Home / Lain / A HOME FOR REI / Sepucat lembar koran

Share

Sepucat lembar koran

Author: Nur Juwariyah
last update Last Updated: 2021-03-21 10:19:56

Nara membasuhkan air dingin kewajahnya beberapa kali. Rasanya jadi buruk berkat pertanyaan Alan bahkan air dingin yang menusuki kulit tangan dan wajahnya jadi tak terasa.

Apa yang terlintas dalam benaknya adalah kalimat yang membuat Nara menarik nafasnya begitu dalam. "Family?what a joke." 

Wanita dingin yang tinggal di mansion besar ditemani pelayan itu mematikan kran dan diam menatap pantulan diri. Manik mata hitam pekat Nara begitu menghanyutkan dan sepi. "Tch! Aku akan benar-benar jadi gila jika berada disini lebih lama lagi."

Nara mengusap wajahnya dengan tisu, langkahnya jadi terasa berat saat matanya menatapi bocah kecil cerewet yang terus berceloteh dihadapan ayahnya yang menyebalkan. "Well, setidaknya pipi Joe enak dipegang." Pelan ucap Nara yang kembali melangkah.

"What?" Tanya Nara saat Joe terus menatapinya tapi tanpa kata. Pengalaman yang langka sekali bocah cerewet ini menahan ucapan.

"Nothing," tapi bukan bocah kecil itu yang menjawabnya, melainkan Alan yang langsung menyuapkan cheesecake pada Joe yang mengunyah cepat entah berlomba dengan apa.

"You know what, Joe. Kue-mu tak akan lari kemana-mana jadi makanlah dengan pelan." Nara mengusap cream lembut  dipinggiran bibir Joe yang mengangguk, "boleh aku minta kue lagi, please." 

Please, tentu saja. Setidaknya Alan mengajari putranya manner. Nara mengangguk dan memanggil pelayan yang langsung datang saat melihat tangan Nara terangkat, "ada yang bisa saya bantu, Ma'am?"

Alan hanya memandangi interaksi pelayan dengan wanita dingin yang begitu sabar menghadapi putranya. Meski, well- ia mendapat lemparan bantal pada ahirnya.

Duar...!! Duarr!! Bunyi petasan yang nyaring disambut gembira mata-mata yang melihat begitupun bocah kecil yang berdiri dipinggir railing yang terus menatapi cahaya warna-warni yang menambah kecantikan langit meski bau mesiu dan belerang tercium. 

Sementara ditempat lain bocah kecil yang duduk dipojok ruangan tak tertarik sama sekali dengan langit yang bercahaya. Bocah yang menutup rapat mulut merah nan basahnya itu hanya menatap kosong ubin dingin yang coraknya berbeda dengan tempatnya tinggal.

Mulutnya yang bergerak tak mengeluarkan suara. Tak perduli pada seorang perawat yang menarik nafasnya dalam karena melihat mangkok berisi bubur utuh begitupun segelas susu coklat yang ada diatas meja.

"Kenapa kamu duduk disitu, Rei?"

Mendengar namanya dipanggil bocah kecil yang duduk dipojok ruangan mendongak lalu berdiri. Pandangan mata tanpa cahaya Dimata bocah kecil itu membuat perawat tua mengingat cucunya dirumah yang pasti sudah terlelap meski meminta dibangunkan saat menyambut festival panen anggur.

Hari paling ramai dikota kecil yang penduduknya tak mengerti ada bocah kecil yang kehilangan suara karena melihat keburukan manusia yang menyebabkan satu-satunya sandaran hidup didunia tiada. Sekeras apapun Panggilan Rei, Cyntia tak membuka mata dan terus melayang dipintu dengan kursi yang jatuh.

"Kemarilah," Rei berjalan ragu tapi tetap mendekati perawat tua yang berlaku baik padanya. "Kenapa Kamu tidak makan? Apa perut kecilmu ini tidak lapar?"

Rei menatap tangan wanita tua yang mengusap perut kecilnya, "atau kamu ingin makan pisang?" Rei menggeleng pada pisang kuning yang kulitnya mengkilap ditangan wanita tua yang tersenyum lalu mengangkat tubuh kecilnya, "wow, apa mommy-mu sering menggendongmu? Ia pasti wanita kuat karena kau berat sekali."

Ucapan Rima membuat Rei diam mengingat sang mommy yang tak pernah datang selama apapun ia menunggu. Bibir Rei yang terbuka tertutup lagi tanpa diketahui perawat tua yang terus bicara-(Rima suka bicara-a lot- apalagi tentang cucunya)  menghampiri ranjang keras tempat Rei tidur malam ini. Lagi.

"Tapi, maukah kau makan sedikit pisang sebelum tidur, Rei?" Pinta perawat tua yang tersenyum saat bocah kecil yang sudah duduk diatas kasur itu ahirnya mengangguk. 

Dikupasnya kulit pisang ditangan lalu disuapkannya pada mulut kecil yang mengunyah ragu. Meski berkata sedikit, Rima terus menyuapi Rei sampai isi pisang habis hanya meninggalkan kulit. 

Rei memiringkan badan kecilnya menghadap tembok putih gading, bocah kecil yang terus menutup rapat mulutnya itu bahkan tak menoleh pada ucapan selamat malam perawat tua yang mengusap kepalanya pelan. 

Rima yang menghampiri saklar urung mematikan lampu lalu keluar menutup pintu. Nafasnya terasa berat menatapi nampan utuh yang makanannya sama sekali tak tersentuh. Utuh dan mendingin.

"Bagaimana?" Tanya Roxanne pada Rima yang ahirnya terlihat setelah berkata ingin memeriksa bocah kecil yang datang bersama polisi. Rima yang mengangkat bahu membuat Roxanne menghembuskan nafasnya keras. 

"How about you, bisa menghubungi walinya?" 

"Naah, wanita itu bahkan tak ingin mengangkat teleponku?"

"Dan darimana kau tau itu?" 

"Oh, come on, Rima, bahkan orang bodoh tau jika teleponmu di-reject tiap waktu itu artinya ditolak."

"I wonder what will happen?"

"Apalagi? Pilihannya tinggal panti atau orang tua asuh." Mendengar itu Rima menatap tajam wanita yang usianya sama dengan dirinya hanya lebih modis karena mengecat rambutnya merah terang menyala.

"Kau pikir tempat itu cocok untuk anak malang itu, heh?"

"Oh, come on. Apa kau mau merawat anak yang kata-mu malang itu, Rima? Aku tau sesabar ala Sally-(anak perempuan Rima yang tinggal serumah)- pada cucumu."

Mendengar itu Rima tidak emosi karena ucapan apadanya Roxanne itu benar. Tapi, tetap saja jika ada tempat yang lebih bagus itu akan lebih baik untuk Rei-bocah kecil yang mereka katai malang. "Tapi aku sungguh tak menyangka dengan apa yang kudengar."

"Memang apa yang kau dengar? Dan dari siapa?"

"Matty."

"Dan kau percaya pada ucapan pencari perhatian sepertinya?"

"Setidaknya ia mau menguping pembicaraan polisi dan dokter Carter. Meski tentu dengan bumbu agar lebih menarik."

"Oh you sick if you think like that. Apa yang menarik dari wanita yang bunuh diri karena-" Rima menghentikan ucapannya saat melihat seseorang masuk lalu menyapa dua suster jaga yang tak lagi muda itu.

"Bagaimana kencanmu, Dokter Carter?" Tanya Roxanne pada lelaki muda yang mengisi daftar hadirnya. 

"Terrible, Roxanne, but your smile make it better."

"Ow, what a sweett talker you are, young man." Ucap Rima yang mendapat senyuman disertai kedipan mata Carter.

"Paling dia tak berhasil mengajak teman kencannya berahir diranjang." Ucap Roxanne pelan saat punggung dokter muda itu menghilang didalam lift. Wanita berambut merah itu melambaikan tangannya dengan senyum pada Carter yang tak perlu mengatakan ia mendengar ucapan wanita yang memang blak-blakan itu, apalagi dibalik punggung seseorang.

"Jangan samakan semua orang denganmu, my friend." Ucap Rima membuka komputer.

"Apa yang kau lakukan?" 

"Apa yang harus kulakukan, tentu." 

"But, that's illegal." 

"Selama kau tutup mulutmu dan tetap berdiri disitu tak akan ada yang tau apa yang kulakukan."

"Shit, Rima! Kau benar-benar akan menjemput nyawaku sebelum waktunya!" Seruan tertahan Roxanne melirik CCTV yang menyala lalu melambai pada siapapun yang dapat tugas mengawasi malam ini.

"Well, setidaknya kau mengenali wajah malaikat mautmu, my friend." Roxanne hanya menarik nafasnya tak tak percaya lalu menatapi layar komputer yang membuat dahinya berkerut. "I know her."

"Who?" Tanya Rima mengalihkan pandangan dari layar komputer dan menatap telunjuk-no no no- bukan telunjuk Roxanne, tapi nama yang ditunjuk jemari berkuteks merah terang itu.

"Oh, come on, Rima. Aku tau satu dari mainan cucumu pasti milik Larson's." Rima menatap Roxanne tak terima.

"For your information, Roxanne, tetanggaku tak ada yang bernama Larson's." Ucapan Rima membuat Roxanne menepuk jidatnya yang kencang berkat botox.

"Aku tidak sedang membicarakan tetanggamu, darling. Tapi Larson's satu dari pabrikan maianan terbesar di negaramu ini." Mendengar itu Rima jadi diam membaca apa yang ditunjuk jemari Roxanne tadi.

"Narasi Jinya Larson. But who is she?" 

"Oh My God, apa kau tinggal digua sampai tak tau siapa Larson's?" Rima makin mengernyitkan dalam dahi tuanya, "tapi, ada hubungan apa anak malang itu dengan keluarga bilyuner ini?"

"What? Bilyuner? Maksudmu... Bilyuner?" Rima mengulang ucapannya sementara Roxanne memutar bola mata. 

"Yeah, yeah, kau tau-lah. Orang kebanyakan uang yang bisa membeli jet dan pulau pribadi hanya dengan jentikan jari." Ejekan Roxanne membuat Rima tertawa. Begitupun sang pemilik ucapan lalu sama-sama menatap layar komputer. 

"Ini aneh, kau tau," ucap Rima masih menatapi layar komputer, "tidak ada jejak apapun lagi selain nama bahkan tak disebutkan apa hubungan antara Rei dan Larson ini."

"Let me search her in my phone." Roxanne menyambar ponsel, jemarinya mengeser-geser layar sentuhnya cepat dengan pandangan mata fokus lalu menggeleng, "I found nothing. Hanya jamuan yang dihadiri meski potretnya buram. Aku ingin tau seberapa banyak uang yang jalang kaya ini keluarkan untuk membungkam media." 

"Dan kau jalang miskin sok tau, Roxanne." Roxanne mengangkat bahunya lalu menatap Rima yang memperhatikan dirinya. "Mungkin namanya saja yang sama." Ucap Roxanne menyerah dan meletakan ponselnya kembali. 

Wanita tua yang tetap ingin tampil modis meski sudah uzur ini menarik dalam nafasnya, "tidak mungkin anak malang itu memiliki hubungan dengan jalang bilyuner, bukan? sementara anak itu hidup sengsara." Ucap Roxanne membuat Rima menggigit bibirnya entah mengapa ucapan Roxanne yang masuk akal itu mengganggu dirinya.

"Well, mungkin kau benar." Jawab Rima mematikan komputer mengingat sorot mata bocah kecil bermata biru yang kehilangan cahaya. 

*

Langkah Nara terhenti Manatapi sampul koran dengan wajah yang membuat tangannya meraih lembaran kertas yang sedang dibaca pria tinggi disamping pintu keluar. "What-?" Kaget, orang itu menatapi wanita yang mengambil koran yang ia baca tanpa permisi. 

Alan yang melihat langsung meminta maaf sementara wanita yang jadi diam kaku di atas kakinya ini memegangi kertas yang diremas tangannya kuat-kuat. "What happen, Nona Larson?"

"Murder and suiside-" belum sempat Alan membaca judul halaman berwarna hitam tebal itu tangan Nara sudah menjatuhkan lembaran koran yang diterbangkan angin. Beberapa orang mengeratkan jaket mereka dengan umpatan karena angin menusuk yang bahkan terasa begitu dingin. 

"Wait! Kau mau kemana? Larson? Larson! Nara!" Seru Alan langsung membopong Joe yang melingkarkan tangan kecilnya dileher sang ayah yang berlari cepat menusul wanita yang wajahnya jadi pucat menghentikan taxy-taxy yang sudah terisi.

"Tak akan ada taxy kosong dimusim seperti ini, Nara." Ucap Alan memegangi tangan wanita dingin yang benar-benar jadi dingin-tangannya- "kau mau kemana biar kuantar." 

Alan menyentuh wajah bermasalah wanita yang wajah dinginnya masih saja pucat. Jadi apa yang ia lihat tadi bukan karena pengaruh cahaya ataupun angin dingin yang berhembus. "Come on, ini malam festival, tak akan ada taxy kosong yang bisa kau tumpangi, Nona Larson."

Alan memberikan senyumnya pada Nara  yang jadi diam tapi menatapnya, "kau mau kemana? Nara?" Tanya Alan mengusap pipi dingin wanita yang nafasnya mengepul putih meski tubuhnya sudah terbungkus jaket hangat.

Hatchi! Hatchi! Hatchi! Suara bersin Joe membuat Nara sadar. Pikirannya yang jadi kosong seolah kembali dan menatapi wajah lelaki yang masih menyentuh pipinya dengan pandangan yang-- entahlah.   

"Kita- lebih baik kita pulang.

Related chapters

  • A HOME FOR REI   Tangis yang malu diperlihatkan

    "Daddy, apa Onty Nara marah padaku?" Tanya Joe pada sang ayah yang keluar dari kamar mandi.Pria yang tubuhnya menyeruakan wangi sampo dan sabun itu menatapi putra kecilnya yang sudah memakai baju tidur juga kaos kaki supaya kakinya hangat dalam kamar berpenghangat. Alan menarik nafasnya mengingat wanita dingin yang terus saja membisu meski ia menunjukan reaksi setiap Joe memandangi. "She just tired, Joe."Joe membalik badan kecilnya sampai baju tidurnya terangkat menunjukan puser kecil diantara perut buncit yang membuat Alan tersenyum. Jemarinya yang panjang dan terasa dingin menyentuh perut kecil Joe yang jadi cekikikan diatas ranjang mereka yang hangat. Ranjang mereka-karena Joe minta tidur bersamanya malam ini."Tidurlah, besok kita main lagi dengan Onty Nara." Ucap Alan pada mata bulat nan jernih yang menatapinya penuh harap, "itupun kalau Unty Nara sudah tak lelah lagi, Darling.""Jadi kalau Onty lelah, aku tak akan bisa main dengannya b

    Last Updated : 2021-03-22
  • A HOME FOR REI   Ais, ayo kita pulang

    Nara turun dari dalam mobil setelah menarik dalam nafasnya. Pijakan kakinya terasa berat meski ia melangkah ringan teratur bahkan suara derap sepatunya menyatu dengan keramaian gedung rumah sakit yang tetap penuh meski waktu sudah dini hari.Wanita dingin yang ahirnya melihat pelayan setianya berdiri dengan petugas rumah sakit, menghampiri keduanya. "Mari." Ajak petugas berseragam hijau itu lalu berjalan lebih dahulu menjauhi keramaian dan naik kedalam lift.Sesekali mata petugas menatapi pantulan wanita yang bahkan belum sekalipun mengeluarkan kata, sementara ia yang sesungguhnya bisa menebak apa hubungan dua orang asing dibelakangnya tak bisa memandang rendah pria tua yang badannya masih terlihat gagah. Ia yang masih muda saja merasa kalah."Kami memang menunggu Anggota keluarganya datang. Tapi, sampai hari ini tak ada yang menjemputnya."Mendengar itu Iori mengangguk sementara sang majikan tetap rapat

    Last Updated : 2021-03-23
  • A HOME FOR REI   Aku tak butuh keluarga

    Wanita dingin itu ahirnya membuka mata. Wajah kantuknya langsung menatapi tangan yang rasanya masih merasakan jemari kaku nan dingin sang adik yang sudah berpulang. Adik yang ia usir dari kehidupannya."Apa ada sesuatu di tanganmu?" Suara bariton itu membuat Nara menoleh pada tubuh yang punggungnya disinari cahaya matahari. Ia baru sadar ia tak sendiri didalam kamar. "Apa di rumahmu juga ada jam bangun?"Alan tertawa mendengar suara wanita dingin Yang bangun lalu menoleh pada tangan kecil yang tergeletak di pinggangnya, "ia lelah menunggumu jadi ikut naik ke kasur," ucap Alan merubah posisi, "dan saat kulihat ia sudah terlelap."Nara menatap tangan kecil Joe yang jemarinya memegangi gaun tidurnya. "Tuan Sulivan," panggil Nara membuat alis Alan terangkat, "tiga hari lagi aku akan pulang, tidakkah kau merasa kasihan pada putramu?""Untuk?" Nara menarik dalam nafasnya. Ia tau lelaki menyebalkan yang menatapinya dengan wajah tak berdosa itu paham betu

    Last Updated : 2021-03-23
  • A HOME FOR REI   Anak yang tak diinginkan

    "Apa kamu sedang menghina dirimu sendiri?"Alan jadi benar-benar diam menatapi wanita dingin yang mendongak. Ia berpikir bagian mana dari ucapannya yang bisa jadi kesimpulan seperti itu? Tapi apa itu penting? Well, wanita dingin dihadapannya ini memang memiliki jawaban tersendiri atas segala hal yang kadang sulit masuk diakal.Sampai bibir Alan mengulum senyum samar, "aku tak menemukan letak hinaan dalam kalimatku, Nona Larson's.""Kamu tau aku hanya akan tinggal 3 hari dua malam lagi disini bukan?" Alan mengangguk, "dan aku hanya membutuhkan Joe mengatakan iya lalu aku akan pergi dengan berkas yang kamu tanda tangani."Sekali lagi Alan mengangguk, "jadi, aku tak perlu bertaruh lebih dari apa yang sudah aku pertaruhkan," Nara berdiri wajah dinginya bahkan tak bergeming, "so, aku tak butuh pertaruhan bodoh lain karena aku akan dapat ya dari putramu sebelum dua malamku berahir.""Apa kamu a

    Last Updated : 2021-03-24
  • A HOME FOR REI   11. Pandangan tak terbaca

    Wanita dingin yang melempar laporan Iori ke atas meja itu langsung berdiri. Sementara pelayan tua yang tau apa yang harus ia lakukan menghampiri lemari, matanya yang tajam memilih pakaian yang langsung ia letakkan diatas kasur. Bahkan pakaian dalam sang majikan pun ia tata ditempat sama tanpa merasa risih.Bunyi shower menyala membuat Iori yang sudah merapikan informasi yang sudah ia kumpulkan berdiri lalu memberi hormat sebelum keluar. Tidak perduli sang majikan melihat ataupun tidak.Ujung mata pelayan setia yang melihat berkas lain, tersenyum. Tahu sang majikan sudah mendapatkan apa yang ia mau meski hari belum genap satu minggu. Walaupun dalam benaknya terpikir hal apa yang melandasi dua orang yang saling bertaruh itu mempercepat perjanjian.Namun, ada saat dimana ia tak perlu mengetahui apa yang dilakukan sang majikan ataupun mencari tahu alasannya karena tugasnya hanya melayani dan mendengar. Selebih itu akan

    Last Updated : 2021-03-25
  • A HOME FOR REI   Tubuh kaku membisu

    "Aku tak perduli dengan penilaianmu, Carter. Dengan uang yang ia miliki anak itu akan bisa diperbaiki." Mendengar itu Carter menatap nyalang sang direktur."Rei bukan barang rusak yang butuh perbaikan, Pak direktur. Ia anak yang terluka karena apa yang sudah ia lihat dan alami."Sang direktur mendecakkan lidahnya tak suka, "dan asal kau tau, wanita itu bisa melakukan semua dengan uang yang ia miliki, Carter. Jadi simapan pendapatmu. Anak itu akan mendapatkan semua yang bisa diharapkan manusia dengan tinggal bersama Nona Larson karena tak ada yang mau mengambilnya. Rei anak yang beruntung karena hidupnya akan berkecukupan setelah ia meninggalkan gedung ini.""Anda tau uang bukan solusi untuk Rei saat ini. Ia butuh pendamping yang mau membimbingnya-""Huh! Membimbing?" Sang direktur mendengus, "kau pikir siapa Nona Larson? Dengan uangnya ia bisa menemukan pembimbing terbaik dari seluruh dunia dan mereka akan mengantri hanya untuk melayani bocah itu."

    Last Updated : 2021-03-26
  • A HOME FOR REI   13. Tubuh Kaku dan membisu

    Duda bermata ash yang sudah selesai membayar belanjaanya itu menoleh pada sang putra yang menariki lengan bajunya. Belum sempat melihat apa yang ditunjuk Joe, Alan langsung bergerak cepat menyusul langkah cepat bocah kecil yang berlari diantara mata-mata yang memperhatikan bocah cerewet berpipi tembem yang enak dipegang itu berlari. "Onty...!!"Nara terkejut meski wajah dinginnya tak berubah sama sekali begitupun Carter yang memandangi bocah kecil yang memeluk kaki Nara, bocah kecil yang mendongak menatapi dirinya dengan pandangan penuh tanya. "Who are you?"'Wow, anak yang pemberani,' Carter menjejerkan pandangan matanya dengan Joe lalu menjulurkan tangan, "hei, young man, my name Maxime lourne Carter. You can call me Max or Carter."Joe langsung menjabat tangan besar Carter, "aku Joenathan, you can call me Joe." Carter mengangguk pada jabatan tangan kecil namun mantab bocah kecil yang lalu menatapi Nara. Wanita d

    Last Updated : 2021-03-27
  • A HOME FOR REI   14. Berharap dan cemburu

    Suasana meja makan terasa canggung tapi, tidak bagi anak berpipi tembem yang enak dipegang ataupun wanita dingin yang sesekali menoleh pada Joe yang berceloteh.Ciara sesekali mencuri pandang pada Alan yang makan dengan diam. Wanita yang bekerja sebagai sekretarisnya itupun melirik wanita dingin yang pasti mengenali wajahnya. Mengingat beberapa kali mereka bertemu saat ia menemani Alan bekerja.Namun, kenapa wanita dingin itu ada disini? bahkan bocah kecil yang terang-terangan menunjukan ketaksukaan pada dirinya begitu akrab dengan Nona Larson. 'Menyebalkan!'Yang tak diketahui Ciara adalah Nara sama sekali tak mengingatnya. Apalagi tampilannya yang jauh berbeda--sesungguhnya tidak begitu berbeda, wanita dingin itu hanya tidak suka mengingat orang-orang tak penting yang bisa diganti kapan saja. "Daddy."Alan menatap Joe yang memanggilnya begitu manja, pasti ada yang diinginkan putra nakal

    Last Updated : 2021-03-28

Latest chapter

  • A HOME FOR REI   35. I AM HOME

    Sean Carter mengedarkan matanya menatapi langit yang rasanya sudah lama tak ia lihat."Get in."Sean tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung tertutup begitu ia duduk lalu melaju membelah hamparan pohon-pohon tinggi menjulang sejauh matanya memandang, 'aku tidak tau di kotaku ada tempat seperti ini. Apa mainku kurang jauh? Nah, kurasa hanya orang kebanyakan waktu yang mau masuk ke dalam hutan seperti ini.'Sean sesekali melirik pria yang menghancurkan kameranya. Lelaki yang juga diam sepanjang jalan, "hei, berapa lama kalian mengurungku?"Tak ada yang menjawab, dan itu membuat Sean mendengus lalu kembali menatapi jalanan sepi dan berkelok-kelok sampai matanya melihat jalan utama yang lengang dan semakin lama suara kehidupan terdengar makin jelas juga nyata."Get out."Tanpa diperintah dua kali Sean membuka pintu lalu turun, "hei!" Seruan itu membuat tangan Sean bergerak menangkap tas besar yang rasanya berat.

  • A HOME FOR REI   epilog

    "ah...." Lenguhan pelan yang terdengar merdu ditelinga Alan itu semakin membuat pria yang sedang memainkan lidahnya di ceruk leher Nara terdiam meski tangannya menyusup masuk pada baju Nara yang kancingnya sudah terbuka. Dilepasnya pengait bra dibagian depan yang membuatnya lebih bebas melihat, menjilat, mengecupi payudara wanita dingin yang meremas rambutnya.Nara jadi lebih sensitif pada sentuhan jari, lidah, dan bibir Alan. Dan pria ini tau itu.Hari masih begitu terang di luar, juga hangat. Sementara dua anak kecil yang sudah selesai makan siang langsung tidur karena lelah menangis dan bermain. Sementara Iori pergi melakukan hal yang harus ia lakukan.Alan duduk di depan perut Nara yang ia pandangi, lalu sentuh dan kecup sekali, "halo, Sayang, ini pertama kalinya kita bertemu bukan?"Nara hanya menatapi Alan dalam diam, ia tak mengerti sentimen yang sedang ia lihat dihadapannya, tapi wanita dingin ini sama sekali tak keberatan. "See, your mama tidak m

  • A HOME FOR REI   33. Mengejar yang berlari

    Kaki kecil Joe terus mengejar langkah Rei yang menjauh darinya, langkah-langkah kecil keduanya membuat burung-burung dara jinak yang mematuki lantai kembali terbang tak tentu arah. "Rei...! Kenapa Rei lari?"Tapi yang ditanya menutup mulutnya rapat dan makin kencang berlari, "Rei! Jangan kencang-kencang dong, aku lelah nih.""Joe jangan ngejar aku!" Teriak Rei membuat Joe diam, "kalo gitu Rei jangan lari, dong!"Mendengar itu Rei berhenti lalu menoleh pada bocah kecil yang dadanya naik turun, "stop right there!" Seru Rei membuat Joe yang melangkah berhenti, "why?""Karena--karena aku," suara Rei makin kecil, "aku gak boleh ketemu Joe.""What? I don't hear you, Rei""I said I can't see Joe anymore!"Joe yang mendengar itu jadi diam memandangi sahabat yang ingin sekali ia temui, tapi apa katanya, "apa Rei benci padaku karena aku nakal? Jadi mommy benar? Rei gak mau ketemu aku karena aku nakal?""Aku tidak benci Joe, aku suka

  • A HOME FOR REI   32. Berlari menjauh.

    Brugg!"What?" Wanita berambut merah yang bokongnya ditabrak itu menoleh, ia menunduk menatapi bocah kecil yang mendongak, "I am sorry, Ma'am."Wanita yang masih mentapi anak kecil yang membungkuk benar-benar meminta maaf itu tersenyum lalu mengusap kepala kecil yang rasanya mengingatkannya pada anak lain yang tak pernah bersuara, "it's ok, darling. But, lain kali hati-hati, ok?""Yes, Ma'am, thank you.""What a lovely child you are," ucap wanita berambut merah itu lalu membalas lambaian bocah kecil yang kembali berlari menyusul wanita berambut sebahu yang memakai topi lebar menutupi wajah."What you looking at, Roxanne?" Tanya Rima membuat wanita berambut merah yang ia tepuk pundaknya itu kaget, "God! Tak bisakah kau menyapaku dengan lebih ramah?"Rima hanya terkekeh lalu ikut menatap apa yang dilihat Roxanne, "who?""Tidakkah kau berpikir anak ke

  • A HOME FOR REI   31. Live your life

    "Apa anda melakukan sesuatu sampai nona Larson pergi tanpa kata, Tuan?"Alan diam dan Andre pun menutup mulutnya. 'I know it! Tapi jika bukan salah tuan ataupun Joe, lalu salah siapa sampai wanita dingin itu pergi? Tapi kesalahan besar apa yang bisa dilakukan anak nakal itu? Kecuali menghabiskan cheesecake dan membuat ibunya frustasi karena tak ingin didekati?'Tau ia tak akan mendengar jawaban dari Alan, Andre menarik dalam nafasnya sebelum berucap, "Oh, dan tentang pria yang anda minta kami cari keberadaanya itu-,"Alan memutar kursinya, "kau sudah menemukannya?"Andre menggeleng, "jangan menatapku kecewa begitu, Tuan, dengarkan dulu," Andre membuka layar laptopnya dan menyerahkannya pada Alan."Anda lihat pria bertato ular dilengannya itu?" Alan mengalihkan pandangannya dari potret lelaki yang membuatnya mengingat masa lalu."Dia rekan kerja Hansel Nicholas," Andre melirik Alan s

  • A HOME FOR REI   30. Benar-benar ditinggalkan

    "Get back here, young man!" Seru lelaki bermata ash pada bocah berpipi gembil yang meliriknya kesal lalu membanting pintu kamarnya keras.Alan Parker Sulivan menarik dalam nafasnya dan ia hembuskan kasar melihat pintu kamar Joe yang rapat bahkan bunyi kunci terdengar setelah BRAKK!"Let me," ucap wanita berambut pirang yang mengetuk pintu kamar Joe, "honey, please open the door, we won't get mad, ok?"Tak ada jawaban sama sekali, dan sekali lagi Sofia mengetuk pintu, "please, we won't get mad becouse you Made your friend hurt again this time."Lagi, sama sekali tak ada jawaban dari Joe yang memilih bungkam. Bocah kecil yang memakai baju lengan pendek itu memilih duduk menatapi pesawat kertas yang membuatnya ingat sahabatnya yang tak lagi ia temui. Bahkan saat ia pergi bersama Bibi Ann, Rei tak ada di rumah.Musim sudah berganti, karena ia tak lagi harus memakai jaket tebal dan baju hangat seti

  • A HOME FOR REI   29. Pergi tanpa pamit

    Kesunyian dalam kamar sama sekali tak dipermasalahkan dua tubuh yang berbaring di atasnya.Alan merengkuh tubuh Nara yang berbaring memunggunginya. Sesekali bibirnya mengecup pundak Nara, tangannya pun mengusap lengan wanita dingin yang memejamkan mata meski Alan tau Nara belum tidur.Ia tau wanita dingin yang memilih bisu ini sedang butuh waktu untuk apapun yang diinginkan Nara setelah mendengar ucapan Rei. Bocah lelaki kecil yang ternyata lebih terluka dari apa yang ia kira.Alan menarik dalam nafasnya, mengingat tiap kalimat Rei yang tak ingin ia enyahkan. Dan bayangan Sofia melintas silih berganti.[Senang bertemu denganmu, nona Johan.]Itu ucapan Nara saat pertama kali mereka bertemu dalam pesta perayaan gedung Smith yang ahirnya berdiri, 'apa kamu-?' Alan menggelengkan kepala dan mengecup pundak Nara sekali lagi, ia yakin Nara pasti sudah menyelidiki siapa Sofia. 'Apa yang ak

  • A HOME FOR REI   28. Sekelebat suram

    Lelaki yang mendengar ponselnya berbunyi itu langsung mengangkat telfon tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Hal yang sudah biasa ia lakukan mengingat pekerjaan yang ia pilih dalam hidup. "Good evening, Dokter Carter."Suara yang terasa tak asing itu membuat Carter langsung bangun, "Iori?""Maaf mengganggu tidur anda.""It's ok, is something wrong?" Ucap Carter menyibak selimut lalu turun dari ranjang, lelaki yang sudah sepenuhnya sadar ini terus mendengarkan ucapan Iori. Wajahnya berubah serius seketika dan terlihat berpikir dengan jari menjentiki permukaan kasur."Menolak bisa berahir Rei tak akan mau lagi meminta sesuatu dimasa yang akan datang, tapi jika menerima...,"Iori terus mendengarkan tanpa menyela, "apa Nona Larson berani mengambil resiko? Karena apapun pilihannya itu seperti dua mata pisau yang hasilnya belum pasti."Iori menatap wanita

  • A HOME FOR REI   27. Pilihan sulit

    Rei menatapi Joe yang jadi pendiam, bocah yang juga kecil itu memeluk bola yang rasanya tak akan mereka tendangi hari ini."What?" Ucap Joe saat Rei duduk disampingnya.Rei tidak pernah bicara, tapi bocah nakal disampingnya tak mempermasalahkan itu. Dan Rei yang hanya diam duduk menemaninya membuat Joe yang tak cerewet sejak datang merasa tenang--tenang? Bocah nakal ini bahkan belum tau arti kalimat itu tapi, ia tak masalah kalau Rei yang diam duduk disampingnya."Rei, apa kau suka padaku?" Tanya Joe membuat Rei menoleh lalu mengangguk."Tentu saja kau suka padaku, semua orang suka padaku. Daddy suka padaku, Bibi Ann suka padaku, Lody suka padaku, Onty Nara suka padaku, terus...Ng?"Rei menunjuk dirinya, "yeah, kau sudah ngomong itu tadi, duh."Ok, 'duh' Joe terucap lagi. "Tapi-," mata abu-abu bulat nan jernih itu menunduk, "tapi, my mommy tidak suka pa

DMCA.com Protection Status