"Sayang, kamu kenapa?"
Sedikit heran dengan sikap elakan Hana, Mahendra bertanya dengan nada cemas. Dia tak tahu apa sebab sang istri melakukan penolakan. Wanita yang selalu ingin dimanja kini bersikap dingin."Jadi ini pertemuan pentingnya, hingga Mas nggak punya waktu untuk temani aku kontrol ke Dokter Rissa?"Bingo! Ternyata itu alasannya dan Mahendra berusaha memakluminya. Ibu hamil memang susah ditebak suasana hatinya."Bukan begitu. Tadi sebenarnya aku sudah mau jalan, tapi Aldo mendadak nggak bisa datang. Jadi aku ....""Berdua dengan dia, itu namanya rapat dengan klien atau sedang berkencan?"Suara terdengar biasa tapi nadanya penuh penekanan. Hana mengamati gerakan bola mata lawan dan mencari kejujuran di dalam sana. Dia tak suka kepura-puraan dan butuh kejelasan. Napas wanita itu sedikit tak beraturan, pun masih bisa mengendalikan gejolak yang belum begitu menghentak."Hei, kamu ngomong apa, sih? Siapa yang beElena yang cantik elegan, punya karir dan pendidikan yang cermelang. Latar belakang keluarga yang tak diragukan lagi. Apa yang kurang? Itu pun Mahendra tak bisa tertarik dengannya. Lalu, kenapa sekarang dia tak risih satu meja dengan wanita yang belum Hana tahu latar belakangnya."Sorry, Hana. Kamu kenapa, sih, jadi sensitif gini? Oke, aku paham perubahan hormon dalam diri, tapi jangan gini juga. Aku akui aku salah karena tak tahu kabar kalian. Aku terlalu sibuk ....""Stop, Mas. Di sini tempat umum, aku tak mau jadi sorotan publik. Maaf, aku balik ke meja dulu. Kai udah nggak sabar mau makan kentang gorengnya."Tak ingin ada tangan jahil merekam perdebatan yang berujung viral di sosmed, Hana berharap Mahendra bisa diajak kerjasama. Sudah, jika ingin melanjutkannya, lakukan di rumah.Hana mengulurkan tangan dan Kai menyambutnya. Tangan kecil itu sudah bebas kuman. Tadi, Hana membiarkan Kai mencuci tangan sendiri di washtafel dan menunggunya sambil
"Besok Papa nggak bisa temani kamu, Nak. Tapi Papa janji akan jemput kamu setelah selesai lomba, gimana?"Itu jawaban Mahendra tatkala Kai main ke kamar orangtuanya dan meminta si papa hadir dalam perlombaan besok. Tak langsung mengiyakan, wajah itu tampak seperti berpikir untuk menimbang."Latihannya sudah mantap, belum? Kalau besok pulang bawa piala paling gede, kita ke mall beli mainan baru, mau?"Penawaran itu langsung menghadirkan jejeran gigi putih di wajah Kai. Kepala si anak pintar mengangguk. Sumringah pastinya ketika mendengar hadiah yang akan diberikan sang papa. Meski sudah mengantongi segudang mainan, anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka suka dengan hal yang baru. Mainan dan pengalaman baru adalah sensasi baru baginya."Sebaiknya Mas jangan berjanji apa-apa pada Kai daripada nanti berusaha mencari alasan atas janji yang tidak bisa dipenuhi."Hana memberi lirikan sekilas dari pantulan cermin di akhir kalimatnya. Lisan itu dib
Mahendra masih berusaha mengambil hati dan menggodanya. Dia tahu bagaimana cara menaklukkan hati, pun paham Hana bukan wanita pendendam. Hanya dengan sebuah kecupan dan dekapan, hati wanita berpakaian blouse biru pasti akan luluh."Ogah." Hanya singkat tetapi dapat memantik keinginan Mahendra untuk merangkul bahu dan sedikit menarik tubuhnya lalu melayangkan kecupan di pelipis "Mas!" Hana membelalakkan mata sebab terkejut seraya menjauhkan diri."Ada apa?" "Ini tempat umum. Jangan sembarangan cium-cium!" Hana mencoba menjaga jarak tetapi genggaman tangan Mahendra semakin dieratkan."Kenapa? Kita suami istri. Tidak ada yang salah.""Iya, tapi tak pantas mesra-mesraan di depan umum karena dapat memicu kecemburuan banyak orang yang melihatnya. Atau bisa menjadi syahwat ketika melihat ada suami istri bermesraan. Jadi sebisa mungkin sepasang suami istri tidak melakukan hal tersebut demi menghindari fitnah.""Hei,
"Tapi, Pa, Kai juga mau robot ini."Wajah mendung terbit di sana. Keinginan memiliki ditepis sang papa dengan alibi yang sengaja dibuat logika."Masih banyak mainan lain yang bisa kamu pilih di sini. Atau kamu mau dua mainan sebagai penggantinya? Papa izinkan."Kai menggeleng lemah menanggapi negosiasi itu. Dia tak ingin yang lain, satu-satunya yang dia inginkan hanya robot yang kini masih ada dalam dekapannya. Dia juga bukan anak serakah yang menginginkan banyak mainan sebagai kompesasinya. Anak berprinsip dan tidak salah memilih minat dan tekad."Mas, kamu kenapa, sih? Kamu nggak kasihan sama Kai dengan menyuruhnya mengalah sesuatu yang sudah sangat diidamkan. Dia berhak mendapatkan apa yang diinginkan. Aku tahu mainan ini sudah lama ingin dimilikinya. Dan selama itu aku menahannya dan meminta dia sabar, menunggu kamu yang akan membelikannya. Tolong jangan tepiskan keinginannya kali ini."Hana sudah tidak mampu menahan untuk diam saat m
"Sudahlah, jangan menolak niat baik. Ibumu adalah ibuku juga. Aku tak mau ada sesuatu yang terjadi jika kamu yang menjemputnya. Nanti kamu share loc lokasi ibu ke WA. Oke?"Tidak membantah lagi, Hana memilih diam. Diam itu bisa diartikan setuju oleh Mahendra. "Nanti sore aku yang jemput, ya. Siangnya aku minta supir Mommy jemput Kai dari sekolah, langsung ke rumah."Hana menoleh dan si suami sepertinya paham arti dari sorot matanya. Dia pun melanjutkan sebelum Hana membuka mulut."Nanti Pak Dadang, kan, mau jemput Ibu pakai mobil Aldo. Mobil kantor masih di bengkel, perbaikannya belum bisa kelar satu dua hari ini. Jika selesai, rencananya mobil itu dijual dan beli yang baru saja. Biar nggak ribet, mogok lagi malah nyusahin istri dan anakku."Akhir kalimat yang diucapkan Mahendra sukses menggelitik hati Hana. Entah mengapa, dia merasa geli kosakata itu. Untuk menyimpan rasa tersebut, dia memutar kepala menuju ke kaca jendela lalu tanpa se
Duduk bersandar di sofa, Hana pun menselonjorkan kedua kaki. Betisnya sering baal karena durasi berdiri yang lama, mengharuskan dirinya meluruskan kedua alat gerak itu. Matanya terpejam dan berusaha mengolah napas untuk melakukan meditasi sejenak. Mencari ketenangan karena tiba-tiba di benak Hana mengingat kembali pertemuan tak terduga tadi sore dengan wanita 27 tahun yang bernama Nadhira itu. Cara wanita itu menatap suaminya cukup mengusik perasaan Hana. Prasangka buruk mulai menghantui, ditambah lagi dengan ucapan Nadhira tentang penasaran dirinya terhadap Hana.Akankah kehadiran Nadhira mengancam rumah tangga mereka? Mengapa Mahendra terlihat peduli dengan anak laki-laki yang bernama Sammy itu? Apakah mereka ada hubungan darah atau? Astaga.Hana buru-buru beristigfar karena mulai ngelantur dengan kehaluannya. Inilah akibat dia yang terlalu sering membaca novel online genre rumah tangga. Tidak-tidak, bacaan itu tidak boleh meracuni pikirannya.
"Hana?"Seseorang memanggilnya setelah pintu kaca terbuka. Pemilik nama itu menoleh dan mendapati wajah pria yang ditemui kemarin."Kak Arsen?"Dokter itu masuk dengan ragu lantaran melihat ketegangan di wajah para karyawan dan Hana. Mereka semua berkumpul untuk menyaksikan rekaman ulang CCTV demi mencari kebenaran yang sesungguhnya. Termasuk tiga orang pelanggan yang tak sengaja masuk dan kepo dengan peristiwa yang terjadi."Ada apa ini? Kenapa rame-rame?" bisiknya setelah berdiri tepat di samping Hana.Lalu, Hana menarik tangan Arsen dan menjauhi diri dari kelompok orang yang sedang mengamati rekaman tersebut. Di sana, Hana menceritakan sekilas kejadian dan Arsen bisa langsung mengerti permasalahannya. Layar itu terus berputar dan sudah sampai di mana ada seorang ibu masuk ke dalam toko. Dia mengelilingi etalase seperti ingin memilih kue yang akan dibeli. Luna menghampiri dan mengambil kue yang ditunjuk ibu tadi. Sampailah kak
"Jika tidak mau diperiksa, aku tidak akan segan-segan melaporkan Anda ke polisi dengan kasus mencemarkan nama baik toko kami. Luna, tolong kamu ambil foto dan video peristiwa ini.""Ja-jangan la-lakukan itu. A-aku ngaku salah. Tapi ini murni bukan keinginanku. A-aku hanya iseng."Tanpa aba-aba, Sinta menarik paksa tas yang ada di tubuhnya. Tak permisi, tangan itu membuka resleting dan menemukan sesuatu yang membuat Hana menggelengkan kepala. Kini, dia bisa bernapas lega dan berharap malam ini bisa tidur dengan nyenyak."Apa-apaan iki?""Aya aya wae.""Wah, dasar orang toksin banget.""Bawa ke polisi aja karena mencemarkan nama baik toko ini.""Iya, kita sudah langganan di sini, belum pernah kecewa dengan kualitas dan rasanya.""Bawa aja, Pak. Bu Hana, jangan biarkan orang ini berkeliaran, nanti makin menjadi-jadi."Timpalan demi timpalan pun saling bersahutan. Luna merekam semua kejadian termasuk bebera