Mata Kirana lekat menatap Raina yang sedang mencuci piring sehabis makan bersama tadi. Iri, harusnya dia yang menjadi tuan rumah. Membuat sarapan tiap hari untuk Devan adalah impiannya. Apalagi Kirana pintar masak. Dia ragu, apakah bocah yang hamil diluar nikah seperti Raina bisa masak sehebat dirinya.
Raina lebih cantik darinya. Kirana sangat yakin, Devan tidak akan berpikir dua kali untuk jatuh cinta pada Raina, kalau saja Raina tidak berlaku keji di masa lalu bersama Dhaka, hingga hamil diluar nikah.
"Raina, numpang ke kamar mandi bentar, ya!" Senja datang menghampiri.
"Kamar mandinya sebelah sini, Mbak." Raina berjalan ke arah kamar mandi menunjukan letak kamar mandi pada Senja.
"Oke, makasih, Rain." Senja masuk ke kamar mandi, sambil membawa Fanza, karena Fanza pup.
Raina kembali ke wastafel, ternyata Kirana sudah menggantikan mencuci piring, membuat Raina merasa tidak enak.
"Biar sama saya aja nanti, Mbak," kata Raina.
"Gak apa-apa, kok. Santai aja."
"Serius saya gak enak. Oh iya, kita baru pertama bertemu hari ini. Nama mbak siapa?"
"Panggil aja Kirana," jawab Kirana, dia tidak menatap Raina. Hanya fokus pada piring kotor di hadapannya.
"Apa, Mbak pacarnya Mas Dewa?"
"Bukan."
"Oh, tadinya kukira gitu."
"Raina!"
"Ya?"
"Boleh kita tukeran nomer HP, buat nambah-nambah temen aja."
"Oh, boleh." Raina menjawab dengan canggung sekaligus senang.
Raina bersorak di dalam hati mendapat teman baru. Dan ini adalah teman Devan, siapa tahu Raina bisa mengorek informasi lebih banyak tentang Devan, untuk mengambil hati suaminya itu. Seperti tempat berlibur kesukaan Devan yang hingga kini, belum Raina ketahui.
Raina melihat Kirana tertunduk saat menyimpan nomer ponsel Raina. Dan saat itulah Raina sadar akan sesuatu, dalam posisi Kirana seperti itu, Kirana sangat mirip dengan wanita yang dia lihat di laptop Devan. Atau jangan-jangan memang ini orangnya. Raina jadi deg-degan.
"Thanks Raina, udah aku save nomer kamu. Kapan-kapan kita meet up berdua, ya! Kamu belum tahu kan seluk beluk tempat bagus di sekitar sini?"
"I-ya." Raina tak bertenaga untuk menjawab.
"Oke, someday kamu bakal punya pengalaman paling hebat sama aku."
Senja keluar dari kamar mandi, dia melihat suasana dingin dari kedua orang yang sedang berbincang di depannya. Senja tak ingin ikut campur meskipun tahu Kirana adalah mantan Devan.
Raina menyadari kehadiran Senja, lalu sengaja menghampiri Senja demi mengakhiri kecanggungan bertatap muka dengan Kirana.
"Mbak udah dari kamar mandinya?"
Senja mengangguk. "Udah."
"Coba aku gendong Fanza bentar."
"Silakan, Rain!"
"Wah, berat juga, ya, Mbak!"
Senja terkekeh. "Iya, Fanza endut emang."
Sementara itu, Devan menghampiri Dewa yang sedang minum kopi di halaman depan. "W*, dia kenapa bisa ikut?"
"Kirana?"
"Iya. Gak ada info ke gua dia mau ikut."
"Sorry, Van. Pas mobil gua mau meluncur ke mari, eh die tiba-tiba ngikut aja, gitu. Yah mau gak dibolehin gimana, iye, pan?"
"Oh, gak apa-apa, sih, W*. Cuma gua kaget aja dia datang."
Sebetulnya memang tak masalah karena sudah jadi mantan. Namun Dewa tahu Devan gagal move on dari Kirana, sehingga membuat Dewa tak enak hati.
Obrolan singkat itu terhenti saat Kirana, Senja dan Raina melintas di depan mereka.
Tak lama setelah itu, semua teman-teman Devan pamit. Suasana canggung kembali ketika hanya ada Devan, Raina, dan Zian di rumah.
***
Devan nekad masuk ke grup F*. Grup yang katanya suka memberi solusi jika ada wanita yang terkena syndrom baby blues. Barusan, Devan melihat Raina lagi-lagi tersenyum pada hujan. Dia rasa, hal tersebut jangan terlalu lama dibiarkan.Devan mendapat link grup dari Senja via W*. Dia memulai postingan pertama setelah di ACC.
"Assalamualaikum, Saya mau tanya, istri saya aneh akhir-akhir ini. Kemarin dia memukul-mukuli kepalanya sendiri, wajahnya sering memerah jika saya sapa, dan juga jika hujan turun dia sering tersenyum pada hujan. Pernah tersenyum pada piring kosong, dan sempat saya pergok lagi nangis saat dia lagi sendiri. Apa itu salah satu gejala Postpartum depression? Info tambahan, putra kami baru mau menginjak 6.5 bulan."
Ada satu balasan yang masuk tidak lama setelah dia memposting pertanyaan itu. "Maaf Mas, dari ciri-ciri yang Mas sebutkan, itu tanda-tanda orang sedang jatuh cinta."
"Saya serius!!!" Devan membalas sambil membubuhkan emoticon wajah datar.
Ada balasan dari akun lain. "Jika dalam tiga hari istri bapak masih berprilaku sama. Fix! Istri bapak Indigo."
Devan mendengkus, geram. Kenapa netizen tidak ada yang serius menjawab pertanyaannya. Hingga akhirnya dia mendapat balasan lain yang sepertinya akan memberi dirinya solusi.
"Bahaya, Mas. Itu tidak bisa dianggap sepele, sesuatu yang bahaya akan terjadi jika dibiarkan."
"Solusinya apa?" tanya Devan tanpa basa-basi.
"Solusinya ajak istrinya jalan-jalan."
"Saya serius." Balas Devan dengan emoticon marah.
Tidak lama setelah itu Devan kena kick oleh admin. Tanpa Devan tahu, grup itu tidak boleh ada member laki-laki di dalamnya. Devan membaca lebih teliti nama grup KISCDM ( Komunitas Ibu Sehat Cantik dan Menyenangkan). Barulah, Devan paham kenapa dia bisa di-kick.
Sebetulnya, Devan bertanya di grup bukan karena perhatian pada Raina. Hanya saja, dia tidak ingin penghuni rumah ini ada yang terkena gejala depresi. Bisa bahaya, jika tiba-tiba ada mayat di rumahnya, seorang ibu mati bunuh diri karena depresi. Jika hal itu beneran terjadi, dia malas memberi keterangan pada polisi.
***Beberapa hari ini, smart phone Raina penuh dengan notifikasi dari Kirana. Hanya percakapan basa-basi atau pun obrolan wanita pada umumnya, seperti ngomongin make up atau pun diskon belanja. Lumayan, dia jadi tidak begitu sepi.
Apalagi kini, Devan sudah dua minggu, kadang pulang kadang tidak. Entah tidur di mana, Devan juga tidak cerita. Devan hanya mendekati Raina jika perutnya sudah lapar, dan minta dimasakkan sesuatu oleh wanita itu.
"Raina, ketemuan yuk. Mumpung Mbak lagi libur kerja. Mau cobain dessert box Mbak Mel gak, yang viral di I*******m?"
"Boleh, Mbak. Kapan? iya aku mau coba, kebetulan jarang kemana-mana. Mau main gak ada temen."
"Sekarang aja, kalau besok aku masuk kerja. Lagian Cafe Mbak Mel 'kan dekat dari rumahmu."
"Oke, sore aja ya, biar keluarnya gak panas."
"Oke, Mbak tunggu jam 4 sore."
Raina pergi menggunakan grab yang ia pesan. Mulai berangkat Jam 15.50 WIB. Tempatnya dekat, meski macet dia tidak akan terlambat datang.
Kirana melambaikan tangan pada Raina. Tak lama, Raina menghampiri meja yang ditempati Kirana. Mereka duduk berdua layaknya teman akrab. Bahkan, Kirana memberi Zian sebuah kado.
Raina tidak tahu apa isi bingkisan itu, tapi dari bungkusnya saja sudah terlihat mahal.
Kirana lebih banyak bicara, apalagi setiap kali menyendok desert box, setiap kali dia komen seperti acara kuliner di televisi atau pun YouTube. Raina takjub, dan merasa bahwa Kirana orang yang menyenangkan.
Hingga akhirnya, obrolan mereka makin aneh sampai membahas privasi dan masa lalu.
Dan akhirnya, hati Raina bagai dihujani batu saat Kirana mengaku bahwa dirinya adalah mantan Devan. Sebetulnya, santai saja toh hanya mantan. Tapi kalimat selanjutnya yang membuat Raina panas dingin.
"Raina, boleh gak kalau aku minta tolong sama kamu, buat tinggalin Devan."
Tertegun, lagipula tidak ada alasan buat Raina menuruti keinginan Kirana. Dia bukan siapa-siapa, hanya masa lalu Devan. "Mbak jangan becanda!"
Kirana menyesap ice matcha latte miliknya sebelum berkata kembali pada Raina. "Siapa yang becanda. Aku sama suamimu masih komunikasi, kok. Kami harusnya bisa balikan, cuma Devan gak enak sama kamu."
Raina terpukul, ingin rasanya segera pergi dari tempat itu. Jika bisa, dia ingin meledakan kepala Kirana dulu sebelum pergi.
"Kenapa diam?" tanya Kirana, karena dia tidak mendapat jawaban apapun kecuali tatapan sinis dari Raina.
Raina tetap bungkam, dia memilih memalingkan muka.
"Ayolah, Raina. Kamu bukan korban di sini. Aku tahu anakmu itu anak siapa, bukan anak Devan 'kan? Apa kamu tidak malu hidup menumpang jadi benalu?"
Raina mendengkus, mulai menatap Kirana, dengan tatapan menghakimi, meminta Kirana menyudahi ucapannya. "Cukup!"
"Maaf Raina, aku hanya berkata jujur. Aku hanya kasian pada Devan, sepertinya dia tertekan hubungan sama kamu."
Tertekan? Apa benar? Raina merasa menjadi orang paling bodoh. Hanya karena dipeluk satu kali, dan dipanggil dengan kata sayang satu kali, membuat dirinya merasa dicintai. Setelah dipikir-pikir, mungkin Kirana sudah mendapat pelukan dari Devan puluhan kali, atau bahkan ciuman yang bertubi-tubi. Raina mulai goyah, bisa jadi dia mengabulkan keinginan Kirana.
"Rain, kalau saran dariku. Mending kamu mundur duluan, deh. Devan itu terlalu baik, dia mana tega ninggalin cewek manja beranak satu kaya kamu."
Melihat wajah Kirana yang memelas membuat Raina merasa jijik, tampak dibuat-buat. Tapi Raina bukan tipe cewek bar-bar yang mudah mengumbar amarah di sembarang tempat.
"Aku pamit, gak ada yang mau dibahas lagi 'kan?" tanya Raina sambil tersenyum. Pura-pura kuat, padahal aslinya ingin sekali mencekik wanita di hadapannya itu.
"Ckk ... aku gak nyangka ya kamu keras kepala juga. Makannya kalau mau bertahan hidup tuh kerja kaya aku, bukannya numpang sama orang yang harusnya jadi kakak ipar kamu. Gak malu, ya?"
Raina jadi sakit kepala mendengar wanita ini bicara nyerocos seperti burung gagak. Raina melihat jam di tangannya. "Sudah sore, Zian juga udah mulai risih." Zian meronta di saat yang tepat.
"Tunggu! Aku harus tau jawabanmu dulu, kamu bersedia 'kan tinggalin Devan? Biarkan kami hidup bahagia, dia hanya cinta sama aku, tolong kamu jangan egois."
Raina bersikap bodo amat, hanya memandang wajah anaknya. "Yuk, sayang kita pulang!"
Raina mencari taxi, sebelumnya dia mampir ke gerai make up terlebih dahulu, mumpung masih di luar.
Smart phone Raina berbunyi saat dirinya masih di dalam taxi. Ada panggilan masuk dari Devan. Tumben sekali Devan menelepon.
"Hallo."
"Hallo, ada apa, Bang?"
"Raina, aku mau kasih tahu, hari ini aku pulang ke rumah."
Mau Devan pulang ke rumah, atau pun mau pulang ke surga sekalipun, Raina tidak peduli. Dia sangat kesal saat ini. "Iya, terus kenapa, Bang?"
"Jangan lupa masak, ya!"
"Mau makan sama apa? ada udang, daging, ikan patin."
"Udang saus tiram."
"Oke."
"Kamu ada di mana? Kaya ada suara mesin mobil?"
"Habis jalan-jalan, nyobain dessert box Mbak Mel sama belanja make up juga. Ini lagi di jalan menuju pulang."
"Ya, sudah hati-hati!"
Sambungan telepon diakhiri. Raina geram, sepertinya pria ini menganggap dirinya ini catering. Hanya dihubungi saat ingin makan saja.
***Devan menunda pekerjaannya yang mulai menumpuk. Dia meraih smartphone, mencari website Hotel berdasarkan rating tertinggi di internet yaitu Crowne Luxury . Walaupun pada awalnya dia menanggap omong kosong saran dari anggota grup tadi, tapi apa salahnya dicoba.Devan menghampiri Raina yang sedang main games Uncle the horor. Devan Ingin memberitahu sesuatu, tapi Raina terlalu larut dalam permainan, membuat Devan terhenti haya untuk melihat raut wajah Raina saat bermain. Devan merasa aneh, padahal Raina sendiri yang memilih permainan, tapi saat hantunya muncul dia tutup mata, sambil bergedig takut. Jangan lupakan juga backsound games tersebut yang creepy. Devan duduk di samping Raina. "Seru banget, ya?""Eh, Bang Devan. Udah selesai makannya?""Iya udah."
Devan menyadari Raina tak ada di ranjang. Saat membuka mata, dia hanya melihat Zian yang terlelap tidur dengan wajah yang polos. Devan melirik ke sisi jendela, ada cahaya lampu dari luar dan di sana juga dia melihat Raina duduk sambil menatap ke jendela.Wanita itu berwajah sendu. Devan mampu menangkap kesedihan darinya. Tanpa dia sadari, dia mulai tak rela melihat Raina bersedih.Devan bangkit dan mendekat pada Raina. Melihat wajah wanita itu dari samping, membuat kekaguman di dalam hati yang tak sudi dia utarakan. Dia masih bersikeras meyakini bahwa perasaan ini adalah hanya sebatas kasihan semata.Devan menaruh tangan di bahu Raina. "Kenapa gak tidur?"Raina terperanjat atas kehadiran Devan, terlebih pria itu memegang bahunya. "Gak tahu, susah tidur.""Ada yang dipikirkan?"Raina terdiam sejenak lalu kembali menatap ke arah luar, ka
Sore ini, Devan pergi ke Jatinegara menemui seseorang yang sangat dekat dengannya di masa lalu. Tangannya menjinjing buah tangan, berbagai jenis makanan yang empuk. Karena dia yakin, kalau dikasih makanan yang keras sedikit yang punya rumah pasti menggerutu."Assalamualaikum."Sebenarnya, pintu terbuka setengah dari tadi. Devan bisa melihat orang tersebut duduk di tikar, mungkin orang itu berkurang pendengarannya. Devan tersenyum, membuka pintu lebih lebar, bersimpuh mendekati seorang kakek."Assalamualikum.""Waalaikumsalam. Ini Sape ye?" tanya Kong Darul sambil membenarkan kaca mata.Devan meraih tangan Kong Darul, sungkem. "Ini Devan, Kong." Devan duduk bersila kaki."Eh, elu kirain sape. Samar-samar tadi muke lu, tong.""Engkong sehat? Maaf baru bisa mampir ke sini, nengokin engkong."Dev
Pagi, dan ini hari minggu. Suara denting piano terdengar dari lantai satu rumah Devan. Warmes on the soul judul yang ia bawakan. Baru pertama memainkannya. Dia tahu, Raina suka memutar lagu tersebut lewat ponsel. Itu lagu itu untuk istrinya.Raina menuruni anak tangga, menggendong Zian, permainan Devan memanjakan telinganya, tapi tidak merubah rasa kecewa yang ia kubur hingga terlelap tidur. Dirinya masih menggunakan piama, rambutnya terikat asal. Dia menghampiri Devan, dengan tampang kusut."Habis begadang, ya?" Devan menghentikan permainannya, dia lebih memilih menyapa istrinya."Iya. Maaf Raina gak tahu Abang udah pulang, belum ada sarapan, mau sarapan apa?""Santai saja, kamu juga keliatannya masih ngantuk dan aku juga belum lapar."Tidak tidur semalaman membuat Raina tidak fokus, bahkan untuk merencanakan kegiatan di pagi hari dia kesulitan. K
Raina tidak bisa dipaksa. Bukan hanya karena Raina tidak suka. Akan tetapi traumanya bisa saja kembali jika diperlakukan kasar. Bayangan kejahatan Dhaka bisa muncul, membuat dada terasa sesak. Raina akan mengalami ketakutan berlebihan. Semua itu terjadi saat ini. Dan Devan tidak menyadari itu.Dua detik setelahnya, Devan melepas cengkramannya pada Raina. Merasa Raina semakin menjadi untuk menolaknya, dia menyerah. Devan beranjak dari ranjang lalu keluar kamar. Pintu yang tidak berdosa jadi sasarannya, saat tertutup dengan kuat.Raina terperanjat mendengar suara pintu itu. Rasa kesal suaminya sampai pada hatinya. Mungkin Devan akan pergi lagi seperti biasa. Raina menyibak selimut bergegas mengikuti Devan.Dugaan Raina salah, Devan tidak ke mana-mana hanya duduk di sofa. Raina melihat sudah ada segelas air putih di meja, bekas Devan minum.Raina menatap Devan lekat, sampai Devan p
Devan sedang berada di Restoran tempat dia biasa makan siang. Saat menunggu menu pesanan datang, dia membuka ponsel untuk mengecek CCTV yang terhubung ke ponselnya. Beberapa hari lalu, dia sengaja memasang di rumahnya. Berharap memergoki Dhaka datang ke rumah, tapi hal itu tidak terjadi. Malahan yang ada, dia merindukan Raina yang terlihat mondar mandir di rumah sambil menjaga Zian. Dia melihat wanita itu memainkan gitar saat Zian terlelap tidur. "Boleh duduk?"Devan mendengar suara anggun seorang wanita menyapanya. Dia mendongak meskipun hafal suara siapa itu. "Kamu ... kenapa bisa ada di tempat ini?""Aku tahu kamu suka makan siang di sini."Devan mendengkus, dia menyesap kopi yang datang lebih dahulu dari tadi.Kirana duduk berhadapan dengan Devan, meskipun dia sendiri tidak mendengar Devan mengijinkannya duduk.
Ponsel Raina berbunyi, itu chat dari Naya. Biasanya teman Raina itu cuma mengirim pesan jika sedang ingin curhat antara dia dan pacarnya. Namun kali ini beda, Raina hampir saja menjatuhkan ponsel sesaat setelah membaca ponsel itu. "Rain, barusan aku lihat lakimu masuk ke restoran bareng cewek cantik." "Yang benar? Kamu salah lihat kali." Raina membalas dengan tangan bergetar. "Awalnya aku juga takut salah orang, tapi setelah diteliti emang itu suamimu." "Ada fotonya, gak?"
Devan terbangun dari tidur. Dia mendapati Raina masih memeluk dirinya. pegal. "Rain, minggir aku mau mandi!"Raina tidak merespon, napasnya yang berburu tidak beraturan menandakan dia masih pulas. Devan perlahan melepas tangan Raina yang melingkar ke perutnya.Devan duduk di kasur dengan rambut yang acak-acakan. Dia tidak langsung turun untuk mandi malahan menatap ke arah istrinya yang masih pulas. Wajah wanita itu seperti kesejukan di pagi hari, menenangkan mata yang melihatnya.Devan tertegun mengingat dia sudah gagal melindungi wanita itu. Sebelum dia bicara langsung dengan Dhaka, dia tidak pernah bisa puas. Rasa cemburu menguasai diri, menjadikan dirinya sangat egois.Devan baru sadar, salah satu foto di kamar ini hilang. Ada bagian dinding yang kosong yang harusnya di isi satu foto lagi. Dia mencoba mengingat foto yang mana yang hilang. Akan tetapi lamunannya bu
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat