"Pagi."
James memasuki kantor itu sembari menebar senyum ke semua orang. Mulai hari ini hingga tiga bulan ke depan dia akan memantau kerjasama perusahaan dan juga kegiatan Nara. Laki-laki itu berusaha keras menyangkal perasaannya yang semakin hari semakin bertambah, tetapi sayangnya ... gagal.
Rasa bersalah James kepada Nara sama besarnya dengan rasa inginnya untuk menghabiskan malam bersama lagi. Apalagi saat wanita itu merobek cek yang dia berikan, dan menangis sesegukan di dalam pelukannya sewaktu di mobil.
James tahu, bahwa Nara berbeda dari banyak wanita yang sering dikencaninya. Wanita itu menjaga diri dan kehormatan, sehingga tak mau disentuh oleh laki-laki sebelum dihalalkan.
"Di mana ruangan administrasi?" tanya James kepada salah satu karyawati yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Di ... ujung, terus belok kanan," jawab karyawati itu sembari menahan napas karena tak kuasa menatap ketampanan James.
"Oh, thanks," ucapnya singkat sembari melambaikan tangan.
Dengan langkah pasti, James berjalan menuju arah yang disebutkan tadi dan mengetuk pintunya pelan.
"Hai, selamat pagi," sapanya ramah saat mengintip sedikit dan mencoba mencari Nara di dalamnya.
Seketika, semua mata tertuju kepadanya. Bisik-bisik mulai terdengar disertai dengan pandangan heran satu dengan yang lain. James tidak ada kaitannya dengan bagian administrasi di kantor ini, lalu mengapa dia datang?
"Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya kepala administrasi saat ke luar dari ruangannya. Salah seorang dari karyawan tadi ada yang melapor ketika James muncul.
"Saya--" ucapan James tertahan karena bingung hendak menjawab apa. Dia hanya ingin bertemu dengan Nara, tetapi itu akan menyebabkan banyak pertanyaan dari karyawan yang lain.
"Ya?" tanya kepala administrasi seraya menatapnya canggung. Dalam situasi seperti ini, semua orang menjadi berhenti menyelesaikan laporan dan berfokus kepadanya.
"Saya salah ruangan. Permisi," jawab James malu lalu bergegas ke luar dan menutup pintu. Laki-laki itu bersandar di dinding sembari mengusap dada dengan debaran tak menentu.
Tidak ada Nara di ruangan itu, lalu ke mana dia? Padahal setiap meja hanya dibatasi sekat kecil sehingga dalam sekali pandang, harusnya semua orang terlihat jelas.
James tak tahu, bahwa Nara tidak masuk kerja karena sakit. Wanita itu terbaring lemah di tempat tidur seorang diri sembari merasakan mual yang begitu hebat mendera perutnya.
Setelah meeting dan mengetahui bahwa James akan berkantor di tempatnya, Nara semakin stres. Wanita itu meminta izin untuk menenangkan diri karena dia sama sekali tak sanggup jika bertemu lagi.
"Pak Aldrian mau ke mana? Ruangan Bapak di sebelah sana," ucap salah seorang karyawan yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Oh, iya. Saya lupa," ucapnya malu sembari mengulum senyum. Dengan langkah pasti, laki-laki itu bergegas menuju sebuah pintu yang masih tertutup.
James mengambil kunci dari saku dan membuka ruangannya. Aroma harum seketika menguar. Dia memang meminta agar disediakan tempat yang nyaman.
Sebenarnya agak janggal jika dia sebagai pertner dari perusahaan lain justeru meminta ini sebagai salah satu syarat agar kerjasama mereka berlanjut. Sejak awal keputusannya dipertanyakan banyak pihak. Namun, laki-laki itu nekat demi satu tujuan, Nara.
Hingga saat tiba makan siang, James tak sengaja bertemu dengan Aida di kantin. Sebenarnya dia agak alergi makan di tempat seperti ini. Namun, apa boleh buat, demi informasi berharga tentang Nara.
"Sendirian?" tanya laki-laki itu berbasa-basi sembari meletakkan sebuah nampan di meja.
Aida menoleh dan langsung tersedak ketika melihat siapa yang menyapanya. Wanita itu langsung meneguk air dengan cepat lalu memebersihkan bibirnya dengan tissue.
"Iya, Pak," jawabnya sembari tersenyum manis.
Mata Aida berkeliaran menatap tampilan James yang begitu sempurna hari ini. Jantungnya semakin berdegup saat aroma tubuh laki-laki itu tak sengaja hinggap di indera penciumannya.
"Kalau gitu kita makan bareng," ucap James beramah tamah.
"Oh, boleh!" jawab Aida cepat seraya mengusap dada agar detaknya kembali normal. Wanita itu seketika menjadi salah tingkah, sehingga sendoknya sempat terjatuh berberapa kali.
"Teman kamu mana?"
James bertanya blak-blakan. Sejak tadi dia menahan untuk mengucapkan itu karena melihat Aida yang bertingkah tidak jelas.
"Yang mana, Pak?" tanya Aida bingung.
"Itu, yang badannya mungil waktu pertama kali saya ikut meeting kalian," jelasnya sembari menyendok makanannya dan terkejut karena rasanya cukup enak.
James sengaja tak mau menyebutkan nama Nara agar tak menimbulkan kecurigaan. Sikapnya tadi pagi di ruang administrasi sudah menimbulkan banyak pertanyaan bagi karyawan lain.
"Oh, Nara?"
"Ah, ya. Nara," ucapanya antusias.
"Dia lagi sakit, Pak," jawab Aida cepat.
James meletakkan sendok dan menatap Aida lekat, lalu berkata, "Sakit apa?"
"Vertigo. Udah satu bulan ini dia sering lemes. Nanti pulang kerja saya mau jenguk ke kosannya, Pak," jelas Aida panjang lebar.
James mendengarkan dengan seksama, lalu sesekali menanggapi saat Aida menceritakan banyak hal. Tanpa dipaksa ada banyak informasi mengenai Nara yang keluar begitu saja.
"Memangnya Nara gak punya orang tua?" tanya James heran.
"Ada tapi kurang mampu, Pak. Dia bisa kuliah karena dapat beasiswa. Dia juga sempat kerja part time jadi pelayan cafe. Waktu kerja di sini, gajinya lumayan. Dia kirim uang setiap bulan buat bantu adik-adiknya."
James tersentak mendengarnya. Sementara itu, Aida menutup mulut karena menyadari kekeliruannya.
"Saya duluan, Pak. Sudah selesai," pamit Aida sembari menghabiskan minumannya.
"Oke. Terima kasih infonya," kata laki-laki itu santai.
Aida berdiri, mengibaskan rambut dengan gemetaran, lalu teringat akan sesuatu dan berbalik menatap James.
"Ya?" tanya James heran karena merasa terus diperhatikan.
"Bapak tanya-tanya terus tentang Nara itu maksudnya apa? Bapak suka sama dia, atau--"
"Atau?"
"Bapak punya hubungan khusus dengan dia?"
James kembali tersentak, lalu menunduk dan melanjutkan makan tanpa menjawab. Aida yang menjadi bingung dengan sikap laki-laki itu akhirnya meninggalkan James begitu saja karena malu.
***
Dengan sedikit ragu, James turun dari mobil dan menatap rumah dua tingkat itu cukup lama, lalu membuka pagar yang tidak terkunci dengan pelan."Kamu siapa?!" Sebuah suara mengagetkannya. Laki-laki itu menoleh dan mendapati sesosok paruh baya berdiri dengan tangan berkacak di pinggang.
"Saya mencari Nara," jawab James santai.
"Di sini tamu laki-laki tidak boleh masuk!" ucap ibu kos Nara dengan galak.
Nyali James sedikit menciut. Namun, dia berusaha tetap tenang dan berkata, "Saya butuh bertemu Nara, Ibu."
"Dia lagi sakit dan tidak mau diganggu oleh siapa pun," jelas ibu kos saat menatap James dari atas hingga ke bawah.
"Tapi ini penting," mohon James.
"Anda siapanya Nara?"
James terdiam sejenak dan berpikir apa yang akan dia katakan kepada ibu kos agar dia bisa bertemu dengan sang pujaan hati.
"Bosnya!" Satu kata itu akhirnya terlintas di benak James, ketika pelototan mata ibu kos semakin membesar.
"Duduk saja di situ. Sebentar saya panggilkan," ucap ibu kos sembari menunjuk kursi teras, lalu dalam sekejap sosoknya menghilang dari padangan.
James menatap rumah itu dengan miris karena kurang layak huni. Bangunan lama yang dulunya cukup megah, tetapi berangsur lapuk karena dana perawatan yang minim. Bagi laki-laki yang sudah terbiasa hidup dengan kemewahan, tentu saja dia tak rela jika Nara tinggal di situ.
"Kamu mau apa ke sini?"
James menoleh dan mendapati Nara sedang berdiri menatapnya tak suka. Wajah wanita itu terlihat pucat dan lebih kurus dengan rambut berantakan.
"Kata Aida kamu sakit."
"Baiknya kamu pulang sekarang!" usir Nara. Saat wanita itu hendak pergi, tangannya dicekal lembut.
"Kenapa, Bu?" tanya Nara ketika menyadari bahwa yang menahannya adalah ibu kos.
"Sama bos sendiri kok gitu? Nanti kamu dipecat gimana? Siapa yang ngirim uang ke kampung?"
Nara tersentak lalu menatap James dengan marah. Sementara laki-laki itu tersenyum santai karena idenya berhasil.
"Silakan berbincang, tapi tidak boleh masuk ke dalam. Tapi jangan lama-lama. Nara harus banyak istirahat."
Ibu kos masuk ke dalam meninggalkan mereka yang terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Kamu sakit apa?" tanya James seraya menggeser kursi sehingga jarak mereka semakin dekat.
"Bukan urusan kamu," jawab Nara kesal. Wanita mengusap kepala yang sakitnya tak mau pergi sejak beberapa hari ini.
"Ayo kita ke dokter. Kamu lemes banget," tawar James dengan nada khawatir.
Nara menepiskan tangan laki-laki itu dan hendak berdiri, ketika kakinya menyenggol meja. Tubuhnya limbung, lalu tiba-tiba saja pandangannya mengabur dan semua menjadi gelap.
James mondar-mandir sejak tadi karena gelisah. Hampir setengah jam dia menunggu dan belum ada kabar. Tadi saat Nara pingsan, laki-laki itu segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Ibu kos ngotot ingin ikut mengantar tetapi langsung ditolaknya.Begitu tiba di pintu IGD, James menggendong Nara dan meletakkannya di bed untuk diperiksa."Anda suaminya Ibu Nara?" tanya seorang perawat saat mendatangi James."Engg ... iya," jawabnya cepat."Bisa ikut saya, Pak. Dokter ingin bicara."James mengekori si perawat dan masuk ke sebuah ruangan. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya. Pesona laki-laki itu memang begitu kuat sehingga banyak wanita yang terhipnotis karenanya."Silakan duduk. Dengan Bapak siapa?" tanya dokter sopan."James.""Oke, Bapak James. Saya ingin menjelaskan mengenai kondisi istri anda. Tapi sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat.""Untuk?""Karena sebentar lagi Anda akan men
Nara memasuki kantor dengan gontai. Semua sapaan dari rekan kerjanya diabaikan begitu saja. Wanita itu memakai masker karena mual setiap mencium bau-bauan, baik itu parfum apalagi bau badan orang lain."Lu kenapa, Ra?" tanya Aida heran ketika melihat sahabatnya bertingkah demikian."Aku kurang sehat," jawab Nara singkat."Lu aneh. Beneran. Sakit kok lama banget?" ucap Aida sembari menatap sahabatnya dengan gamang.Ada rasa khawatir di hati Aida saat melihat kondisi Nara yang cukup memprihatinkan. Tubuh Nara begitu kurus dengan kantong mata yang terlihat semakin jelas. Napas wanita itu juga turun naik seperti habis berlari. Mungkin, jika dia menyenggolnya sedikit, maka sahabatnya itu akan jatuh pingsan."Gak apa-apa.""Kita ke dokter, yuk. Lu jangan minum obat sembarangan. Bahaya buat kesehatan," saran Aida.Nara menggeleng, lalu duduk di kursinya dan menyalakan PC. Dia mulai membuka data dan menyalinnya.
Nara terbangun karena seluruh persendiannya terasa sakit. Dia mengusap mata dan mencoba duduk, tetapi meringis karena merasa nyeri di satu bagian tubuhnya. Matanya menatap sekeliling dan merasa asing di tempat itu. Ini bukan kamarnya karena terlalu bagus bahkan boleh dibilang mewah.Dalam kebingungan, Nara menyandarkan kepala di headboard ranjang. Gadis itu belum sempat menyadari apa yang terjadi, ketika merasakan mual yang begitu hebat.Dengan cepat Nara bangun dan tanpa direncanakan dan memuntahkan isi perutnya di lantai."Gadis jorok!" ucap seorang laki-laki berwajah blasteran, yang sedang membaca koran sembari meneguk segelas kopi panas.Nara menoleh ke sumber suara itu. Dia mengabaikannya lalu kembali muntah."Kamar mandi di sana!" tunjuk laki-laki itu.Nara bergegas menuju ke arah yang ditunjuk dan mencuci wajah berulang kali. Rasa mual itu terus mendera, hingga satu jam berlalu dan dia masih berkutat di dalam.
James mengambil dompet dan ponsel yang terletak di nakas, lalu memasukkannya ke saku. Laki-laki itu sudah membayar biaya hotel yang dipakai untuk kencannya bersama Nara. Dia akan ke apartemen, walaupun sejak tadi pesan dari mamanya yang meminta untuk pulang ke rumah, masuk tiada henti."Ya, Mi?"Setelah sepuluh panggilan yang diabaikan, akhirnya James menjawabnya dengan terpaksa."Pulanglah ke rumah. Papi kamu nanyain terus," pinta sebuah suara di seberang sana."Aku sibuk. Mungkin hari Minggu depan," jawabnya singkat.Sejak kapan papa bertanya perihal dirinya? Bukankah laki-laki itu sibuk dengan istri barunya? Istri yang membuat ibunya kerap menangis setiap malam karena menahan sakit di hati."Jangan begitu. Udah satu bulan kamu gak pulang. Apa gak kangen Mami?" Wanita di seberang sana mengucapkan kata-kata terakhir dengan mata berkaca-kaca."Kangen. Tapi kerjaanku lagi banyak. Kalau udah senggang, aku p
Satu bulan kemudian."Makasih, Mbak Cantik," ucap supir angkot ketika menerima selembar uang lima ribuan yang Nara sodorkan.Hari ini Nara tak membawa motor ke kantor karena tubuhnya kurang sehat, sehingga dia memilih naik angkutan umum. Perusahaan sedang gencar mengadaptasi sistem baru, sehingga hampir setiap hari mereka diminta untuk ikut training.Biasanya kondisi fisik Nara selalu fit dalam situasi apa pun. Sekalipun tubuhnya mungil, dia cukup kuat jika diminta bekerja lembur. Entah mengapa beberapa hari ini, wanita itu merasa lemas dan sering pusing."Sama-sama," balasnya singkat, lalu berjalan masuk ke kantor.Suasana kantor begitu sepi karena masih jam enam pagi. Nara terbangun di tengah malam karena bermimpi buruk dan tak dapat tertidur lagi. Sehingga dia memutuskan untuk berangkat kerja pagi-pagi."Rajin bener, Neng. Kantor belum buka, udah datang aja," sapa security saat melihatnya.Nara h
Selama meeting berlangsung, Nara menekuk bibir dan menatap layar di depan, di mana para petinggi perusahaan sibuk membagikan materi.Setelah mendapati cek bernilai seratus juta berada di dalam dompetnya, Nara menemui James di luar dan merobeknya di depan wajah laki-laki itu. Dia bukan wanita malam. Sikap James itu telah merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita.James sendiri terkejut atas sikap Nara dan memilih diam, lalu kembali ke ruangan karena sesi presentasinya akan segera dimulai. Berulang kali dia melirik ke arah wanita itu sembari terbayang kembali akan kebersamaan mereka.Dress selutut yang dipakai Nara hari ini membuat pikiran James berkenala dan memanas sejak tadi. Rasanya dia ingin ...."Kepada Bapak Aldrian, kami persilakan."James tersadar dari lamunan ketika namanya disebut. Laki-laki itu langsung