Devan menunda pekerjaannya yang mulai menumpuk. Dia meraih smartphone, mencari website Hotel berdasarkan rating tertinggi di internet yaitu Crowne Luxury . Walaupun pada awalnya dia menanggap omong kosong saran dari anggota grup tadi, tapi apa salahnya dicoba.
Devan menghampiri Raina yang sedang main games Uncle the horor. Devan Ingin memberitahu sesuatu, tapi Raina terlalu larut dalam permainan, membuat Devan terhenti haya untuk melihat raut wajah Raina saat bermain.
Devan merasa aneh, padahal Raina sendiri yang memilih permainan, tapi saat hantunya muncul dia tutup mata, sambil bergedig takut. Jangan lupakan juga backsound games tersebut yang creepy.
"Eh, Bang Devan. Udah selesai makannya?"
"Iya udah."
Raina menatap manik Devan, tegang. Mengingat perkataan Kirana tadi sore, dia jadi ingin menghilang dari hadapan Devan saat ini. Tapi dia sadar, dia bukan mahluk halus yang bisa langsung menghilang.
Apa ini waktu yang tepat untuk bicara? Tapi kata-katanya menggantung di tenggorokan. Bingung harus memulainya seperti apa. Atau dia langsung pamit saja, minta pulang ke rumah orang tuanya?
"Kamu kenapa liatin aku kaya gitu?"
"hmm."
"Besok kita staycation dua malam di Bandung. Kamu siapin pakaian kita, ya!"
"Kita?"
"Iya, kita. Kamu, aku dan Zian."
"Kayanya gak usah ngajak aku dan Zian. Abang bisa pergi sendiri."
"Pergi sendiri? Aku udah booking room type Royal famili suite karena mau ajak Zian juga. Kalau cuma pergi sendiri, itu artinya aku cuma pelanga pelongo di kamar seluas itu sendirian."
Raina tertegun, untuk apa Devan mengajaknya jalan? Toh, dia tidak diinginkan di rumah ini. "Bang Devan kalau mau main sama Zian main aja, aku tunggu di rumah. Nanti baju Zian aku siapin. Bisa pakai sufor dulu kalau Zian pengen mimi."
"Nanti siapa yang ganti diaper? Aku gak bisa." Ralat, bukan tidak bisa tapi tidak mau. Mana mau Devan berurusan dengan pup seorang bayi.
Raina mendengkus, ternyata dirinya dan Zian tetap satu paket, meski sudah diakali supaya dia tidak ikut, tapi tidak bisa. Raina mengerutkan dahi, bingung menyusun kalimat penolakan lainnya.
"Aku sengaja cari yang ada private jacuzzi yang menghadap ke view pegunungan, kamu bakal suka."
Raina tertarik saat mendengar hal itu. Dia membayangkan dirinya sendiri sedang berendam di jacuzzi sambil menatap ke arah pegunungan yang asri. "Ya, udah! Aku siapin dulu keperluan buat besok."
Raina pergi ke kamar. Sekalian mengecek keadaan Zian yang sedang tidur. Dia melupakan rencananya memberi tahu Devan kalau Kirana sudah mengajaknya bertemu tadi.
Devan menghampiri piano XA miliknya. Merasa rindu, karena jarang tersentuh. Tapi alat musik kesayangannya itu, begitu terawat. Raina selalu membersihkan debu yang menempel hingga bagian pedal maupun leg assy. Atau bahkan mungkin, memainkannya sesekali. Devan mengijinkannya.
Kalau kamu lagi bosan, gak apa-apa pakai aja pianonya. Devan berkata waktu itu, saat Raina sedang asik mengelap fallboard.
Iya. Raina tersenyum.
Terpikir olehnya, untuk mengajak Raina bermain bersama. Atau mungkin dia bisa mengiringi Raina bernyanyi. Namun Devan sungkan. Meski satu rumah dan satu ranjang, dia tidak seakrab itu dengan istrinya. Dhaka seolah menjadi sekat yang membuat Devan enggan menyentuh Raina.
Devan selalu beranggapan, jika Dhaka tiba-tiba kembali, bisa saja Raina akan pergi darinya, dan kembali menjalin kisah asmara dengan Dhaka.
Masih belum beranjak dari bench piano. Devan terpaku sejenak. Merasa akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengusik hatinya. Seperti sekumpulan awan yang berkumpul memenuhi dada. Memacu jantung lebih cepat berdetak dari biasanya. Sensasi tidak biasa itu semakin bergemuruh, jika dia berada dekat dengan Raina.
Setelah cukup lama di ruang tengah. Devan pergi ke kamarnya untuk istirahat. Tapi saat membuka pintu, aura di dalam kamar begitu mencekam. Lampu tidur yang redup. Ada suara-suara srigala mengaung, dan denting piano bernada pilu, merobek hati. Dan itu semua berasal dari gawai Raina.
Devan menyalakan lampu utama. Dia terkekeh saat melihat Raina menutup kedua matanya dengan tangan, membiarkan gawainya terjatuh. Kakinya menendangi selimut dengan ritme cepat. Sementara di layar gawainya, terpampang jelas wajah hantu menyapa Raina. "Hwaaaa ..."
"Ngapain? Kamu bisa bikin Zian bangun kalau terus main games itu, Rain."
"Tapi aku suka." Raina mulai membuka mata, sebenarnya dia pun baru sadar Devan sudah ada di kamar.
"Kamu gabut banget, Rain."
Devan menggapai gawai yang terjatuh di kasur, menekan pilihan exit karena dia pun sudah merinding dengan suara backsound itu. Devan terperangah, saat melihat menu pada gawai Raina. Ada belasan games horor lain.
"Iya, baru-baru ini. Dipikir-pikir rumah ini 'kan sepi. Aku jadi kepikiran bikin suasana horor sendiri. Daripada ke rumah hantu kan gak ada yang ngajakin juga."
Devan bertolak pinggang, tersindir. Sadar dirinya memang jarang pulang. Tapi tidak tahu mengapa, Devan malah terseyum lebar merasa Raina begitu lucu mendeskripsikan suasana itu. "Ya sudah lah, asal jangan kesurupan aja."
"Enggak lah, ini seru banget."
Devan memberikan smart phone Raina, yang masih berada di tangannya."Sekarang tidur dulu! Besok kan mau berangkat ke Bandung pagi-pagi."
"Heem."
"Tapi kamu udah siapin buat besok 'kan?"
"Sudah, kok."
"Oke, selamat tidur." Devan mengelus kepala Raina mendaratkan satu kecupan hangat di puncak kepala Raina, sebelum tidur.
Ada keraguan saat Devan mengecup istrinya. Bagaimana jika Raina kembali pada kisah masa lalu. Bisa saja Dhaka tiba-tiba hadir diantara mereka, dan Raina memilih untuk pergi.
Devan naik ke atas ranjang, menatap ke arah Raina, lekat.
Raina yang dari tadi mencoba menstabilkan degup jantungnya karena mendapat kecupan dari Devan, memberanikan diri membalas tatapan mata Devan. "Kenapa tidak tidur? Katanya tadi, besok harus bangun pagi."
"Aku nunggu kamu merem duluan."
Raina belum mengantuk, dia masih ingin bermain games. Raina memaksakan diri untuk terpejam, supaya Devan juga terpejam dan mempunyai waktu tidur yang cukup.
Devan terseyum melihat reaksi Raina. Kelopak mata yang terpaksa tidur itu bergerak-gerak.
***Kirana merebahkan diri di kasur kamarnya, memainkan smart phone. Dia menekan aplikasi W******p, mencari kontak bernama Devan. Beberapa kali Kirana ingin mengirim pesan, namun tidak jadi.
Percakapan terakhir kali di W* dengan Devan membuatnya gerah dan jengkel.
Hallo Devan, kamu belum tidur? Pesan Kirana kurang lebih dua minggu yang lalu, saat melihat Devan online lewat tengah malam.
Belum, tadi kebangun gara-gara lapar. Aku lagi nungguin istriku masakin makanan. Kamu sendiri gak tidur?
Susah tidur. Gak tahu kenapa, aku lagi kangen banget sama kamu.
Devan tidak membalas pesan Kirana waktu itu. Hingga kini, tidak ada komunikasi lagi. Sedikit menyesal, harusnya saat Devan minta balikan dia to the point bilang iya. Berniat hati tarik ulur perasaan Devan, malahan membuat Kirana susah sendiri.
Jika saja Kirana tahu, wanita yang dinikahkan dengan Devan secantik Raina. Dia tidak akan segegabah ini.
Kirana harus bertindak, sebelum perasaan Devan pada istrinya terlalu mendalam. Mungkin dia harus bertemu dengan Devan, meskipun harus ke rumahnya langsung. Dia yakin, separuh hati Devan masih tetap untuknya.
***Berlama-lama dalam sebuah perjalanan liburan bersama Devan tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Raina. Makan berdua di luar saja terasa mustahil, ini malah diajak menginap selama dua hari. Jantung Raina bertalu-talu sejak tadi.
Dari sekian banyak tempat wisata keluarga, Devan memilih tempat yang cocok untuk Zian bermain. De Ranch dan Lembang Wonderland pilihannya.
Baru pertama kali ini Devan liburan tidak santai karena bawa perlengkapan Zian sambil dorong stroller. Dia membiarkan Raina menikmati liburan tanpa terbebani tugas apa pun. Hal itu membuatnya serasa menjadi bapak-bapak siaga, yang jadi tempat penitipan barang berjalan buat istri dan anaknya. Padahal, dia sama sekali tidak berniat seperti itu sebelumnya.
Tak lama, Raina membawa Zian menikmati salju buatan di salah satu wahana. Devan akhirnya bisa duduk, dia hanya memantau dari kejauhan. Karena memang dari awal, dia hanya berniat membuat Raina bisa melepas penatnya. Dia sama sekali tidak tertarik untuk berlibur ke wahana keluarga.
Kirana mengirim chat bertubi saat tahu panggilannya ditolak. Devan membuka isi chat, dan terlihat beberapa chat dengan kalimat panjang seperti artikel. Membuat Devan malas membacanya, meski satu kata saja.
Kirana kembali mengirim pesan, dan Devan pun akhirnya penasaran juga. Meskipun yang dia baca hanya chat terakhir.
"Aku kangen sama kamu Devan. Apa kamu masih berniat untuk balikan sama aku? Kita bisa ketemu dulu 'kan. Bentar aja. Please."
Jika saja Kirana berkata seperti ini sejak dulu. Devan tidak akan ragu untuk menemuinya meski dia ada di luar kota sekali pun, pasti akan diusahakan pulang. Tapi keadaanya kini berbeda, Devan telah menikahi Raina secara sah.
Ada hati yang tertinggal untuk Kirana, nyaris saja Devan terjebak kisah masa lalu. Bayangan Kirana saat fitting baju pengantin, atau pun kebiasaan Kirana yang selalu memeluk Devan dari belakang, jika Devan bad mood. Pelukan itu bisa membuat perasaan Devan kembali membaik.
Devan berusaha membuyarkan kenangan lama, dan berusaha menerima kehidupannya yang baru bersama Raina.
Raina menghampiri Devan karena sudah cukup lama di tempat itu. "Abang, apa kita bisa check in sekarang? Zian kayanya udah ngantuk."
Devan melirik ke arah Zian, anak itu sepertinya belum mengantuk. Devan lalu melihat mata Raina yang berbinar-binar. Devan paham, bahwa alasan yang sebenarnya karena Raina ingin berendam di jacuzzi atau berenang di infinity pool
yang menghadap ke pegunungan juga."Iya, jadwalnya udah bisa sekarang. Tapi kita cari makan siang dulu, yuk! Aku udah lapar."
"Oke."
Devan dan Raina pun berjalan kaki menuju parkiran sambil mengobrol.
"Aku baru tahu tempat ini, cuma lihat info di internet di sini cocok kalau ajak anak balita. Kalau kamu pernah ke sini?" tanya Devan saat berjalan berdua di taman.
"Belum, aku paling kalau ke Bandung cari tempat camping bareng temen, di Bandung selatan."
"Oh, daerah pegunungan Malabar, ya? Jauh juga. Aku tadinya pengen ke sana tapi kayanya gak cocok kalau ngajak Zian."
"Iya, perubahan suhu udaranya juga terlalu jauh, Bang. Zian bisa-bisa kena pilek, tidak ada arena bermain anak juga. Nanti aja, kita bisa ke sana kalau Zian udah besar."
Zian sudah besar? Devan tertegun, apa itu artinya Raina ingin selamanya bersama dirinya? Devan tidak mengerti mengapa dirinya bisa deg-degan saat Raina berkata seperti itu.
"Rain, btw kamu ingin buru-buru ke hotel bukan karena Zian ngantuk, kan? Tapi ingin berendam. Iya?"
Raina tertunduk dan menahan tawa. "Tau aja."
"Gak usah sungkan. Kalau kamu mau apa-apa tinggal bilang aja."
***Liburan Raina bersama Devan dan Zian harus terganggu gara-gara mantan kekasih Devan juga kirim pesan pada Raina. Raina seakan diteror oleh wanita itu.
Raina menyendok Wellcome cake yang sudah tersedia di nakas dengan wajah yang murung. Kudapan enak itu seakan hambar karena suasananya saat ini sedang kacau akibat ulah Kirana.
Devan keluar dari kamar mandi, melihat istrinya murung. "Kenapa wajahmu murung, Rain."
Raina menoleh pada Devan. Raina tak ingin menghancurkan momen indah di tempat ini bersama Devan. Mungkin nanti saat di rumah. "Aku gak kenapa-napa, cuma lagi ngantuk aja."
"Istirahat dulu aja kalau gitu."
Devan tersenyum pada Raina. Namun hal itu tak cukup mampu membuat hati Raina lebih baik.
Raina pun berbaring di samping Zian yang sudah tidur duluan dari tadi, supaya bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya di hadapan Devan.
***Raina terbangun, dari tadi dia memang tidak berniat tidur. Dia membuka sedikit jendela, memandangi lampu-lampu di luar yang jumlahnya sedikit. Sepi dan dingin, suasana di luar yang terasa hingga ke dalam kamarnya.
Dia memutar memori, saat pertama kali tinggal di rumah Devan, saat Devan masuk ke kamarnya, lalu membuat suatu janji. Janji yang sebenarnya ingin dia ingkari.
Rain, ingat! Kamu harus cepat pulih! Dan, nanti tolong cepatlah pergi!
Aku juga ingin cepat sembuh, dan aku janji bakalan pergi.
Ucapan Devan melukai hatinya. Dia selalu mengingat hal itu. Terkadang dia ingin bertahan dan mengambil hati suaminya. Akan tetapi, perkataan Kirana padanya membuat dia berputus asa. Devan bertahan hanya sekadar kasihan pada Raina, lalu untuk apa dia terus berada di sisi Devan.
Mungkin, Raina kali ini akan mengabulkan janji itu. Walau sulit untuk melakukannya, saat hati dan perasaan kian tumbuh karena terbiasa bersama.
Devan menyadari Raina tak ada di ranjang. Saat membuka mata, dia hanya melihat Zian yang terlelap tidur dengan wajah yang polos. Devan melirik ke sisi jendela, ada cahaya lampu dari luar dan di sana juga dia melihat Raina duduk sambil menatap ke jendela.Wanita itu berwajah sendu. Devan mampu menangkap kesedihan darinya. Tanpa dia sadari, dia mulai tak rela melihat Raina bersedih.Devan bangkit dan mendekat pada Raina. Melihat wajah wanita itu dari samping, membuat kekaguman di dalam hati yang tak sudi dia utarakan. Dia masih bersikeras meyakini bahwa perasaan ini adalah hanya sebatas kasihan semata.Devan menaruh tangan di bahu Raina. "Kenapa gak tidur?"Raina terperanjat atas kehadiran Devan, terlebih pria itu memegang bahunya. "Gak tahu, susah tidur.""Ada yang dipikirkan?"Raina terdiam sejenak lalu kembali menatap ke arah luar, ka
Sore ini, Devan pergi ke Jatinegara menemui seseorang yang sangat dekat dengannya di masa lalu. Tangannya menjinjing buah tangan, berbagai jenis makanan yang empuk. Karena dia yakin, kalau dikasih makanan yang keras sedikit yang punya rumah pasti menggerutu."Assalamualaikum."Sebenarnya, pintu terbuka setengah dari tadi. Devan bisa melihat orang tersebut duduk di tikar, mungkin orang itu berkurang pendengarannya. Devan tersenyum, membuka pintu lebih lebar, bersimpuh mendekati seorang kakek."Assalamualikum.""Waalaikumsalam. Ini Sape ye?" tanya Kong Darul sambil membenarkan kaca mata.Devan meraih tangan Kong Darul, sungkem. "Ini Devan, Kong." Devan duduk bersila kaki."Eh, elu kirain sape. Samar-samar tadi muke lu, tong.""Engkong sehat? Maaf baru bisa mampir ke sini, nengokin engkong."Dev
Pagi, dan ini hari minggu. Suara denting piano terdengar dari lantai satu rumah Devan. Warmes on the soul judul yang ia bawakan. Baru pertama memainkannya. Dia tahu, Raina suka memutar lagu tersebut lewat ponsel. Itu lagu itu untuk istrinya.Raina menuruni anak tangga, menggendong Zian, permainan Devan memanjakan telinganya, tapi tidak merubah rasa kecewa yang ia kubur hingga terlelap tidur. Dirinya masih menggunakan piama, rambutnya terikat asal. Dia menghampiri Devan, dengan tampang kusut."Habis begadang, ya?" Devan menghentikan permainannya, dia lebih memilih menyapa istrinya."Iya. Maaf Raina gak tahu Abang udah pulang, belum ada sarapan, mau sarapan apa?""Santai saja, kamu juga keliatannya masih ngantuk dan aku juga belum lapar."Tidak tidur semalaman membuat Raina tidak fokus, bahkan untuk merencanakan kegiatan di pagi hari dia kesulitan. K
Raina tidak bisa dipaksa. Bukan hanya karena Raina tidak suka. Akan tetapi traumanya bisa saja kembali jika diperlakukan kasar. Bayangan kejahatan Dhaka bisa muncul, membuat dada terasa sesak. Raina akan mengalami ketakutan berlebihan. Semua itu terjadi saat ini. Dan Devan tidak menyadari itu.Dua detik setelahnya, Devan melepas cengkramannya pada Raina. Merasa Raina semakin menjadi untuk menolaknya, dia menyerah. Devan beranjak dari ranjang lalu keluar kamar. Pintu yang tidak berdosa jadi sasarannya, saat tertutup dengan kuat.Raina terperanjat mendengar suara pintu itu. Rasa kesal suaminya sampai pada hatinya. Mungkin Devan akan pergi lagi seperti biasa. Raina menyibak selimut bergegas mengikuti Devan.Dugaan Raina salah, Devan tidak ke mana-mana hanya duduk di sofa. Raina melihat sudah ada segelas air putih di meja, bekas Devan minum.Raina menatap Devan lekat, sampai Devan p
Devan sedang berada di Restoran tempat dia biasa makan siang. Saat menunggu menu pesanan datang, dia membuka ponsel untuk mengecek CCTV yang terhubung ke ponselnya. Beberapa hari lalu, dia sengaja memasang di rumahnya. Berharap memergoki Dhaka datang ke rumah, tapi hal itu tidak terjadi. Malahan yang ada, dia merindukan Raina yang terlihat mondar mandir di rumah sambil menjaga Zian. Dia melihat wanita itu memainkan gitar saat Zian terlelap tidur. "Boleh duduk?"Devan mendengar suara anggun seorang wanita menyapanya. Dia mendongak meskipun hafal suara siapa itu. "Kamu ... kenapa bisa ada di tempat ini?""Aku tahu kamu suka makan siang di sini."Devan mendengkus, dia menyesap kopi yang datang lebih dahulu dari tadi.Kirana duduk berhadapan dengan Devan, meskipun dia sendiri tidak mendengar Devan mengijinkannya duduk.
Ponsel Raina berbunyi, itu chat dari Naya. Biasanya teman Raina itu cuma mengirim pesan jika sedang ingin curhat antara dia dan pacarnya. Namun kali ini beda, Raina hampir saja menjatuhkan ponsel sesaat setelah membaca ponsel itu. "Rain, barusan aku lihat lakimu masuk ke restoran bareng cewek cantik." "Yang benar? Kamu salah lihat kali." Raina membalas dengan tangan bergetar. "Awalnya aku juga takut salah orang, tapi setelah diteliti emang itu suamimu." "Ada fotonya, gak?"
Devan terbangun dari tidur. Dia mendapati Raina masih memeluk dirinya. pegal. "Rain, minggir aku mau mandi!"Raina tidak merespon, napasnya yang berburu tidak beraturan menandakan dia masih pulas. Devan perlahan melepas tangan Raina yang melingkar ke perutnya.Devan duduk di kasur dengan rambut yang acak-acakan. Dia tidak langsung turun untuk mandi malahan menatap ke arah istrinya yang masih pulas. Wajah wanita itu seperti kesejukan di pagi hari, menenangkan mata yang melihatnya.Devan tertegun mengingat dia sudah gagal melindungi wanita itu. Sebelum dia bicara langsung dengan Dhaka, dia tidak pernah bisa puas. Rasa cemburu menguasai diri, menjadikan dirinya sangat egois.Devan baru sadar, salah satu foto di kamar ini hilang. Ada bagian dinding yang kosong yang harusnya di isi satu foto lagi. Dia mencoba mengingat foto yang mana yang hilang. Akan tetapi lamunannya bu
"Kita harus pergi sekarang, sayang." Raina menatap Zian sendu, sambil memakaikannya baju setelan gambar super hero. Bagaimana pun juga, hari di mana dirinya menepati janji akan tiba. Raina sudah lelah dengan sikap Devan. Dia juga tak bisa jujur tentang Dhaka, khawatir ancaman Dhaka menjadi kenyataan. Dan yang lebih dia khawatirkan adalah, Devan berpihak pada adiknya tersebut karena hubungan kekeluargaan. Namun sebenarnya, dia tak tahu harus kemana saat ini. Raina memiliki kesepakatan aneh dengan keluarga angkatnya. Kesepakatan yang terlalu menyudutkan Raina, saat dirinya tidak boleh kembali pulang ke keluarga Pak Arman setelah menikah. Mungkin istilah kasarnya adalah, keluarga Pak Arman membuangnya. Di dalam keluarga itu, Satu-satunya orang yang mengingin
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat