Raina tidak habis pikir, kenapa Devan tidak diskusi dulu tentang pernikahan sah mereka jika pada akhirnya mendiamkan dia seperti ini. Mungkin saja hanya demi Zian supaya bisa hidup lebih layak, karena tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal bagi Raina selain itu.
Raina mendapatkan kehidupan yang layak dan nafkah yang cukup bersama Devan. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan hati laki-laki itu.
Raina mendekati Devan. Dia ingin berbicara banyak hal, tapi dia bingung memulainya dari mana. Sehingga dari tadi hanya mengekor ke mana Devan pergi, ke dapur untuk minum ataupun menunggu di depan pintu kamar mandi. Hal itu cukup membuat Devan risi karena Raina hanya mengikutinya tanpa berkata apa-apa.
"Bang Dev!"
Devan yang saat ini sudah duduk di sofa menoleh pada Raina, akhirnya wanita itu bicara juga. "Mau ngomong apa?"
"Em ...."
Beberapa detik berlalu, dan Raina tidak jadi bicara.
Devan mendengkus, dia berdiri dan pergi lagi dari situ. Seperti tebakannya, bahwa Raina saat ini sedang berada di belakang, mengikutinya. "Rain, aku mau ngerokok dulu di belakang! Jangan ngikut-ngikut terus! Kamu ke kamar aja duluan tidurin Zian di kasur."
Raina mengerucutkan bibir, mengutuk sikapnya yang tertutup ini. Lidahnya kaku jika sudah berhadapan dengan pria itu. Lagipula, dia juga tidak mungkin membiarkan Zian kena asap rokok. "Ya, udah. Raina ke kamar duluan ya, Bang Dev."
"Heem."
"Se-la-mat ma-lam." Raina terbata-bata mengucapkan itu.
"Ya."
"Hao hakeng yaya," ucap Zian menatap Devan.
Devan mengusap rambut Zian. "Iya, met malam juga Zian."
Raina ragu Zian berkata selamat malam, hal itu cukup membuat Raina geli pada sikap Devan jika sudah berhadapan dengan Zian.
Devan melangkah pergi menuju pekarangan belakang rumah.
***Lewat tengah malam, Raina terbangun oleh suara Zian yang minta ASI. Dia mengucek-ngucek mata, kemudian menghadapkan badan pada Zian yang terlelap di sampingnya. Raina terperanjat, rasa ngantuk jadi hilang saat melihat Devan terlelap di kasur yang sama dengannya dan juga Zian. Dia pikir, Devan tak akan mau berbagi tempat tidur dan memilih tidur di ruangan lain, nyatanya tidak demikian.
Raina merasa itu adalah awal yang baik bagi hubungan dirinya dan Devan.
Pria itu nampak pulas, Raina bisa merasakan ketenangan dalam raut wajah Devan. Kini, wajah yang sedang terlelap tidur itu menjadi pemandangan di pekatnya malam saat Raina terjaga dari tidur menjaga buah hati. Dalam lubuk hati Raina, sebenarnya ingin selamanya bersama Devan. Entah sejak kapan, mungkin karena sikap Devan yang begitu baik pada Zian.
Dengan gerak yang lambat, tangan Raina mengusap rambut Devan. Semua keraguan dia tepis, karena jika Devan sedang bangun, mana berani Raina seperti itu.
Devan membuka mata, dia sebenarnya belum terlelap tidur. "Rain?"
"Maaf!" Wajah Raina kemerahan. Dia menarik tangannya dari kepala Devan.
Devan terdiam, lalu membalikan badan menjadi membelakangi Raina. Tidak mudah baginya untuk membuka jarak diantara mereka. Seperti dua orang asing yang tinggal di atap yang sama.
Hal itu cukup membuat Raina kecewa dan malu.
***Raina menyibak tirai di pagi hari. Meyiapkan sarapan sebelum Zian bangun dan menikmati secangkir teh hangat untuk menghilangkan rasa penat akibat terbangun tengah malam menjaga Zian.
Dia melihat Devan turun untuk sarapan. Dan dia tak tahu harus berkata apa, selain basa-basi menawarkan sarapan. "Sarapan dulu, Bang Dev."
"Ya." Devan menarik kursi dan duduk di kursi depan meja makan. Dia tidak langsung mengambil makanannya, melainkan melihat garis wajah Raina yang terlihat masih mengantuk. "Zian masih tidur, kamu gak ikut tidur lagi aja?"
"Justru mumpung lagi tidur, aku mau ngerjain yang lain."
"Urusan rumah jangan terlalu dipikirin, daripada kamu kurang tidur. Lagian nanti siang ada asisten rumah tangga baru, mau ke sini."
"Oh, tapi nanggung nanti siang aja tidurnya."
"Ya udah, kita sarapan bareng aja."
Raina mengangguk dan berpindah duduk dari single sofa dekat jendela menjadi duduk di samping Devan. Keduanya saling diam setelah itu, sekadar membahas rasa masakannya pun tidak. Namun, Raina diam-diam mengamati Devan, suaminya itu nampak lahap memakan sayur wortel buatan Raina. Raina senang melihatnya.
Hingga akhirnya, Devan memakan ayam goreng yang teksturnya keras karena terlalu lama digoreng. Ingin protes sungkan, gak protes gigi sakit. Akhirnya Devan memilih menahan sakit gigi saja. Dia melihat mata wanita itu berbinar saat ini, kalau dia protes takutnya malah jadi murung.
Akhirnya sarapan habis. Raina bahagia hanya karena Devan menghabiskan sarapan buatannya.
Devan lama-lama aneh dengan tingkah Raina, wanita itu tersenyum pada piring yang sudah kosong. Dia sempat melihat Raina tersenyum pada hujan waktu itu, sekarang pada piring kosong. Kenapa tidak sekalian tersenyum padanya saja.
Devan menyudahi sarapan dan pamit berangkat kerja. "Kalau ada apa-apa telepon. Jagain Zian. Aku berangkat dulu."
"Hati-hati, Bang Dev."
Raina mengantar Devan sampai area parkir mobil di rumahnya. Setelah Devan pergi ke kantor Raina dan Zian hanya menghabiskan waktu berdua di dalam rumah.
***Devan sedang berada di kamar sendirian membuka laptop. Sementara itu, Raina sedang bermain dengan Zian di ruang tengah.
Devan bukan orang yang aktif di sosial media, dia saat ini membuka I* hanya sekadar ingin tahu kegiatan Kirana. Tidak berniat ngajak bertemu, dia ingin menuntaskan rasa penasaran tentang kehidupan mantannya itu.
Devan hampir saja melupakan sudah ada wanita lain di rumahnya, sampai keterusan melihat puluhan story yang Kirana buat di hari ini. Bahkan, Devan beberapa kali membuka link tiktok yang Kirana share dan melihat mantannya dance di depan layar.
Kirana nampak sexy dan lincah saat membuat konten. Selama beberapa saat Devan terpaku. Mengingat dulu Kirana lebih kalem saat bersamanya.
Pintu kamar terbuka, Raina mengendap masuk ke kamar karena takut berisik dan membangunkan Zian yang tertidur di pangkuannya. Namun, ada hal lain yang membuat dia terkejut. Ada foto wanita cantik memenuhi layar laptop Devan. Raina penasaran itu siapa, tapi dia harus segera menidurkan Zian dan mengabaikan apa yang dia lihat barusan.
Devan dengan panik menutup laptopnya saat melihat Raina sudah ada di ranjang bersama Zian. Devan kesal Raina tidak mengetuk pintu. "Rain, kapan kamu datang? Kenapa kamu gak ngetuk pintu dulu?"
Raina terdiam dengan wajah cemberut. Harusnya dia yang bertanya siapa foto yang barusan Devan lihat, tapi ya sudahlah. Mungkin dirinya di sini hanya sekadar menumpang, dan istri hanya sebatas status baginya.
"Lain kali ketuk pintu dulu kalau mau ke kamar." Devan membentak Raina.
Raina menaruh telunjuk di depan bibir kemudian berbisik. "Bicaranya pelan-pelan, Zian baru tidur."
Devan tertegun, tersadar Raina mengendap masuk kamar demi Zian. Anak itu memang gampang rewel kalau tidurnya terganggu. Devan sempat melihat Raina kewalahan menenangkan Zian jika sudah rewel.
Devan menghampiri Raina. Dia sedikit membungkuk dan berbisik di telinga wanita itu. "Maaf."
"Maaf kenapa?"
"Maaf tadi udah marahin kamu. Padahal cuma masalah ketuk pintu."
"Aku yang harusnya minta maaf. Maaf karena aku sudah tinggal di rumah Bang Dev. Maaf karena Bang Dev harus tanggung jawab padahal yang salah ...."
"Sttt!!! Udahlah, kenapa kamu jadi bahas itu."
Raina terpaku saat Devan menaruh telunjuk di depan bibirnya.
"Kamu istirahat aja sekarang!"
Raina mengangguk. Dia sejujurnya cemburu pada wanita yang di foto cuma dia merasa tak berhak marah mengingat jasa Devan padanya selama ini.
Devan naik ke atas ranjang, dia menatap ke arah Zian yang tidur di tengah. Zian sangat mirip dengan Dhaka terutama bagian hidung. Hal itu selalu membayangi benak Devan, tentang hubungan Raina dan Dhaka di masa lalu.
Lama memperhatikan Zian, Devan pun malah tertidur duluan sebelum Raina tidur.
Raina memang tidak berniat tidur cepat-cepat, saat melihat jam dinding dirinya panik. Diskon 12.12 di aplikasi belanja sebentar lagi berakhir. Jangan sampai rasa cemburunya membuat dia ketinggalan gratis ongkir yang bejibun di tanggal ini.
Dia harus berburu flash sale, mencari skin care ori setengah harga. Meski berniat belanja satu barang, tapi tangannya secara alami mengklik juga tas cantik, baju tidur unyu, panci serbaguna, celana boxer untuk Devan yang ternyata beli tiga celana boxer gratis semvak satu pack.
***Terkejut, tapi Raina masih menahan diri dan pura-pura tertidur. Belaian itu menuju pipinya, awalnya lembut, lama-lama semakin menekan, kasar.
"Rain, bangun! Rain ...." bisik Devan, bibirnya nyaris menempel di telinga Raina, sementara tangannya menekan pipi Raina.
"Apa?" jawab Raina membuka mata.
"Masakin sesuatu bentar, ya! Laper banget."
Devan sejujurnya merasa bersalah pada Raina, dia melupakan makan malam karena keterusan lihat akun I* dan Tiktok sang mantan. Al hasil, perutnya berontak tengah malam.
Sejujurnya, semakin dilihat perasaan Devan sudah hilang untuk Kirana. Karena mantannya itu sudah jauh berbeda dari yang dia kenal dulu.
"Abang tadi gak makan, ya?"
"Iya."
"Mau dimasakin apa? Di kulkas ada daging, telur, labu."
"Hangetin aja yang tadi, masih ada 'kan?"
"Oke. Ada, kok."
Raina bangkit walaupun malas. Ternyata, bukan cuma Zian yang rewel tengah malam. Suaminya pun suka rewel minta makan kapan pun tidak lihat jam.
Mengomel dalam hati, Raina pun berjalan perlahan menuju dapur.
"Tunggu sebentar!" Devan menarik Raina dalam dekapannya.
***Raina tertegun atas ulah Devan. Mungkin pria ini kerasukan atau sekadar kedinginan, atau mungkin juga karena sempat terlalu lama menjomblo. Yang jelas, Raina merasa tubuhnya sesak dan bergerak gelisah dalam pelukan itu."Rain!"Raina gemetar saat Devan memanggil namanya dalam jarak sangat dekat. "Kenapa?""Request sambel goreng juga, ya! Terus cepetan masaknya, jangan pakai lama.""Katanya angetin yang ada aja?""Cuma tambah sambal aja, kok. GPL!""Ya udah, kalau disuruh GPL lepas dulu pelukannya. Apa Bang Dev nyuruh aku masak di kamar?"Devan melonggarkan pelukan dengan ekspresi biasa saja. "Sorry.""Titip Zian, ya! Kalau dia bangun bawa aja ke bawah!"Raina tergesa-gesa menuju dapur. Hatinya belum benar-benar stabil akibat pelukan dadakan yang dilakukan oleh suaminya.
Mata Kirana lekat menatap Raina yang sedang mencuci piring sehabis makan bersama tadi. Iri, harusnya dia yang menjadi tuan rumah. Membuat sarapan tiap hari untuk Devan adalah impiannya. Apalagi Kirana pintar masak. Dia ragu, apakah bocah yang hamil diluar nikah seperti Raina bisa masak sehebat dirinya.Raina lebih cantik darinya. Kirana sangat yakin, Devan tidak akan berpikir dua kali untuk jatuh cinta pada Raina, kalau saja Raina tidak berlaku keji di masa lalu bersama Dhaka, hingga hamil diluar nikah."Raina, numpang ke kamar mandi bentar, ya!" Senja datang menghampiri."Kamar mandinya sebelah sini, Mbak." Raina berjalan ke arah kamar mandi menunjukan letak kamar mandi pada Senja."Oke, makasih, Rain." Senja masuk ke kamar mandi, sambil membawa Fanza, karena Fanza pup.Raina kembali ke wastafel, ternyata Kirana sudah menggantikan mencuci piring, membuat R
Devan menunda pekerjaannya yang mulai menumpuk. Dia meraih smartphone, mencari website Hotel berdasarkan rating tertinggi di internet yaitu Crowne Luxury . Walaupun pada awalnya dia menanggap omong kosong saran dari anggota grup tadi, tapi apa salahnya dicoba.Devan menghampiri Raina yang sedang main games Uncle the horor. Devan Ingin memberitahu sesuatu, tapi Raina terlalu larut dalam permainan, membuat Devan terhenti haya untuk melihat raut wajah Raina saat bermain. Devan merasa aneh, padahal Raina sendiri yang memilih permainan, tapi saat hantunya muncul dia tutup mata, sambil bergedig takut. Jangan lupakan juga backsound games tersebut yang creepy. Devan duduk di samping Raina. "Seru banget, ya?""Eh, Bang Devan. Udah selesai makannya?""Iya udah."
Devan menyadari Raina tak ada di ranjang. Saat membuka mata, dia hanya melihat Zian yang terlelap tidur dengan wajah yang polos. Devan melirik ke sisi jendela, ada cahaya lampu dari luar dan di sana juga dia melihat Raina duduk sambil menatap ke jendela.Wanita itu berwajah sendu. Devan mampu menangkap kesedihan darinya. Tanpa dia sadari, dia mulai tak rela melihat Raina bersedih.Devan bangkit dan mendekat pada Raina. Melihat wajah wanita itu dari samping, membuat kekaguman di dalam hati yang tak sudi dia utarakan. Dia masih bersikeras meyakini bahwa perasaan ini adalah hanya sebatas kasihan semata.Devan menaruh tangan di bahu Raina. "Kenapa gak tidur?"Raina terperanjat atas kehadiran Devan, terlebih pria itu memegang bahunya. "Gak tahu, susah tidur.""Ada yang dipikirkan?"Raina terdiam sejenak lalu kembali menatap ke arah luar, ka
Sore ini, Devan pergi ke Jatinegara menemui seseorang yang sangat dekat dengannya di masa lalu. Tangannya menjinjing buah tangan, berbagai jenis makanan yang empuk. Karena dia yakin, kalau dikasih makanan yang keras sedikit yang punya rumah pasti menggerutu."Assalamualaikum."Sebenarnya, pintu terbuka setengah dari tadi. Devan bisa melihat orang tersebut duduk di tikar, mungkin orang itu berkurang pendengarannya. Devan tersenyum, membuka pintu lebih lebar, bersimpuh mendekati seorang kakek."Assalamualikum.""Waalaikumsalam. Ini Sape ye?" tanya Kong Darul sambil membenarkan kaca mata.Devan meraih tangan Kong Darul, sungkem. "Ini Devan, Kong." Devan duduk bersila kaki."Eh, elu kirain sape. Samar-samar tadi muke lu, tong.""Engkong sehat? Maaf baru bisa mampir ke sini, nengokin engkong."Dev
Pagi, dan ini hari minggu. Suara denting piano terdengar dari lantai satu rumah Devan. Warmes on the soul judul yang ia bawakan. Baru pertama memainkannya. Dia tahu, Raina suka memutar lagu tersebut lewat ponsel. Itu lagu itu untuk istrinya.Raina menuruni anak tangga, menggendong Zian, permainan Devan memanjakan telinganya, tapi tidak merubah rasa kecewa yang ia kubur hingga terlelap tidur. Dirinya masih menggunakan piama, rambutnya terikat asal. Dia menghampiri Devan, dengan tampang kusut."Habis begadang, ya?" Devan menghentikan permainannya, dia lebih memilih menyapa istrinya."Iya. Maaf Raina gak tahu Abang udah pulang, belum ada sarapan, mau sarapan apa?""Santai saja, kamu juga keliatannya masih ngantuk dan aku juga belum lapar."Tidak tidur semalaman membuat Raina tidak fokus, bahkan untuk merencanakan kegiatan di pagi hari dia kesulitan. K
Raina tidak bisa dipaksa. Bukan hanya karena Raina tidak suka. Akan tetapi traumanya bisa saja kembali jika diperlakukan kasar. Bayangan kejahatan Dhaka bisa muncul, membuat dada terasa sesak. Raina akan mengalami ketakutan berlebihan. Semua itu terjadi saat ini. Dan Devan tidak menyadari itu.Dua detik setelahnya, Devan melepas cengkramannya pada Raina. Merasa Raina semakin menjadi untuk menolaknya, dia menyerah. Devan beranjak dari ranjang lalu keluar kamar. Pintu yang tidak berdosa jadi sasarannya, saat tertutup dengan kuat.Raina terperanjat mendengar suara pintu itu. Rasa kesal suaminya sampai pada hatinya. Mungkin Devan akan pergi lagi seperti biasa. Raina menyibak selimut bergegas mengikuti Devan.Dugaan Raina salah, Devan tidak ke mana-mana hanya duduk di sofa. Raina melihat sudah ada segelas air putih di meja, bekas Devan minum.Raina menatap Devan lekat, sampai Devan p
Devan sedang berada di Restoran tempat dia biasa makan siang. Saat menunggu menu pesanan datang, dia membuka ponsel untuk mengecek CCTV yang terhubung ke ponselnya. Beberapa hari lalu, dia sengaja memasang di rumahnya. Berharap memergoki Dhaka datang ke rumah, tapi hal itu tidak terjadi. Malahan yang ada, dia merindukan Raina yang terlihat mondar mandir di rumah sambil menjaga Zian. Dia melihat wanita itu memainkan gitar saat Zian terlelap tidur. "Boleh duduk?"Devan mendengar suara anggun seorang wanita menyapanya. Dia mendongak meskipun hafal suara siapa itu. "Kamu ... kenapa bisa ada di tempat ini?""Aku tahu kamu suka makan siang di sini."Devan mendengkus, dia menyesap kopi yang datang lebih dahulu dari tadi.Kirana duduk berhadapan dengan Devan, meskipun dia sendiri tidak mendengar Devan mengijinkannya duduk.
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat