Devan menaruh bungkusan warna putih. Tulisan mandarin dan logo brand di plastik tersebut membuat Raina tidak perlu bertanya untuk tahu isinya.
"Ini obat cina yang aku ceritain kemarin. Ada 6 kapsul, diminum setiap mau tidur, kata temanku proses penyembuhan luka caesar bakal cepet." Devan tidak tahu hal seperti ini, jika bukan dari temannya yang dengan inisiatif memberitahu duluan.
"Iya, makasih."
"Aku juga beli ekstrak gabus buat kamu, kamu kan gak suka makan ikan gabus langsung. Jadi gantinya ini."
"Iya, nanti bakalan aku minum," jawab Raina.
Beberapa saat mereka terdiam, pandangan mata Devan masih tertuju pada plastik yang sudah dia taruh di nakas. Seolah, ingin mengatakan sesuatu namun tertahan.
Raina tahu ada hal lain yang ingin Devan sampaikan, tapi dia pun tidak berani untuk bertanya.
Hingga akhirnya, Devan pun berkata, "Rain, ingat! Kamu harus cepat pulih! Dan, nanti tolong cepatlah pergi!"
Tadi siang, dia mendapatkan informasi dari temannya, bahwa Kirana mantan pacar Devan sudah tinggal kembali di Jakarta. Sebelumnya, Kirana pindah ke Riau dan menjalankan hubungan dengan pria lain, tapi semuanya baru saja berakhir.
Devan ingin kembali, semua itu tidak akan terwujud jika dia masih bersama Raina, yang diketahui semua orang adalah istrinya. Devan tidak bisa membayangkan reaksi Kirana, jika dia nekad ingin kembali, sementara ada Raina di sisinya.
"Kamu bisa pergi kapan pun kamu mau. Ingat, ijab qabul saat mengandung itu tidak sah. Aku kasih toleransi beberapa bulan buat kamu tinggal di sini."
Rain mengangguk. "Tenang saja, aku juga ingin cepat pulih. Aku juga janji akan pergi."
"Jangan bilang-bilang sama sama Ibu bahwa aku bilang kaya gini sama kamu!"
Raina mengangguk. Walau sebenarnya, dia sendiri kebingungan nantinya akan seperti apa hidupnya membesarkan anak seorang diri.
Raina tahu dari awal, bentuk perhatian apapun dari Devan, hanya untuk menebus rasa bersalah karena perbuatan adiknya menghamili Raina. Pak Petra, Ayah Devan meminta agar Devan bisa bersama Raina selamanya. Namun, Devan menolak. Cukup sampai Raina pulih total dan bisa secara mandiri mengurus bayi.
Sementara, Dhaka yang menjadi biang masalah. Batang hidungnya saja tidak kelihatan. Dia kabur, dan menimpakan semua tanggung jawab pada kakaknya.
"Kamu beneran gak tahu Dhaka ada di mana, Rain?"
Raina mendengkus, Devan sering bertanya hal yang sama padanya, padahal dirinyapun dirugikan. "Tidak."
"Kamu jujur?"
"Iya, tentu aja."
Devan tidak bertanya lagi, hanya menatap lekat pada Raina memberi isyarat bahwa Raina akan kena masalah jika dirinya bohong tentang keberadaan Dhaka.
Sebelum keluar dari kamar, Devan melirik bayi di samping Raina. Tertegun, sering dia melihat di berita online atau surat kabar, bayi dibuang oleh orang tuanya. Mungkin saja, hal serupa akan dilakukan Raina jika dia menghadapi sendiri aibnya.
Devan membungkuk demi dapat melihat Zian lebih dekat. Tersenyum kecil, saat melihat hidung Zian yang mancung, dan pipinya yang cuby. Ingin menyentuh wajahnya, tapi Devan khawatir membuat Zian terbangun. Devan pun pergi.
Setelah Devan menutup pintu, Raina melanjutkan aktivitas menjaga Bayinya. Lantas, menggapai obat yang dibawakan Devan tadi, lalu meminumnya. Bagaimana pun Raina berterimakasih karena sudah diijinkan tinggal di rumah ini, terlepas dari apa pun tujuan sebenarnya Devan.
***Sisa hujan semalam masih terasa, udara lumayan dingin di pagi ini. Raina melihat jam ditangannya menunjukan pukul delapan, dia sudah bersiap-siap untuk pergi kontrol sekaligus mengganti perban di Rumah Bersalin Karya Bunda.
"Rain, kamu udah siap? Ayo pergi sekarang!" ajak Devan.
"Iya." Raina menjawab singkat, lalu mengikuti langkah Devan menuju parkiran mobil.
Mereka tidak banyak bicara saat perjalanan, jika tidak teralu penting keduanya memilih untuk diam. Bukan karena Raina orang yang pendiam, sebenarnya dia cukup supel dan menyenangkan. Akan tetapi, keadaan mereka yang tidak berniat saling mengenal lebih jauh.
20 menit di perjalanan. Kini mereka sedang menunggu antrian. Disebelah bangku kiri dan kanan mereka duduk, terdapat pasangan yang sedang mengantri juga, membuat sedikit iri dihati Raina, karena terasa harmonis sementara dirinya sebaliknya.
Raina kemudian menatap Devan diam-diam. Mencoba membaca apa yang Devan fikirkan saat ini. Tapi wajah pria itu hanya datar. Raina berpikiran mungkin saja dirinya adalah orang yang paling Devan benci. Tiba-tiba hadir lalu mengusik kehidupannya.
"Antrian nomer 7 Ibu Raina." Perawat memanggil, kemudian Raina dan Devan masuk. Saat itu, Raina tidak membawa bayinya dia menitipkan pada Bu April, dengan stock Asi di freezer.
"Selamat pagi, Bu Raina. Silakan duduk!"
"Selamat pagi, baik. Makasih, dok."
"Bagaimana ada keluhan? Obatnya teratur diminum 'kan?"
"Tidak ada, hanya masih kaku jika dibawa gerak."
"Oke, jagan dulu dibawa aktivitas berat. Pekerjaan rumah bisa dibantu sama suaminya dulu, iya kan, Pak!?" Dokter mulai menatap Devan.
Devan menelan ludah, merasa canggung. Dia tidak nyaman dengan status bapak satu anak. "Iya," jawab Devan pelan.
"Sekarang berbaring dulu, Bu. Kita akan cek jahitan di perutnya."
Raina mengikuti intruksi, berbaring dan mengangkat baju hingga terlihat jelas luka jahitan operasinya. Suster telah membantu melakukan itu semua.
Tibalah Dokter membuka perban anti air itu, kemudian melambaikan tangan pada Devan. "Kemari, Pak! Coba lihat bekas lukanya!"
Devan berdebar, pertama kali melihat perut Raina. Dia terpaksa melakukannya.
"Jahitanya bagus, lukanya cepat kering. Nanti, bekasnya lama-lama akan mengikuti warna kulit asli. Saya akan pasang perban anti air lagi, jadi bisa mandi ya, Ibu Rainanya. Kontrol tiga hari kedepan jika dirasa sudah tidak perlu pakai perban. Tidak perlu pakai lagi, Oke!"
Devan hanya mengangguk, dia yang biasanya fokus tiba-tiba blank gara-gara disuruh melihat perut Raina. Entah apa yang nyangkut di otaknya saat melihat perut Raina, hingga mengabaikan luka di perut wanita itu.
"Tugas istrinya sekarang, lanjut banyakin makan putih telur kalau bosen bisa sekali-kali gantian makan ikan gabus."
"Oke, dok."
***"Rain!" Sapa Devan tiba-tiba saat mengemudi.
"iya?"
"Emm ... tadi Dokter bilang kontrol kapan ya? Aku lupa."
Raina mengerutkan dahi, mana mungkin Devan lupa hal yang baru saja disampaikan padanya. "Tiga hari kedepan, nanti kalau sudah bagus tidak usah pakai perban dan minum obat dari dokter lagi."
"Oh."
"Tumben, Bang Devan lupa?" tanya Raina.
"Dokter sialan itu malah suruh aku lihatin perut kamu, mana bisa aku konsen."
Wajah Raina memerah, dia merasa malu. Raina tidak berniat melanjutkan percakapan, saling berdiam diri seperti biasanya, sepertinya lebih baik.
Cuaca mendung selama perjalanan pulang. Raina memandang ke luar jendela, dan merasa senang saat gerimis mulai turun. Raina tersenyum, mengenang memori masa kecil yang senang bermain di bawah gerimis.
Saat mengemudi, Devan sempat melirik Raina. Baru pertama kali dia melihat wanita itu terseyum. Dan baru dia sadari, senyum Raina sangat indah.
***Sore ini, Bu April menyiapkan perlengkapan mandi bayi Raina. Raina hanya melihat dari belakang dengan rasa berdebar."Kamu mau coba mandikan sendiri, Rain?"
"Em ... belum bisa, Bu! Besok aja, ya!"
"Perasaan besok-besok terus. Yah, gak bakal bisa-bisa kalau kamu gak mulai coba. Nanti setelah kamu pindah ke rumah Devan yang baru harus bisa sendiri, loh. Apa mau sama baby sitter?"
"Enggak lah, Bu. Raina mau sendiri, kok. Cuma masih deg-degan aja kalau mandiin."
Bu April tersenyum.
"Ya, udah Raina coba mandiin Zian ya, Bu."
"Nah, gitu, dong!"
Bu April merangkul Raina, hal semacam itu rupanya mampu membuat perasaan Raina menjadi hangat. Karena di rumahnya yang dahulu dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Raina menjadi merindukan ibu angkatnya, Almarhumah Bu Fatma, yang sudah meninggalkan dirinya saat masih SD.
Setelah selesai memandikan dan memakaikan Zian baju, Raina membawa Zian ke kursi teras depan rumah untuk bersantai di situ. Tempat favorit Raina, karena area depan rumah ini sangat asri dengan tanaman hias yang tertata rapi.
Raina menghentikan langkah, rupanya sudah ada Devan yang menempati kursi itu. Raina berpikiran untuk kembali ke kamar karena tak nyaman bertemu dengan Devan, terlebih pria itu sedang melakukan panggilan telepon.
Devan melirik Raina, lalu mengakhiri panggilan itu. "Udah dulu, ya. Sampai ketemu nanti."
Raina mendadak penasaran Devan bertelepon dengan siapa. Devan tersenyum dengan hangat pada si penerima telepon. Senyum yang tidak pernah dia dapatkan selama ini dari Devan.
"Eh, kamu, Rain. Zian baru mandi, ya? Ganteng banget."
"Iya."
Devan bangkit menghampiri. "Wah, harum sekali kami, Zian." Devan mengelus sedikit pipi Zian.
"Abang Mau pergi?" tanya Raina, saat tersadar Devan lebih rapi dari biasanya.
"Iya ada urusan bentar. Aku jalan dulu."
"Iya, hati-hati di jalan."
Raina tersenyum, akhirnya dia dapat tempat duduk yang dia inginkan.
***"Kirana, aku mau kita balikan!" ucap Devan pada Kirana, yang sengaja dia temui di sebuah taman tidak jauh dari rumah Kirana.
"Jangan gila, Van. Baru aja kamu nikah beberapa bulan lalu sama wanita lain, sekarang ngajak balikan. Apa kamu pikir, aku tidak tahu tentang itu?"
"Semuanya, gak seperti yang kamu pikirkan."
"Ckk ... bahkan kalian sudah punya anak."
"Itu bukan anak aku, itu anak si berengsek Dhaka."
Kirana menautkan alis, sejurus kemudian mengibaskan tangan ke udara. "Udah lama gak ketemu, kenapa sekarang kamu jadi buaya gini sih, Devan? Gak usah lempar batu sembunyi tangan juga kali."
"Makannya kamu dengerin cerita aku dulu. Ini memang dirahasiakan sama keluarga. Aku jujur, itu anak si Dhaka."
Suara ponsel Devan beberapa kali berbunyi, Devan mengabaikan dan menggeser logo merah, untuk menghentikan panggilan.
"Angkat dulu teleponmu!" Kirana berkata, saat mendengar ponsel Devan lagi-lagi berbunyi.
"Gak usah, biarkan saja, nanti."
"Dari istri kamu?"
"Bukan, itu telepon dari Ibu."
"Aku pulang sekarang, kayanya kamu lagi sibuk-sibuknya sama bayi kalian." Kirana bangkit, melangkah pergi.
Devan menahan tangan Kirana. Diam-diam di belakang Devan, Kirana tersenyum, dia hanya sedikit tahan harga dan tarik ulur.
"Jangan pergi dulu, Ki. Raina hanya tinggal beberapa bulan saja di rumah."
"Kamu main-main, ya, Van? Tolong jangan ganggu aku lagi!"
Tangan Devan terlepas, dia melihat dari jarak beberapa meter ada ibunya Kirana, melihat ke arah dirinya. Bukan hal yang baik, orang tua Kirana tidak merestui hubungan Kirana dan dirinya.
Bukan hanya dari pihak keluarga Kirana. Petra dan April tidak sudi berbesanan dengan orang tua Kirana. Bisa-bisa seluruh bangsa Indonesia merana, jika melihat mereka bertengkar.
"Maaf, Kirana." Devan berkata sambil memundurkan langkah.
Kirana tidak menjawab, dia menghampiri ibunya yang berada di sebrang jalan.
***April menghampiri Devan, setelah beberapa menit lalu menerima panggilan telepon dari seseorang. Wajahnya resah sepanjang menerima telepon."Devan, sini!"April memanggil Devan yang sedang duduk di sofa.
Devan menghampiri. Mengekor ibunya yang melangkah menuju dapur. Dia merasa heran, kenapa dirinya diajak ke dapur.
"Ibu mau nyuruh aku masak?" tanya Devan mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur.
Ibu menutup pintu. "Sudah jangan becanda dulu. Duduk! Ibu mau bicara sesuatu."
Devan duduk di kursi. Dia terkekeh. "Gak ada tempat diskusi yang lebih elegan, Bu?
April geleng-geleng kepala atas pertanyaan Devan. Suka-suka dia mau mengajak anaknya ngobrol di atas genteng pun, anaknya tidak boleh protes."Kamu tadi sore habis dari mana?"
"Habis dari rumah Arka, Bu."
"Jangan bohong, kamu menemui Kirana 'kan?"
Devan tidak menjawab. Merasa malas untuk menanggapinya.
"Tadi mamahnya Kirana telepon, dia bilang kamu datang dan mengganggu anaknya."
"Hmm ... iya, Devan memang sengaja ngajak Kirana bertemu." Devan langsung mengaku.
April mendengkus. "Jangan seperti itu, kamu kan sudah punya Raina."
Devan terkekeh. "Cewek itu kan, cuma sementara di sini, Bu. Dia udah punya akta kelahiran anaknya dari keluarga kita, kayanya udah cukup puas."
"Maksud kamu?"
"Cepat atau lambat, Raina harus pergi."
"Siapa yang akan pergi? Zian itu cucu Ibu dia tidak akan pergi sampai kapan pun, termasuk Raina."
"Hmm."
"Ayahmu pasti kesal jika tahu kamu menemui Kirana, Van. Bisa-bisa dia merebusmu hidup-hidup."
Devan jadi berpikir. Mungkin kah, selain menutupi aib keluarga. Petra memanfaatkan situasi ini supaya dirinya tidak kembali pada Kirana. Dia tahu, seberapa bencinya Petra terhadap orang tua Kirana.
"Devan gak bisa tinggalin Kirana. Lagi pula, sepengetahuan Devan, pernikahan saat hamil itu tidak sah, terserah kalau ibu punya pendapat lain."
"Kamu gak usah khawatir, ayahmu sudah merencanakan pernikahanmu kembali setelah Raina selesai masa nifas. Secara tertutup, hanya keluarga saja yang tahu.
"Apa?" tanya Devan kaget.
"Rencana ayahmu ini bagus 'kan?"
"Jika Raina pergi, pasti dia akan membawa Zian pergi juga, ibu gak ingin itu terjadi. Sementara Dhaka, anak itu keberadaanya saja gak tahu di mana." April berkata sambil melanjutkan pekerjaan dapur yang sempat tertunda.Devan terdiam."Ibu mohon sama kamu, supaya lebih memahami kondisi ini. Kamu tahu sendiri, hubungan Raina dan keluarga angkatnya kaya gimana, hanya Almarhumah Bu Fatma yang baik sama Raina. Jika Zian tinggal di sana, ibu gak bisa lihat perkembangan mental Zian seperti apa, terlebih Raina masih sangat labil jika dilihat dari usia dan kondisi keluarga angkatnya itu."Devan ingin sekali berkata bodo amat untuk masalah Raina, tapi takut kualat sama ibunya. Akhirnya, dia memilih mengangguk-angguk saja. Formalitas, supaya April tak membahas itu lagi."Lagipula Raina wanita yang baik.""Semua orang yang hidup menumpang, bisa mendadak jadi baik, Bu.
Raina tidak habis pikir, kenapa Devan tidak diskusi dulu tentang pernikahan sah mereka jika pada akhirnya mendiamkan dia seperti ini. Mungkin saja hanya demi Zian supaya bisa hidup lebih layak, karena tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal bagi Raina selain itu. Raina mendapatkan kehidupan yang layak dan nafkah yang cukup bersama Devan. Akan tetapi, dia tidak mendapatkan hati laki-laki itu. Raina mendekati Devan. Dia ingin berbicara banyak hal, tapi dia bingung memulainya dari mana. Sehingga dari tadi hanya mengekor ke mana Devan pergi, ke dapur untuk minum ataupun menunggu di depan pintu kamar mandi. Hal itu cukup membuat Devan risi karena Raina hanya mengikutinya tanpa berkata apa-apa.
Raina tertegun atas ulah Devan. Mungkin pria ini kerasukan atau sekadar kedinginan, atau mungkin juga karena sempat terlalu lama menjomblo. Yang jelas, Raina merasa tubuhnya sesak dan bergerak gelisah dalam pelukan itu."Rain!"Raina gemetar saat Devan memanggil namanya dalam jarak sangat dekat. "Kenapa?""Request sambel goreng juga, ya! Terus cepetan masaknya, jangan pakai lama.""Katanya angetin yang ada aja?""Cuma tambah sambal aja, kok. GPL!""Ya udah, kalau disuruh GPL lepas dulu pelukannya. Apa Bang Dev nyuruh aku masak di kamar?"Devan melonggarkan pelukan dengan ekspresi biasa saja. "Sorry.""Titip Zian, ya! Kalau dia bangun bawa aja ke bawah!"Raina tergesa-gesa menuju dapur. Hatinya belum benar-benar stabil akibat pelukan dadakan yang dilakukan oleh suaminya.
Mata Kirana lekat menatap Raina yang sedang mencuci piring sehabis makan bersama tadi. Iri, harusnya dia yang menjadi tuan rumah. Membuat sarapan tiap hari untuk Devan adalah impiannya. Apalagi Kirana pintar masak. Dia ragu, apakah bocah yang hamil diluar nikah seperti Raina bisa masak sehebat dirinya.Raina lebih cantik darinya. Kirana sangat yakin, Devan tidak akan berpikir dua kali untuk jatuh cinta pada Raina, kalau saja Raina tidak berlaku keji di masa lalu bersama Dhaka, hingga hamil diluar nikah."Raina, numpang ke kamar mandi bentar, ya!" Senja datang menghampiri."Kamar mandinya sebelah sini, Mbak." Raina berjalan ke arah kamar mandi menunjukan letak kamar mandi pada Senja."Oke, makasih, Rain." Senja masuk ke kamar mandi, sambil membawa Fanza, karena Fanza pup.Raina kembali ke wastafel, ternyata Kirana sudah menggantikan mencuci piring, membuat R
Devan menunda pekerjaannya yang mulai menumpuk. Dia meraih smartphone, mencari website Hotel berdasarkan rating tertinggi di internet yaitu Crowne Luxury . Walaupun pada awalnya dia menanggap omong kosong saran dari anggota grup tadi, tapi apa salahnya dicoba.Devan menghampiri Raina yang sedang main games Uncle the horor. Devan Ingin memberitahu sesuatu, tapi Raina terlalu larut dalam permainan, membuat Devan terhenti haya untuk melihat raut wajah Raina saat bermain. Devan merasa aneh, padahal Raina sendiri yang memilih permainan, tapi saat hantunya muncul dia tutup mata, sambil bergedig takut. Jangan lupakan juga backsound games tersebut yang creepy. Devan duduk di samping Raina. "Seru banget, ya?""Eh, Bang Devan. Udah selesai makannya?""Iya udah."
Devan menyadari Raina tak ada di ranjang. Saat membuka mata, dia hanya melihat Zian yang terlelap tidur dengan wajah yang polos. Devan melirik ke sisi jendela, ada cahaya lampu dari luar dan di sana juga dia melihat Raina duduk sambil menatap ke jendela.Wanita itu berwajah sendu. Devan mampu menangkap kesedihan darinya. Tanpa dia sadari, dia mulai tak rela melihat Raina bersedih.Devan bangkit dan mendekat pada Raina. Melihat wajah wanita itu dari samping, membuat kekaguman di dalam hati yang tak sudi dia utarakan. Dia masih bersikeras meyakini bahwa perasaan ini adalah hanya sebatas kasihan semata.Devan menaruh tangan di bahu Raina. "Kenapa gak tidur?"Raina terperanjat atas kehadiran Devan, terlebih pria itu memegang bahunya. "Gak tahu, susah tidur.""Ada yang dipikirkan?"Raina terdiam sejenak lalu kembali menatap ke arah luar, ka
Sore ini, Devan pergi ke Jatinegara menemui seseorang yang sangat dekat dengannya di masa lalu. Tangannya menjinjing buah tangan, berbagai jenis makanan yang empuk. Karena dia yakin, kalau dikasih makanan yang keras sedikit yang punya rumah pasti menggerutu."Assalamualaikum."Sebenarnya, pintu terbuka setengah dari tadi. Devan bisa melihat orang tersebut duduk di tikar, mungkin orang itu berkurang pendengarannya. Devan tersenyum, membuka pintu lebih lebar, bersimpuh mendekati seorang kakek."Assalamualikum.""Waalaikumsalam. Ini Sape ye?" tanya Kong Darul sambil membenarkan kaca mata.Devan meraih tangan Kong Darul, sungkem. "Ini Devan, Kong." Devan duduk bersila kaki."Eh, elu kirain sape. Samar-samar tadi muke lu, tong.""Engkong sehat? Maaf baru bisa mampir ke sini, nengokin engkong."Dev
Pagi, dan ini hari minggu. Suara denting piano terdengar dari lantai satu rumah Devan. Warmes on the soul judul yang ia bawakan. Baru pertama memainkannya. Dia tahu, Raina suka memutar lagu tersebut lewat ponsel. Itu lagu itu untuk istrinya.Raina menuruni anak tangga, menggendong Zian, permainan Devan memanjakan telinganya, tapi tidak merubah rasa kecewa yang ia kubur hingga terlelap tidur. Dirinya masih menggunakan piama, rambutnya terikat asal. Dia menghampiri Devan, dengan tampang kusut."Habis begadang, ya?" Devan menghentikan permainannya, dia lebih memilih menyapa istrinya."Iya. Maaf Raina gak tahu Abang udah pulang, belum ada sarapan, mau sarapan apa?""Santai saja, kamu juga keliatannya masih ngantuk dan aku juga belum lapar."Tidak tidur semalaman membuat Raina tidak fokus, bahkan untuk merencanakan kegiatan di pagi hari dia kesulitan. K
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit. Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu. "Kamu kenapa Devan?" Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Dhaka berdiri kaku saat Devan berjalan melintas di depannya. Kakaknya tersebut mengambil posisi dekat dengan Petra, ingin segera mengecek kondisi Petra. "Bagian tubuh mana yang sakit, Yah?" Ayahnya menunjuk ke arah kaki terlebih dahulu lalu ke tangan. Devan mengikuti arah tunjuk ayahnya. Devan melirik ke arah Dhaka dengan tatapan yang dingin. Dia melihat gelagat Dhaka yang aneh, nampak cemas. "Lo udah lama di sini?" "Barusan." Devan tersenyum masam. Ada satu hal yang menganggu pikiran tapi dia tahan karena melihat kondisi ayahn
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat