Wanita itu berdiri dengan kepongahan meski hatinya sakit tak terperi.
Batinnya masih meyakinkan diri ia baik-baik saja, ia sudah tak merasakan apapun baik untuk adiknya yang sedang menatapinya dengan wajah bodoh ataupun ibu tirinya yang memasang wajah masa bodoh.
Dua perempuan yang hadir dan merusak segala yang ia percayai itu sungguh tak tau malu, tak punya malu, tak memiliki rasa malu!
Bagaimana mungkin dua perempuan yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya ini merusak segala kepercayaannya yang memang tinggal sisa!
Bagaimana mungkin dua perempuan yang bahkan tak menunjukan penyesalannya ini masih bisa berdiri tanpa menunjukan urat malunya sedikitpun!
Bagaimana mungkin--Bagaimana mungkin dan terus bagaimana mungkin yang ujungnya sama saja! 'both of then have no Shame!'
Sampai wanita yang tak mau menunjukan ekspresi kalahnya ini mengangkat wajahnya tinggi-tinggi setelah menarik nafas yang sesungguhnya begitu sesak, begitu menyakitkan, lalu berubah begitu tak terasa saat ia sadar dua perempuan dihadapannya ini memang tak pantas mendapat apapun dari dirinya.
"Seharusnya aku mengusir kalian dari dulu." Suara itu terdengar begitu tenang, begitu dalam, begitu tegas, begitu-- dingin.
Sampai membuat dua perempuan dihadapannya itu mulutnya menganga dan makin lebar saat mendengar kalimat lanjutan yang bahkan tak menyisakan celah untuk dibantah. Tak secuilpun!
"Kuharap saat aku pulang kalian sudah membawa apapun yang ingin kalian bawa dari rumahku."
"A-apa maksud kakak, Mom?" Tanya gadis bodoh yang bahkan tak menyadari kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Tapi bukannya menjawab tanya sang putri perempuan paruh baya yang wajahnya masih kencang berkat perawatan super mahal itu menatap balik dengan tatapan menantang wanita yang tak sekalipun ia anggap putrinya. Tak sekalipun!
"Kau pikir kami takut tak lagi mendapat sokongan darimu, hah?" begitu angkuh perempuan paruh baya itu berucap, "aku dan putriku akan baik-baik saja tanpa bantuanmu, apalagi sekarang ada janin yang sedang tumbuh dalam rahim putriku."
Perempuan paruh baya itu mengangkat ujung bibirnya tinggi. Mengejek. Merendahkan. Bahkan begitu senang melihat sorot mata wanita yang baru saja mengusirnya menunjukan ekspresi lain.
Terlukakah ia? Seharusnya begitu karena memang itu yang diharapkan wanita paruh baya yang menggebrak meja dan nyalang menatap anak dari suaminya yang sudah lama mati.
Brak!! Meja yang tak bersalah sedikitpun itu tak bergeming meski apa yang ada diatasnya bergetar. Begitupun kepala pelayan yang rambutnya sudah bercampur uban. Tenang, diam, memperhatikan.
Memperhatikan wanita yang duduknya tak berubah sedikitpun meski pelayan setia itu tau sedang seburuk apa rasa sang majikan detik ini, hari ini, saat ini. Tapi wanita muda yang sikap dan sifatnya jauh lebih dewasa dari usia itu begitu pandai membawa diri. Hal yang memang harus ia miliki sejak usia dini, bahkan sebelum ia lancar bicara.
Wanita yang wajahnya tak menunjukan ekspresi kecuali kesombongan yang ia pertontonkan pada perempuan paruh baya tak tahu malu juga putrinya yang masih tak mengerti.
"Tentu saja kau tak perlu sokonganku, Mother. Saat kau bisa mencari pria macam ayahku yang mau menampung kalian," tak perduli pada rasanya, wanita itu melanjutkan ucapan, "lelaki seperti ayahku yang hanya perduli pada isi dalam celananya itu tak perduli wanita macam apa yang ia tiduri."
BRAKK!! sekali lagi meja itu bergeming mendapat pukulan tangan terawat wanita paruh baya yang tak lagi bisa menjaga amarahnya, sementara pelayan setia yang hendak mendekat itu mundur lagi saat tangan sang majikan terangkat, patuh tanpa kata kembali pada tempatnya semula. Memperhatikan dalam diam.
Perempuan paruh baya yang dipanggil 'mother' itu menatap tajam wanita dingin yang tak memiliki hubungan darah setetes pun dengannya, wanita yang bersikap seakan dirinya tak penting, bukan siapa-siapa kecuali istri dari ayahnya. Lelaki bodoh yang akan luruh dengan ucapan manis dan sentuhan penuh perhitungan pada selangkangan. Dan perempuan paruh baya itu begitu pandai memainkan jari dan mulutnya di sana. Dalam selangkangan pria yang hanya hidup untuk memuaskan segala dahaga wanita paruh baya ini sampai pria itu mati.
Namun, pria yang mati itu tak meninggalkan apapun karena pria kaya itu memang tak meliki hak atas apapun dari gemerlap dan Kilauan yang selalu perempuan paruh baya itu damba seumur hidupnya.
Perempuan paruh baya ini sungguh-sungguh 'gold digger' yang terjebak pada apa yang tak bisa membuatnya lari. Karena itu ia bahagia mendengar ucapan wanita muda yang wajahnya sama sekali tak berubah meski ada sorot kemarahan di sana. Namun, hanya sesaat dan itu sama sekali tak membuatnya puas.
"Kau tau, Nara. Kau harus belajar menurunkan egomu supaya tak akan adalagi pria yang meninggalkanmu untuk wanita lain," duri! Itu yang ingin ia tancapkan pada tubuh tenang yang bahkan tak bergeming. Meski perempuan paruh baya itu kini jadi bertanya sedingin apa hati anak dari suaminya yang sudah mati ini?
"Mungkin, kau bahkan harus belajar dari adikmu ini," seringaian menyebalkan itu membuat pelayan setia menarik dalam nafasnya. "Lihatlah, Nara. Adikmu begitu manis, bisa bermanja, dan membuat lelaki berpikir untuk melindunginya dan merasa dibutuhkan. Sesuatu yang tak ada padamu, huh!"
Dengusan penuh duri itu keluar juga, ejekan yang bahkan terpancar jelas dari seluruh tubuh wanita paruh baya yang menyentuh pundak putrinya yang tersenyum mendapat pujian lalu ikut menatap Nara, wanita muda yang mengeratkan genggaman tangannya pada ucapan yang akan terlontar dari bibir istri ayahnya ini. "Pantas saja tak ada yang ingin tinggal dengan gadis dingin sepertimu."
"Aku tak butuh lelaki yang merasa terintimidasi dengan egoku, mother. Kurasa cukup ayahku saja yang seperti itu," ucap Nara menunjukan senyumnya dan memberi isyarat pada pelayan setia yang mengangguk lalu maju, "pastikan tak ada sedikitpun barang mereka yang tertinggal dirumahku, Iori."
Iori, sang kepala pelayan mengangguk penuh hikmad pada ucapan sang majikan. Wanita dingin yang menatap adiknya, si gadis bodoh yang mau saja dimanfaatkan ibunya sendiri. Entah, apa yang sedang Nara pikirkan saat mata hitam dengan pinggiran kecoklatan itu menatap perut sang adik yang masih begitu rata dibalik baju tanpa lengan yang menempel begitu pas dibadan mungilnya itu.
"Kaka-" tapi belum sempat ia berucap Nara sudah berjalan meninggalkan ruangan yang bahkan tak mau tersenyum pada kebahagiannya. Gadis bodoh itu bahkan tak menunjukan penyesalan sedikitpun karena ia mengandung benih tunangan sang kakak yang punggungnya bahkan terlihat... Entahlah, siapa yang bisa menebak apa yang kini dirasakan wanita dingin yang menghilang dibalik pintu tertutup itu.
"Iori," panggil gadis bodoh itu dengan suara ceria. "Apa kakak akan menghadiri pernikahanku?"
Pelayan setia yang jadi diam itu bahkan tak bisa menemukan jawaban bodoh yang bisa ia ucapkan. Wajah tua yang sudah dihiasi garis-garis penuaan itu hanya bisa menatapi gadis ceria yang bahkan tak merasa bersalah sedikitpun baik sikap, sifat, pembawaan, maupun bahas tubuhnya.
"Nona Ais," ucap Iori membuat gadis bodoh yang panggilan sayangnya disebut itu senyumnya makin lebar, telinganya siap mendengar jawaban dari kepala pelayan yang wajahnya bahkan tak bisa ia baca. Tentu saja, ia hanya gadis bodoh, bukan?"
"Hemm?," manja, sahutan Ais itu terdengar bahkan ditelinga tembok dan semua benda mati yang hanya bisa melihat dan mendengar tanpa bisa berkomentar.
"Sudah waktunya Nona Ais dan Nyonya Grace bersiap-siap." Ucap Iori membuat kepala Ais miring tak paham, sementara sang ibu menatap tajam pelayan setia yang bahkan terus menunjukan senyum menyebalkan yang membuatnya berdiri langsung meninggalkan ruangan tak perduli pada tatapan bodoh putrinya yang masih saja duduk menunggu jawaban dari Iori. "Kemana?"
"Pergi, Nona. Tanpa kesempatan kembali." Jawab Iori dan hanya tersenyum mendengar suara pintu yang dibanting begitu keras juga rutukan disertai sumpah serapah.
"Pergi? Pergi kemana dan siapa yang pergi?"
Kepala pelayan yang senyumnya seolah permanen itu makin menunjukan keramahan, mata tuanya bahkan ikut tersenyum lalu membuka mata menatap gadis bodoh yang bahkan tak mengerti arti pembicaraan yang begitu mudah untuk dipahami. "Mari, Nona Ais."
Ais berdiri dari duduknya, masih tak paham dan berjalan dibelakan kepala pelayan yang membuka pintu lebar-lebar untuknya lalu menunduk. Nampaknya daripada bicara ia Iori lebih memilih menunjukan apa yang akan terjadi pada gadis muda yang menatap bingung koper-koper besar yang berjejer. sampai mata birunya melihat sang ibu yang menuruni tangga dengan amarah. "Dimana perhiasanku!?"
Perempuan paruh baya itu menatap tajam Iori yang mengangguk pada salah satu pelayan yang maju menyerahkan catatan. "ANAK SIALAN! KAU AKAN MENYESALI INI"
"Mom? Mommy kenapa?" Tanya Ais yang hanya dianggap angin lalu oleh ibunya yang menarik kerah Iori begitu kuat.
Namun, tubuh tegap pria yang tak lagi muda itu tetap tegak tak goyah. Hanya manik matanya saja yang menunduk menatapi kemurkaan sang nyonya (oh, ralat) mantan nyonya.
Tak ada senyum permanen yang Iori tunjukan pada keangkuhan wanita yang mencengkram kuat kerahnya ini. Bahkan sorot matanya berubah begitu dingin membuat pelayan-pelayan muda yang ada dalam ruangan besar nan megah itu menunduk. Tau, pria itu sedang sangat marah apalagi saat mata dinginnya dihiasi senyum begitu ramah meski matanya sama sekali tak tertawa. "Nyonya Grace, Nona besar hanya mengatakan tak ingin satupun barang anda ataupun barang Nona Ais yang tertinggal dirumah ini. Tak lebih dan tak kurang dari itu."
Senyum Ramah Iori membuat rambut-rambut halus Grace berdiri. Namun, kesombongannya tak ingin pergi dan diangkatnya tinggi-tinggi tangannya diikuti suara menggema yang membuat semua mata terkejut termasuk gadis bodoh yang mata bulatnya membesar.
PLAKK!! tamparan keras itu hanya dijawab senyum dari wajah Iori yang tak perduli pipi kanannya membiru berkat sentuhan sepenuh hati wanita yang keluar tanpa membawa apapun kecuali apa yang ada didalam rumah ini. "Setidaknya Nona besar membiarkan Anda menyimpan perhiasan-perhiasan anda, Nyonya. Juga tas dan benda-benda mahal yang anda koleksi."
"You son of a bitch!"
"Indeed, Ma'am." Jawab Iori dengan senyum diwajah lalu mengangkat tangan diikuti gerakan pelayan-pelayan muda yang serempak mengangkuti koper-koper besar yang dibawa keluar lalu dimasukan kedalam truk pengangkut yang sudah menunggu.
"Lepas! Lepaskan tangan kotor kalian dariku! Lepas!" Teriakan Grace sama sekali tak membuat cengkraman beberapa pelayan mengendur, malah sebaliknya makin kuat memegangi perempuan paruh baya yang mereka seret.
"Jangan terlalu kasar," ucap kepala pelayan pada telinga-telinga yang tangannya menggandeng tangan gadis bodoh yang masih tak mengerti, menatapi Iori penuh tanya sampai ia berdiri didepan gerbang yang akhirnya terbuka lebar lalu tertutup. "I- Iori? A-apa? Kenapa kau mengunci gerbangnya?"
"Nona Ais, semoga hidupmu baik setelah hari ini. Dan lahirkanlah anak yang sehat." Iori menundukkan badannya diikuti pelayan-pelayan muda yang serempak melakukan hal sama lalu meninggalkan gerbang tinggi menjulang, masuk kedalam mansion dengan pilar-pilar tinggi dan taman luas yang bisa membuatmu tersesat jika tak mengerti.
"Iori? Iori....! Iori...!! Ioriiiii...!"
Teriakan gadis bodoh itu hanya terdengar namun tak didengarkan.
*
Part pertama, silahkan diberi Kritik&saran dan terimakasih sudah membaca. Btw, salam kenal, saya Nur dari Bekasi gak perlu naik roket y kalo ke Bekasi, soalnya gak ada landasannya wkwk. Maturnuwon. Love buat yang baca deh.
"Iori...Iori...iori--IORI...!"Gadis itu terbangun dengan peluh membasahi badan, pakaian tipis yang ia kenakan bahkan ikut basah oleh keringat bermanik-manik yang terlihat terus mengucur.Mata bermanik biru yang terbuka lebar itu langsung menatapi ruangan kecil yang bahkan tak memiliki pendingin ruangan kecuali kipas angin yang hanya membuat ruangan kecil tanpa jendela itu makin panas, pengap, menyesakkan. Sampai ia memejamkan mata menyadari ia tak lagi ada di ruangan nyaman dengan ranjang lebar nan empuk, harum dan penuh udara segar juga wangi lavender yang begitu ia rindukan.Tempat yang rasaanya bisa ia sentuh setiap kali ia memejamkan mata karena hanya itu yang bisa ia lakukan kini. Mengenang masa dimana ia memiliki kehidupan tanpa harus mengenal apa arti hidup sesungguhnya.Cklek! Suara pintu yang dibuka membuat wanita mungil dengan rambut yang selalu kusut tak lagi tersentuh tangan-tangan pekerja salon itu menoleh. Bocah lelaki yang bahk
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan dengan piring nyaring terdengar dalam ruang makan yang obrolannya begitu hangat. Setidaknya sampai dua tubuh manusia yang duduk dilantai dingin dengan sepiring nasi yang masih belum bisa mereka sentuh terlihat.Tidak, bahkan mereka harus menunggu sampai pemilik rumah yang tertawa menceritakan seberapa beruntung sahabatnya yang memiliki menantu kaya raya selesai makan. "Kau harus pandai memilih calon, Catlyn. Agar kau tak berakhir jadi benalu juga beban."Menohok? Ya, tentu saja. Namun itu adalah kalimat yang setiap waktu hadir saat pemilik rumah, suaminya, juga dua putra putrinya dan seorang perempuan yang dibawa pulang sang putra berkumpul. Jadi itu bukanlah hal besar lagi."Tentu saja, Mom. Aku bukan gadis yang tak bisa menghidupi diriku sendiri. Lalu jadi benalu dan beban." Mata Catlyn melirik dua tubuh bisu yang hanya diam di atas lantai dingin. Setidaknya untuk yang wanita karena yang balita matanya menatap
"Selamat malam, Rob.""Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."Manajer toko mainan itu menyalami jabatan erat tangan Pria tua dibawah tatapan penasaran bocah kecil bermata biru yang mendongak. Rei hanya diam mendengar percakapan dua orang dewasa yang membuatnya lupa pada kereta yang sudah dimasukan ke dalam boks.Sampai suara bel pintu menyadarkan bocah kecil yang memakai jaket tebal kebesaran dan menatapi boks besar yang dibawa pegawai toko dan terus ia tatapi bahkan saat boks itu menghilang kedalam bagasi mobil besar yang terparkir didepan toko."Kau suka kereta, young man?" Tanya pria tua yang ternyata sudah ditinggalkan manajer masuk kedalam toko.Rei menggigit bibir merahnya yang jadi kering karena udara dingin, diam beberapa lama lalu mengangguk. Matanya membesar saat Iori menjajarkan kepalanya, "dan kemana syalmu? Diluar terlalu dingin meski jaketmu besar." Ucap Iori melepas syal hangat yang ia pakai lalu melingkarkan pada leher kec
"Tidak bisa dipercaya." Itu adalah kalimat yang keluar dari bibir Nara setelah pintu kamar tempatnya tidur tertutup rapat. Tentu tak tertutup sendiri karena ada pelayan tua yang begitu setia menemani.Iori hanya bisa menyembunyikan tawa melihat sesusah apa wajah yang diperlihatkan majikannya berkat bocah kecil anak tuan rumah yang nakalnya memang diatas rata-rata.Berkas-berkas penting yang sudah disusun sedemikian rupa berubah jadi pesawat mainan berkat tangan kecil Joe juga ayahnya yang membiarkan putra satu-satunya itu berbuat semaunya. "Pria itu bahkan ikut andil membuat pesawat-pesawat sialan itu. Apa kau percaya itu, Iori!" Sungut kesal Nara merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang aromanya berbeda dengan kasurnya.Meski ia tak perduli pada aroma apapun asal bau sabun dan bersih."Jika pria sialan itu ingin mengerjaiku karena aku menang tender tahun lalu seharusnya bukan dengan cara kekanakan begini!" Nara membalikan tubuhnya lalu duduk dan
Nara membasuhkan air dingin kewajahnya beberapa kali. Rasanya jadi buruk berkat pertanyaan Alan bahkan air dingin yang menusuki kulit tangan dan wajahnya jadi tak terasa.Apa yang terlintas dalam benaknya adalah kalimat yang membuat Nara menarik nafasnya begitu dalam. "Family?what a joke."Wanita dingin yang tinggal di mansion besar ditemani pelayan itu mematikan kran dan diam menatap pantulan diri. Manik mata hitam pekat Nara begitu menghanyutkan dan sepi. "Tch! Aku akan benar-benar jadi gila jika berada disini lebih lama lagi."Nara mengusap wajahnya dengan tisu, langkahnya jadi terasa berat saat matanya menatapi bocah kecil cerewet yang terus berceloteh dihadapan ayahnya yang menyebalkan. "Well, setidaknya pipi Joe enak dipegang." Pelan ucap Nara yang kembali melangkah."What?" Tanya Nara saat Joe terus menatapinya tapi tanpa kata. Pengalaman yang langka sekali bocah cerewet ini menahan ucapan.
"Daddy, apa Onty Nara marah padaku?" Tanya Joe pada sang ayah yang keluar dari kamar mandi.Pria yang tubuhnya menyeruakan wangi sampo dan sabun itu menatapi putra kecilnya yang sudah memakai baju tidur juga kaos kaki supaya kakinya hangat dalam kamar berpenghangat. Alan menarik nafasnya mengingat wanita dingin yang terus saja membisu meski ia menunjukan reaksi setiap Joe memandangi. "She just tired, Joe."Joe membalik badan kecilnya sampai baju tidurnya terangkat menunjukan puser kecil diantara perut buncit yang membuat Alan tersenyum. Jemarinya yang panjang dan terasa dingin menyentuh perut kecil Joe yang jadi cekikikan diatas ranjang mereka yang hangat. Ranjang mereka-karena Joe minta tidur bersamanya malam ini."Tidurlah, besok kita main lagi dengan Onty Nara." Ucap Alan pada mata bulat nan jernih yang menatapinya penuh harap, "itupun kalau Unty Nara sudah tak lelah lagi, Darling.""Jadi kalau Onty lelah, aku tak akan bisa main dengannya b
Nara turun dari dalam mobil setelah menarik dalam nafasnya. Pijakan kakinya terasa berat meski ia melangkah ringan teratur bahkan suara derap sepatunya menyatu dengan keramaian gedung rumah sakit yang tetap penuh meski waktu sudah dini hari.Wanita dingin yang ahirnya melihat pelayan setianya berdiri dengan petugas rumah sakit, menghampiri keduanya. "Mari." Ajak petugas berseragam hijau itu lalu berjalan lebih dahulu menjauhi keramaian dan naik kedalam lift.Sesekali mata petugas menatapi pantulan wanita yang bahkan belum sekalipun mengeluarkan kata, sementara ia yang sesungguhnya bisa menebak apa hubungan dua orang asing dibelakangnya tak bisa memandang rendah pria tua yang badannya masih terlihat gagah. Ia yang masih muda saja merasa kalah."Kami memang menunggu Anggota keluarganya datang. Tapi, sampai hari ini tak ada yang menjemputnya."Mendengar itu Iori mengangguk sementara sang majikan tetap rapat
Wanita dingin itu ahirnya membuka mata. Wajah kantuknya langsung menatapi tangan yang rasanya masih merasakan jemari kaku nan dingin sang adik yang sudah berpulang. Adik yang ia usir dari kehidupannya."Apa ada sesuatu di tanganmu?" Suara bariton itu membuat Nara menoleh pada tubuh yang punggungnya disinari cahaya matahari. Ia baru sadar ia tak sendiri didalam kamar. "Apa di rumahmu juga ada jam bangun?"Alan tertawa mendengar suara wanita dingin Yang bangun lalu menoleh pada tangan kecil yang tergeletak di pinggangnya, "ia lelah menunggumu jadi ikut naik ke kasur," ucap Alan merubah posisi, "dan saat kulihat ia sudah terlelap."Nara menatap tangan kecil Joe yang jemarinya memegangi gaun tidurnya. "Tuan Sulivan," panggil Nara membuat alis Alan terangkat, "tiga hari lagi aku akan pulang, tidakkah kau merasa kasihan pada putramu?""Untuk?" Nara menarik dalam nafasnya. Ia tau lelaki menyebalkan yang menatapinya dengan wajah tak berdosa itu paham betu
Sean Carter mengedarkan matanya menatapi langit yang rasanya sudah lama tak ia lihat."Get in."Sean tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung tertutup begitu ia duduk lalu melaju membelah hamparan pohon-pohon tinggi menjulang sejauh matanya memandang, 'aku tidak tau di kotaku ada tempat seperti ini. Apa mainku kurang jauh? Nah, kurasa hanya orang kebanyakan waktu yang mau masuk ke dalam hutan seperti ini.'Sean sesekali melirik pria yang menghancurkan kameranya. Lelaki yang juga diam sepanjang jalan, "hei, berapa lama kalian mengurungku?"Tak ada yang menjawab, dan itu membuat Sean mendengus lalu kembali menatapi jalanan sepi dan berkelok-kelok sampai matanya melihat jalan utama yang lengang dan semakin lama suara kehidupan terdengar makin jelas juga nyata."Get out."Tanpa diperintah dua kali Sean membuka pintu lalu turun, "hei!" Seruan itu membuat tangan Sean bergerak menangkap tas besar yang rasanya berat.
"ah...." Lenguhan pelan yang terdengar merdu ditelinga Alan itu semakin membuat pria yang sedang memainkan lidahnya di ceruk leher Nara terdiam meski tangannya menyusup masuk pada baju Nara yang kancingnya sudah terbuka. Dilepasnya pengait bra dibagian depan yang membuatnya lebih bebas melihat, menjilat, mengecupi payudara wanita dingin yang meremas rambutnya.Nara jadi lebih sensitif pada sentuhan jari, lidah, dan bibir Alan. Dan pria ini tau itu.Hari masih begitu terang di luar, juga hangat. Sementara dua anak kecil yang sudah selesai makan siang langsung tidur karena lelah menangis dan bermain. Sementara Iori pergi melakukan hal yang harus ia lakukan.Alan duduk di depan perut Nara yang ia pandangi, lalu sentuh dan kecup sekali, "halo, Sayang, ini pertama kalinya kita bertemu bukan?"Nara hanya menatapi Alan dalam diam, ia tak mengerti sentimen yang sedang ia lihat dihadapannya, tapi wanita dingin ini sama sekali tak keberatan. "See, your mama tidak m
Kaki kecil Joe terus mengejar langkah Rei yang menjauh darinya, langkah-langkah kecil keduanya membuat burung-burung dara jinak yang mematuki lantai kembali terbang tak tentu arah. "Rei...! Kenapa Rei lari?"Tapi yang ditanya menutup mulutnya rapat dan makin kencang berlari, "Rei! Jangan kencang-kencang dong, aku lelah nih.""Joe jangan ngejar aku!" Teriak Rei membuat Joe diam, "kalo gitu Rei jangan lari, dong!"Mendengar itu Rei berhenti lalu menoleh pada bocah kecil yang dadanya naik turun, "stop right there!" Seru Rei membuat Joe yang melangkah berhenti, "why?""Karena--karena aku," suara Rei makin kecil, "aku gak boleh ketemu Joe.""What? I don't hear you, Rei""I said I can't see Joe anymore!"Joe yang mendengar itu jadi diam memandangi sahabat yang ingin sekali ia temui, tapi apa katanya, "apa Rei benci padaku karena aku nakal? Jadi mommy benar? Rei gak mau ketemu aku karena aku nakal?""Aku tidak benci Joe, aku suka
Brugg!"What?" Wanita berambut merah yang bokongnya ditabrak itu menoleh, ia menunduk menatapi bocah kecil yang mendongak, "I am sorry, Ma'am."Wanita yang masih mentapi anak kecil yang membungkuk benar-benar meminta maaf itu tersenyum lalu mengusap kepala kecil yang rasanya mengingatkannya pada anak lain yang tak pernah bersuara, "it's ok, darling. But, lain kali hati-hati, ok?""Yes, Ma'am, thank you.""What a lovely child you are," ucap wanita berambut merah itu lalu membalas lambaian bocah kecil yang kembali berlari menyusul wanita berambut sebahu yang memakai topi lebar menutupi wajah."What you looking at, Roxanne?" Tanya Rima membuat wanita berambut merah yang ia tepuk pundaknya itu kaget, "God! Tak bisakah kau menyapaku dengan lebih ramah?"Rima hanya terkekeh lalu ikut menatap apa yang dilihat Roxanne, "who?""Tidakkah kau berpikir anak ke
"Apa anda melakukan sesuatu sampai nona Larson pergi tanpa kata, Tuan?"Alan diam dan Andre pun menutup mulutnya. 'I know it! Tapi jika bukan salah tuan ataupun Joe, lalu salah siapa sampai wanita dingin itu pergi? Tapi kesalahan besar apa yang bisa dilakukan anak nakal itu? Kecuali menghabiskan cheesecake dan membuat ibunya frustasi karena tak ingin didekati?'Tau ia tak akan mendengar jawaban dari Alan, Andre menarik dalam nafasnya sebelum berucap, "Oh, dan tentang pria yang anda minta kami cari keberadaanya itu-,"Alan memutar kursinya, "kau sudah menemukannya?"Andre menggeleng, "jangan menatapku kecewa begitu, Tuan, dengarkan dulu," Andre membuka layar laptopnya dan menyerahkannya pada Alan."Anda lihat pria bertato ular dilengannya itu?" Alan mengalihkan pandangannya dari potret lelaki yang membuatnya mengingat masa lalu."Dia rekan kerja Hansel Nicholas," Andre melirik Alan s
"Get back here, young man!" Seru lelaki bermata ash pada bocah berpipi gembil yang meliriknya kesal lalu membanting pintu kamarnya keras.Alan Parker Sulivan menarik dalam nafasnya dan ia hembuskan kasar melihat pintu kamar Joe yang rapat bahkan bunyi kunci terdengar setelah BRAKK!"Let me," ucap wanita berambut pirang yang mengetuk pintu kamar Joe, "honey, please open the door, we won't get mad, ok?"Tak ada jawaban sama sekali, dan sekali lagi Sofia mengetuk pintu, "please, we won't get mad becouse you Made your friend hurt again this time."Lagi, sama sekali tak ada jawaban dari Joe yang memilih bungkam. Bocah kecil yang memakai baju lengan pendek itu memilih duduk menatapi pesawat kertas yang membuatnya ingat sahabatnya yang tak lagi ia temui. Bahkan saat ia pergi bersama Bibi Ann, Rei tak ada di rumah.Musim sudah berganti, karena ia tak lagi harus memakai jaket tebal dan baju hangat seti
Kesunyian dalam kamar sama sekali tak dipermasalahkan dua tubuh yang berbaring di atasnya.Alan merengkuh tubuh Nara yang berbaring memunggunginya. Sesekali bibirnya mengecup pundak Nara, tangannya pun mengusap lengan wanita dingin yang memejamkan mata meski Alan tau Nara belum tidur.Ia tau wanita dingin yang memilih bisu ini sedang butuh waktu untuk apapun yang diinginkan Nara setelah mendengar ucapan Rei. Bocah lelaki kecil yang ternyata lebih terluka dari apa yang ia kira.Alan menarik dalam nafasnya, mengingat tiap kalimat Rei yang tak ingin ia enyahkan. Dan bayangan Sofia melintas silih berganti.[Senang bertemu denganmu, nona Johan.]Itu ucapan Nara saat pertama kali mereka bertemu dalam pesta perayaan gedung Smith yang ahirnya berdiri, 'apa kamu-?' Alan menggelengkan kepala dan mengecup pundak Nara sekali lagi, ia yakin Nara pasti sudah menyelidiki siapa Sofia. 'Apa yang ak
Lelaki yang mendengar ponselnya berbunyi itu langsung mengangkat telfon tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Hal yang sudah biasa ia lakukan mengingat pekerjaan yang ia pilih dalam hidup. "Good evening, Dokter Carter."Suara yang terasa tak asing itu membuat Carter langsung bangun, "Iori?""Maaf mengganggu tidur anda.""It's ok, is something wrong?" Ucap Carter menyibak selimut lalu turun dari ranjang, lelaki yang sudah sepenuhnya sadar ini terus mendengarkan ucapan Iori. Wajahnya berubah serius seketika dan terlihat berpikir dengan jari menjentiki permukaan kasur."Menolak bisa berahir Rei tak akan mau lagi meminta sesuatu dimasa yang akan datang, tapi jika menerima...,"Iori terus mendengarkan tanpa menyela, "apa Nona Larson berani mengambil resiko? Karena apapun pilihannya itu seperti dua mata pisau yang hasilnya belum pasti."Iori menatap wanita
Rei menatapi Joe yang jadi pendiam, bocah yang juga kecil itu memeluk bola yang rasanya tak akan mereka tendangi hari ini."What?" Ucap Joe saat Rei duduk disampingnya.Rei tidak pernah bicara, tapi bocah nakal disampingnya tak mempermasalahkan itu. Dan Rei yang hanya diam duduk menemaninya membuat Joe yang tak cerewet sejak datang merasa tenang--tenang? Bocah nakal ini bahkan belum tau arti kalimat itu tapi, ia tak masalah kalau Rei yang diam duduk disampingnya."Rei, apa kau suka padaku?" Tanya Joe membuat Rei menoleh lalu mengangguk."Tentu saja kau suka padaku, semua orang suka padaku. Daddy suka padaku, Bibi Ann suka padaku, Lody suka padaku, Onty Nara suka padaku, terus...Ng?"Rei menunjuk dirinya, "yeah, kau sudah ngomong itu tadi, duh."Ok, 'duh' Joe terucap lagi. "Tapi-," mata abu-abu bulat nan jernih itu menunduk, "tapi, my mommy tidak suka pa