"Apakah mual muntahnya parah?"
Mahendra memeluk dari belakang, melingkari perut Hana. Entah mengapa hari ini, Mahendra menyelesaikan aktifitas mandi hanya dalam waktu sepuluh menit. Biasanya pria bertubuh 175 centi itu akan menghabiskan setengah jam berendam di bath up untuk membuang rasa penat.Mahendra mencium bahu lalu hidungnya beralih ke leher Hana yang berdiri di depan meja hias. Entah apa yang dilakukan wanitanya di depan cermin, sang suami tak peduli. Dia hanya ingin bermanja sore itu."Kai? Dia better sekarang. Maka dari itu, dia diperbolehkan pulang sama Kak Arsen."Terdengar desahan pelan setelah mendengar nama itu, Mahendra membalikkan tubuh Hana. Mesti dia sudah mendapatkan wanita itu sepenuhnya, masih ada rasa tak suka jika Hana terus berhubungan dengan dokter tersebut."Mas bukan bertanya tentang Kai. Kalau soal itu, Mas sudah tahu kalau Kai pasti cepat sembuh. Mas tanya apa bayi ini rewel hingga membuat mamanya mengalamiTidak menemukan jawaban, Hana menganjur napas dalam. Lagi, Mahendra membungkus kedua pipi dan menempelkan hidung mereka kemudian mengecup kening Hana untuk menunjukkan cinta yang penuh ketulusan."Yuk, kita ke bawah. Mungkin Mommy sudah nunggu kita di meja makan," ajak Mahendra mendapatkan anggukan si istri.Lalu, mereka keluar sambil bergandengan tangan. Langit senja sudah mulai terlihat dari balik jendela. Sebentar lagi adzan magrib akan terdengar.Di sisi lain, Hana merutuki diri dan merasa bersalah sebab tadi sempat menduga hal negatif terhadap suami. Masa iya, menebak kedua benda itu milik wanita lain. Astaga, kenapa Hana menjadi parno begini? Apa ini akibat keseringan membaca novel bergenre rumah tangga? Suami selingkuh atau Madu dari mertua? Apa mungkin itu efek dari hormon ibu hamil?"Astaga, Mas. Maafkan aku telah suudzon kepadamu."Hana berucap dalam hati. Dia tak mau membicarakan apa yang tengah mengganggu benaknya tadi. Yang a
"Halah, ngapain juga repot-repot beli hadiah mahal seperti itu, Mommy. Hanya ulang tahun pernikahan jagung juga. Entah kita nggak tahu ke depannya, apakah hubungan mereka masih berstatus pasangan suami istri. Sepertinya Mommy dan Daddy terlalu menghamburkan uang membeli kado untuk ...."Decakan keras Mommy menghentikan kalimat yang belum sempat dituntaskan Clarisa. Semua mata di meja utama beralih padanya dengan tatapan berbeda. Mommy, Daddy dan Mahendra penuh mengintimidasi. Hana memberi tatapan datar bercampur kasihan. Kai dan pengasuhnya terlihat masa bodoh."Stop, Risa. Jika kamu masih ngedumel, silakan tinggalkan tempat ini.""Jadi, Mommy mengusir aku?""Bukan mengusir, hanya tidak ingin satu meja dengan orang yang akan merusak hari bahagia keluarga. Ucapanmu bisa bikin malu kamu sendiri, tahu?"Nada pelan tetapi penuh penekanan itu mampu membungkam Clarisa yang memasang wajah kesal. Dia melempar tatapan sinis sebelum melanjutkan keg
"Mas, hari ini jadwal aku kontrol, kamu bisa, kan, temani aku?"Dari tadi malam, Hana mencoba menahan kesal. Pertanyaan yang tersimpan di dalam benak masih dalam keadaan rapi. Bagaimana bisa kalung yang diberikan Mahendra sama dengan benda yang bergantung di leher Nadhira? Hana belum sempat membicarakannya lantaran tadi malam Mahendra tampak sibuk menjamu para tamu yang hadir. Bahkan, nasi dan lauk yang disiapkan Hana untuknya hanya termakan sedikit. Sementara saat sampai di rumah, Hana ketiduran ketika menunggu Mahendra yang mandi.Kini, dia mencari waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Namun menurutnya, pagi ini rasanya kurang pas melakukanya karena dia melihat Mahendra tergesa-gesa karena bangun kesiangan. "Coba nanti aku cek jadwalku, ya. Irma belum memberitahu aku. Setelah sampai ke kantor, aku segera menghubungi kamu, gimana?"Setelah selesai memakai kemeja, Mahendra menuju ke meja rias. Tangan itu cekatan mengambil gel dan mengoleskan k
Jawaban suaminya seketika membuat lutut Hana lemas dan tanpa sadar bertanya sangat pelan, "kenapa?"Mungkin, pemilik tubuh 175 centimeter itu tak mendengarkan suara itu. Ekspresi kecewa jelas terbaca dari raut wajah Hana. Mengapa harus diundur jadwalnya? Bukankah ini sudah telat, seharusnya dia kontrol dua hari yang lalu?"Tapi vitaminnya sudah habis, Mas." Terpaksa bibir itu jujur apa adanya. Hening lagi, hanya terdengar suara desahan berat dari seberang. Hana tahu suaminya sedang berpikir dan dia membiarkan otak Mahendra menimbang beberapa saat."Gini, Sayang. Nanti aku usahakan jam 12 temani klienku dulu sebentar, lalu aku tinggalin kalau sudah ada Aldo yang menemaninya. Tapi kamu berangkat dulu sama Pak Dadang ke rumah sakit, nanti aku nyusul kamu. Lagipula di sana juga harus antri, tidak langsung dapat giliran kamu, kan?"Hana kembali berusaha percaya semua perkataan sang suami dan membujuk diri sendiri. Lagipula baru kali ini sang
"Kak Arsen?"Pria itu semakin mendekat dengan senyuman tak kalah menawan dengan senyuman suaminya."Kamu sama siapa? Lagi kontrol dengan dokter Rissa atau?""Iya, sama dokter Rissa. Ini baru keluar dan lagi tunggu obat. Antriannya masih sepuluh nomor lagi sedangkan Kai lagi nungguin jemputan. Mobil Pak Dadang mogok. Nih, baru dikabari beliau."Panjang lebar keluh kesah tak sadar Hana curahkan. Wanita itu memang merasa nyaman jika harus mengeluarkan uneg-unegnya kepada sang dokter. Pria itu memang selalu menjadi tempat curhat sejak dulu saat dia terpuruk sembilan tahun yang lalu."Gini, coba aku cek dulu ke bagian Farmasi. Sini, aku pinjam kertas transaksinya. Sudah bayar, kan?"Hana mengangguk dan menyerahkan kertas putih. Lalu, sang dokter mendekati counter farmasi dan sedang bernegosiasi apa, Hana tak tahu. Dia memilih menunggunya sambil duduk di ruang tunggu. Tak lama, Arsenio menyeret langkah dan duduk di samping Hana.
"Jangan anggap aku orang lain lalu kamu merasa sungkan denganku. Kita kenal bukan baru kemarin, Hana. Kamu masih ingat awal pertama pertemuan kita? Selama tujuh tahun berteman saat itu dan kini sudah sembilan tahun kita saling kenal. Meski akhirnya kamu memilih pria lain, kita masih bisa jadi sahabat, kan? Lalu, mana mungkin aku tak tega membiarkan kamu berpergian sendiri? Lagipula ada aku yang lagi free time, kenapa kamu harus nolak?""Om Dokter!"Mata itu teralih kala melihat Arsenio keluar dari mobil dan mendekati mereka yang sedang berpelukan. Mama dan anak pun mengurai dekapan dan Kai memperlihatkan gigi seri yang terpampang rapi di depan."Hai, anak ganteng. Gimana keadaanmu? Hal hebat apa yang sudah kamu lakukan hari ini?"Arsenio berjongkok, mensejajarkan wajah sembari memberi kepalan tangan dan menunggu sambutan. Hanya dalam dua detik, bocah delapan tahun itu menghentakkan tinjuan di kepalan tersebut lantas Arsenio mengusap asal kepalanya
Kini, giliran Kai membuka mulut. Seketika Hana menunggu jawaban sambil melirik kaca spion tengah. Jam segini, bagaimana mungkin sang dokter belum makan? Bukankah mereka yang selalu mengingatkan para pasiennya untuk tidak boleh melalaikan jadwal makan. Namun, mengapa mereka malah mengacuhkan amanat yang mereka bikin sendiri?"Hari ini Om Dokter kedatangan banyak tamu anak-anak kecil. Sampai-sampai Om lupa kalau ternyata lambung Om butuh makanan enak dan bergizi juga.""Jadi benar Om belum makan?" Kai bertanya ulang untuk memastikan kembali. Dia tak mengerti bahasa kiasan yang digunakan pria yang memegang kendali setir mobil.Wajah pria itu memelas sembari mengangguk dan menoleh sekilas ke arah Kai. Ekor mata Arsenio menengok ke kaca spion dan kedua pandangan mereka bertubrukan. Dengan cepat, Hana mengalihkan bola mata keluar jendela lantaran merasa jantungnya melompat-lompat. Entah mengapa, biasa si wanita berbadan dua jarang merasakan rasa aneh tersebut. A
"Sayang, kamu kenapa?"Sedikit heran dengan sikap elakan Hana, Mahendra bertanya dengan nada cemas. Dia tak tahu apa sebab sang istri melakukan penolakan. Wanita yang selalu ingin dimanja kini bersikap dingin."Jadi ini pertemuan pentingnya, hingga Mas nggak punya waktu untuk temani aku kontrol ke Dokter Rissa?"Bingo! Ternyata itu alasannya dan Mahendra berusaha memakluminya. Ibu hamil memang susah ditebak suasana hatinya. "Bukan begitu. Tadi sebenarnya aku sudah mau jalan, tapi Aldo mendadak nggak bisa datang. Jadi aku ....""Berdua dengan dia, itu namanya rapat dengan klien atau sedang berkencan?"Suara terdengar biasa tapi nadanya penuh penekanan. Hana mengamati gerakan bola mata lawan dan mencari kejujuran di dalam sana. Dia tak suka kepura-puraan dan butuh kejelasan. Napas wanita itu sedikit tak beraturan, pun masih bisa mengendalikan gejolak yang belum begitu menghentak."Hei, kamu ngomong apa, sih? Siapa yang be
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."