"Jika Raina pergi, pasti dia akan membawa Zian pergi juga, ibu gak ingin itu terjadi. Sementara Dhaka, anak itu keberadaanya saja gak tahu di mana." April berkata sambil melanjutkan pekerjaan dapur yang sempat tertunda.
Devan terdiam.
"Ibu mohon sama kamu, supaya lebih memahami kondisi ini. Kamu tahu sendiri, hubungan Raina dan keluarga angkatnya kaya gimana, hanya Almarhumah Bu Fatma yang baik sama Raina. Jika Zian tinggal di sana, ibu gak bisa lihat perkembangan mental Zian seperti apa, terlebih Raina masih sangat labil jika dilihat dari usia dan kondisi keluarga angkatnya itu."
Devan ingin sekali berkata bodo amat untuk masalah Raina, tapi takut kualat sama ibunya. Akhirnya, dia memilih mengangguk-angguk saja. Formalitas, supaya April tak membahas itu lagi.
"Lagipula Raina wanita yang baik."
"Semua orang yang hidup menumpang, bisa mendadak jadi baik, Bu."
"Astaga Devan ...."
"Kalau beneran baik, gak mungkin juga cewek itu hamil duluan."
"Ibu memang gak tahu Raina dan Dhaka dulu kaya gimana. Tapi, Van, tolong perlakukan dia dengan baik setidaknya untuk saat ini, kita mencegah supaya dia tidak terkena baby blues. Ini semua kita lakukan demi Zian juga."
"Baby blues, apaan lagi itu?" tanya Devan semakin mumet. Belum pernah dia ML dengan wanita tapi harus tahu masalah seperti ini.
April menjelaskan sambil tangannya mengaduk sayur daun katuk untuk kesuburan ASI Raina. "Semacam syndrom pasca melahirkan, Seperti kecemasan dan kesedihan yang tiba-tiba, dia akan lebih sensitif. Tapi, jika berkelanjutan berarti sudah termasuk Postpartum depression, kalau itu__ "
"Udah, Bu jangan dijelaskan lagi, please!"
April menghela nafas panjang.
"Oke, dia memang gadis cantik dan baik versi Ibu. Tapi jangan lupakan juga dia itu milik Dhaka."
"Dhaka dan Raina sudah berakhir, kita semua gak tahu Dhaka ada di mana."
"Hubungan mereka boleh saja berakhir. Tapi perasaan Raina buat Dhaka belum tentu berakhir. Apa ibu udah mikirin sampe situ?"
April tidak menjawab, sejenak dia terlalut dalam lamunan akan hal itu. April menuangkan sayur katuk pada mangkuk yang barusan dia ambil. "Tolong berikan ini pada Raina, sekalian kalian pendekatan."
Devan merasa ibunya keras kepala karena selalu tidak peduli dengan pendapatnya. Sejenak dia terdiam. Namun akhirnya, dia mengalah juga. "Sini!"
"Jangan lupa perlakukan Raina dengan baik."
"Iya ... Iya."
Devan pun melangkah menemui Raina ke ruang keluarga. Walaupun tadi dia tidak mau mendengar lebih lanjut ibunya menjelaskan tentang Postpartum depression, tapi Devan khawatir juga hal itu terjadi.
Zian tidur pulas di kasur bayi saat Devan datang. Sementara Raina berada disamping bayinya sedang asik mengupas telur rebus.
Wanita itu tidak menyadari Devan sudah berada di depannya. Tahu-tahu sudah ada sayur hangat di meja. Sementara, mulutnya masih penuh oleh satu butir telur yang ia lahap.
Devan terperanjat, melihat cara makan Raina yang sekali hap seperti ular piton. Bahkan mata wanita itu kemerahan menahan seret di tenggorokan.
Devan duduk di samping Raina, tapi masih memberi jarak lumayan jauh pada posisi duduknya, Devan melihat ada 10 butir telur ayam di meja. "Rain, kamu sedang mukbang?"
Sindiran Devan membuat Raina tersedak, dia sudah malas memisahkan putih dan kuning telur, hingga memakannya bulat-bulat tanpa ragu. Segera dia minum supaya semua yang ada di mulutnya tertelan. "Aku hanya bosan makan telur, tadinya biar cepat habis. Tapi malahan seret di tenggorokan."
Devan tersenyum geli. "Kamu bisa kolesterol kalau kebanyakan makan kuning telur."
Raina mengabil wadah di meja mengupas lalu mesiahkan kuningnya, menyerahkan wadah itu pada Devan. "Abang mau kuningnya?"
"Kamu pikir, aku ke sini cuma mau minta kuning telur?" Devan semakin terkekeh.
"Enggak, sih. Mubazir aja kalau gak ada yang makan."
"Pisahkan aja dulu semua! Nanti aku, ibu, sama ayah gotong royong makan kuningnya."
Sekarang giliran Raina yang terkekeh mendengar ucapan Devan. Membayangkan mertuanya ikut andil mencegah terbuangnya kuning telur. Keluarga yang kompak.
Sebenarnya, dari kemarin Devan makan kuning telur yang dipisahkan Raina, hingga buang ainginnya pun berubah menjadi aroma telur. April bilang, jangan sampai kuning telur itu mubazir, alhasil dia lah yang jadi korban.
Dua kali Devan melihat Raina tersenyum. Sepertinya, wanita itu sudah tidak semuram saat pertama kali tinggal di rumah ini. Saat masih membawa bayi di dalam perut.
"Yang sabar aja, namanya juga proses penyembuhan luka. Jangan lupa ekstrak gabusnya juga diminum."
"Iya, Bang."
"Rain, tadi aku ngobrol sama ibu. Katanya, dia ingin kita benar-benar nikah. Kamu tahu sendiri kan, ijab qobul saat hamil itu gak sah. Semuanya hanya palsu."
Raina mulai menatap mata Devan, seolah menaruh minat akan perbincangan mereka. "Terus, menurut Abang gimana?"
"Tapi, tenang saja. Semua permintaan ibu gak akan terjadi. Sebelum Ibu dan Ayah mendesak lagi. Aku bakal nemuin Dhaka. Nanti selanjutnya, biar jadi urusan kalian."
Raina tidak menjawab, meski dalam isi kepalanya banyak yang ia ingin utarakan. Sejujurnya, setiap Devan mengucapkan nama Dhaka tubuh Raina gemetar ketakutan, cuma dia tahan-tahan.
"Bagaiman? kamu bakal balikan sama Dhaka 'kan, jika dia ada di sini?"
Dengan ragu Raina berkata iya. Raina sendiri tidak mengerti mengapa dia berkata iya. Mungkin, karena takut dengan ancaman Dhaka. Dia tidak berkata sejujurnya, bahwa dia bukanlah pacar Dhaka. Akan tetapi korban perundungan Dhaka saat kuliah, hingga berujung pelecehan. Hal itu yang membuat Raina tidak melanjutkan kuliah, padahal baru semester awal.
Devan melihat jam tangannya. Mengakhiri obrolannya dengan Raina. "Aku ke kamarku dulu, ya."
"Oke. Baiklah. Ngomong-omong, makasih sayurnya udah dianterin."
"Heem."
Pandangan Raina dengan alami mengikuti arah Devan melangkah pergi. Seolah, dia masih ingin Devan tetap ada di sini, sebentar lagi saja.
Raina pun tidak mengerti mengapa sifat Dhaka dan Devan berbeda jauh, padahal mereka saudara kandung.
***Saat itu, jelas sekali Raina mendengar dari Devan langsung, bahwa tidak akan ada pernikahan yang sah antara mereka. Devan akan mencarikan Dhaka untuknya. Supaya Dhaka yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada Raina.
Tapi beberapa bulan kemudian, tepatnya saat Zian berusia enam bulan, dia ijab qobul kembali bersama Devan. Supaya tidak bertentangan dengan ajaran yang keluarga Petra yakini. Cukuplah kejadian di masa lalu bersama Dhaka menjadi pelajaran bagi keluarga Petra.
Dia tidak tahu hal apa yang membuat Devan berubah pikiran. Namun yang jelas, dia bisa melihat raut wajah Devan saat ini, bukan raut wajah bahagia. Bukan juga raut wajah tegang khas pengantin baru. Kantung mata yang hitam, serta kerutan di dahi pria itu mempertegas bahwa semua ini adalah paksaan.
Raina lalu memperhatikan pria yang berada disebelah Devan. Aura otoritas begitu terasa, pria satu-satunya yang tidak bisa dibantah keinginannya oleh Devan. Petra Andrean Lubis, Ayah Devan.
Tanpa harus berpikir lama Raina sudah mampu menyimpulkan bahwa semua ini kehendak Pak Petra.
Raina juga tidak bisa menolak. Dirinya memiliki kesepakatan aneh dengan keluarga angkatnya. Karena setelah pernikahan dia tidak bisa kembali pada keluarga angkatnya tersebut. Setidaknya, dia tidak tahu harus pulang ke mana jika bukan bersama Devan. Itu sama saja mengusirnya secara halus, melalui jalan pernikahan. Wajar saja, Bu Fatma yang mengangkat Raina sudah wafat.
Hari ini, Devan dan Raina resmi menikah, dengan wali hakim sebagai walinya.
***Devan membawa Raina pulang di rumah baru mereka. Rumah yang dibeli 4 tahun yang lalu oleh Devan. Namun, tidak jadi ditempati karena sesuatu hal. Kini rumah itu, dirapikan kembali, di isi oleh perabot dan furnitur yang baru, tidak lupa di cat ulang.
Meski rumah pribadi Devan, bukan Devan yang mengurus itu semua. Melainkan April dan Petra, mereka ingin cucu mereka Zian, mempunyai tempat tinggal yang baik. Devan sendiri masa bodo untuk mengurusnya, meski rumahnya sendiri nyaris menjadi rumah hantu karena sudah kosong selama 4 tahun. Ada kenangan buruk yang membuat Devan menjadi seperti itu.
"Masuk, Rain!" Ajak Devan di rumah baru mereka.
Raina mengedarkan pandangan. Dia suka dengan selera Devan yang memilih desain interior rumah dengan konsep dinamis. Tidak banyak aksen, namun tidak melupakan aspek estetika, dengan kombinasi warna hijau pastel gradasi army, dan juga putih.
Selanjutnya, mata Raina terpaku pada piano upright warna putih. Piano akustik tipe XA, dengan body yang slim, sehingga tidak makan banyak tempat.
"Itu hadiah dari ayah, tahun lalu." Devan menjelaskan karena Raina menatap lekat pada alat musik kesayangannya.
"Oh, aku baru lihat piano upright tapi desainya slim seperti piano elektrik, bahkan ini lebih cantik dari grand piano." Raina terbiasa melihat piano grand atau upright yang berukuran besar di konser.
"Itu tipe XA-35. Pertama keluar tahun 2019. Sebetulnya, tipe itu adalah desain asli dari Indonesia yang dilombakan di Eropa. Memang tujuannya bikin alat musik akustik yang minimalis."
"Oh, begitu." Mata Raina masih lekat menatap, ingin berkata ingin mencoba memainkannya, tapi tidak berani.
Devan langsung menjelaskan, karena tahu Raina akan paham. Selain pandai bernyanyi, Ayah angkat Raina seorang pemain musik, pasti sedikit banyak mereka pernah mengobrol.
Devan lalu duduk di sofa. Semangatnya hilang untuk merapikan barang. Meski dirinya sudah mulai akrab dengan Raina, bukan berarti Devan membuka hatinya begitu saja. Devan masih menganggap Raina adalah wanita milik Dhaka. Raina hanya menumpang di rumahnya untuk bertahan hidup.
"Abang, titip Zian dulu! Biar aku aja yang merapikan barang bawaan." Raina menaruh Zian pada stroller.
"Iya, silakan. Kamar kita ada di sebelah sana." Devan menunjuk satu ruangan yang berada di lantai dua.
Raina mengangguk sambil melihat ke ruangan yang Devan tunjuk. "Ya udah, aku ijin ke kamar itu, ya, Bang."
"Gak usah pakai ijin segala, itu juga 'kan kamar kamu."
Raina tersenyum kaku.
Setelah selesai merapikan barang bawaan, Raina berinisiatif membuatkan secangkir kopi untuk Devan, ditaruhnya kopi itu di meja yang ada di hadapan Devan. Tidak ada kalimat terimakasih, yang terucap. Hingga kopi itu mendingin dan utuh meski sudah satu jam berlalu.
Hanya handphone yang menjadi pusat perhatian Devan. Entah sedang menghubungi siapa atau melakukan apa. Raina hanya bisa melihatnya dalam jarak satu meter, tanpa berniat bertanya.
***Raina tidak habis pikir, kenapa Devan tidak diskusi dulu tentang pernikahan sah mereka jika pada akhirnya mendiamkan dia seperti ini. Mungkin saja hanya demi Zian supaya bisa hidup lebih layak, karena tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal bagi Raina selain itu. Raina mendapatkan kehidupan yang layak dan nafkah yang cukup bersama Devan. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan hati laki-laki itu. Raina mendekati Devan. Dia ingin berbicara banyak hal, tapi dia bingung memulainya dari mana. Sehingga dari tadi hanya mengekor ke mana Devan pergi, ke dapur untuk minum ataupun menunggu di depan pintu kamar mandi. Hal itu cukup membuat Devan risi karena Raina hanya mengikutinya tanpa berkata apa-apa.
Raina tertegun atas ulah Devan. Mungkin pria ini kerasukan atau sekadar kedinginan, atau mungkin juga karena sempat terlalu lama menjomblo. Yang jelas, Raina merasa tubuhnya sesak dan bergerak gelisah dalam pelukan itu."Rain!"Raina gemetar saat Devan memanggil namanya dalam jarak sangat dekat. "Kenapa?""Request sambel goreng juga, ya! Terus cepetan masaknya, jangan pakai lama.""Katanya angetin yang ada aja?""Cuma tambah sambal aja, kok. GPL!""Ya udah, kalau disuruh GPL lepas dulu pelukannya. Apa Bang Dev nyuruh aku masak di kamar?"Devan melonggarkan pelukan dengan ekspresi biasa saja. "Sorry.""Titip Zian, ya! Kalau dia bangun bawa aja ke bawah!"Raina tergesa-gesa menuju dapur. Hatinya belum benar-benar stabil akibat pelukan dadakan yang dilakukan oleh suaminya.
Mata Kirana lekat menatap Raina yang sedang mencuci piring sehabis makan bersama tadi. Iri, harusnya dia yang menjadi tuan rumah. Membuat sarapan tiap hari untuk Devan adalah impiannya. Apalagi Kirana pintar masak. Dia ragu, apakah bocah yang hamil diluar nikah seperti Raina bisa masak sehebat dirinya.Raina lebih cantik darinya. Kirana sangat yakin, Devan tidak akan berpikir dua kali untuk jatuh cinta pada Raina, kalau saja Raina tidak berlaku keji di masa lalu bersama Dhaka, hingga hamil diluar nikah."Raina, numpang ke kamar mandi bentar, ya!" Senja datang menghampiri."Kamar mandinya sebelah sini, Mbak." Raina berjalan ke arah kamar mandi menunjukan letak kamar mandi pada Senja."Oke, makasih, Rain." Senja masuk ke kamar mandi, sambil membawa Fanza, karena Fanza pup.Raina kembali ke wastafel, ternyata Kirana sudah menggantikan mencuci piring, membuat R
Devan menunda pekerjaannya yang mulai menumpuk. Dia meraih smartphone, mencari website Hotel berdasarkan rating tertinggi di internet yaitu Crowne Luxury . Walaupun pada awalnya dia menanggap omong kosong saran dari anggota grup tadi, tapi apa salahnya dicoba.Devan menghampiri Raina yang sedang main games Uncle the horor. Devan Ingin memberitahu sesuatu, tapi Raina terlalu larut dalam permainan, membuat Devan terhenti haya untuk melihat raut wajah Raina saat bermain. Devan merasa aneh, padahal Raina sendiri yang memilih permainan, tapi saat hantunya muncul dia tutup mata, sambil bergedig takut. Jangan lupakan juga backsound games tersebut yang creepy. Devan duduk di samping Raina. "Seru banget, ya?""Eh, Bang Devan. Udah selesai makannya?""Iya udah."
Devan menyadari Raina tak ada di ranjang. Saat membuka mata, dia hanya melihat Zian yang terlelap tidur dengan wajah yang polos. Devan melirik ke sisi jendela, ada cahaya lampu dari luar dan di sana juga dia melihat Raina duduk sambil menatap ke jendela.Wanita itu berwajah sendu. Devan mampu menangkap kesedihan darinya. Tanpa dia sadari, dia mulai tak rela melihat Raina bersedih.Devan bangkit dan mendekat pada Raina. Melihat wajah wanita itu dari samping, membuat kekaguman di dalam hati yang tak sudi dia utarakan. Dia masih bersikeras meyakini bahwa perasaan ini adalah hanya sebatas kasihan semata.Devan menaruh tangan di bahu Raina. "Kenapa gak tidur?"Raina terperanjat atas kehadiran Devan, terlebih pria itu memegang bahunya. "Gak tahu, susah tidur.""Ada yang dipikirkan?"Raina terdiam sejenak lalu kembali menatap ke arah luar, ka
Sore ini, Devan pergi ke Jatinegara menemui seseorang yang sangat dekat dengannya di masa lalu. Tangannya menjinjing buah tangan, berbagai jenis makanan yang empuk. Karena dia yakin, kalau dikasih makanan yang keras sedikit yang punya rumah pasti menggerutu."Assalamualaikum."Sebenarnya, pintu terbuka setengah dari tadi. Devan bisa melihat orang tersebut duduk di tikar, mungkin orang itu berkurang pendengarannya. Devan tersenyum, membuka pintu lebih lebar, bersimpuh mendekati seorang kakek."Assalamualikum.""Waalaikumsalam. Ini Sape ye?" tanya Kong Darul sambil membenarkan kaca mata.Devan meraih tangan Kong Darul, sungkem. "Ini Devan, Kong." Devan duduk bersila kaki."Eh, elu kirain sape. Samar-samar tadi muke lu, tong.""Engkong sehat? Maaf baru bisa mampir ke sini, nengokin engkong."Dev
Pagi, dan ini hari minggu. Suara denting piano terdengar dari lantai satu rumah Devan. Warmes on the soul judul yang ia bawakan. Baru pertama memainkannya. Dia tahu, Raina suka memutar lagu tersebut lewat ponsel. Itu lagu itu untuk istrinya.Raina menuruni anak tangga, menggendong Zian, permainan Devan memanjakan telinganya, tapi tidak merubah rasa kecewa yang ia kubur hingga terlelap tidur. Dirinya masih menggunakan piama, rambutnya terikat asal. Dia menghampiri Devan, dengan tampang kusut."Habis begadang, ya?" Devan menghentikan permainannya, dia lebih memilih menyapa istrinya."Iya. Maaf Raina gak tahu Abang udah pulang, belum ada sarapan, mau sarapan apa?""Santai saja, kamu juga keliatannya masih ngantuk dan aku juga belum lapar."Tidak tidur semalaman membuat Raina tidak fokus, bahkan untuk merencanakan kegiatan di pagi hari dia kesulitan. K
Raina tidak bisa dipaksa. Bukan hanya karena Raina tidak suka. Akan tetapi traumanya bisa saja kembali jika diperlakukan kasar. Bayangan kejahatan Dhaka bisa muncul, membuat dada terasa sesak. Raina akan mengalami ketakutan berlebihan. Semua itu terjadi saat ini. Dan Devan tidak menyadari itu.Dua detik setelahnya, Devan melepas cengkramannya pada Raina. Merasa Raina semakin menjadi untuk menolaknya, dia menyerah. Devan beranjak dari ranjang lalu keluar kamar. Pintu yang tidak berdosa jadi sasarannya, saat tertutup dengan kuat.Raina terperanjat mendengar suara pintu itu. Rasa kesal suaminya sampai pada hatinya. Mungkin Devan akan pergi lagi seperti biasa. Raina menyibak selimut bergegas mengikuti Devan.Dugaan Raina salah, Devan tidak ke mana-mana hanya duduk di sofa. Raina melihat sudah ada segelas air putih di meja, bekas Devan minum.Raina menatap Devan lekat, sampai Devan p
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat