James mondar-mandir sejak tadi karena gelisah. Hampir setengah jam dia menunggu dan belum ada kabar. Tadi saat Nara pingsan, laki-laki itu segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Ibu kos ngotot ingin ikut mengantar tetapi langsung ditolaknya.
Begitu tiba di pintu IGD, James menggendong Nara dan meletakkannya di bed untuk diperiksa.
"Anda suaminya Ibu Nara?" tanya seorang perawat saat mendatangi James.
"Engg ... iya," jawabnya cepat.
"Bisa ikut saya, Pak. Dokter ingin bicara."
James mengekori si perawat dan masuk ke sebuah ruangan. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya. Pesona laki-laki itu memang begitu kuat sehingga banyak wanita yang terhipnotis karenanya.
"Silakan duduk. Dengan Bapak siapa?" tanya dokter sopan.
"James."
"Oke, Bapak James. Saya ingin menjelaskan mengenai kondisi istri anda. Tapi sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat."
"Untuk?"
"Karena sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ayah."
James merasa dunianya runtuh ketika dokter mengatakan hal itu. Laki-laki termenung untuk sesaat karena tak tahu harus berkata apa.
"Santai, Pak. Semua suami yang saya infokan begini pasti tegang," ucap dokter itu sembari mengulum senyum. Lalu, dia mulai membuka rekam medis milik Nara dan mulai menjelaskan.
"So?"
"Jadi, usia kandungan Ibu Nara memasuki minggu ke lima. Janinnya sehat. Hanya saja istri Bapak perlu lebih banyak beristirahat karena tekanan darahnya rendah. Hal ini memang biasa terjadi di trisemester pertama," jelas dokter panjang lebar.
James mengangguk dan mendengarkan itu dengan seksama, padahal dalam hati merutuk hal ini. Nara hamil dan dia tak tahu siapa yang menghamili wanita itu. Lalu sekarang, dia harus berpura-pura sebagai suaminya.
"Baiklah, Pak James. Karena Ibu Nara sudah sadar, saya ingin memeberikan beberapa vitamin untuk menjaga kandungan, agar semakin sehat dan kondisi fisiknya lebih terjaga."
Dokter itu mencoretkan sesuatu di kertas lalu menyerahkannya kepada James.
"Silakan Bapak tebus di apotek depan, ya. Arahnya di mana nanti bisa dibantu sama suster."
James menyambut uluran tangan dokter itu lalu mengucapkan terima kasih. Dia bergegas menuju ruangan di mana Nara berada. Wanita itu terlihat masih lemas dengan seorang perawat yang mendampinginya.
"Are you okay?" tanya James hati-hati saat Nara memalingkan wajah ketika dia mendekat.
"Ibu Nara sudah boleh pulang. Tunggu sebentar ya, saya ambilkan kursi rodanya."
Perawat itu berjalan ke depan dan meninggalkan mereka dalam kebisuan.
"Kata dokter, bayi kamu sehat. Hanya saja ibunya harus banyak istirahat," jelas James gugup. Tangannya berkeringat dingin dan gemetaran.
"Iya."
"Kita ambil obatnya dulu. Abis itu aku antar kamu pulang."
"Ya."
"Sorry, aku gak bermaksud ikut campur dengan urusan pribadi kamu. Baiknya kamu segera memberitahu ayah dari bayi kamu agar dia bertanggung jawab."
Nara melotot mendengar ucapan James barusan. Ayah bayinya? Jadi dia ... hamil? Perawat tadi tak mengatakan apa pun saat dia tersadar.
"Mak ... sud kamu?"
"Kamu hamil, Nara. Lima minggu. Tadi aku udah ketemu dokternya terus dijelasin semua," kata James yakin.
Nara menelan ludah dan membuang pandangan. Bagaimana mungkin dia hamil, sementara dia tak melakukan hal itu, kecuali ....
Nara mematung dan mencoba mengingat. Ya benar, dia tak pernah berhubungan dengan yang lain kecuali bersama James. Jadi, apakah janin yang sedang di kandungnya ini adalah anak dari laki-laki itu?
Nara mengumpat dalam hati karena kesal. Wanita itu mencoba menahan air mata yang sejak tadi hendak menetes. Dia masih terdiam saat James terus saja mengoceh, menjelaskan banyak hal mengenai kondisi janinnya.
"Permisi. Ini kursi rodanya. Ayo Ibu saya bantu."
Tiba-tiba saja perawat itu datang dan memutus pembicaraan mereka. Nara terlihat pasrah saat seorang security datang dan membantunya mendorong kursi roda hingga ke depan.
"Tunggu di sini sebentar. Aku tebus obatnya dulu," pinta James ketika security menunjukkan arah apotek.
Nara pasrah kali ini. Dia bisa saja kabur dan pulang ke kosan. Namun, tak ada sepeserpun uang di tangannya saat ini, sehingga niatnya urung.
"Ayo, kita pulang."
James memapah Nara masuk ke mobil dan membiarkan kursi roda itu berada di parkiran. Biasanya ada petugas yang akan mengambilnya kembali.
Sepanjang perjalanan suasana hening. Nara menatap ke jendela mobil dengan mata berkaca-kaca. Wanita itu bingung harus menentukan jalan hidupnya. Apalagi laki-laki yang berada di sampingnya ini adalah ayah dari janin yang dikandungnya, sekalipun James tidak tahu.
"Kamu ... mau makan dulu? Kalau iya kita mampir dulu," tawar James.
Entah mengapa dia merasa iba melihat kondisi Nara yang sekarang. Biasanya seorang James tidak akan peduli dan ikut campur dengan urusan orang lain.
Nara berbeda. Itu karena ... James pernah menidurinya.
"Gak usah. Langsung pulang aja."
James membelokkan mobil ke sebuah jalan menuju kosan Nara. Begitu tiba di sana, Nara langsung keluar tanpa berpamitan.
"Tunggu! Vitaminnya!" teriak James.
Nara bergegas menutup pagar dan mengabaikan panggilan itu. James berusaha mengejarnya, tetapi terlambat. Dalam sekejap, wanita itu telah menghilang dari pandangannya.
James terduduk lemas di mobil seraya memikirkan cara bagaimana agar vitamin itu bisa diterima Nara. Lalu, dia membuka ponsel dan memesan makanan lewat aplikasi online.
Tadi Nara terlihat lemas dan menolak saat diajak makan, sehingga membuatnya sedikit khawatir. James memilih menu bakmi dari sebuah restoran ternama dan berniat menitipkan vitamin itu kepada pengantarnya nanti.
Satu jam berlalu dalam kebosanan, akhirnya bakmi yang dia pesan datang.
"Tunggu, Mas," teriaknya saat di pengantar hendak masuk begitu saja.
"Astagfirullah. Saya pikir ada bule nyasar," ucap si pengantar sembari mengusap dada.
James tergelak lalu menjelaskan bahwa dialah yang memesan makanan itu. Dengan cepat dia menyerahkan paper bag berisi vitamin untuk dititipkan.
"Ini apa, Mas? Saya ndak boleh dititip sembarangan, loh. Bisa saja sampean menjebak saya," tuduh si pengantar.
James mengulum senyum sekaligus merasa kesal di waktu yang bersamaan, lalu berkata, "Coba cek dulu, Pak. Ini isinya apa."
Si pengantar segera membuka paper bag yang James sodorkan lalu mengangguk dan mengambilnya.
"Vitamin Ibu Hamil. Oke aman, Mas."
James menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih, lalu menunggu di mobil. Ketika pagar terbuka, wajah laki-laki itu memucat karena yang mengambil pesanan bukan Nara, tetapi orang lain.
James mengira itu pasti salah satu teman kos Nara. Padahal tadi dia sudah menyertakan nomor ponsel Nara saat memesan.
"Sudah ya, Pak. Pesanannya komplit," pamit si pengantar. Motornya melaju kencang meninggalkan James yang masih mematung di depan kosan. Tak lama, akhirnya laki-laki itu menyerah dan memilih pulang ke apartemennya untuk beristirahat.
***
Nara terbangun saat terdengar ketukan berulang kali. Dengan malas dia membuka pintu dan mendapati Cindy berdiri sembari menyodorkan sebuah bungkusan.
"Buat kamu aja. Aku gak selera makan," tolaknya halus.
"Yakin?"
Nara mengangguk dan hendak menutup pintu saat Cindy menahannya.
"Siapa yang ngirimin ini? Pacar lu?"
Nara mengangkat bahu karena tak tahu. Dia kembali menatap bungkus bakmi itu, antara ingin makan dan mual.
"Lu ya, diem-diem punya pacar. Pakai disembunyiin segala. Kasih tau, dong. Gue kan pengen kenalan," desak Cindy.
"Aku mau istirahat dulu. Ntar kalau Ibu Kos nanyain, bilang vertigo aku kambuh," kata Nara sembari menarik daun pintu.
"Eh, tunggu dulu. Gue--"
Cindy hendak kembali menahan Nara ketika tak sengaja bungkusan makanan tadi tersenggol dan terjatuh di lantai.
Nara menutup mulut karena kaget. Lalu, sebuah botol menggelinding dari dalam paper bag. Cindy meraih itu dan terkejut saat tahu bahwa isinya bungkusan bukan hanya bakmi. Wanita itu terbelalak saat melihat tulisan di botol.
"Lu ... hamil?"
Nara tersentak lalu merampas botol itu dan melihatnya untuk meyakinkan. Lalu, bayangan James melintas di benaknya. Pasti laki-laki itu yang mengirimkan makanan sekaligus vitamin ini.
"Bukan," jawab Nara cepat.
"Lalu?" tanya Cindy semakin curiga.
Nara tak menjawab pertanyaan itu dan mengambil bungkusan bakmi, lalu menutup pintu dengan cepat.
Cindy masih mematung di depan pintu kamar Nara dengan kebingungan.
Nara memasuki kantor dengan gontai. Semua sapaan dari rekan kerjanya diabaikan begitu saja. Wanita itu memakai masker karena mual setiap mencium bau-bauan, baik itu parfum apalagi bau badan orang lain."Lu kenapa, Ra?" tanya Aida heran ketika melihat sahabatnya bertingkah demikian."Aku kurang sehat," jawab Nara singkat."Lu aneh. Beneran. Sakit kok lama banget?" ucap Aida sembari menatap sahabatnya dengan gamang.Ada rasa khawatir di hati Aida saat melihat kondisi Nara yang cukup memprihatinkan. Tubuh Nara begitu kurus dengan kantong mata yang terlihat semakin jelas. Napas wanita itu juga turun naik seperti habis berlari. Mungkin, jika dia menyenggolnya sedikit, maka sahabatnya itu akan jatuh pingsan."Gak apa-apa.""Kita ke dokter, yuk. Lu jangan minum obat sembarangan. Bahaya buat kesehatan," saran Aida.Nara menggeleng, lalu duduk di kursinya dan menyalakan PC. Dia mulai membuka data dan menyalinnya.
Nara terbangun karena seluruh persendiannya terasa sakit. Dia mengusap mata dan mencoba duduk, tetapi meringis karena merasa nyeri di satu bagian tubuhnya. Matanya menatap sekeliling dan merasa asing di tempat itu. Ini bukan kamarnya karena terlalu bagus bahkan boleh dibilang mewah.Dalam kebingungan, Nara menyandarkan kepala di headboard ranjang. Gadis itu belum sempat menyadari apa yang terjadi, ketika merasakan mual yang begitu hebat.Dengan cepat Nara bangun dan tanpa direncanakan dan memuntahkan isi perutnya di lantai."Gadis jorok!" ucap seorang laki-laki berwajah blasteran, yang sedang membaca koran sembari meneguk segelas kopi panas.Nara menoleh ke sumber suara itu. Dia mengabaikannya lalu kembali muntah."Kamar mandi di sana!" tunjuk laki-laki itu.Nara bergegas menuju ke arah yang ditunjuk dan mencuci wajah berulang kali. Rasa mual itu terus mendera, hingga satu jam berlalu dan dia masih berkutat di dalam.
James mengambil dompet dan ponsel yang terletak di nakas, lalu memasukkannya ke saku. Laki-laki itu sudah membayar biaya hotel yang dipakai untuk kencannya bersama Nara. Dia akan ke apartemen, walaupun sejak tadi pesan dari mamanya yang meminta untuk pulang ke rumah, masuk tiada henti."Ya, Mi?"Setelah sepuluh panggilan yang diabaikan, akhirnya James menjawabnya dengan terpaksa."Pulanglah ke rumah. Papi kamu nanyain terus," pinta sebuah suara di seberang sana."Aku sibuk. Mungkin hari Minggu depan," jawabnya singkat.Sejak kapan papa bertanya perihal dirinya? Bukankah laki-laki itu sibuk dengan istri barunya? Istri yang membuat ibunya kerap menangis setiap malam karena menahan sakit di hati."Jangan begitu. Udah satu bulan kamu gak pulang. Apa gak kangen Mami?" Wanita di seberang sana mengucapkan kata-kata terakhir dengan mata berkaca-kaca."Kangen. Tapi kerjaanku lagi banyak. Kalau udah senggang, aku p
Satu bulan kemudian."Makasih, Mbak Cantik," ucap supir angkot ketika menerima selembar uang lima ribuan yang Nara sodorkan.Hari ini Nara tak membawa motor ke kantor karena tubuhnya kurang sehat, sehingga dia memilih naik angkutan umum. Perusahaan sedang gencar mengadaptasi sistem baru, sehingga hampir setiap hari mereka diminta untuk ikut training.Biasanya kondisi fisik Nara selalu fit dalam situasi apa pun. Sekalipun tubuhnya mungil, dia cukup kuat jika diminta bekerja lembur. Entah mengapa beberapa hari ini, wanita itu merasa lemas dan sering pusing."Sama-sama," balasnya singkat, lalu berjalan masuk ke kantor.Suasana kantor begitu sepi karena masih jam enam pagi. Nara terbangun di tengah malam karena bermimpi buruk dan tak dapat tertidur lagi. Sehingga dia memutuskan untuk berangkat kerja pagi-pagi."Rajin bener, Neng. Kantor belum buka, udah datang aja," sapa security saat melihatnya.Nara h
Selama meeting berlangsung, Nara menekuk bibir dan menatap layar di depan, di mana para petinggi perusahaan sibuk membagikan materi.Setelah mendapati cek bernilai seratus juta berada di dalam dompetnya, Nara menemui James di luar dan merobeknya di depan wajah laki-laki itu. Dia bukan wanita malam. Sikap James itu telah merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita.James sendiri terkejut atas sikap Nara dan memilih diam, lalu kembali ke ruangan karena sesi presentasinya akan segera dimulai. Berulang kali dia melirik ke arah wanita itu sembari terbayang kembali akan kebersamaan mereka.Dress selutut yang dipakai Nara hari ini membuat pikiran James berkenala dan memanas sejak tadi. Rasanya dia ingin ...."Kepada Bapak Aldrian, kami persilakan."James tersadar dari lamunan ketika namanya disebut. Laki-laki itu langsung
"Pagi."James memasuki kantor itu sembari menebar senyum ke semua orang. Mulai hari ini hingga tiga bulan ke depan dia akan memantau kerjasama perusahaan dan juga kegiatan Nara. Laki-laki itu berusaha keras menyangkal perasaannya yang semakin hari semakin bertambah, tetapi sayangnya ... gagal.Rasa bersalah James kepada Nara sama besarnya dengan rasa inginnya untuk menghabiskan malam bersama lagi. Apalagi saat wanita itu merobek cek yang dia berikan, dan menangis sesegukan di dalam pelukannya sewaktu di mobil.James tahu, bahwa Nara berbeda dari banyak wanita yang sering dikencaninya. Wanita itu menjaga diri dan kehormatan, sehingga tak mau disentuh oleh laki-laki sebelum dihalalkan."Di mana ruangan administrasi?" tanya James kepada salah satu karyawati yang kebetulan berpapasan dengannya."Di ... ujung, terus belok kanan," jawab karyawati itu sembari menahan napas karena tak kuasa menatap ketampanan James."Oh, thanks," u