"Tidak bisa dipercaya." Itu adalah kalimat yang keluar dari bibir Nara setelah pintu kamar tempatnya tidur tertutup rapat. Tentu tak tertutup sendiri karena ada pelayan tua yang begitu setia menemani.
Iori hanya bisa menyembunyikan tawa melihat sesusah apa wajah yang diperlihatkan majikannya berkat bocah kecil anak tuan rumah yang nakalnya memang diatas rata-rata.
Berkas-berkas penting yang sudah disusun sedemikian rupa berubah jadi pesawat mainan berkat tangan kecil Joe juga ayahnya yang membiarkan putra satu-satunya itu berbuat semaunya. "Pria itu bahkan ikut andil membuat pesawat-pesawat sialan itu. Apa kau percaya itu, Iori!" Sungut kesal Nara merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang aromanya berbeda dengan kasurnya.
Meski ia tak perduli pada aroma apapun asal bau sabun dan bersih.
"Jika pria sialan itu ingin mengerjaiku karena aku menang tender tahun lalu seharusnya bukan dengan cara kekanakan begini!" Nara membalikan tubuhnya lalu duduk dan menerima secangkir teh yang harumnya membuat sarafnya sedikit tak tegang. "Aku benci anak-anak, Iori."
Pelayan tua itu hanya tersenyum mendengar kalimat jujur dari sang majikan yang menghirup aroma harum teh sebelum ahirnya ia minum sedikit. Hanya satu sesap, tapi wajah bermasalah Nara langsung menghilang.
"Sial, kalau Sulivan berpikir aku akan menyerah karena putranya. Dia sungguh-sungguh harus belajar mengenal karakter seseorang."
"Indeed, ma'am." Iori menerima cangkir yang masih penuh terisi dan meletakannya dimeja. Tangannya yang membuka lemari mengeluarkan pakaian tidur yang ia letakan diatas kasur lalu keluar dari kamar setelah Nara masuk kedalam kamar mandi.
Nara tak marah, tapi murka. Iori benar. Wanita yang melepaskan pakaiannya itu hanya mengatupkan mulut rapat dan menggigit bibirnya kuat lalu menyalakan shower dingin agar badannya yang tegang kaget. Aliran deras shower seakan memijit kulit kepalanya yang makin basah begitupun tubuhnya.
"Tch!" Decakan lidah terdengar saat mata Nara melirik sabun dan sampo yang aromanya sama dengan si pemilik rumah, wanita yang jadi berpikir itu mengurungkan niat untuk menggunakan sabun dan sampo karena ia tak ingin memiliki aroma sama dengan pria yang membuat hatinya benar-benar buruk ini.
"Hanya kertas? Dasar sial! Kau pikir kertas itu mainan anakmu. Aku bisa gila jika terus disini. Tapi aku juga tak akan pergi sebelum anakmu mengatakan iya." Ucap Nara mengingat bocah nakal yang pipinya begitu hmmm... "Enak disentuh." Ucap wanita yang tangannya memutar gagang shower yang ahirnya mati meninggalkan tetes yang berhenti. Diraihnya kimono handuk yang aromanya membuat Nara mengingat pemilik rumah. Duda beranak satu yang membuatnya menyetujui sebuah persyaratan konyol.
Malas, ia kembali meletakan kimono handuk ketempatnya lalu berjalan keluar kamar mandi dengan rambut basah tanpa pakaian.
Clek! Bunyi pintu yang tertutup membuat pria yang berdiri di depan jendela itu menoleh. "JANGAN BERBALIK!"
Seruan itu membuat Alan Parker Sulivan mengernyitkan dahi saat mendengar pintu kamar mandi kembali terbuka juga sungutan yang membuatnya tersenyum. "Apa masalahmu, Nona Larson?"
Nara yang sudah keluar dari kamar mandi dengan kimono handuk melekat dibadan yang terpaksa ia pakai menatapi pria yang begitu santai duduk dipinggiran jendela. "Masalahku adalah kau ada sini." Jawab Nara menatap baju tipis yang nyaman dibadannya tergeletak di atas ranjang.
"Iori sedang bermain dengan Joe, jika dia yang kau cari." Alan tersenyum melihat wanita yang berdiri ragu melihat gaun tidur itu menatapnya. "Tidakkah menurutmu ini terlalu cepat untuk tidur?"
"Bukan urusanmu, Tuan Sulivan."
"Atau kau menghindari putraku?" Nara menatap tajam pria yang membuatnya merutuk dalam hati. "Joe memang selalu membuat nanny-nya kuwalahan."
"Tapi aku bukan nanny putramu, Sulivan."
"Tentu saja bukan, kau adalah wanita yang datang untuk bermain dengan putraku selama satu minngu agar aku mau menandatangani berkas pentingmu itu."
"Yeah, berkas penting yang kau jadikan pesawat mainan, jika kau belum pikun."
Alan tertawa mendengar wanita dihadapannya itu berkata begitu kesal. Meski jika orang lain yang mendengar, telinga mereka tak akan mendengar bedanya saat Nara sedang berpidato didepan umum ataupun membeli pesawat pribadi.
Tapi, entah kenapa pria yang ahirnya berdiri dari kusen jendela yang ia duduki itu tau Nara kesal, sangat kesal.
"Ayolah, Nona. Itu hanya lembaran kertas yang bisa kau buat lagi dengan menjentikan jarimu."
Wajah Nara yang tak berekspresi itu alisnya bergerak, hanya sedikit. Ia seolah baru mendengar ucapan paling bodoh dari lelaki pintar yang membuatnya menyetujui syarat bodoh demi sebuah tanda tangan!
"Keluar dari kamar ini atau aku akan melemparmu dengan apapun yang mampu kuangakat, Tuan Sulivan."
"Kenapa?"
Wajah Alan benar-benar membuat Nara kesal dan mengeratkan gigi. Wanita yang tidak ingin mengeluarkan kemarahannya ini menatap Alan. "Kau-- kau pikir aku bisa membuat laporan baru sementara dirumahmu ini hanya ada tivi hitam putih yang bahkan menyakiti mata?"
Alan hanya mengernyitkan dahi melihat kemarahan Nara, "aku tak bisa mengerjakan pekerjaanku karena semua gedjetku mati berkat mesin sialan yang kau miliki dan dengan entengnya kau bilang buat yang baru? Dimana otakmu!" seru Nara pada lelaki yang matanya membesar.
Wanita itu sudah tak perduli lagi jika lelaki yang tubuhnya lebih besar dari dirinya ini tersinggung ataupun tak terima. Ia sudah tak bisa menahan diri karena kekesalan yang bertumpuk setelah empat hari tinggal dirumah bak gua meski nyaman.
Apa artinya nyaman jika ia sama sekali tak bisa menyelesaikan satupun pekerjaan!
"Ok, apa kau sedang datang bulan?"
Buk!! Lemparan bantal itu mendarat pas diwajah Alan. Setidaknya itu yang terlihat Dimata Nara sampai bantal yang seharusnya jatuh itu tetap melayang di depan wajah Alan. Pria yang tertawa begitu senang dibalik bantal yang ia pegangi.
"Lepaskan." ucap Nara pada pria yang memegangi pergelangan tangannya yang ingin keluar. Tak ingin berada dalam ruangan sama dengan lelaki menyebalkan yang mempermainkan dirinya. Wanita ini sangat tak suka main-main apalagi dipermainkan.
"Ganti bajumu lalu kita keluar, terkurung dirumah nyamanku selama empat hari pasti membuatmu gila."
"Aku tak tertarik." Mendengar jawaban yang sudah ia prediksi membuat Alan tersenyum lalu menarik nafasnya, "keluarlah bersama kami untuk melihat festival kembang api. Mungkin dengan membuat anakku senang kau bisa mendapat ya darinya, Nona Larson."
Nara melirik pria yang masih memegangi lengannya itu, dan sedikit lega saat jemari Alan meregang. "Tidakkah akan menyenangkan jika kamu mendapat tanda tanganku lebih cepat, Nona Larson?"
Nara jadi diam, berpikir, membayangkan bocah nakal berpipi tembem yang pipinya enak ia pegang. "Aku tunggu 30 menit lagi kuharap itu waktu yang cukup untuk berias."
"Memangnya kau pikir aku mau kemana Tuan Sulivan? Tunggu aku 10 menit dan kita berangkat." Nara langsung menghampiri lemari yang ia buka lebar, matanya menatapi pakaian yang ia ambil lalu menatap pria yang masih berdiri menatapi punggungnya, "keluarlah Tuan Sulivan. Meski ini rumahmu kamar ini tetap kamarku selama aku disini."
Manik mata Sulivan membesar sesaat, lalu menggeleng dan mendekat pada wanita yang menenteng baju dua potong dilengan sementara bra hitam dan CD senada digenggaman.
"Tidakkah kau butuh waktu untuk mengeringkan rambutmu, Nona Larson?"
Nara hanya mengernyitkan dahi melihat tangan Sulivan mengambil untaian rambut yang harum meski tak menggunakan shampo. Duda beranak satu ini bahkan mencium untaian rambut basah yang ada ditangannya meski matanya tak melepaskan manik mata hitam pekat Nara. Tak sedetikpun.
"Aku hanya datang menawarkan berkas yang harus kau tanda tangani, Tuan Sulivan. Tidak lebih dari itu."
"Tentu saja, Nona Larson. Aku tau kau tak pernah menawarkan lebih dari apa yang kau bawa." Sulivan tersenyum saat Nara yang mendongak menatapinya hanya diam. Diletakkannya bantal yang Nara lemapar disamping gaun tidur tipis yang membuatnya berpikir wanita dihadapannya ini memiliki tubuh indah yang rasanya makin nyata meski ia hanya melihat bayangan tubuh tanpa benang yang keluar dari kamar mandi. Berkat kaca di hadapannya tadi.
Tapi, Alan Parker Sulivan tak akan mengatakan itu bahkan jika ada yang memaksanya! "Aku tunggu kau dibawah, Nara."
Nara hanya diam saat pria yang memanggil namanya dengan akrab itu berjalan keluar lalu menutup pintu tapi menoleh pada panggilannya, "kita naik apa?"
"kita naik mobilmu, kecuali kamu ingin kita kedinginan karena naik sepeda Joe ataupun motorku." Jawab Alan lalu menutup pintu. Meninggalkan Nara yang jadi terdiam mengingat begitu sampai Alan langsung menyuruh ceufer membawa pergi mobilnya entah kemana, "sungguh manusia yang seenaknya sendiri."
Belum 10 menit Nara sudah duduk di kursi mobil, ia hanya pergi bertiga meninggalkan Iori bersama seorang pegawai rumah nyaman Alan yang lebih cocok disebut gua karena banyak alasan.
Disepanjang jalan, bocah kecil nakal yang rasanya tak bisa diam terus berceloteh menunjuki apapun yang ia kenali. Dibumbuhi cerita yang sesekali membuat dahi wanita dingin yang terpaksa duduk didepan mengernyit dan sekali lagi menoleh kebelakang.
Kota kecil yang dihiasi lampu kelap-kelip ini memang indah dari sisi manapun dilihat. Bahkan wanita dingin yang duduk diantara suara yang terdengar dari segala penjuru mengakui itu.
"Bagaimana kau memilih tinggal ditempat terpencil itu daripada berada ditengah kerumunan ini?" Alan yang sedang menyesap kopi menatapi Nara. Wanita dingin yang tatapannya sedikit melembut bahkan mengambil tissu untuk mengelap pinggiran bibir belepotan Joe berkat cheesecake yang bocah kecil itu makan.
"Aku punya rumah kecil ditengah kota, jika kau ingin tahu." Jawaban Alan membuat Nara menatapinya. Seolah mencari kebenaran lalu mengangguk. "Dan kau membawaku keguamu itu? What an excelent act."
Alan tertawa begitu terhibur mendengar ejekan wanita dingin yang tak perduli pada tatapan beberapa orang penasaran. "Menurutmu apa yang mereka lihat dari kita, Nona Larson?"
Nara melihat Alan yang duduk dengan menyesap kopi, lalu bocah kecil yang memakan kuenya senang, kemudian dirinya yang memegangi tissu. Wajah Nara langsung berubah dingin memikirkan apa yang terlintas dalam benaknya. "Aku mau ke toilet."
Alan hanya diam menatapi wanita dingin yang berjalan menjauh bahkan tanpa melihat dirinya ataupun sang putra yang memberi Nara tatapan penasaran. "Dad, kapan aku bisa memanggil Onty Nara mommy?"
Alan bahkan hampir menyemburkan kopi yang ia minum. Tapi ia tetap terbatuk mendengar tanya sang putra. "Apa--apa yang kau tanyakan, Joe?"
"Well, setiap ada wanita yang datang mereka selalu memintaku memanggil mereka mommy. But, Onty Nara not sleep on your bad." Sekali lagi Alan terbatuk lalu menatap sekeliling dengan ucapan maaf lalu menyentuh kepala putranya.
"Well, Joe. The thing is- mungkin kau tak akan pernah memanggilnya mommy."
"Why?" Alan menyentuh kepalanya yang tak gatal mendapati tatapan mata yang menuntut jawaban dari mata jernih dan bulat yang akan terus menatapinya sampai Joe menemukan jawaban yang membuat kepala kecilnya mengangguk.
'Damn, kenapa anak-anak tumbuh begitu cepat?'
Nara membasuhkan air dingin kewajahnya beberapa kali. Rasanya jadi buruk berkat pertanyaan Alan bahkan air dingin yang menusuki kulit tangan dan wajahnya jadi tak terasa.Apa yang terlintas dalam benaknya adalah kalimat yang membuat Nara menarik nafasnya begitu dalam. "Family?what a joke."Wanita dingin yang tinggal di mansion besar ditemani pelayan itu mematikan kran dan diam menatap pantulan diri. Manik mata hitam pekat Nara begitu menghanyutkan dan sepi. "Tch! Aku akan benar-benar jadi gila jika berada disini lebih lama lagi."Nara mengusap wajahnya dengan tisu, langkahnya jadi terasa berat saat matanya menatapi bocah kecil cerewet yang terus berceloteh dihadapan ayahnya yang menyebalkan. "Well, setidaknya pipi Joe enak dipegang." Pelan ucap Nara yang kembali melangkah."What?" Tanya Nara saat Joe terus menatapinya tapi tanpa kata. Pengalaman yang langka sekali bocah cerewet ini menahan ucapan.
"Daddy, apa Onty Nara marah padaku?" Tanya Joe pada sang ayah yang keluar dari kamar mandi.Pria yang tubuhnya menyeruakan wangi sampo dan sabun itu menatapi putra kecilnya yang sudah memakai baju tidur juga kaos kaki supaya kakinya hangat dalam kamar berpenghangat. Alan menarik nafasnya mengingat wanita dingin yang terus saja membisu meski ia menunjukan reaksi setiap Joe memandangi. "She just tired, Joe."Joe membalik badan kecilnya sampai baju tidurnya terangkat menunjukan puser kecil diantara perut buncit yang membuat Alan tersenyum. Jemarinya yang panjang dan terasa dingin menyentuh perut kecil Joe yang jadi cekikikan diatas ranjang mereka yang hangat. Ranjang mereka-karena Joe minta tidur bersamanya malam ini."Tidurlah, besok kita main lagi dengan Onty Nara." Ucap Alan pada mata bulat nan jernih yang menatapinya penuh harap, "itupun kalau Unty Nara sudah tak lelah lagi, Darling.""Jadi kalau Onty lelah, aku tak akan bisa main dengannya b
Nara turun dari dalam mobil setelah menarik dalam nafasnya. Pijakan kakinya terasa berat meski ia melangkah ringan teratur bahkan suara derap sepatunya menyatu dengan keramaian gedung rumah sakit yang tetap penuh meski waktu sudah dini hari.Wanita dingin yang ahirnya melihat pelayan setianya berdiri dengan petugas rumah sakit, menghampiri keduanya. "Mari." Ajak petugas berseragam hijau itu lalu berjalan lebih dahulu menjauhi keramaian dan naik kedalam lift.Sesekali mata petugas menatapi pantulan wanita yang bahkan belum sekalipun mengeluarkan kata, sementara ia yang sesungguhnya bisa menebak apa hubungan dua orang asing dibelakangnya tak bisa memandang rendah pria tua yang badannya masih terlihat gagah. Ia yang masih muda saja merasa kalah."Kami memang menunggu Anggota keluarganya datang. Tapi, sampai hari ini tak ada yang menjemputnya."Mendengar itu Iori mengangguk sementara sang majikan tetap rapat
Wanita dingin itu ahirnya membuka mata. Wajah kantuknya langsung menatapi tangan yang rasanya masih merasakan jemari kaku nan dingin sang adik yang sudah berpulang. Adik yang ia usir dari kehidupannya."Apa ada sesuatu di tanganmu?" Suara bariton itu membuat Nara menoleh pada tubuh yang punggungnya disinari cahaya matahari. Ia baru sadar ia tak sendiri didalam kamar. "Apa di rumahmu juga ada jam bangun?"Alan tertawa mendengar suara wanita dingin Yang bangun lalu menoleh pada tangan kecil yang tergeletak di pinggangnya, "ia lelah menunggumu jadi ikut naik ke kasur," ucap Alan merubah posisi, "dan saat kulihat ia sudah terlelap."Nara menatap tangan kecil Joe yang jemarinya memegangi gaun tidurnya. "Tuan Sulivan," panggil Nara membuat alis Alan terangkat, "tiga hari lagi aku akan pulang, tidakkah kau merasa kasihan pada putramu?""Untuk?" Nara menarik dalam nafasnya. Ia tau lelaki menyebalkan yang menatapinya dengan wajah tak berdosa itu paham betu
"Apa kamu sedang menghina dirimu sendiri?"Alan jadi benar-benar diam menatapi wanita dingin yang mendongak. Ia berpikir bagian mana dari ucapannya yang bisa jadi kesimpulan seperti itu? Tapi apa itu penting? Well, wanita dingin dihadapannya ini memang memiliki jawaban tersendiri atas segala hal yang kadang sulit masuk diakal.Sampai bibir Alan mengulum senyum samar, "aku tak menemukan letak hinaan dalam kalimatku, Nona Larson's.""Kamu tau aku hanya akan tinggal 3 hari dua malam lagi disini bukan?" Alan mengangguk, "dan aku hanya membutuhkan Joe mengatakan iya lalu aku akan pergi dengan berkas yang kamu tanda tangani."Sekali lagi Alan mengangguk, "jadi, aku tak perlu bertaruh lebih dari apa yang sudah aku pertaruhkan," Nara berdiri wajah dinginya bahkan tak bergeming, "so, aku tak butuh pertaruhan bodoh lain karena aku akan dapat ya dari putramu sebelum dua malamku berahir.""Apa kamu a
Wanita dingin yang melempar laporan Iori ke atas meja itu langsung berdiri. Sementara pelayan tua yang tau apa yang harus ia lakukan menghampiri lemari, matanya yang tajam memilih pakaian yang langsung ia letakkan diatas kasur. Bahkan pakaian dalam sang majikan pun ia tata ditempat sama tanpa merasa risih.Bunyi shower menyala membuat Iori yang sudah merapikan informasi yang sudah ia kumpulkan berdiri lalu memberi hormat sebelum keluar. Tidak perduli sang majikan melihat ataupun tidak.Ujung mata pelayan setia yang melihat berkas lain, tersenyum. Tahu sang majikan sudah mendapatkan apa yang ia mau meski hari belum genap satu minggu. Walaupun dalam benaknya terpikir hal apa yang melandasi dua orang yang saling bertaruh itu mempercepat perjanjian.Namun, ada saat dimana ia tak perlu mengetahui apa yang dilakukan sang majikan ataupun mencari tahu alasannya karena tugasnya hanya melayani dan mendengar. Selebih itu akan
"Aku tak perduli dengan penilaianmu, Carter. Dengan uang yang ia miliki anak itu akan bisa diperbaiki." Mendengar itu Carter menatap nyalang sang direktur."Rei bukan barang rusak yang butuh perbaikan, Pak direktur. Ia anak yang terluka karena apa yang sudah ia lihat dan alami."Sang direktur mendecakkan lidahnya tak suka, "dan asal kau tau, wanita itu bisa melakukan semua dengan uang yang ia miliki, Carter. Jadi simapan pendapatmu. Anak itu akan mendapatkan semua yang bisa diharapkan manusia dengan tinggal bersama Nona Larson karena tak ada yang mau mengambilnya. Rei anak yang beruntung karena hidupnya akan berkecukupan setelah ia meninggalkan gedung ini.""Anda tau uang bukan solusi untuk Rei saat ini. Ia butuh pendamping yang mau membimbingnya-""Huh! Membimbing?" Sang direktur mendengus, "kau pikir siapa Nona Larson? Dengan uangnya ia bisa menemukan pembimbing terbaik dari seluruh dunia dan mereka akan mengantri hanya untuk melayani bocah itu."
Duda bermata ash yang sudah selesai membayar belanjaanya itu menoleh pada sang putra yang menariki lengan bajunya. Belum sempat melihat apa yang ditunjuk Joe, Alan langsung bergerak cepat menyusul langkah cepat bocah kecil yang berlari diantara mata-mata yang memperhatikan bocah cerewet berpipi tembem yang enak dipegang itu berlari. "Onty...!!"Nara terkejut meski wajah dinginnya tak berubah sama sekali begitupun Carter yang memandangi bocah kecil yang memeluk kaki Nara, bocah kecil yang mendongak menatapi dirinya dengan pandangan penuh tanya. "Who are you?"'Wow, anak yang pemberani,' Carter menjejerkan pandangan matanya dengan Joe lalu menjulurkan tangan, "hei, young man, my name Maxime lourne Carter. You can call me Max or Carter."Joe langsung menjabat tangan besar Carter, "aku Joenathan, you can call me Joe." Carter mengangguk pada jabatan tangan kecil namun mantab bocah kecil yang lalu menatapi Nara. Wanita d
Sean Carter mengedarkan matanya menatapi langit yang rasanya sudah lama tak ia lihat."Get in."Sean tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung tertutup begitu ia duduk lalu melaju membelah hamparan pohon-pohon tinggi menjulang sejauh matanya memandang, 'aku tidak tau di kotaku ada tempat seperti ini. Apa mainku kurang jauh? Nah, kurasa hanya orang kebanyakan waktu yang mau masuk ke dalam hutan seperti ini.'Sean sesekali melirik pria yang menghancurkan kameranya. Lelaki yang juga diam sepanjang jalan, "hei, berapa lama kalian mengurungku?"Tak ada yang menjawab, dan itu membuat Sean mendengus lalu kembali menatapi jalanan sepi dan berkelok-kelok sampai matanya melihat jalan utama yang lengang dan semakin lama suara kehidupan terdengar makin jelas juga nyata."Get out."Tanpa diperintah dua kali Sean membuka pintu lalu turun, "hei!" Seruan itu membuat tangan Sean bergerak menangkap tas besar yang rasanya berat.
"ah...." Lenguhan pelan yang terdengar merdu ditelinga Alan itu semakin membuat pria yang sedang memainkan lidahnya di ceruk leher Nara terdiam meski tangannya menyusup masuk pada baju Nara yang kancingnya sudah terbuka. Dilepasnya pengait bra dibagian depan yang membuatnya lebih bebas melihat, menjilat, mengecupi payudara wanita dingin yang meremas rambutnya.Nara jadi lebih sensitif pada sentuhan jari, lidah, dan bibir Alan. Dan pria ini tau itu.Hari masih begitu terang di luar, juga hangat. Sementara dua anak kecil yang sudah selesai makan siang langsung tidur karena lelah menangis dan bermain. Sementara Iori pergi melakukan hal yang harus ia lakukan.Alan duduk di depan perut Nara yang ia pandangi, lalu sentuh dan kecup sekali, "halo, Sayang, ini pertama kalinya kita bertemu bukan?"Nara hanya menatapi Alan dalam diam, ia tak mengerti sentimen yang sedang ia lihat dihadapannya, tapi wanita dingin ini sama sekali tak keberatan. "See, your mama tidak m
Kaki kecil Joe terus mengejar langkah Rei yang menjauh darinya, langkah-langkah kecil keduanya membuat burung-burung dara jinak yang mematuki lantai kembali terbang tak tentu arah. "Rei...! Kenapa Rei lari?"Tapi yang ditanya menutup mulutnya rapat dan makin kencang berlari, "Rei! Jangan kencang-kencang dong, aku lelah nih.""Joe jangan ngejar aku!" Teriak Rei membuat Joe diam, "kalo gitu Rei jangan lari, dong!"Mendengar itu Rei berhenti lalu menoleh pada bocah kecil yang dadanya naik turun, "stop right there!" Seru Rei membuat Joe yang melangkah berhenti, "why?""Karena--karena aku," suara Rei makin kecil, "aku gak boleh ketemu Joe.""What? I don't hear you, Rei""I said I can't see Joe anymore!"Joe yang mendengar itu jadi diam memandangi sahabat yang ingin sekali ia temui, tapi apa katanya, "apa Rei benci padaku karena aku nakal? Jadi mommy benar? Rei gak mau ketemu aku karena aku nakal?""Aku tidak benci Joe, aku suka
Brugg!"What?" Wanita berambut merah yang bokongnya ditabrak itu menoleh, ia menunduk menatapi bocah kecil yang mendongak, "I am sorry, Ma'am."Wanita yang masih mentapi anak kecil yang membungkuk benar-benar meminta maaf itu tersenyum lalu mengusap kepala kecil yang rasanya mengingatkannya pada anak lain yang tak pernah bersuara, "it's ok, darling. But, lain kali hati-hati, ok?""Yes, Ma'am, thank you.""What a lovely child you are," ucap wanita berambut merah itu lalu membalas lambaian bocah kecil yang kembali berlari menyusul wanita berambut sebahu yang memakai topi lebar menutupi wajah."What you looking at, Roxanne?" Tanya Rima membuat wanita berambut merah yang ia tepuk pundaknya itu kaget, "God! Tak bisakah kau menyapaku dengan lebih ramah?"Rima hanya terkekeh lalu ikut menatap apa yang dilihat Roxanne, "who?""Tidakkah kau berpikir anak ke
"Apa anda melakukan sesuatu sampai nona Larson pergi tanpa kata, Tuan?"Alan diam dan Andre pun menutup mulutnya. 'I know it! Tapi jika bukan salah tuan ataupun Joe, lalu salah siapa sampai wanita dingin itu pergi? Tapi kesalahan besar apa yang bisa dilakukan anak nakal itu? Kecuali menghabiskan cheesecake dan membuat ibunya frustasi karena tak ingin didekati?'Tau ia tak akan mendengar jawaban dari Alan, Andre menarik dalam nafasnya sebelum berucap, "Oh, dan tentang pria yang anda minta kami cari keberadaanya itu-,"Alan memutar kursinya, "kau sudah menemukannya?"Andre menggeleng, "jangan menatapku kecewa begitu, Tuan, dengarkan dulu," Andre membuka layar laptopnya dan menyerahkannya pada Alan."Anda lihat pria bertato ular dilengannya itu?" Alan mengalihkan pandangannya dari potret lelaki yang membuatnya mengingat masa lalu."Dia rekan kerja Hansel Nicholas," Andre melirik Alan s
"Get back here, young man!" Seru lelaki bermata ash pada bocah berpipi gembil yang meliriknya kesal lalu membanting pintu kamarnya keras.Alan Parker Sulivan menarik dalam nafasnya dan ia hembuskan kasar melihat pintu kamar Joe yang rapat bahkan bunyi kunci terdengar setelah BRAKK!"Let me," ucap wanita berambut pirang yang mengetuk pintu kamar Joe, "honey, please open the door, we won't get mad, ok?"Tak ada jawaban sama sekali, dan sekali lagi Sofia mengetuk pintu, "please, we won't get mad becouse you Made your friend hurt again this time."Lagi, sama sekali tak ada jawaban dari Joe yang memilih bungkam. Bocah kecil yang memakai baju lengan pendek itu memilih duduk menatapi pesawat kertas yang membuatnya ingat sahabatnya yang tak lagi ia temui. Bahkan saat ia pergi bersama Bibi Ann, Rei tak ada di rumah.Musim sudah berganti, karena ia tak lagi harus memakai jaket tebal dan baju hangat seti
Kesunyian dalam kamar sama sekali tak dipermasalahkan dua tubuh yang berbaring di atasnya.Alan merengkuh tubuh Nara yang berbaring memunggunginya. Sesekali bibirnya mengecup pundak Nara, tangannya pun mengusap lengan wanita dingin yang memejamkan mata meski Alan tau Nara belum tidur.Ia tau wanita dingin yang memilih bisu ini sedang butuh waktu untuk apapun yang diinginkan Nara setelah mendengar ucapan Rei. Bocah lelaki kecil yang ternyata lebih terluka dari apa yang ia kira.Alan menarik dalam nafasnya, mengingat tiap kalimat Rei yang tak ingin ia enyahkan. Dan bayangan Sofia melintas silih berganti.[Senang bertemu denganmu, nona Johan.]Itu ucapan Nara saat pertama kali mereka bertemu dalam pesta perayaan gedung Smith yang ahirnya berdiri, 'apa kamu-?' Alan menggelengkan kepala dan mengecup pundak Nara sekali lagi, ia yakin Nara pasti sudah menyelidiki siapa Sofia. 'Apa yang ak
Lelaki yang mendengar ponselnya berbunyi itu langsung mengangkat telfon tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Hal yang sudah biasa ia lakukan mengingat pekerjaan yang ia pilih dalam hidup. "Good evening, Dokter Carter."Suara yang terasa tak asing itu membuat Carter langsung bangun, "Iori?""Maaf mengganggu tidur anda.""It's ok, is something wrong?" Ucap Carter menyibak selimut lalu turun dari ranjang, lelaki yang sudah sepenuhnya sadar ini terus mendengarkan ucapan Iori. Wajahnya berubah serius seketika dan terlihat berpikir dengan jari menjentiki permukaan kasur."Menolak bisa berahir Rei tak akan mau lagi meminta sesuatu dimasa yang akan datang, tapi jika menerima...,"Iori terus mendengarkan tanpa menyela, "apa Nona Larson berani mengambil resiko? Karena apapun pilihannya itu seperti dua mata pisau yang hasilnya belum pasti."Iori menatap wanita
Rei menatapi Joe yang jadi pendiam, bocah yang juga kecil itu memeluk bola yang rasanya tak akan mereka tendangi hari ini."What?" Ucap Joe saat Rei duduk disampingnya.Rei tidak pernah bicara, tapi bocah nakal disampingnya tak mempermasalahkan itu. Dan Rei yang hanya diam duduk menemaninya membuat Joe yang tak cerewet sejak datang merasa tenang--tenang? Bocah nakal ini bahkan belum tau arti kalimat itu tapi, ia tak masalah kalau Rei yang diam duduk disampingnya."Rei, apa kau suka padaku?" Tanya Joe membuat Rei menoleh lalu mengangguk."Tentu saja kau suka padaku, semua orang suka padaku. Daddy suka padaku, Bibi Ann suka padaku, Lody suka padaku, Onty Nara suka padaku, terus...Ng?"Rei menunjuk dirinya, "yeah, kau sudah ngomong itu tadi, duh."Ok, 'duh' Joe terucap lagi. "Tapi-," mata abu-abu bulat nan jernih itu menunduk, "tapi, my mommy tidak suka pa