan tangan Hans, "Hans lepaskan aku, kumohon, lepaskan aku!"
Percuma, tapi Cyntia tetap memohon pada Hans yang matanya merah. "Semua salahmu! Semuanya salahmu dan anak sialan ini!" Seru Hans tak perduli jika Rei yang memeluk erat leher Cyntia mendengar.
"Jika kau tak hamil semuanya akan baik-baik saja! Aku akan tetap hidup seperti dulu! Sekalipun kakakmu memutuskan pertunangannya denganku!"
Hans terus berteriak, menyalahkan Cyntia atas kemalangan nasibnya. "Tapi kau tetap menikahiku Hans-"
"Menikahimu? Kau pikir aku menikahimu karena rasaku padamu, bukan? Biar kukatakan sesuatu yang menarik," ucap Hans mendekatkan bibirnya pada telinga Cyntia. "Menikahimu itu hanya sebuah pertunjukan bagiku supaya kakakmu sadar aku akan baik-baik saja tanpa dirinya."
Cyntia hanya diam mematung. Apa yang selama ini menjadi pegangannya rasanya runtuh. Dihancurkan begitu saja. Bayangan tawa dan pelukan mesra dihari pernikahannya seolah pecah berkeping-keping. Tawanya. Tawa Hans yang terus memegangi tangan juga memeluk pinggangnya. Ucapan selamat orang-orang yang hadir. Senyum ramah keluarga Hans.
Bayangan-bayangan hari paling membahagiakan dalam hidupnya kembali terlintas jadi kepingan yang rasanya makin buram karena airmata Cyntia menggenang. Tapi Hans tak perduli dan terus bicara pada perempuan yang lengannya ia cengkram kuat. "Kau sudah menghancurkan hidupku jadi balas kebaikanku selama ini dengan melayani siapapun yang kuajak ke rumah ini!"
"Tidak bisa dipercaya." Itu adalah kalimat yang keluar dari bibir Nara setelah pintu kamar tempatnya tidur tertutup rapat. Tentu tak tertutup sendiri karena ada pelayan tua yang begitu setia menemani.Iori hanya bisa menyembunyikan tawa melihat sesusah apa wajah yang diperlihatkan majikannya berkat bocah kecil anak tuan rumah yang nakalnya memang diatas rata-rata.Berkas-berkas penting yang sudah disusun sedemikian rupa berubah jadi pesawat mainan berkat tangan kecil Joe juga ayahnya yang membiarkan putra satu-satunya itu berbuat semaunya. "Pria itu bahkan ikut andil membuat pesawat-pesawat sialan itu. Apa kau percaya itu, Iori!" Sungut kesal Nara merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang aromanya berbeda dengan kasurnya.Meski ia tak perduli pada aroma apapun asal bau sabun dan bersih."Jika pria sialan itu ingin mengerjaiku karena aku menang tender tahun lalu seharusnya bukan dengan cara kekanakan begini!" Nara membalikan tubuhnya lalu duduk dan
Nara membasuhkan air dingin kewajahnya beberapa kali. Rasanya jadi buruk berkat pertanyaan Alan bahkan air dingin yang menusuki kulit tangan dan wajahnya jadi tak terasa.Apa yang terlintas dalam benaknya adalah kalimat yang membuat Nara menarik nafasnya begitu dalam. "Family?what a joke."Wanita dingin yang tinggal di mansion besar ditemani pelayan itu mematikan kran dan diam menatap pantulan diri. Manik mata hitam pekat Nara begitu menghanyutkan dan sepi. "Tch! Aku akan benar-benar jadi gila jika berada disini lebih lama lagi."Nara mengusap wajahnya dengan tisu, langkahnya jadi terasa berat saat matanya menatapi bocah kecil cerewet yang terus berceloteh dihadapan ayahnya yang menyebalkan. "Well, setidaknya pipi Joe enak dipegang." Pelan ucap Nara yang kembali melangkah."What?" Tanya Nara saat Joe terus menatapinya tapi tanpa kata. Pengalaman yang langka sekali bocah cerewet ini menahan ucapan.
"Daddy, apa Onty Nara marah padaku?" Tanya Joe pada sang ayah yang keluar dari kamar mandi.Pria yang tubuhnya menyeruakan wangi sampo dan sabun itu menatapi putra kecilnya yang sudah memakai baju tidur juga kaos kaki supaya kakinya hangat dalam kamar berpenghangat. Alan menarik nafasnya mengingat wanita dingin yang terus saja membisu meski ia menunjukan reaksi setiap Joe memandangi. "She just tired, Joe."Joe membalik badan kecilnya sampai baju tidurnya terangkat menunjukan puser kecil diantara perut buncit yang membuat Alan tersenyum. Jemarinya yang panjang dan terasa dingin menyentuh perut kecil Joe yang jadi cekikikan diatas ranjang mereka yang hangat. Ranjang mereka-karena Joe minta tidur bersamanya malam ini."Tidurlah, besok kita main lagi dengan Onty Nara." Ucap Alan pada mata bulat nan jernih yang menatapinya penuh harap, "itupun kalau Unty Nara sudah tak lelah lagi, Darling.""Jadi kalau Onty lelah, aku tak akan bisa main dengannya b
Nara turun dari dalam mobil setelah menarik dalam nafasnya. Pijakan kakinya terasa berat meski ia melangkah ringan teratur bahkan suara derap sepatunya menyatu dengan keramaian gedung rumah sakit yang tetap penuh meski waktu sudah dini hari.Wanita dingin yang ahirnya melihat pelayan setianya berdiri dengan petugas rumah sakit, menghampiri keduanya. "Mari." Ajak petugas berseragam hijau itu lalu berjalan lebih dahulu menjauhi keramaian dan naik kedalam lift.Sesekali mata petugas menatapi pantulan wanita yang bahkan belum sekalipun mengeluarkan kata, sementara ia yang sesungguhnya bisa menebak apa hubungan dua orang asing dibelakangnya tak bisa memandang rendah pria tua yang badannya masih terlihat gagah. Ia yang masih muda saja merasa kalah."Kami memang menunggu Anggota keluarganya datang. Tapi, sampai hari ini tak ada yang menjemputnya."Mendengar itu Iori mengangguk sementara sang majikan tetap rapat
Wanita dingin itu ahirnya membuka mata. Wajah kantuknya langsung menatapi tangan yang rasanya masih merasakan jemari kaku nan dingin sang adik yang sudah berpulang. Adik yang ia usir dari kehidupannya."Apa ada sesuatu di tanganmu?" Suara bariton itu membuat Nara menoleh pada tubuh yang punggungnya disinari cahaya matahari. Ia baru sadar ia tak sendiri didalam kamar. "Apa di rumahmu juga ada jam bangun?"Alan tertawa mendengar suara wanita dingin Yang bangun lalu menoleh pada tangan kecil yang tergeletak di pinggangnya, "ia lelah menunggumu jadi ikut naik ke kasur," ucap Alan merubah posisi, "dan saat kulihat ia sudah terlelap."Nara menatap tangan kecil Joe yang jemarinya memegangi gaun tidurnya. "Tuan Sulivan," panggil Nara membuat alis Alan terangkat, "tiga hari lagi aku akan pulang, tidakkah kau merasa kasihan pada putramu?""Untuk?" Nara menarik dalam nafasnya. Ia tau lelaki menyebalkan yang menatapinya dengan wajah tak berdosa itu paham betu
"Apa kamu sedang menghina dirimu sendiri?"Alan jadi benar-benar diam menatapi wanita dingin yang mendongak. Ia berpikir bagian mana dari ucapannya yang bisa jadi kesimpulan seperti itu? Tapi apa itu penting? Well, wanita dingin dihadapannya ini memang memiliki jawaban tersendiri atas segala hal yang kadang sulit masuk diakal.Sampai bibir Alan mengulum senyum samar, "aku tak menemukan letak hinaan dalam kalimatku, Nona Larson's.""Kamu tau aku hanya akan tinggal 3 hari dua malam lagi disini bukan?" Alan mengangguk, "dan aku hanya membutuhkan Joe mengatakan iya lalu aku akan pergi dengan berkas yang kamu tanda tangani."Sekali lagi Alan mengangguk, "jadi, aku tak perlu bertaruh lebih dari apa yang sudah aku pertaruhkan," Nara berdiri wajah dinginya bahkan tak bergeming, "so, aku tak butuh pertaruhan bodoh lain karena aku akan dapat ya dari putramu sebelum dua malamku berahir.""Apa kamu a
Wanita dingin yang melempar laporan Iori ke atas meja itu langsung berdiri. Sementara pelayan tua yang tau apa yang harus ia lakukan menghampiri lemari, matanya yang tajam memilih pakaian yang langsung ia letakkan diatas kasur. Bahkan pakaian dalam sang majikan pun ia tata ditempat sama tanpa merasa risih.Bunyi shower menyala membuat Iori yang sudah merapikan informasi yang sudah ia kumpulkan berdiri lalu memberi hormat sebelum keluar. Tidak perduli sang majikan melihat ataupun tidak.Ujung mata pelayan setia yang melihat berkas lain, tersenyum. Tahu sang majikan sudah mendapatkan apa yang ia mau meski hari belum genap satu minggu. Walaupun dalam benaknya terpikir hal apa yang melandasi dua orang yang saling bertaruh itu mempercepat perjanjian.Namun, ada saat dimana ia tak perlu mengetahui apa yang dilakukan sang majikan ataupun mencari tahu alasannya karena tugasnya hanya melayani dan mendengar. Selebih itu akan
"Aku tak perduli dengan penilaianmu, Carter. Dengan uang yang ia miliki anak itu akan bisa diperbaiki." Mendengar itu Carter menatap nyalang sang direktur."Rei bukan barang rusak yang butuh perbaikan, Pak direktur. Ia anak yang terluka karena apa yang sudah ia lihat dan alami."Sang direktur mendecakkan lidahnya tak suka, "dan asal kau tau, wanita itu bisa melakukan semua dengan uang yang ia miliki, Carter. Jadi simapan pendapatmu. Anak itu akan mendapatkan semua yang bisa diharapkan manusia dengan tinggal bersama Nona Larson karena tak ada yang mau mengambilnya. Rei anak yang beruntung karena hidupnya akan berkecukupan setelah ia meninggalkan gedung ini.""Anda tau uang bukan solusi untuk Rei saat ini. Ia butuh pendamping yang mau membimbingnya-""Huh! Membimbing?" Sang direktur mendengus, "kau pikir siapa Nona Larson? Dengan uangnya ia bisa menemukan pembimbing terbaik dari seluruh dunia dan mereka akan mengantri hanya untuk melayani bocah itu."
Sean Carter mengedarkan matanya menatapi langit yang rasanya sudah lama tak ia lihat."Get in."Sean tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung tertutup begitu ia duduk lalu melaju membelah hamparan pohon-pohon tinggi menjulang sejauh matanya memandang, 'aku tidak tau di kotaku ada tempat seperti ini. Apa mainku kurang jauh? Nah, kurasa hanya orang kebanyakan waktu yang mau masuk ke dalam hutan seperti ini.'Sean sesekali melirik pria yang menghancurkan kameranya. Lelaki yang juga diam sepanjang jalan, "hei, berapa lama kalian mengurungku?"Tak ada yang menjawab, dan itu membuat Sean mendengus lalu kembali menatapi jalanan sepi dan berkelok-kelok sampai matanya melihat jalan utama yang lengang dan semakin lama suara kehidupan terdengar makin jelas juga nyata."Get out."Tanpa diperintah dua kali Sean membuka pintu lalu turun, "hei!" Seruan itu membuat tangan Sean bergerak menangkap tas besar yang rasanya berat.
"ah...." Lenguhan pelan yang terdengar merdu ditelinga Alan itu semakin membuat pria yang sedang memainkan lidahnya di ceruk leher Nara terdiam meski tangannya menyusup masuk pada baju Nara yang kancingnya sudah terbuka. Dilepasnya pengait bra dibagian depan yang membuatnya lebih bebas melihat, menjilat, mengecupi payudara wanita dingin yang meremas rambutnya.Nara jadi lebih sensitif pada sentuhan jari, lidah, dan bibir Alan. Dan pria ini tau itu.Hari masih begitu terang di luar, juga hangat. Sementara dua anak kecil yang sudah selesai makan siang langsung tidur karena lelah menangis dan bermain. Sementara Iori pergi melakukan hal yang harus ia lakukan.Alan duduk di depan perut Nara yang ia pandangi, lalu sentuh dan kecup sekali, "halo, Sayang, ini pertama kalinya kita bertemu bukan?"Nara hanya menatapi Alan dalam diam, ia tak mengerti sentimen yang sedang ia lihat dihadapannya, tapi wanita dingin ini sama sekali tak keberatan. "See, your mama tidak m
Kaki kecil Joe terus mengejar langkah Rei yang menjauh darinya, langkah-langkah kecil keduanya membuat burung-burung dara jinak yang mematuki lantai kembali terbang tak tentu arah. "Rei...! Kenapa Rei lari?"Tapi yang ditanya menutup mulutnya rapat dan makin kencang berlari, "Rei! Jangan kencang-kencang dong, aku lelah nih.""Joe jangan ngejar aku!" Teriak Rei membuat Joe diam, "kalo gitu Rei jangan lari, dong!"Mendengar itu Rei berhenti lalu menoleh pada bocah kecil yang dadanya naik turun, "stop right there!" Seru Rei membuat Joe yang melangkah berhenti, "why?""Karena--karena aku," suara Rei makin kecil, "aku gak boleh ketemu Joe.""What? I don't hear you, Rei""I said I can't see Joe anymore!"Joe yang mendengar itu jadi diam memandangi sahabat yang ingin sekali ia temui, tapi apa katanya, "apa Rei benci padaku karena aku nakal? Jadi mommy benar? Rei gak mau ketemu aku karena aku nakal?""Aku tidak benci Joe, aku suka
Brugg!"What?" Wanita berambut merah yang bokongnya ditabrak itu menoleh, ia menunduk menatapi bocah kecil yang mendongak, "I am sorry, Ma'am."Wanita yang masih mentapi anak kecil yang membungkuk benar-benar meminta maaf itu tersenyum lalu mengusap kepala kecil yang rasanya mengingatkannya pada anak lain yang tak pernah bersuara, "it's ok, darling. But, lain kali hati-hati, ok?""Yes, Ma'am, thank you.""What a lovely child you are," ucap wanita berambut merah itu lalu membalas lambaian bocah kecil yang kembali berlari menyusul wanita berambut sebahu yang memakai topi lebar menutupi wajah."What you looking at, Roxanne?" Tanya Rima membuat wanita berambut merah yang ia tepuk pundaknya itu kaget, "God! Tak bisakah kau menyapaku dengan lebih ramah?"Rima hanya terkekeh lalu ikut menatap apa yang dilihat Roxanne, "who?""Tidakkah kau berpikir anak ke
"Apa anda melakukan sesuatu sampai nona Larson pergi tanpa kata, Tuan?"Alan diam dan Andre pun menutup mulutnya. 'I know it! Tapi jika bukan salah tuan ataupun Joe, lalu salah siapa sampai wanita dingin itu pergi? Tapi kesalahan besar apa yang bisa dilakukan anak nakal itu? Kecuali menghabiskan cheesecake dan membuat ibunya frustasi karena tak ingin didekati?'Tau ia tak akan mendengar jawaban dari Alan, Andre menarik dalam nafasnya sebelum berucap, "Oh, dan tentang pria yang anda minta kami cari keberadaanya itu-,"Alan memutar kursinya, "kau sudah menemukannya?"Andre menggeleng, "jangan menatapku kecewa begitu, Tuan, dengarkan dulu," Andre membuka layar laptopnya dan menyerahkannya pada Alan."Anda lihat pria bertato ular dilengannya itu?" Alan mengalihkan pandangannya dari potret lelaki yang membuatnya mengingat masa lalu."Dia rekan kerja Hansel Nicholas," Andre melirik Alan s
"Get back here, young man!" Seru lelaki bermata ash pada bocah berpipi gembil yang meliriknya kesal lalu membanting pintu kamarnya keras.Alan Parker Sulivan menarik dalam nafasnya dan ia hembuskan kasar melihat pintu kamar Joe yang rapat bahkan bunyi kunci terdengar setelah BRAKK!"Let me," ucap wanita berambut pirang yang mengetuk pintu kamar Joe, "honey, please open the door, we won't get mad, ok?"Tak ada jawaban sama sekali, dan sekali lagi Sofia mengetuk pintu, "please, we won't get mad becouse you Made your friend hurt again this time."Lagi, sama sekali tak ada jawaban dari Joe yang memilih bungkam. Bocah kecil yang memakai baju lengan pendek itu memilih duduk menatapi pesawat kertas yang membuatnya ingat sahabatnya yang tak lagi ia temui. Bahkan saat ia pergi bersama Bibi Ann, Rei tak ada di rumah.Musim sudah berganti, karena ia tak lagi harus memakai jaket tebal dan baju hangat seti
Kesunyian dalam kamar sama sekali tak dipermasalahkan dua tubuh yang berbaring di atasnya.Alan merengkuh tubuh Nara yang berbaring memunggunginya. Sesekali bibirnya mengecup pundak Nara, tangannya pun mengusap lengan wanita dingin yang memejamkan mata meski Alan tau Nara belum tidur.Ia tau wanita dingin yang memilih bisu ini sedang butuh waktu untuk apapun yang diinginkan Nara setelah mendengar ucapan Rei. Bocah lelaki kecil yang ternyata lebih terluka dari apa yang ia kira.Alan menarik dalam nafasnya, mengingat tiap kalimat Rei yang tak ingin ia enyahkan. Dan bayangan Sofia melintas silih berganti.[Senang bertemu denganmu, nona Johan.]Itu ucapan Nara saat pertama kali mereka bertemu dalam pesta perayaan gedung Smith yang ahirnya berdiri, 'apa kamu-?' Alan menggelengkan kepala dan mengecup pundak Nara sekali lagi, ia yakin Nara pasti sudah menyelidiki siapa Sofia. 'Apa yang ak
Lelaki yang mendengar ponselnya berbunyi itu langsung mengangkat telfon tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Hal yang sudah biasa ia lakukan mengingat pekerjaan yang ia pilih dalam hidup. "Good evening, Dokter Carter."Suara yang terasa tak asing itu membuat Carter langsung bangun, "Iori?""Maaf mengganggu tidur anda.""It's ok, is something wrong?" Ucap Carter menyibak selimut lalu turun dari ranjang, lelaki yang sudah sepenuhnya sadar ini terus mendengarkan ucapan Iori. Wajahnya berubah serius seketika dan terlihat berpikir dengan jari menjentiki permukaan kasur."Menolak bisa berahir Rei tak akan mau lagi meminta sesuatu dimasa yang akan datang, tapi jika menerima...,"Iori terus mendengarkan tanpa menyela, "apa Nona Larson berani mengambil resiko? Karena apapun pilihannya itu seperti dua mata pisau yang hasilnya belum pasti."Iori menatap wanita
Rei menatapi Joe yang jadi pendiam, bocah yang juga kecil itu memeluk bola yang rasanya tak akan mereka tendangi hari ini."What?" Ucap Joe saat Rei duduk disampingnya.Rei tidak pernah bicara, tapi bocah nakal disampingnya tak mempermasalahkan itu. Dan Rei yang hanya diam duduk menemaninya membuat Joe yang tak cerewet sejak datang merasa tenang--tenang? Bocah nakal ini bahkan belum tau arti kalimat itu tapi, ia tak masalah kalau Rei yang diam duduk disampingnya."Rei, apa kau suka padaku?" Tanya Joe membuat Rei menoleh lalu mengangguk."Tentu saja kau suka padaku, semua orang suka padaku. Daddy suka padaku, Bibi Ann suka padaku, Lody suka padaku, Onty Nara suka padaku, terus...Ng?"Rei menunjuk dirinya, "yeah, kau sudah ngomong itu tadi, duh."Ok, 'duh' Joe terucap lagi. "Tapi-," mata abu-abu bulat nan jernih itu menunduk, "tapi, my mommy tidak suka pa